[Kesunyian Gurun Pasir]
. . . Jika ada suatu hal serupa ingatan
bersejarah dalam diri kita, maka tidaklah aneh bahwa momen terindah dalam
hidup—baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan—ialah ketika Alam
menghampiri dan mengambil alat musiknya yang terabaikan, lalu memainkan
sepenggal melodi purba yang lama tak terdengar di muka bumi.
Barangkali timbul pertanyaan: Jika
sewaktu-waktu Alam memberikan pengaruh yang ganjil ini kepada kita, sekonyong-konyong
memulihkan harmoni yang telah lama hilang di antara organisme dan lingkungan,
mengapa pengalaman itu lebih terasakan di gurun Patagonia ketimbang di
tempat-tempat terpencil lainnya—sebuah gurun tanpa air, tempat suara-suara
hewan jarang terdengar, dan vegetasinya berwarna kelabu alih-alih hijau? Saya
dapat mengajukan satu alasan sehubungan dengan keadaan saya sendiri yang begitu
terpengaruh olehnya. Di hutan dan belukar subtropis, begitupula di rimba di
wilayah beriklim sedang—apabila kita telah terbiasa mengamatinya—perhatian
terpikat oleh vegetasi hijau yang elok, bebungaan dan serangga berwarna cerah,
serta nyanyian dan hiruknya kehidupan burung. Ada pergerakan dan kecerahan.
Wujud-wujud baru hewan dan tumbuhan terus-menerus bermunculan, membangkitkan
rasa ingin tahu dan terkaan. Saking sibuknya pikiran oleh objek-objek baru
sampai-sampai keseluruhan pengaruh alam liar tidak begitu terasa. Di Patagonia,
monotonnya daratan, luasnya bebukitan rendah, kelabunya semesta yang tak ada
habisnya, serta tiadanya wujud-wujud hewan dan objek yang baru bagi mata,
membukakan pikiran dan membebaskannya untuk menyambut kesan penampakan alam
secara menyeluruh. Pemandangannya menyerupai lautan, sebab terbentang
sedemikian jauhnya tanpa peralihan, tanpa batas; namun tanpa kemilau air, corak
akibat bayangan dan sinar mentari maupun jauh-dekatnya jarak, serta gerakan
ombak dan putihnya buih. Pemandangan itu tampak purba, tandus, damai
senantiasa, seakan sudah berupa gurun sejak dahulu kala dan akan tetap gurun
selamanya. Kita tahu penghuni manusianya hanyalah segelintir pengembara liar,
yang hidup dengan berburu sebagaimana yang dilakukan oleh leluhur mereka selama
ribuan tahun. Selain itu, boleh jadi tidak ada tanda-tanda pendudukan manusia
di savana dan pampa yang subur, namun seorang pengelana tahu bahwa pada akhirnya
laju pertumbuhan umat manusia akan menyebabkan kedatangan mereka disertai
gerombolan dan gembalaan, sehingga tidak akan ada lagi ketandusan dan
kesunyiannya yang bahari. Pemikiran ini selayaknya hubungan antar manusia,
mengurangi pengaruh dari nuansa alam liar. Di Patagonia, pikiran tidak dapat
dipengaruhi oleh gagasan ataupun khayalan untuk mengadakan perubahan-perubahan
melalui tangan manusia. Di sana tidak ada air, tanahnya yang kersang berupa
pasir dan kerikil—bebatuan koral yang dibentuk oleh tenaga lautan purba,
sebelum Eropa ada. Tidak ada yang tumbuh selain benda-benda tandus yang
dikasihi alam—onak, semak-semak berkayu, serta berkas-berkas rumput liar yang
berpencaran.
Pastinya kita tidak sepenuhnya
terpengaruh oleh kesunyian alam liar dalam kadar yang sama. Di gurun Patagonia
yang luas sekalipun barangkali banyak yang tidak mengalami transisi batin
sebagaimana yang telah saya jelaskan. Insting mereka lebih dekat pada yang
tampak, dan tergugah sekali oleh alam di tempat terpencil lainnya. Saya kira
Thoureau salah satunya. Bagaimanapun juga, kendatipun ia tidak memiliki
pengetahuan Darwin sebagaimana kita, dan pengalaman tersebut baginya selalu
terasa “aneh”, “misterius”, dan “tak dapat diketahui musababnya”, ia tidak
menyembunyikannya. Ada “sesuatu yang luar biasa pada Thoreau” yang tampaknya
mustahil dipahami dan mengherankan seakan pada dasarnya tidak demikian adanya,
memberi nuansa harum memikat yang khas pada tulisannya. Kehendaknya akan cara
hidup yang lebih primitif; ketidakacuhannya yang ganjil sementara ia meraut
kayu bagaikan anjing yang setengah kelaparan—dan tak seserpih pun yang dapat
melukainya; keinginannya agar orang yang berkedudukan menjalani hidup dengan
cara yang lebih alamiah: simpatinya kepada alam begitu hebat hingga membuatnya
terpesona; perasaannya bahwa segala elemen bersesuaian dengan dirinya menjadikan
pemandangan seliar apapun entah bagaimana terasa akrab, demikian ia timbul
tenggelam dalam kebebasan yang ganjil di alam. Hanya sekali ia ragu dan merasa
bahwa kedekatan antar manusia itu boleh jadi penting bagi kebahagiaan, dan
dengan bijak ia segera kembali pada kesadaran akan indahnya himpunan alam yang
pemurah, akan keramahan yang tulus sekalian tak berhingga sebagaimana atmosfir
yang menyangganya. . . .
Dari Nature
Writing: The Tradition in English, Ed.
Robert Finch & John Elder, 2002, W. W. Norton & Company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar