Jika Anda telah memiliki rumah
dan tidak berniat pindah untuk mengambil bagian dalam ekonomi tanpa uang pada
taraf yang lebih tinggi, maka sebagian paragraf berikut ini tidak akan
berhubungan dengan keadaan Anda dan Anda mungkin ingin melewati bagian ini.
Akan tetapi, jika Anda memang ingin pindah ke sepetak lahan yang tidak dihuni,
untuk menciptakan ekonomi-mikro tanpa uang, maka teruslah membaca bagian ini,
karena hambatan pertama yang akan Anda hadapi adalah izin perencanaan. Saya
telah menyaksikan orang-orang yang tabah menangis ketika kata-kata ini
disebutkan, saking beratnya rintangan satu ini di banyak negara. Mereka yang
telah melalui jalur izin perencanaan dan gagal (biasanya karena mereka
mengambil pendekatan hukum secara langsung) sering kali kehilangan harapan
untuk mencari nafkah dari lahan itu, sementara yang lain merasa kewalahan
sebelum mencoba.
Izin perencanaan adalah salah satu gagasan yang maksudnya terpuji tetapi penerapannya bisa dibilang buruk. Sebelum adanya Undang Undang Perencanaan Kota dan Desa (Town and Country Planning Act) 1947, yang diajukan setelah proyek-proyek kontroversial seperti kota yang sekarang dikenal sebagai Peacehaven (dekat Brighton) menjadi tenar, Anda dapat membangun semau Anda jika Anda memiliki lahannya secara sah. Tak lama setelah diajukan, The Times menggambarkan Undang Undang ini sebagai “nasionalisasi” yang efektif mengenai hak untuk membangun sendiri rumah Anda dari material-material yang ada pada lahan Anda—hak tersebut kini menjadi milik negara, “untuk dilepas hanya berdasarkan pada penilaian politik otoritas lokal”.[1]
Dalam ekonomi
global yang dimonetisasi di mana material dapat diimpor dari seluruh penjuru
dunia dan di mana lahan dipandang sebagai komoditas untuk mengeruk keuntungan, saya
sepenuh hati setuju dengan pengarang dan juru kampanye lahan Simon Fairlie[2]
bahwa diperlukan suatu peraturan untuk melindungi petak-petak yang sangat luas
di pedalaman agar tidak diubah menjadi pembangunan properti oleh mereka yang
berdaya finansial. Sisi negatifnya adalah, sebagaimana lazimnya lembaga publik
yang terpusat, Inspektorat Perencanaan berjalan menurut denominasi umum
terendah, yang mencurigai setiap orang hendak mencoba untuk menipu mereka serta
mengambil keuntungan dari sistem tersebut, yang mana biasanya memang
demikianlah yang terjadi dalam ekonomi moneter ini. Artinya, siapa saja yang
ingin memenuhi apa yang saya yakini merupakan hal terdekat pada hak asasi
manusia yang alamiah yang kita miliki—yaitu kesempatan untuk membuat sarang
sendiri serta bercocok tanam untuk diri sendiri serta masyarakat
sekitar—mendapati bahwa hampir mustahil untuk mewujudkannya, karena sistem
perencanaan yang dirancang untuk melindungi pedalaman dari semua manusia,
bahkan yang sekadar ingin menyuburkannya.
Jika kita
hendak berbuat lebih dari sekadar basa-basi atas “gagasan-gagasan bagus”
seperti keberlanjutan dan kebebasan, maka langkah awal yang krusial adalah
membuat pembedaan di dalam sistem perencanaan untuk memisahkan yang
mengeksploitasi dari yang menyuburkan. Karena kebutuhan akan sistem serupa itu
sebagian besar berasal dari kenyataan bahwa material sekarang bisa diimpor dari
seluruh penjuru dunia (yang difasilitasi oleh uang), saya berpendapat bahwa
jawabannya pun terletak di sana.
Kapanpun kita
melihat rumah-rumah yang baru dibangun di pedalaman, rumah-rumah itu terlihat
menyerupai titik noda di atas pemandangan alam; bukan, rumah-rumah itu memang
titik noda di atas pemandangan alam. Alasannya bukan sekadar karena rumah-rumah
itu bukanlah, atau tidak akan pernah menjadi, bagian dari lanskap tersebut.
