Seorang lelaki muda nan pucat menurunkan tubuhnya dengan
hati-hati di kursi. Kepalanya bergulir ke samping. Ademnya kain cita
membuat pelipis dan dagunya terasa nyaman.
“Aduh,” ucapnya. “Aduh, aduh, aduh. Duh.”
Seorang perempuan bermata jernih dengan ringannya duduk
tegak di sofa. Tersenyum cerah pada lelaki itu.
“Lagi kurang enak badan ya?” ujarnya.
“Oh, aku baik-baik saja,” kata lelaki itu. “Bukan main baiknya,
aku ini. Tahu jam berapa aku bangun? Jam empat sore ini, pas. Aku berusaha
untuk tetap bangun. Dan setiap kali aku mengangkat kepala dari bantal, malah
oleng lagi ke bawah kasur. Seperti bukan kepalaku saja. Kukira ini yang biasa
dirasakan oleh para penyair. Aduh, aduh, aduh.”
“Mungkin minuman bisa membuatmu baikan?” tanya perempuan itu.
“Sakit kepala yang menyerangku?” ujar lelaki itu. “Oh, tidak,
terima kasih. Tolong jangan pernah membicarakan itu lagi. Aku sudah selesai.
Aku sungguh-sungguh, sungguh-sungguh selesai. Lihat tangan ini; gemetaran
seperti burung kecil. Beritahu aku, apa aku buruk sekali semalam?”
“Duh, Tuhan,” kata perempuan itu, “setiap orang juga rada mabuk. Kamu
baik-baik saja.”
“Ya,” ujar lelaki itu. “Tentunya aku baik-baik saja.
Apakah orang-orang marah padaku?”
“Ya ampun, tidak,” kata perempuan
itu, “Mereka pikir kamu sangat lucu. Memang Jim Pierson agak tegang, sebentar saja waktu makan malam. Tapi orang-orang
menariknya lagi ke kursinya, dan menenangkannya. Kupikir orang-orang di meja
lain tidak memerhatikan itu. Hampir semuanya.”
“Dia mau memukulku?” tanya
lelaki itu. “Oh, Tuhan. Apa yang sudah kulakukan padanya?”
“Duh, kamu tidak melakukan
apa-apa,” kata perempuan itu. “Sungguh kamu baik-baik saja. Tapi kamu tahu kan
betapa konyolnya Jim itu, waktu dia pikir orang-orang sudah keterlaluan
menggoda Elinor.”
“Apakah aku merayu Elinor?” tanya
lelaki itu. “Apakah aku melakukannya?”
“Tentu saja tidak,”
kata perempuan itu. “Kamu hanya bercanda, itu saja. Dia pikir kamu sangat
lucu. Dia sangat-sangat senang. Hanya sempat dia agak sedikit jengkel, ketika
kamu menumpahkan cairan remis ke bawah punggungnya.”
“Tuhanku,” ujar lelaki itu. “Cairan remis ke bawah punggung.
Dan setiap tulang di punggungnya menunjukkan keningratannya[1]. Ya Tuhan. Apa
yang harus kulakukan?”
“Oh, dia akan baik-baik saja,” kata perempuan itu.
“Kirimkan saja dia bunga, atau sesuatu. Jangan cemaskan itu. Itu bukan apa-apa.”
“Tidak, aku tidak akan cemas,” ujar lelaki itu. “Aku tidak
peduli. Aku punya uang. Aduh, aduh. Apakah aku melakukan hal lain yang menarik
perhatian waktu makan malam?”
“Kamu baik-baik saja,” kata perempuan itu. “Jangan terlalu
konyol ah. Semua orang tergila-gila padamu. Kepala pelayannya sedikit khawatir karena kamu tidak mau berhenti menyanyi,
tapi dia tidak betul-betul keberatan. Yang dia katakan hanya, dia takut mereka
harus menutup tempat itu lagi, kalau terlalu berisik. Tapi dia tidak peduli
sedikitpun, dia sendiri. Kukira dia suka melihatmu bersenang-senang. Oh, kamu
terus saja bernyanyi, di sana, sekitar sejam. Tidak terlalu berisik kok, sama
sekali.”
“Jadi aku menyanyi,” ucap
lelaki itu. “Mestinya itu menyenangkan. Aku menyanyi.”
“Tidakkah kamu ingat?” tanya
perempuan itu. “Kamu menyanyikan lagu demi lagu. Semua orang di sana
mendengarkan. Mereka menyukainya. Hanya saja kamu terus memaksa untuk
menyanyikan lagu tentara atau semacam itu[2], dan orang-orang terus
berusaha mendiamkanmu, dan kamu tetap mencoba untuk menyanyi lagi. Kamu bagus
sekali. Kami semua berusaha untuk membuatmu berhenti menyanyi sebentar saja,
dan makan sesuatu, tapi kamu tidak mau mendengarnya. Astaga, kamu menggelikan.”
“Apakah aku menyantap makan malamku?” tanya lelaki itu.
“Oh, tidak sama sekali,” kata perempuan itu. “Tiap kali pelayan
menawarkanmu sesuatu, kamu berikan lagi kepadanya, karena kamu bilang dia
adalah saudaramu yang telah lama hilang, ditukar sewaktu dalam buaian oleh sekelompok gipsi, dan yang kamu miliki tinggal
dia. Kamu hanya membuatnya menertawakanmu.”
“Taruhan aku memang melakukannya,” ujar lelaki itu. “Taruhan
aku menggelikan. Penghibur Masyarakat, aku ini
mestinya. Dan apa yang terjadi setelahnya, setelah kesuksesanku yang besar itu
dengan si pelayan?”
“Ah, tidak banyak,” kata perempuan itu. “Kamu agak tidak
disenangi oleh kakek-kakek berambut putih, duduk di seberang ruangan, karena
kamu tidak suka dasinya dan kamu ingin memberitahu dia. Tapi kami membawamu
keluar, sebelum dia benar-benar marah.”
“Oh, kita keluar,” ujar lelaki itu. “Apakah aku bisa
jalan?”
“Jalan? Tentu saja kamu bisa,” kata perempuan itu. “Kamu
sungguh baik-baik saja. Ada sebongkah es kotor di pinggir jalan, dan kamu
tergelincir dengan sangat keras, malangnya dirimu. Tapi ya Tuhan, itu bisa
terjadi pada siapa saja.”
“Oh, pastinya,” ujar lelaki itu. “Nyonya Hoover atau siapalah.
Jadi aku jatuh di pinggir jalan. Itu sebabnya kenapa—Ya. Aku tahu. Dan terus
bagaimana, kalau boleh tahu?”
“Ah, sekarang, Peter!” kata perempuan itu. “Kamu tidak
bisa duduk di sini dan bilang kamu tidak ingat apa yang terjadi setelah itu!
Aku sungguh mengira mungkin kamu hanya sedikit mabuk waktu makan malam, oh,
sungguh kamu baik-baik saja, dan hanya itu, tapi aku sungguh tahu kamu cukup
senang. Tapi kamu sangat serius, dari sewaktu kamu jatuh—aku tidak pernah
mengira kamu bisa seperti itu. Tidakkah kamu tahu, bagaimana kamu
memberitahuku bahwa aku tidak pernah melihat dirimu yang sebenarnya? Oh,
Peter, aku tidak bisa menanggungnya, kalau kamu tidak ingat perjalanan panjang
nan indah yang kita lalui dengan taksi itu! Tolonglah, kamu sungguh
mengingatnya, kan? Kalau tidak, rasanya aku bisa mati.”
“Oh, ya,” kata lelaki itu. “Perjalanan dengan taksi. Oh,
ya, tentu. Perjalanan yang cukup panjang, hmm?”
“Berputar dan berputar dan berputar mengelilingi taman,”
kata perempuan itu. “Oh, dan pohon-pohon bersinar di bawah cahaya bulan. Dan
kamu bilang kamu tidak pernah menyadari sebelumnya bahwa kamu benar-benar
bergairah.”
“Ya,” ujar lelaki itu. “Aku mengatakannya. Itu aku.”
“Kamu mengatakan hal yang sangat-sangat indah,” kata perempuan
itu. “Dan aku tidak pernah menyangka, selama ini, apa yang kamu rasakan padaku,
dan aku tidak pernah berani untuk membiarkan dirimu tahu bagaimana perasaanku
padamu. Dan lalu semalam—oh, Peter sayang, kupikir perjalanan dengan taksi itu
adalah hal terpenting yang pernah terjadi pada kita, dalam hidup kita.”
“Ya,” ujar lelaki itu. “Aku kira begitulah semestinya.”
“Indah kan?” kata perempuan itu.
“Ya,” ujar lelaki itu. “Hebat.”
“Indah!”
“Begini,” ujar lelaki itu, “boleh tidak aku minum?
Maksudku, hanya untuk memulihkan saja, tahu kan. Aku tidak sanggup lagi, jadi
tolong aku. Rasanya aku bakal jatuh nih.”
“Oh, aku rasa itu akan membuatmu baikan,” kata perempuan
itu. “Kamu bocah malang, memalukan kamu sampai merasa begitu. Aku akan
membuatkanmu campuran wiski dengan soda dan es.”
“Sejujurnya,” ujar lelaki itu. “Aku heran bisa-bisanya
kamu masih mau bicara padaku lagi, setelah aku memperolok-olok diriku sendiri,
semalam. Kupikir sebaiknya aku bergabung dengan para biarawan di Tibet.”
“Kamu idiot gila!” kata perempuan itu. “Seolah aku akan membiarkanmu
pergi saja sekarang! Berhenti bicara seperti itu. Sungguh kamu baik-baik saja.”
Perempuan itu melonjak dari sofa, mengecup dahi lelaki itu
dengan cepat, dan keluar dari ruangan.
Lelaki muda nan pucat itu mengawasi kepergian perempuan
itu. Lama ia mengguncang kepalanya dengan lambat, lalu melabuhkannya ke
tangannya yang lembap dan gemetaran.
“Aduh,” ucapnya. “Aduh, aduh, aduh.”[]
[1] “And every vertebra a
little Cabot.” Cabot adalah nama keluarga yang secara sosial terpandang di
Boston.
[2] Fusiliers, sebutan untuk tentara
yang tergabung dalam resimen tertentu di Inggris. Lagu yang dimaksud bersifat
ofensif khususnya secara seksual.
Alih bahasa dari cerpen Dorothy Parker, “You Were Perfectly Fine” (1929)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar