SEORANG PRIA bertangan buntung mampir untuk menjual foto rumahku. Ia
tampak seperti pria biasa berusia lima puluhan tahun, jika tidak mengenakan
kait berbahan kromium pada kedua tangannya yang buntung itu.
“Bagaimana Anda sampai kehilangan tangan?” tanyaku setelah ia
menyampaikan keperluannya.
“Itu lain cerita,” ujarnya. “Anda mau foto ini atau tidak?”
“Masuklah,” ucapku. “Saya baru saja bikin kopi.”
Aku juga baru membuat agar-agar. Tetapi aku tidak
memberitahunya soal itu.
“Kalau boleh, saya ingin menumpang ke kamar kecil,” ucap pria
bertangan buntung itu.
Aku ingin melihat dia memegang cangkir.
Aku tahu cara dia memegang kamera. Kameranya Polaroid lawas,
berukuran besar dan berwarna hitam. Kamera itu dicantelkan pada tali kulit yang
diselempangkan ke bahu dan mengitari punggung, sehingga terpasang dengan aman
di dadanya. Ia berdiri di bahu jalan depan rumah, mengarahkan jendela bidik
pada sasaran, menekan tuas dengan salah satu kaitnya, dan keluarlah foto itu.
Sedari tadi aku mengawasinya dari jendela.