Rumah yang dibuat dari material-material setempat, oleh kedua tangan
penghuninya sendiri, merupakan sanjungan bagi kawasan pedesaan, memberinya
sentuhan manusia, dengan cara yang sama seperti sarang burung tak mengambil apa
pun dari pohon tetapi semata menambah kompleksitas dan keindahan alam. Tak
seorang pun yang pernah melihat sebuah pondok jerami dari batu tua di antara
kebun berisi pohon-pohon apel, pir, dan prem pernah mengungkapkan kepada saya
bahwa mereka merasa habitat serupa itu merupakan titik noda pada pemandangan
alam. Rumah yang dibuat dari material setempat serupa itu meramaikan kawasan
pedesaaan, menjadikannya sebuah tempat yang sangat sehat penuh akan kehidupan
dan kelimpahan, alih-alih menjadi destinasi wisata sebagaimana adanya sekarang
bagi para penduduk kota yang tertekan, yang menghendaki istirahat yang sangat
dibutuhkan dari ketegangan hidup di perkotaan serta konsumerisme tanpa
hubungan. Karena itulah siapa saja yang mampu membangun rumah sendiri—seratus
persen—dari material di lahan mereka (atau di sekitar lahan tersebut) mestinya
diizinkan.
Rumah-rumah
buatan sendiri tidak hanya menyempurnakan kawasan pedesaan serta
meremajakannya, tetapi juga mendorong lahan-lahan garapan kecil yang
memperbaiki taraf kemandirian bangsa, menggenjot aktivitas ekonomi lokal
(idealnya bukan secara finansial) di kawasan pedesaan.[3]
Rumah-rumah ini juga bisa saja menjurus kepada reforestasi, karena kayu
produksi lokal pastilah akan menjadi material bangunan yang banyak dicari oleh
mereka yang ingin kembali hidup bersama alam tetapi kekurangan material
bangunan yang memadai.
Bila pegawai
perencana juga hendak melindungi kawasan pedesaan dari lalu lintas berlebihan,
suatu persoalan yang saya dukung, mereka yang mau bermukim di kawasan pedesaan
di bawah pengajuan untuk rumah yang sepenuhnya terlokalisasi dapat juga
dimintai untuk menandatangani semacam kesepakatan yang tidak memperkenankan
mereka membawa mobil ke kawasan itu sebagai bagian dari rencana tersebut (tidak
adanya kemudahan transportasi juga dapat mendorong mereka yang tinggal di sana
untuk menjadi sepenuhnya mandiri). Kombinasi ini akan memisahkan gandum dari
kulitnya, karena rumah-rumah yang seperti itu akan kurang menarik bagi para
pengembang, tetapi sangat memikat bagi mereka yang sungguh-sungguh mau hidup
secara subsisten juga yang, pada dasarnya menurut nilai-nilai mereka, cenderung
berpendapatan sangat rendah. Desa-desa kecil ramah lingkungan—tempat di mana
orang dapat bercocok tanam untuk kebutuhan sendiri berikut masyarakat di
sekitar mereka, dengan memanfaatkan secara optimal skala ekonomi dan divisi
tenaga kerja yang akan datang dengan pengaturan seperti itu—dapat bertumbuh
dalam keadaan seperti itu. Perubahan dalam panduan perencanaan ini dapat
menjadi dasar bagi dimulainya redesain masyarakat Inggris menjadi model ekonomi
yang sepenuhnya terlokalisasi.
Tak dapat
disangkal, pembatasan seperti itu tidak menyediakan banyak pilihan material
bagi bakal pemilik rumah, dan akan lebih sulit juga untuk melakukan perjalanan
ke kota-kota di sekitarnya. Namun itulah tujuannya: jika Anda sungguh-sungguh
ingin tinggal di pedalaman, Anda mesti siap untuk betul-betul tinggal di
pedalaman, yang bukan dengan memasukkan berbagai material impor ke pedalaman
itu. Jika Anda tidak dapat membangun rumah dari material yang ada di sekitar
serta hidup di sana sebagai bagian dari ekosistemnya, maka boleh diperdebatkan
bahwa Anda tidak lagi memiliki hak asasi untuk tinggal di sana. Mengimpor barang
dari empat penjuru dunia, dan memiliki mobil, tidaklah termasuk hak asasi
manusia.
Walaupun saya
memercayai bahwa kita semua perlu mendukung organisasi-organisasi seperti
Chapter 7[4]
dalam mengkampanyekan perubahan terhadap sistem regulasi perencanaan dan
bangunan, realitasnya keadaan tidak akan segera berubah secara signifikan,
malah kemungkinannya tidak akan ada perubahan hingga situasi keuangan atau
ekologis memburuk sedemikian parahnya sehingga kita tidak akan punya pilihan
selain menciptakan kisahan baru yang relevan dengan zaman. Oleh sebab itu, jika
sekarang Anda memiliki lahan, atau merencanakan untuk memperolehnya, dan Anda
hendak membangun hunian berdampak rendah (low impact dwelling/LID) (atau
lebih baik lagi yang berdampak positif), Anda mestilah mengatasi persoalan ini
bagaimanapun caranya. Ada dua cara utama yang terbuka bagi Anda.
Cara pertama,
yang cukup memikat, adalah langsung saja membangun hunian berdampak rendah itu,
jangan menarik perhatian, idealnya tersembunyi dari segala pandangan (contohnya
di dalam hutan), dan berharap saja tak seorang pun akan melihat Anda dan/atau
mengajukan keluhan. Jika Anda mendapat kunjungan dari pegawai perencana
setempat, maka (di Inggris, pada waktu ini ditulis) Anda dapat mengajukan izin
perencanaan retroaktif. Jika Anda bermaksud mengambil rute ini (ataupun cara
yang kedua nanti), saya sangat merekomendasikan membaca buku Simon Fairlie, DIY
Planning Handbook. Chapter 7 juga memberikan advis secara gratis lewat
telepon[5]
bagi siapa saja yang memerlukannya, tetapi mereka merekomendasikan agar membaca
buku pedoman tersebut terlebih dahulu karena mereka tidak memiliki waktu atau
sumber daya untuk menjelaskan segala perinciannya kepada setiap orang yang
menelepon dengan fantasi erotis untuk menjalani Kehidupan Baik ala Tom dan
Barbara.[6]
Rute
retroaktif ini telah diambil oleh banyak komunitas yang berniat (contohnya
komunitas Steward Wood di Devon dan Tinkers Bubble di Somerset) serta para
pegiat gerakan swadaya, dan umumnya relatif sangat berhasil walaupun mesti
ditebus dengan banyak energi, stres, dan sering kali uang.
Cara kedua adalah mengajukan izin perencanaan di muka.
Keuntungannya adalah lebih terbuka dengan para perencana serta masyarakat setempat
(yang kebutuhannya perlu banyak dipertimbangkan), risikonya lebih kecil (jika
Anda membangun tanpa izin, rumah Anda dapat dirobohkan/dipindahkan dengan biaya
yang harus dibayarkan), dan berpotensi untuk membukakan jalan bagi preseden
dalam panduan perencanaan yang mana dapat mempermudah orang-orang setelah Anda.
Menemukan sekutu yang baik dapat menjadi langkah awal yang krusial. Satu
kemungkinannya adalah Ecological Land Cooperative[7],
organisasi baru yang tengah bekerja untuk menyediakan kesempatan bagi petani
penggarap berwawasan ekologis, di samping menyuarakan absurditas sistem
perencanaan.
Kabar baiknya
adalah seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan isu-isu
keberlanjutan, pegawai perencanaan menjadi lebih terbuka terhadap proyek-proyek
yang dinilai tinggi dalam hal sasaran keberlanjutan dewan setempat serta
memiliki jejak karbon yang kecil. Lammas[8],
proyek gaya hidup ekologis di Wales, baru-baru ini berhasil dalam sebuah perkara
yang menjadi tonggak bersejarah di mana—dengan memanfaatkan kebijakan
perencanaan Pembrokeshire, yaitu Kebijakan 52, yang mengambil pendekatan baru
terhadap pembangunan berkelanjutan di pedesaan—secara efektif menggiring Pemerintah
Majelis Wales untuk mengeluarkan kebijakan nasional bertajuk One Planet Development
(OPD). Kebijakan ini merupakan pernyataan maksud dari masyarakat beserta
pemerintah Wales, serta bagian dari komitmen “untuk mengurangi jejak ekologis
setiap warga Wales dari 4,44 ke 1,88 hektar global[9]/orang
… dalam satu generasi.”[10]
Hasil dari kebulatan tekad dan pencangkokkan yang dilakukan Lammas mengandung
arti bahwa mengajukan izin perencanaan untuk hunian berdampak rendah di Wales,
pada waktu ini ditulis, jauh lebih bijaksana, bebas hambatan, serta menarik
hati daripada di selebihnya wilayah Inggris. Lainnya, seperti Tony Wrench dan
Brithdir Mawr, juga telah berhasil melalui Kebijakan 52 Pembrokeshire, dan
dengan demikian merintis jalan yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain.
Jika Anda
belum memiliki lahan tetapi bertekad untuk hidup tanpa uang, cara lainnya
adalah tinggalkan saja negara Anda (dengan anggapan bahwa di situ diperlukan
izin perencanaan untuk tipe hunian yang Anda kehendaki) ke negara lain di mana
izin perencanaan tidak, atau tidak teramat, menjadi masalah sebagaimana di
tempat Anda bermukim sekarang. Di Yunani, misalnya, tidak ada izin perencanaan
yang diperlukan untuk hunian yang secara konvensional dianggap sementara,
contohnya yurt, yang berarti Anda bisa langsung menciptakan ekonomi-mikro
tanpa uang Anda sendiri. Mengingat keadaan ekonomi-makro Yunani, boleh jadi
Anda tidak sendiri. Sekelompok warga Yunani bernama Free and Real[11],
yang terlibat erat dengan Freeconomy Yunani juga yang dengan mana saya tinggal selama musim panas
2011 di utara Evia, telah menjalani proses melakukan itu, mendirikan proyek
yang sangat bersesuaian dengan cita-cita yang disanjung dalam buku
ini. Dalam proses tersebut, mereka tengah meneliti dan menguji solusi yang
manfaatnya kekal bagi penduduk negara mereka dalam jangka waktu yang tidak
terlampau jauh. Proyek-proyek serupa itu akan tak terhingga nilainya bila tiba
waktunya lokalisasi menjadi keharusan dalam ekonomi, dan bukanlah alternatif
sinting sebagaimana yang dipersepsikan sekarang.
Dengan satu
atau lain cara, kita harus berhenti memercayai kisahan bahwa manusia terpisah
dari Alam, dan memberi kembali diri kita hak yang sama sebagaimana yang kita
berikan kepada burung dan lebah, selama kita menerima tanggung jawab untuk
hidup dalam batasan-batasan alam yang menyertainya.
[1] Rosen, Nick (2007). How to Live Off-grid.
Bantam. Edisi ketiga. p.31.
[2] Pengarang Low Impact Development: Planning and
People in a Sustainable Countryside.
[3] Laporan Ecological Land Coop, ‘Small is successful’.
www.ecologicalland.coop/projects-small -successful
[4] http://tlio.org.uk/chapter7/
[5] Untuk memperoleh kopi DIY Planning Handbook, atau
advis perencanaan gratis dari Chapter 7, kunjungi www.
tlio.org.uk/chapter7/planningadvice
[6] Serial komedi situasi Inggris tahun ’70-an mengenai
sepasang suami istri yang menjalani kehidupan swadaya
https://en.wikipedia.org/wiki/The_Good_Life_(1975_TV_series)
[7] Informasi lebih lanjut mengenai Ecological Land
Cooperative, kunjungi https://ecologicalland.coop/
[8] Informasi lebih lanjut mengenai Lammas, kunjungi https://lammas.org.uk/en/welcome-to-lammas/
[9] Unit pengukuran jejak ekologis https://en.wikipedia.org/wiki/Global_hectare
[10] Sugden, Chrissie (2011).
‘How To Get Planning Permission on Non-Development Land’. www.permaculture.co.uk/articles/how-get-planning-permission-non-development-land
[11] Informasi lebih lanjut mengenai Free and Real, kunjungi https://www.freeandreal.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar