Ia hidup di negeri
yang bebas hukum. Walau bukan ia sendiri yang memutuskan untuk tinggal di situ,
ia mencintainya dan ia tidak akan tinggal di tempat yang lain. Tanah airnya
permai. Madu dan susu melimpah. Segalanya penuh berkah. Sayang sekali orang
menganggapnya bagai tempat sampah—tempat sampah bagi ketidakadilan.
Lehilahy seorang tukang dan bangga akan pekerjaannya.
Istrinya cantik dan sedang mengandung. Mereka menunggu kelahiran anak itu
dengan tenang. Anak itu akan dilahirkan di kamar tidur mereka yang sempit.
Mereka tidak pernah ke rumah sakit ataupun bangsal bersalin. Orang-orang yang
mengambil risiko menginap di sana tidak ada yang kembali. Lehilahy tidak suka mendengarkan
cerita seram dari keluarga orang-orang yang menghilang itu, namun ia telah
memutuskan bahwa istrinya akan melahirkan didampingi bidan. Lebih baik begitu.
Anak itu pun lahir dan jenis kelaminnya laki-laki. Lengkaplah
kegembiraan mereka, senyuman kasih teriring. Euforia melingkupi tangisan sang
ibu. Tahu-tahu ia menjerit, lása ny rako—“darahku mengalir”. Dan
benar saja, darahnya membanjir dan dukun beranak tersebut tak berdaya
menyaksikan sang ibu menghadapi sakratulmaut.