Ini bukan kesalahanku. Kalian tidak bisa menyalahkanku. Bukan aku yang melakukannya dan aku tidak tahu bagaimana terjadinya. Tidak sampai sejam begitu mereka menariknya ke luar dari selangkanganku kusadari ada yang salah. Benar-benar salah. Saking hitamnya ia hingga aku merasa ngeri. Sehitam malam, sehitam orang Sudan. Kulitku cerah, rambutku bagus, selayaknya yang kita sebut dengan high yellow[1], begitu juga ayahnya Lula Ann. Tidak seorangpun di keluargaku yang warnanya begitu. Menurutku warnanya itu nyaris seperti ter, tapi rambutnya tidak cocok dengan kulitnya. Rambutnya lain—lurus tapi berombak, seperti rambut suku-suku telanjang di Australia. Kalian mungkin mengira ia mewarisi sifat-sifat dari leluhurnya, tapi dari leluhur yang mana? Mestinya kalian lihat nenekku; ia dipandang sebagai kulit putih, menikahi seorang pria kulit putih, dan tidak pernah bicara lagi pada anaknya yang manapun. Setiap surat yang diperolehnya dari ibuku atau bibi-bibiku dikirimnya balik tanpa dibuka. Akhirnya mereka mengerti pesan dari tiadanya pesan balasan itu dan melepasnya. Dulu hampir semua tipe mulato dan quadroon[2] melakukannya—ya, tergantung pada rambutnya. Bisakah kalian bayangkan ada berapa banyak orang kulit putih yang diam-diam berdarah Negro? Tebak saja. Katanya sih dua puluh persen. Ibuku sendiri, Lula Mae, bisa saja dipandang sebagai kulit putih, tapi ia memilih tidak. Ia menceritakan padaku harga yang mesti dibayarnya atas keputusan itu. Sewaktu ia dan ayahku ke kantor pengadilan untuk menikah, ada dua Injil, dan mereka harus meletakkan tangan mereka pada Injil yang diperuntukkan bagi orang Negro. Injil yang satunya lagi untuk tangan orang kulit putih. Injil! Percaya tidak? Ibuku pernah menjadi pengurus rumah tangga bagi pasangan kulit putih yang berada. Mereka makan setiap hidangan yang dimasaknya dan menyuruhnya menggosok punggung mereka selagi mereka duduk-duduk di bak mandi, dan Tuhan tahu perbuatan intim apa lagi yang diperintahkan mereka padanya, kecuali menyentuh Injil yang sama.
Di antara kalian mungkin ada yang menganggap buruk mengelompokkan orang berdasarkan warna kulitnya—semakin terang semakin baik—di klub-klub sosial, perumahan, gereja, perkumpulan mahasiswi, bahkan sekolah khusus untuk orang kulit berwarna. Tapi bagaimana lagi caranya supaya kami sedikitnya punya martabat? Bagaimana lagi caranya supaya kami tidak diludahi selagi berada di toko, disikut sewaktu mengantre bis, mesti berjalan di selokan supaya orang-orang kulit putih memperoleh trotoar sepenuhnya, disuruh membayar kantong belanjaan di pasar yang padahal gratis untuk para pembeli kulit putih? Belum lagi segala julukan itu. Aku mendengar tentang semua itu terus-terusan. Tapi berkat warna kulit ibuku, ia tidak ditolak sewaktu mencoba-coba topi atau menggunakan kamar kecil di toko. Dan ayahku boleh mencoba-coba sepatu di bagian muka toko, bukannya di ruang belakang. Mereka juga tidak mau minum dari keran khusus untuk orang kulit berwarna, sekalipun sedang sangat kehausan.
Aku benci mengatakannya, tapi sejak awal keberadaannya di bangsal bersalin, bayi itu, Lula Ann, membikinku malu saja. Warna kulitnya sewaktu baru lahir sepucat bayi manapun, bahkan bayi Afrika, tapi dengan segera itu berubah. Kurasa aku bakal gila begitu warnanya berangsur menjadi hitam kebiruan tepat di hadapanku. Aku tahu sesaat aku menggila, sebab—sesaat saja—aku menutup mukanya dengan selimut dan menekannya. Tapi aku tidak bisa melakukannya, betapapun aku berharap ia tidak lahir dengan warna yang mengerikan itu. Aku bahkan sempat terpikir untuk menyerahkannya pada panti asuhan di manalah. Tapi aku takut menjadi seperti ibu-ibu yang meninggalkan bayinya di undakan gereja. Baru-baru ini, katanya ada pasangan di Jerman, dengan kulit seputih salju, yang entah bagaimana punya bayi berkulit gelap. Aku yakin mereka kembar—yang satu berkulit putih, yang lainnya berkulit berwarna. Tapi entahlah apa itu nyata. Yang jelas saat ia menyusu padaku rasanya seperti ada pickaninny[3] mengisapi pentilku. Begitu sampai di rumah aku menyusuinya dengan botol.
Suamiku, Louis, bekerja sebagai portir, dan sepulangnya dari rel ia memandangku seakan aku sudah benar-benar sinting dan menatap bayinya seakan itu makhluk dari Planet Jupiter. Ia bukan orang yang suka menyerapah, jadi saat ia bilang, “Persetan! Apa-apaan ini?” aku tahu ini masalah. Itulah pemicunya—penyebab pertengkaran di antara diriku dan dirinya. Pernikahan kami pun hancur berkeping-keping. Tiga tahun telah kami lalui bersama dengan baik-baik saja, namun begitu bayi itu lahir ia menyalahkanku dan memperlakukan Lula Ann bagaikan seorang asing—lebih-lebih lagi, seorang musuh. Ia tidak pernah menyentuh anak itu.
Aku tidak pernah berhasil meyakinkannya bahwa aku sama sekali tidak pernah main-main dengan lelaki lain. Ia pasti betul aku berbohong. Kami terus saja beradu mulut sampai aku bilang padanya kalau warna gelap itu pastilah berasal dari keluarganya sendiri—bukan dari diriku. Pertengkaran kami pun memburuk, saking buruknya sampai ia minggat begitu saja dan aku mesti mencari tempat tinggal lainnya yang lebih murah. Aku berusaha sebaik-baiknya. Aku cukup sadar untuk tidak membawa serta anak itu saat aku menemui pemilik rumah, jadi aku meminta sepupu yang masih remaja untuk menjaganya. Aku tidak sering membawanya ke luar rumah, bagaimanapun juga, sebab, sewaktu aku membawanya dengan kereta dorong, orang-orang akan merunduk dan menengok sambil berkata-kata manis lalu terkejut atau berjengit sebelum mengernyit. Rasanya menyakitkan. Bisa saja aku dianggap cuma penjaga bayi kalau warna kulit kami sebaliknya. Sebagai wanita kulit berwarna—sekalipun dari golongan high yellow—cukup sulit menyewa tempat tinggal di kawasan yang layak. Pada tahun sembilan puluhan, sewaktu Lula Ann baru lahir, hukum melarang diskriminasi dalam urusan sewa-menyewa, tapi sedikit saja pemilik rumah yang mengacuhkan. Mereka mencari-cari alasan supaya kalian tidak bisa masuk. Tapi dengan Mr. Leigh aku beruntung, meski aku tahu ia menaikkan harga sewa sebesar tujuh dolar dari yang diiklankannya, dan ia naik pitam kalau kalian telat membayar barang semenit saja.
Aku menyuruh anak itu memanggilku “Sweetness” ketimbang “Ibu” atau “Mama”. Itu lebih aman. Wujudnya yang hitam serta bibirnya yang menurutku kelewat tebal itu memanggilku “Mama” bakalan membingungkan orang-orang. Di samping itu, matanya berwarna ganjil, sehitam gagak dengan rona biru—seperti mata tukang sihir.
Jadi kami berdua saja untuk beberapa lama, dan aku tidak perlu menceritakan pada kalian betapa sulitnya menjadi istri yang ditelantarkan. Louis merasa agak tidak enak hati setelah mencampakkan kami seperti itu, sebab beberapa bulan setelahnya ia mengetahui tempat aku pindah dan mulai mengirimiku uang sebulan sekali, meski aku tidak pernah memintanya dan tidak juga ke kantor pengadilan untuk mendapatkannya. Berkat tanggungan sebesar lima puluh dolar dari dirinya dan upah kerja malamku di rumah sakit, aku dan Lula Ann dapat mulai hidup sejahtera. Yang merupakan hal baik. Kuharap mereka tidak lagi menyebutnya dana kesejahteraan dan kembali pada istilah yang digunakan semasa ibuku masih gadis. Yaitu “dana bantuan”. Kedengarannya lebih enak, seakan itu sekadar rihat jangka pendek sementara kalian berbenah diri. Lagipula, para petugas dana kesejahteraan itu sehina ludah. Ketika akhirnya aku punya pekerjaan dan tidak membutuhkan mereka lagi, aku menghasilkan lebih banyak uang daripada mereka. Kurasa kepicikan memenuhi cek gaji mereka yang kecil sekali itu, oleh karenanya mereka memperlakukan kami seperti pengemis. Apalagi sewaktu mereka melihat Lula Ann dan menatapku lagi—seakan aku ini sedang mencoba menipu atau sesuatunya. Situasi memang membaik namun aku tetap mesti berhati-hati. Berhati-hati sekali dalam membesarkannya. Aku mesti keras, sangat keras. Lula Ann mesti belajar caranya berperilaku, caranya merendahkan diri dan tidak mencari-cari masalah. Aku tidak peduli berapa kali ia mengganti namanya. Warna kulitnya menjadi beban yang akan selalu ditanggungnya. Tapi itu bukan salahku. Itu bukan salahku. Bukan.
Oh, ya, adakalanya aku menyesali perlakuanku terhadap Lula Ann semasa ia kecil. Tapi kalian harus mengerti: aku harus melindunginya. Ia tidak mengenal dunia. Dengan warna kulitnya itu, tidak ada gunanya bersikap keras ataupun lancang, sekalipun kalian benar. Tidak di dunia tempat kalian bisa dikirim ke penjara anak-anak gara-gara membantah atau berkelahi di sekolah, dunia tempat kalian menjadi orang terakhir yang dipekerjakan dan orang pertama yang dipecat. Ia tidak tahu sedikitpun tentang itu atau betapa kulitnya yang hitam akan menakuti orang-orang kulit putih atau membuatnya ditertawakan dan dipermainkan. Aku pernah menyaksikan seorang gadis yang kulitnya tidak sampai sehitam Lula Ann dan usianya pun kira-kira tidak sampai sepuluh tahun dijegal oleh salah seorang dari sekumpulan anak-anak kulit putih, dan sewaktu ia berusaha bangkit ada anak lain yang menendang bokongnya dan ia pun tersungkur lagi. Bocah-bocah itu memegangi perut mereka sambil tertawa terbungkuk-bungkuk. Lama setelah gadis itu berhasil lolos, mereka masih terkikih-kikih, bangga benar akan perbuatan mereka. Kalau saja aku menyaksikannya bukan melalui kaca jendela bis, aku sudah akan menolong gadis itu, menariknya pergi dari para gembel kulit putih itu. Mengerti kan, seandainya aku tidak mendidik Lula Ann dengan sepatutnya, ia tidak akan tahu supaya selalu menyimpang jalan dan menghindari para bocah kulit putih. Toh pelajaran yang kuberikan padanya ada hasilnya, dan pada akhirnya aku amat bangga padanya.
Aku bukan ibu yang buruk, kalian harus paham itu, meski aku mungkin telah berperilaku menyakitkan terhadap anakku satu-satunya karena aku harus melindunginya. Harus. Semata karena martabat atas warna kulit. Awalnya aku tidak bisa melihat lebih dari kehitamannya itu hingga memahami siapa dirinya dan mengasihinya secara biasa saja. Tapi aku bersungguh-sungguh. Aku sangat bersungguh-sungguh. Kurasa kini ia mengerti. Kurasa begitu.
Dua kali terakhir aku berjumpa dengannya ia tampak, yah, mencolok. Agak berani dan percaya diri. Tiap kali ia mampir menjengukku, aku lupa betapa hitam ia sesungguhnya sebab ia mengenakan pakaian putih yang bagus.
Memberiku pelajaran yang semestinya sudah keketahui sedari mula. Apa yang kalian lakukan pada anak-anak itu ada artinya. Dan kemungkinannya mereka tidak akan pernah lupa. Segera begitu ia mampu, ia meninggalkanku sendirian saja di apartemen yang mengerikan itu. Sejauh mungkin ia pergi dari diriku semampunya: mendandani dirinya dan beroleh pekerjaan bagus di Kalifornia. Ia tidak menghubungiku ataupun mengunjungiku lagi. Sesekali ia mengirimiku uang dan barang, tapi entah sudah berapa lama aku tidak menjumpainya.
Aku lebih suka tempat ini—Panti Winston—ketimbang panti wreda di luar kota yang besar dan mahal itu. Yang ini kecil, bernuansa rumahan, lebih murah, dengan para perawat yang berjaga dua puluh empat jam serta seorang dokter yang datang seminggu dua kali. Usiaku baru enam puluh tiga tahun—terlalu muda untuk pensiun—tapi suatu penyakit tulang menggerogotiku pelan-pelan sehingga perawatan yang baik amat diperlukan. Rasa bosan itu lebih buruk ketimbang rasa lemah atau sakit, tapi para susternya menyenangkan. Salah seorangnya mengecup pipiku sewaktu aku memberitahunya bahwa aku akan menjadi seorang nenek. Senyuman dan pujiannya itu seakan ditujukan pada orang yang hendak dimahkotai. Aku memperlihatkan padanya catatan pada kertas biru yang kuperoleh dari Lula Ann—yah, ia menandatanganinya sebagai “Bride”, tapi aku tidak pernah mengacuhkannya sedikitpun. Kata-katanya terasa gamang. “Coba tebak, S. Aku sangat, sangat gembira menyampaikan kabar ini. Aku akan punya bayi. Aku sangat, sangat deg-degan dan berharap dirimu juga.” Kurasa ia deg-degan karena bayinya, bukan karena ayah bayi itu, sebab ia tidak menyebut-nyebutnya sama sekali. Aku ingin tahu sekiranya lelaki itu sehitam dirinya. Kalaupun begitu, ia tidak perlu cemas seperti diriku dulu. Situasinya sudah berbeda dari semasa aku muda. Orang kulit hitam di mana-mana, di TV, di majalah fesyen, iklan, bahkan membintangi film.
Tidak ada alamatnya di amplop itu. Jadi kukira aku masihlah orangtua yang buruk yang tengah menjalani hukuman seumur hidup hingga hari kematianku akibat cara yang dimaksudkan untuk kebaikan dan, sesungguhnya, dibutuhkan dalam membesarkannya. Aku sadar ia membenciku. Hubungan kami tinggal sebatas kiriman uang dari dirinya. Mesti kukatakan aku berterima kasih atas uang dari dirinya, sebab aku tidak perlu mengemis-ngemis untuk pengeluaran tambahan, sebagaimana yang diperbuat pasien lainnya. Kalau aku ingin ada kartu baru untuk bermain seorang diri, aku bisa memperolehnya dan tidak perlu menggunakan yang sudah dekil dan lusuh di ruang duduk. Dan aku bisa membeli krim wajah yang khusus. Tapi aku tidak bodoh. Aku sadar uang yang dikirimnya itu caranya untuk tetap berjauhan dari diriku dan meredakan sedikitnya perasaan bahwa ia telah pergi.
Kalaupun aku terkesan gampang marah, tidak tahu berterima kasih, sebagian karena di baliknya ada penyesalan. Segala hal kecil yang tidak kuperbuat ataupun kulakukan secara salah. Aku ingat sewaktu ia pertama kali datang bulan dan bagaimana reaksiku. Atau saat-saat ketika ia tersandung atau menjatuhkan sesuatu. Sungguh. Aku benar-benar bingung, bahkan merasa jijik dengan kulitnya yang hitam sewaktu ia lahir dan awalnya kupikir…. Tidak. Aku harus menyingkirkan kenangan-kenangan itu jauh-jauh—segera. Tidak ada gunanya. Aku tahu yang kulakukan itu yang terbaik untuknya dalam situasi tersebut. Ketika suamiku meninggalkan kami, Lula Ann merupakan beban. Beban yang berat, namun aku menanggungnya dengan baik.
Ya, aku keras padanya. Kalian pasti mengira begitu. Begitu usianya beranjak tiga belas tahun, aku mesti lebih keras lagi. Saat itu ia melawan, menolak makan masakanku, menata rambutnya. Kalau aku mengepangnya, di sekolah ia akan mengurainya. Aku tidak membiarkannya membandel. Kubanting topinya dan kuperingatkan ia julukan-julukan yang akan diterimanya. Meski begitu, pasti ada sebagian dari didikanku yang membekas pada dirinya. Lihat bagaimana ia jadinya? Wanita karier yang berpunya. Percaya tidak?
Sekarang ia hamil. Bagus, Lula Ann. Kalau kau pikir mengasuh anak itu cuma soal membuat suara lucu, memilih sepatu bayi, dan popok, siap-siap saja kaget. Sangat kaget. Kau dan entah pacar, suami, kenalan—siapalah pasanganmu yang tidak ada namanya itu—berkhayal-khayal, Oooh! Ada bayi! Nang ning nang ning nang ning nung!
Dengarkan aku. Kau akan tahu caranya, bagaimana dunia ini, bagaimana jalannya, dan bagaimana berubahnya sementara kau menjadi orangtua.
Semoga beruntung, dan Tuhan menolong anak itu.[]
Toni Morrison penulis Afrika-Amerika kelahiran 1931, mendapatkan penghargaan Pulitzer pada 1988 atas romannya, Beloved, dan penghargaan Nobel Sastra pada 1993.
Tulisan ini diterjemahkan dari penggalan novelnya yang kesebelas yang akan terbit, God Help the Child, teksnya diambil dari The New Yorker edisi 9 Februari 2015.
[1] Istilah untuk orang yang tergolong kulit hitam namun karena keturunan kulit putih maka warna kulitnya lebih terang, lazim digunakan di Amerika Serikat pada akhir abad 19 dan awal abad 20.
[2] Istilah untuk orang yang keturunan ¼ Afrika/Aborigin, misalnya salah satu dari orangtuanya keturunan separuh Afrika/Aborigin dan separuh Kaukasia sedangkan orangtua yang satu lagi Kaukasia murni. Perbedaannya dengan mulato ialah mulato merupakan hasil perkawinan antara kulit hitam murni dan kulit putih murni, atau antara dua orang yang masing-masingnya keturunan separuh kulit hitam murni dan separuh kulit putih murni.
[3] Sebutan menghina untuk anak kulit hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar