Aku jadi mulai membenci
diriku sendiri, saking penuh sesal mendalam aku pun meledakkan air mata.
“Aku tidak bermaksud berkata
begitu,” aku memohon. “Aku sama sekali tak ada niatan mengatakan itu. Ah Tuhan!
Betapa malunya aku!” Aku menggelongsor di meja dapur, memangku kepala dengan
kedua tanganku, dan menangis tanpa kendali.
“Sayang! Sayang!” Istriku
tergesa menyanggaku dari belakang, sendirinya tersedu keras.
Si pria berkumis, yang pula terus meratap dan meraung serupa bayi, kini sekonyong-konyong berhenti dan memancangkan matanya yang merah kepadaku. “Tolong, bekerja samalah dengan saya. Saya berusaha sekeras-kerasnya demi Anda. Bukan—bagi semua orang di blok ini. Yang lainnya pada sangat kooperatif. Sebagian jadi sangat berhemat. Contohnya saja, tetangga Anda keluarga Hamaguchi. Mereka tidak beli TV baru, mereka tidak beli mesin cuci baru. Mereka tabah dan tabah dan tabah, dan kini mereka telah menabung lima belas juta yen—hampir cukup untuk beli rumah baru!”
“Apa? Lima belas juta yen?!”
Mata istriku berkilat-kilat.
“Benar itu, nyonya. Dengan
usaha sedikit lagi saja, mereka akan mencapai target tabungan. Selain itu,
mereka sama-sama baru empat puluh delapan tahun. Sungguh pasangan yang mengagumkan.
Dan itu semua karena mereka mau bekerja sama dengan saya. Mereka itu
sehemat-hematnya orang hemat, dan menabung uangnya. Jadi. Anda juga harus
berusaha sekeras-kerasnya!” Si pria berkumis menggampar bahu kami berdua dengan
kedua belah tangannya.
“Ya,” dengan patuh kami
berdua menjawab seraya mengangguk-angguk bak anak sekolahan.
“Ketika situasi mulai terasa
sulit, dan Anda merasa tak bersemangat, saya akan datang dan menangis bersama
Anda,” katanya. Kemudian ia mencabut keluar selembar saputangan putih suci dan
menyeka pipinya.
“Terima kasih,” sahut kami
kompak. “Kami akan lebih cermat daripada sebelumnya. Kami akan berusaha keras
untuk menabung.”
Sejak hari itu, si pria
berkumis makin kerap saja mengunjungi kami. Kadang kala, aku ingin makan
sesuatu yang istimewa sehingga aku pulang dengan, misalnya saja, sashimi dari
ikan sejenis Sparidae. Lantas tanpa absen ia muncul di meja dapur kami, dan
menyorot kami dengan mata menyipit. Kadang kala ia bahkan mengambil makanan itu
bersama dirinya, atau memukul punggungku keras-keras dengan selang mesin cuci.
Lebih-lebih lagi, selalu, selalu saja ia muncul bagaimanapun berhati-hatinya
kami mengunci pintu depan atau pintu berdaun ganda di beranda kami.
“Halo, halo, halo! Saya datang,
saya datang, saya datang! Tanaka, Tanaka, Tanaka nama saya!”
Kadang kala ia masuk ke dapur
dari ruang sebelah, padahal tidak ada akses lain dari situ. Jika kami lagi di
kamar tidur, ia muncul dari lemari dinding. Kupikir mestilah ia masuk lewat
langit-langit. Ada loteng komunal di semua apartemen blok kami—mestilah ia
memanfaatkan itu. Maka aku memaku panel langit-langit di atas lemari. Lantas ia
muncul di toilet.
Di kereta menuju tempat kerja
pada suatu pagi, aku berjumpa tetanggaku Tuan Hamaguchi. Aku perlu menanyai dia
kapankah ia berencana membeli rumah barunya itu.
“Yah, mau sebanyak apa pun
kita berusaha menabung, harga rumah naik terus lebih cepat,” jawabnya dengan
nada yang menyiratkan bahwa ia sudah di ujung tanduk. “Kalau gaji naik juga sih
tidak apa-apa. Tapi Tuan Tanaka terus menyuruh kami berhemat, sehingga saya
sudah tidak bisa lagi membawa staf minum-minum, padahal saya Kepala Pegawai.
Pekerjaan saya terdampak. Atasan tidak menyukai saya sebab saya tak pernah kasih hadiah. Jadi kemungkinan
saya tidak akan dipromosikan. Entahlah demi apa lagi kami menabung.”
Sebenarnya, aku sendiri mulai
merasakan hal yang sama. Kalau harga rumah terus naik lebih cepat daripada
kemampuan menabung kami, demi apa kami menabung?!
Suatu malam, di tempat tidur
istriku memandangku penuh cela. “Kamu mendiamkanku saja belakangan ini,”
katanya.
“Maafkan. Aku benar-benar
minta maaf,” kataku—dan bersungguh-sungguh. “Aku tidak cukup makan. Aku selalu
kecapekan.”
“Bukan. Bukan itu. Kamu sudah
berubah.” Ia mulai terisak. “Sewaktu kita masih mahasiswa, sewaktu kita tinggal
bersama, dulu kamu mencintaiku.” Kisah kami berawal dari romansa mahasiswa.
“Dulu kita tidak punya uang. Yang kita makan cuma makanan sampah. Tapi dulu
kamu masih bercinta denganku hampir tiap malam. Sekarang kamu tidak cinta aku
lagi. Itu karena aku sudah tua dan jelek, iya kan. Itu makanya kamu tidak
bercinta denganku lagi.”
“Bukan, bukan itu, sungguh
bukan itu,” protesku, dan beranjak memeluk dia. “Kamu masih menarik kok. Kamu
masih cantik.”
Ia merangkulku erat-erat.
“Bilang lagi! Bilang lagi!”
“Kamu masih menarik. Kamu
masih cantik.”
“Oh sayang! Sayang!”
“Halo, halo, halo! Saya
datang, saya datang, saya datang! Tanaka, Tanaka, Tanaka nama saya!”
Si pria berkumis turun lewat
panel di langit-langit seketika kami akan bercinta. Aku mengerang di atas
istriku. Istriku mengembuskan desahan putus asa di bawahku.
“Ya ampun, ya ampun.
Apa-apaan ini, apa ini? Ya ampun, ya
ampun. Lihat betapa dekatnya kalian berdua.” Ia berjongkok di samping ranjang
kami dan memandang tajam ke bawah perutku. “Tak boleh, nyonya. Sama sekali tak
boleh. Suami Anda lelah. Anda mesti membiarkan dia tidur. Buat wanita memang
tidak apa-apa, tapi buat pria, sanggama itu kerja yang sangat berat. Setara
dengan lari dua mil, nyonya. Terlebih lagi, satu sampai enam sentimeter kubik
air mani dalam sekali ejakulasi mengandung sejumlah besar nutrisi, yaitu
protein, kalsium, dan glukosa. Tidakkah Anda peduli jika suami Anda menggunakan
energi demikian banyak padahal dia hampir tidak makan apa-apa seharian? Nyonya!
Ya ampun, ya ampun, ya ampun.
“Lihatlah keringatnya.
Mubazir. Mubazir. Ini benar-benar akan mengganggu kerjanya besok. Jangan lupa,
ia juga mesti menghadapi padatnya jam sibuk di kereta. Nyonya, tidakkah Anda sadar betapa banyaknya
kekuatan yang dia butuhkan untuk menanggung itu? Ya ampun, ya ampun, ya ampun.
Kalian masih saling berangkulan erat. Tuan. Tolong lepaskan diri dari tubuh
istri Anda segera, tuan. Seks itu ibarat racun bagi kelas bawah. Anda berdua
mesti berpantang dari kesenangan mubazir seperti itu. Ya ampun. Kalian masih
berdekatan. Ayolah. Cepat, sekarang, cepatlah. Lepas, tolong. Lepaslah.”
Istriku mulai meraung-raung
tak terkendali.
Sampai titik ini, aku tetap
diam dengan kepalaku menunduk sembari rebah di atas istriku. Namun sekarang aku
sudah tidak tahan lagi. Aku bangkit dan mulai berteriak-teriak kepada si pria
berkumis itu. “KAMU INI SIAPA SIH SIALAN, CEBOL BUSUK BERLENDIR!?” jeritku.
Namun kata-kata berikutnya
tak dapat keluar. Otakku tak bekerja baik, akibat lelah dan kurang
gizi—marah-marah pun tak ada gunanya. Aku merasa begitu hina papa tak ada
harganya hingga air mata besar-besar mulai berjatuhan dari mataku. “Atau,
ataukah kamu hendak merebut kesenangan terakhir kami fakir miskin ini?” imbuhku
mengibakan.
Si pria berkumis awalnya
terlonjak, terkejut oleh garangnya nadaku. Namun kini ia berlutut di lantai,
menatapku dengan mata yang merah oleh air mata, dan berucap dengan suara yang
terkendali sempurna: “Tolong bekerja samalah dengan saya.”
“Bekerja sama? Dengan kau?!
Orang cabul keji tukang ngintip macam kau?! Siapa yang minta kau datang dan
memata-matai kami di ranjang? Kubunuh kau!!” Dan kucoba menyambar dia.
“Tunggu. T-Tanaka, Tanaka,
Tanaka nama saya!” ucapnya, melawan diriku dengan pasifnya kedua tangan di
belakang punggungnya.
Seiring dengan diulangnya
matra itu, suaranya memberikan efek hipnotis kepadaku. Sekonyong-konyong
tungkai-tungkaiku terkuras dayanya, sehingga aku tergeletak ke lantai tempatku
tadi berdiri.
“Kalau ini berarti kami harus
begini sengsara,” kataku, “Lebih baik aku tak usah menabung sama sekali. Lebih
baik aku habiskan setiap sen. Lagi pula, mau sebanyak apa pun menabung, kita
tidak akan pernah dapat mengejar naiknya harga rumah.”
Seketika itu, si pria
berkumis melompat dan memekik. “Jangan berkata begitu, tuan!” ucapnya. “Saya
tahu Anda akan mengatakannya cepat atau lambat. Itulah makanya harga-harga
terus naik—akibat orang-orang nyaris putus asa yang menyerah, mengira mereka
tak akan mampu beli rumah! Mereka hamburkan pendapatan yang tak seberapa
berburu barang-barang trendi terkini—dan gaya hidup konsumtif merekalah yang
mendorong naiknya harga dan mengakibatkan perusahan-perusahaan besar mencemari!
Akar segala kejahatan adalah kemewahan yang tak pandang bulu, desakan nafsu terhadap
barang dagangan, kesombongan pekerja upahan yang bagaikan orang minta-minta!
Sudikah Anda merendahkan diri ke taraf mereka?”
Ia terdengar seperti
pejabat pemerintah, pikirku agak
melantur. Namun aku tidak ada tenaga untuk menyangkal dia. Tubuhku kini sungguh
kekurangan energi untuk menantang dia. Aku bahkan tak ada daya lagi untuk
mendengarkan dia.
“Yah, sekarang sudah larut,”
si pria berkumis akhirnya berkata, setelah terus-terusan melabrakku selama
setengah jam penuh. “Tidurlah sekarang, bersiaplah untuk kerja besok. Jangan
banyak pikiran. Baik, tuan?”
Istriku, yang sedari tadi
duduk di kasur mendengarkan ceramah si pria berkumis, sudah tertidur dan
mendengkur tanpa acuh.
Si pria berkumis kembali naik
lewat panel di langit-langit. Aku bayangkan dia merangkak di loteng komunal,
seraya mengamati ke bawah apartemen-apartemen lainnya dan memata-matai para
pasangan lain yang sedang berhubungan seks.
Seakan-akan telah mendapat
pelajaran, istriku tidak pernah lagi berusaha merangsangku saat malam. Sejak
hari itu, dengan jinaknya ia langsung tidur sendiri. Barangkali ia tidak
benar-benar menahan hasratnya tapi telah menemukan cara lain untuk memuaskan
diri. Sebab, jauh dari sikap histeris, matanya selalu menampakkan kilatan puas
seutuhnya. Barangkali ia telah terpuaskan oleh orang lain. Boleh jadi ini
ilusi, karena aku kelaparan sehingga pandanganku kabur. Namun dua atau tiga
kali, saat aku pulang kerja tanpa memberi tahu telebih dahulu, aku melihat
istriku dan si pria berkumis lekas-lekas menjauh dari satu sama lain. Mungkin istriku
berselingkuh dengan dia. Namun aku tak merasa hendak mempersoalkan ini kepada
istriku. Lagi pula, bahkan sekalipun aku betul-betul menemukan istriku sedang
berselingkuh dengan dia—atau dengan pria lain sama sekali—aku tak lagi punya
daya untuk marah. Tak ada pilihan selain berlagak tak tahu. Malah, vitalitas
telah menyelinap pergi dari tubuhku hari demi hari, karena aku tak makan dengan
benar. Bahkan kapasitasku untuk berpikir jernih, menangkap situasi dan
memikirkan arah perkembangannya, mulai menghilang dengan cepatnya.
“Tapi toh,” pikirku tak
keruan, dengan lembamnya dalam benakku yang lemah, “Pria itu memuaskan istriku
demi aku, karena aku sudah tidak punya tenaga. Berkat dia, aku terlepas dari
tuntutan istriku. Aku dapat berangkat kerja tanpa pingsan, sehingga aku dapat
terus bekerja. Bukankah itu baik? Malah semestinya aku berterima kasih
kepadanya!”
Namun suatu hari, si pria
berkumis mendadak berhenti mendatangi kami. Tidak hanya itu, tapi ia mendadak
lenyap dari blok apartemen kami, dari seluruh pemukiman ini.
Baru beberapa hari kemudian
aku menyadari bahwa ia telah mengambil seluruh tabungan dari rekening bank kami
sebelum lenyapnya. Dan kami bukan satu-satunya korban. Keempat belas keluarga
di blok kami mengalami nasib yang sama. Semua telah memercayai, bukan, tidak
pernah meragukan bahwa si pria berkumis telah diutus oleh bank mereka. Mereka
menyerahkan kepadanya buku kuitansi bank, serta menyerahkan uang dan cap
keluarga agar dia dapat mendepositokan gaji mereka ke rekening mereka. Dengan
kata lain, mereka menganggap dia sebagai pegawai bank yang sedang berkeliling.
Dan dia menghilang sehari setelah hari gajian.
Namun setidaknya dia seorang
manusia—setidaknya dia punya semacam hati nurani. Karena dia cukup baik hati untuk
menyisakan sejumlah kecil lima ribu yen di setiap rekening untuk mencukupi
biaya hidup sampai hari gajian berikutnya. Aku jadi merasa baikan. Jumlahnya
sesuai dengan uang belanja kami tiap bulan. Ya! Segitu saja yang kami butuhkan
untuk bertahan sampai hari gajian berikutnya.
Mengerti kan, akan selalu ada
orang lain yang mengambil tabungan yang telah kita kumpulkan dengan
susah payah—entahkah kita punya atau tidak.[]
“Hello! Hello! Hello!” dalam kumpulan cerpen Yasutaka Tsutsui Salmonella men on Planet Porno terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris oleh Andrew Driver, Vintage Books, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar