*
Akibatnya, aku tidak usah lagi mencari
wanita itu. Ia yang menemukanku. Begitu sampai di restoran itu, aku berkeliling
sebentar, mencari-cari topi warna merah. Tidak ada wanita yang memakai topi
warna merah. Jam tanganku menunjukkan pukul empat kurang sepuluh menit. Aku pun
mengambil tempat duduk, meminum air yang dibawakan untukku, dan memesan
secangkir teh. Tidak lama setelah pramusaji meninggalkan mejaku, aku mendengar
seorang wanita di belakangku berkata, “Anda pasti Bapak Toru Okada.” Kaget, aku
pun berbalik. Belum juga tiga menit sejak aku meninjau ruangan itu. Di balik
jaketnya yang putih, ia mengenakan blus sutra berwarna kuning, dan topi vinil
merah pada kepalanya. Refleks aku berdiri dan menghadapnya. “Cantik” sepertinya
kata yang sangat pas untuk dirinya. Setidaknya ia jauh lebih cantik daripada
yang kubayangkan dari suaranya di telepon. Tubuhnya ramping dan indah,
sementara dandanannya tipis saja. Ia tahu caranya berpenampilan—kecuali untuk
topi merahnya itu. Jahitan pada jaket dan blusnya tampak halus. Pada kerah
jaketnya berpendar sebuah bros emas yang berbentuk bulu. Penampilan selebihnya
sih tampak mewah, tapi aku tidak mengerti kenapa ia mesti melengkapinya dengan
topi vinil merah yang tidak pas itu. Mungkin saja ia selalu mengenakannya untuk
memudahkan orang mengenalinya dalam situasi seperti ini. Kalau begitu sih itu
bukan gagasan yang buruk. Kalau tujuannya supaya terlihat menonjol dalam
ruangan yang penuh orang tak dikenal begini, gagasan itu sudah pasti berhasil.