Dale telah membaca banyak tentang mitologi Yunani. Jadi sewaktu ia bilang kalau ada kejutan untuk kami di Jambore Labu yang diadakannya, kami tahu ia tidak main-main. Jambore itu dilangsungkan pada akhir minggu di lahan miliknya dalam rangka mengumpulkan warga kota dan menggalang dana untuk dinas damkar. Acaranya menampilkan hayride[1], melukis wajah, dan cakewalk[2] yang menempati seluruh sisi pelataran, namun labirin jagungnyalah yang paling menjadi sorotan.
Belum juga ia selesai bersiap-siap, para penggila susur labirin sudah mengantre. Kumasukkan lima dolar ke dalam ember seperti yang lainnya.
“Cuma kali ini labirinnya bukan labirin biasa,” ucap Dale sambil menata bal jerami terakhir di dekat labu-labu yang diambil dari persil. “Labirin yang satu ini benar-benar labirin.”
Bisik-bisik bermunculan. Wanita yang memegang arumanis ingin mengetahui perbedaannya.
“Senang ada yang bertanya,” ucap Dale. “Labirin yang sebenarnya itu unikursal,
bukan multikursal. Cuma ada satu jalan, dan arahnya cuma ke satu tempat.”
“Enggak bisa kesasar dong,” sahut seorang warga. Ia dikenal suka menariki gadis-gadis ke pojok tersembunyi dalam acara-acara labirin jagung sebelumnya dan memanfaatkan kesempatan saat mereka kebingungan.
“Selain itu,” ucap Dale, “masuknya harus sendiri-sendiri.”
Entah kenapa seorang gadis cantik tahu-tahu memegangi tangan si warga tadi.
“Enggak seru dong kalau sendirian!” serunya.
Pria yang dikenal sebagai pelatih tim futbal SMA berlutut seraya mendekapkan kedua putranya ke dadanya.
“Anak-anakku tidak boleh masuk ke sana sendirian.”
Dale mengangkat ember dari jangkauan orang-orang yang hendak mengambil kembali uang mereka. “Tenang,” ucapnya. “Kalau tidak mau masuk, ya tidak usah. Supaya jelas, labirin ini konon mengandung kekuatan gaib. Ada yang bilang di pusatnya kita bisa menemukan hal yang paling kita inginkan di dunia ini. Ada juga yang bilang kalau Dewa bersemayam di balik belokan yang terakhir. Tiap orang harus mencari tahu sendiri. Kalau tidak sanggup, ya mampir saja ke lomba nge-jam.”
“Mana mungkin aku mau masuk ke sana,” seru seorang anggota damkar yang agak mabuk. Ia tamu kehormatan pada hari itu dan orang-orang terpengaruh olehnya. Mereka mulai berpaling menuju atraksi lainnya di jambore itu. Biasanya tarik tambang yang paling ramai.
Dale memandangi kepergian mereka sambil memegangi tangkai labu. Mestilah ia sedang memenungkan usahanya yang sia-sia. Ia mulai membuat labirinnya sejak berbulan-bulan lalu, memangkas tanaman jagung muda yang sudah jangkung namun belum bertunas, dan membuka jalan dengan traktor dilanjutkan dengan kendaraan pemotong rumput untuk menyingkirkan tunggul akar dan meratakan jalan. Ia menggambar rancangan labirin itu di kertas dan setelah itu memajangnya di garasi tambahannya yang lapang—ia menyebutnya Ruang Kenangan—beserta cendera mata jambore lainnya: gir dari truk hayride asli, cetakan kaki babi pemenang perlombaan. Kami mengumpulkannya sebagai pengingat akan kesalahan yang telah kami ambil sekaligus hal apa yang tengah menanti kami pada waktu itu.
Menyadari pengorbanannya, aku merasa malu cuma berdiri dan memandangi kepergian orang-orang. Matahari masih menggantung rendah di langit, sementara di rumah sepi saja, TV sudah seminggu ini rusak, dan entah kenapa air kerannya mulai berasa seperti darah. “Aku duluan deh,” kataku. “Aku mau masuk.”
Beberapa orang tidak jadi pergi. Si gadis cantik—yang namanya, seingatku, Connie—melepaskan tangan si warga tadi. Orang itu lalu cuek saja mengeloyor dan madat di balik rumah.
“Itu baru semangat,” sahut Dale. “Hei, orang-orang, Jim mau maju nih. Dia mau duluan.”
Kujabat tangan temanku itu. “Aku mengerti kamu sudah kerja keras membuat labirin ini, sayang kalau dilewatkan.”
“Ini bukan labirin biasa, tapi terima kasih, ya. Begitulah keberanian khas daerah sini.” Dale menekankannya dengan menatap si pelatih futbal, yang masih bertumpu pada satu lutut. Pria itu pun berdiri karena malu.
“Baiklah, kalau begitu,” kataku, dan mengancang-ancang, namun Dale menahanku. Ia mengeduk kantong di bawahnya dan mengeluarkan sebuah lempengan dari tanah liat, serupa tatakan untuk mengalasi hidangan panas di meja makan.
“Bawalah ini,” ucapnya.
Lempengan itu diukir dengan lambang-lambang yang aneh. Ada beberapa orang atau prajurit dengan panah-panah, sebilah pedang, dan sesuatunya yang menyerupai bokong perempuan. Lalu kusadari kalau orang-orang tengah berkerumun mengamati ukiran itu. Benda itu kini dipegang olehku.
“Aku sama sekali tidak mengerti soal ini,” kataku.
“Itu Cakram Phaistos,” ujar Dale. “Harganya mahal sekali, jadi hati-hati ya membawanya.”
Kelihatannya benda ini memang mengandung arti tertentu.
“Bagaimana kamu memperolehnya?” tanya salah seorang wanita.
Ia menepiskan pertanyaan wanita itu. “Anggap saja aku beruntung karena kekhilafan pemerintah Yunani. Benda itu melengkapi proyekku. Nah, ayo berangkat, Jim. Inilah hasil jerih payahku. Cari tahulah apa maksudnya.”
Di dalam labirin hawanya lebih dingin, sehingga terkesan magis,
meskipun sebenarnya itu cuma karena aku ternaungi oleh tetumbuhan jagung dari
rendahnya matahari. Tanahnya beraroma basah dan segar, adapun jalannya lebar
dan agak melengkung ke sebelah kanan. Sembari menyusuri jalan, aku menyadari
kalau belokan tersebut panjangnya masih sepuluh meter lagi sebelum arahnya
berbalik. Batang-batang jagung itu tidak begitu menghalangi masuknya suara dari
sisi luar labirin, sehingga aku bisa mendengar orang-orang membicarakan tentang
baik dan bodohnya keputusanku.
“Ingat tidak yang dilakukannya sewaktu hayride tahun lalu,” cetus seseorang. “Ada orang berengsek yang main-main sampai rokoknya jatuh. Jeraminya jadi kebakaran pas di dekat anak-anak. Jim lompat menyelamatkan diri dari truk dan lari ke pagar. Ia tidak balik lagi. Setelah memadamkan api, kami mencarinya, dan sewaktu kami menemukannya, sewaktu kami menemukan—“ Sebagaimana lazimnya, pada bagian ini gunjingan memancing gelak tawa.
“Cukup,” ujar Dale.
“Sewaktu kami menemukannya—“
“Oh, ya Tuhan,” serta-merta seorang wanita berucap. Pada bagian ini cerita dapat dengan mudahnya diakhiri lewat gerak isyarat. Maka sekali lagi aib soal kebakaran itu mengundang reaksi. Sekalipun kau menjalani hidupmu di kota yang sangat kecil, kau tdak akan pernah kehabisan pendengar untuk cerita semacam itu.
Berat lempengannya lumayan juga, tanganku sampai berkeringat jadinya. Lebih nyaman memegangnya dengan mengikuti jejak ukirannya, yaitu dengan menempatkan kuku jari pada lengkungan lambang yang berbentuk sabit besar atau yang menyerupai bokong perempuan itu, yang kalau dilihat lagi dengan saksama bisa saja sebetulnya menggambarkan pusaran sungai, saking sederhana pahatannya.
Begitu aku memasuki belokan lainnya, tampaknya aku sudah kehilangan arah. Dinding jagungnya menggersik. Suara-suara berangsur menghilang, dan satu-satunya yang terdengar hanyalah suara cemplungan dari kolam burung di ujung lahan Dale. Sembari berjalan, kudekapkan lempengan itu ke dadaku. Aku tidak terbiasa membawa banyak beban, sehingga berat cakram ini memayahkan bagiku. Akupun berjanji sungguh-sungguh pada diriku untuk mulai berlatih lagi dengan halterku di garasi.
Matahari mulai tenggelam. Angin dingin menembus sela-sela dedaunan. Sehabis menempuh satu belokan lagi dan dua puluh langkah, suara-suara itu kembali.
“Kamu harus mengakui keberaniannya karena masuk ke sana sendirian,” suara seorang pria, orang yang sama dengan yang menceritakan keburukan tentangku tadi. “Barangkali akhirnya dia punya juga jiwa bertualang.”
Saking terkejutnya pada pujian itu aku berhenti dan menahan napas untuk mendengarkan, tapi tidak ada suara apapun sampai aku mulai berjalan lagi.
“Dia punya nyali,” ucap Dale, si teman sejati.
“Aku baru tahu dia itu orangnya berani banget,” suara seorang wanita. Aku berhenti lagi dan menunggu lebih lama kali ini, menghitung detik demi detik hingga mencapai menit, lalu tiga menit, lima, sementara mendengarkan kesunyian seakan mereka semua sudah kehilangan minat dan pergi. Aku melangkah balik ke arah datangnya diriku, namun rasanya seakan aku tengah melawan angin kencang. Ada tekanan ke arah samping pada lempengan itu seakan ada yang menariknya ke ujung bumi. Namun aku tetap berusaha melawannya. Kekuatan itu nyaris merobohkanku ke belakang, akibatnya membuatku membayangkan diriku keluar dari labirin ini dengan bagian belakang jin yang basah kuyup, sembari menanti jadi bahan cemoohan lagi pada tahun berikutnya. Maka akupun berbalik dan lanjut menyusuri labirin, seiring dengan terdengarnya lagi suara obrolan.
“Aku bangga mengenalnya,” kudengar Connie berkata.
Jantungku jadi berdebar-debar, tapi aku tahu lebih baik aku tidak berhenti dan mencoba mendengarnya terus. Sebentar lagi perjalanan ini akan membuahkan hasil. Biarpun aku sudah terengah-engah dan langkahku yang berat menimbulkan suara, obrolan itu terdengar semakin keras seiring dengan mendekatnya diriku ke pusat labirin. Suara-suara itu seperti bintang penunjuk arah pada langit yang menggelap.
“Ia berjiwa tangguh,” suara seorang pria.
“Aku bangga sekali dengannya,” ujar Dale.
“Sebenarnya, dia ganteng juga,” imbuh Connie.
Suara-suara mereka menjaga semangatku, dan aku pun berderap sampai ke sekitar sisi paling ujung labirin itu, memasuki belokan demi belokan tanpa berhenti, sepanjang jalan terseret-seret oleh lempengan itu, yang rasanya seperti ditarik dengan kawat.
“Kuharap dia ada di sini jadi aku bisa menyalaminya,” ucap seseorang dengan nada muram, namun aku tidak mungkin berhenti. Belokan-belokannya kini semakin banyak, dan jalannya menyempit, seakan Dale kurang mempertimbangkan proporsi yang semestinya. Rumbai-rumbai halus tanaman jagung menyapu kedua belah bahuku.
Tidak kusadari betapa lelahnya diriku hingga kutemukan juga
pusatnya setelah berbelok di pojokan terakhir. Bulan menyorotkan cahayanya
lurus-lurus pada sebidang tanah terbuka yang lebarnya kira-kira tiga meter,
dengan ceruk seukuran manusia. Lempengan itu tertarik dengan kuatnya ke arah
ceruk itu. Kukerahkan segenap tenagaku untuk menahannya, dan tidak berhasil.
Namun aku harus menjaga benda itu baik-baik. Dale menyerahkannya kepadaku
dengan kedua tangannya, sambil menatap mataku.
Dengan sisa tenangaku, aku berbalik, menempatkan diriku agar berada di antara bebanku dan lubang itu. Lempengan itu tetap mendorongku ke belakang, ke dalam liang yang seakan digali untuk memuatku, lengkap dengan gundukan untuk menempatkan leherku dan gundukan serupa yang tepat berada di bawah kakiku. Lempengan itu menempel di tengah-tengah tulang dadaku. Benda itu terasa semakin dingin dan berat daripada sebelumnya, namun aku tidak merasakan keinginan untuk mengangkatnya. Baru sekarang aku menyadari kalau benda itu sebetulnya batu sebagaimana lazimnya. Aku juga menyadari bahwa begitu aku berhenti meronta-ronta dan bergeming saja terus sambil bernapas pelan-pelan, aku bisa medengar suara orang-orang lagi. Mereka sedang membicarakan tentang kejagoan dan keberanianku, tentang penyelamatan dan kecakapan di bawah air; cerita-cerita yang aku tidak ingat pernah mengalaminya, namun pastinya entah bagaimana terkait denganku, kalau ada sebegitu banyak orang yang mengenangnya dengan mesra. Akhirnya aku berusaha sungguh-sungguh supaya tegak sembari menyadari permasalahannya.
“Teman-teman?” ucapku perlahan. “Sepertinya aku tersangkut di akar atau semacamnya.”
Mereka terus saja mengobrol, yang isinya makin berlebihan saja. Ada yang membawa gitar dan mulai menambahkan lagu yang bercerita tentang asal-usulku. Putra peternak tak jauh dari barat sini / Jim angkat kepalanya dan tak pernah menggigil ngeri, begitulah baris pertamanya. Paru-paruku tegang akibat tertekan oleh bobot batu itu.
“Dale?” teriakku sambil megap-megap. “Aku butuh bantuan. Bisa ambilkan linggis?”
Aku terempas ke tanah seakan ada mesin pencetak yang menghimpitku. Pahatan berulir itu memagut dadaku dan menjejak di kulitku. Aku cuma sendirian. Lalu aku bertemu Minotaur[3].[]
sebelumnya pernah dipajang
di sini
[1] Hiburan
rakyat khas AS yang berasal dari Kansas, peserta ramai-ramai menaiki truk berjalan yang bagian baknya dilapisi jerami
[2] Hiburan
rakyat khas AS yang berasal dari kalangan Afrika-Amerika pada 1800-an, peserta
yang menampilkan gerakan kaki paling menarik mendapat hadiah berupa kue
[3] Monster
berkepala sapi bertubuh manusia dalam mitologi Yunani yang mendekam di labirin
Kreta dan memakan pemuda dan pemudi Athena yang dikorbankan untuknya hingga Theseus membunuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar