“Persetan dengan kematian,” kata ayahku.
“Anak-anak ini menginginkan Mr. Sweet!”
Mr. Sweet seorang pengidap diabetes,
alkoholik, dan pemain gitar. Ia tinggal di ujung jalan dari rumah kami, di
sebuah ladang kapas yang telantar. Kakak-kakakku yang paling beruntung
dengannya. Mereka mampu menjemputnya kembali dari ambang kematian berkali-kali—kapan
pun suara ayahku menggapai-gapainya yang sedang terbaring sekarat. “Persetan
dengan kematian, bung,” ayahku akan berkata, sambil mendorong istri Mr. Sweet
menjauh dari sisi pembaringan. (Istrinya itu berurai air mata walaupun ia tahu
bahwa kematian bukanlah penghabisan kecuali Mr. Sweet benar-benar
menginginkannya.) “Anak-anak ini menginginkan Mr. Sweet!” Mereka benar-benar
menginginkannya. Begitu ada isyarat dari Ayah, mereka akan mengerubungi tempat
tidur dan menghamburkan diri ke selimut. Siapa pun anak yang paling kecil pada
waktu itu akan menciumi seluruh wajahnya yang cokelat keriput, dan menggelitiki
perutnya sampai ia tertawa. Kumisnya yang panjang dan terjurai akan
bergoyang-goyang seperti lumut Spanyol, dan memang begitulah warnanya.
Mr. Sweet sudah ambisius ketika masih
anak-anak. Ia ingin menjadi dokter, pengacara, atau pelaut, hingga menyadari
bahwa pria kulit hitam lebih mudah bepergian apabila tidak menjadi salah satu
di antaranya. Karena keinginannya tidak ada yang sampai, ia memilih pemancing
sebagai satu-satunya karier yang ia tekuni sungguh-sungguh, dan bermain gitar
sebagai satu-satunya hak yang ia miliki untuk bersenang-senang sepuasnya.
Putranya, satu-satunya anak yang dimiliki oleh dirinya dan istrinya, Miss Mary,
malas bekerja dan suka menghabiskan uang. Mr. Sweet menyebutnya si tangan licin.
Bagaimanapun juga, Miss Mary memanjakan “bayi”-nya itu, dan bekerja keras untuk
memenuhi “kebutuhan kecil” anaknya.
Mr. Sweet bertubuh jangkung dan kurus.
Rambutnya kusut beruban. Kulitnya cokelat gelap. Matanya juling dan kebiruan.
Ia mengunyah tembakau Brown Mule. Ia hampir selalu mabuk berat. Ia membuat sendiri
minumannya dan sama sekali bukan orang yang pelit. Ia selalu tampak sangat
melankolis dan sedih, walau sering kali ketika sedang “merasa baikan” ia akan
berjoget di halaman bersama kami, lalu terjungkal sampai ibu kami datang dan
melihat ada keributan apa.
Ia sangat baik pada kami semua,
anak-anak, dan tidak seperti orang dewasa pada umumnya, ia pemalu. Ia sangat
menghormati ibuku karena tidak pernah menegurnya ketika mabuk, dan membiarkan
kami bermain dengannya meskipun ia nyaris ambruk di perapian akibat minum-minum.
Meskipun Mr. Sweet kadang tidak bisa atau hampir tidak bisa mengendalikan
kepala dan lehernya sehingga ia cuma bisa bersandar di kursi, entah kenapa
pikirannya masih tajam dan itu pun tidak begitu memengaruhi perkataannya.
Kemampuannya mabuk dan tenang pada waktu bersamaan menjadikannya teman bermain
yang ideal, selama kami masih bisa nyambung saat bercakap dengannya. Ia sama
lemahnya dengan kami dan kami selalu bisa mengalahkannya ketika bergulat.
Kami tidak pernah menyadari usia Mr.
Sweet selama bermain dengannya. Kami suka keriputnya, dan akan menggambari
kening kami supaya mirip dengannya. Rambutnya yang putih menjadi harta karunku
yang istimewa, dan ia mengetahuinya, sehingga ia tidak akan mengunjungi kami
sehabis potong rambut di tukang cukur. Pernah ia ke rumah kami untuk suatu
urusan, mungkin untuk menemui ayahku soal pupuk untuk tanamannya. Walau ia
tidak pernah sedikit pun memerhatikan tanamannya itu, ia tetap ingin tahu cara
perawatan yang terbaik kalau-kalau suatu saat ia ingin. Bagaimanapun juga, ia
dan rambutnya itu tidak kelihatan sejak ia memangkasnya di tukang cukur.
Ia mengenakan topi jerami besar untuk melindungi kepalanya dari sengatan
matahari, dan juga supaya tidak terlihat olehku. Tapi begitu aku melihatnya,
aku berlari serta minta digendong dan dicium dengan janggutnya yang lucu dan
berbau tembakau kuat sekali. Aku mengangkat topinya karena tidak sabar untuk
mengubur jari mungilku ke rambutnya yang seperti wol, dan mendapati kalau
rambut itu tidak seperti biasanya—sudah tidak ada lagi! Aku pun menangis sambil
berteriak-teriak sampai ibuku kira Mr. Sweet telah menjatuhkanku ke dalam sumur
atau apa. Sejak hari itu, aku jadi awas dengan pria bertopi. Bagaimanapun juga,
tidak lama setelahnya, Mr. Sweet mucul dengan rambutnya yang sudah memamjang,
yang sama putih, kusut, dan sulit disusupi sebagaimana sebelumnya.
Mr. Sweet suka menyebutku seorang putri,
dan aku mempercayainya. Ia membuatku merasa cantik pada usia lima-enam tahun,
dan sangat hancur pada usia delapan setengah tahun yang bergejolak. Ketika ia
mampir ke rumah kami dengan gitarnya, semua anggota keluarga akan
menghentikan apa pun yang sedang mereka kerjakan lalu duduk mengelilinginya dan
mendengarkan permainannya. Ia senang memainkan lagu “Sweet Georgia Brown”,
kadang ia memanggilku demikian. Ia juga suka memainkan “Caldonia” dan segala
macam lagu yang manis, sedih, dan mengagumkan yang kadang ia karang sendiri.
Salah satu lagunya yang kudengar adalah tentang keharusannya menikahi Miss Marry
ketika sebenarnya ia mencintai orang lain (yang sekarang tinggal di Chi-ca-go,
atau De-stroy, Michigan). Ia tidak yakin bahwa Joe Lee, “bayi” istrinya itu,
adalah bayinya juga. Kadang ia menangis dan itu tanda bahwa dirinya sekarat
lagi. Maka kami pun akan bersiap-siap. Kami yakin akan diminta datang.
Aku berusia tujuh tahun kali pertama aku
ingat betul partisipasiku dalam salah satu “kebangkitan kembali” Mr. Sweet.
Orang tuaku bilang sebenarnya aku sudah pernah berpartisipasi sebelumnya. Sejak
itu akulah yang terpilih untuk menciumnya dan menggelitikinya, lama sebelum aku
mengetahui tata cara pemulihan Mr. Sweet. Ia datang ke rumah kami, beberapa
tahun setelah kematian istrinya, dan tampak sangat sedih. Ia juga sangat mabuk,
seperti biasanya. Ia duduk di lantai di dekatku dan abangku. Anak-anak lainnya
telah dewasa dan tinggal di tempat lain. Ia mulai memainkan gitarnya dan
menangis. Aku merengkuh kepalanya yang rimbun dengan lenganku, dan berharap aku
telah cukup tua untuk menjadi wanita yang ia amat cintai dan tidak pernah
hilang dari sisinya selama bertahun-tahun.
Ketika ia sudah pergi, ibuku bilang
bahwa sebaiknya kami tidur cepat malam itu. Kami mungkin harus menjenguk Mr.
Sweet sebelum siang. Kami pun patuh. Tidak lama setelah kami tidur, salah satu
tetangga mengetuk pintu kami, memanggil ayahku, dan berkata bahwa kondisi Mr.
Sweet merosot drastis. Kalau ayahku ingin menyampaikan kata-kata perpisahan
sebelum Mr. Sweet berpindah alam, ia sebaiknya bergegas. Semua tetangga sudah
tahu supaya datang ke rumah kami tiap kali ada masalah dengan Mr. Sweet, tanpa menyadari
betapa kami selalu siap untuk memulihkannya, atau sedikitnya menghentikan
sekaratnya, karena ia sudah begitu sering berdekatan dengan kematian. Ketika
kami mendengar kabar itu, kami pun bangun dan berganti pakaian. Buru-buru kami
keluar dari rumah dan meluncur di jalan. Kami takut kalau-kalau kami terlambat
dan Mr. Sweet sudah kelewat lelah menenggang waktu.
Begitu sampai di rumahnya, tepatnya
sebuah gubuk yang sangat mengenaskan, kami mendapati ruang depan dipenuhi
tetangga dan kerabat. Seseorang menyambut kami di pintu dan mengatakan, betapa
menyedihkannya Mr. Sweet Little tua itu dan ia sudah hampir meninggal. (Little
adalah nama keluarga Mr. Sweet, tapi kami sering mengabaikannya). Orang tuaku
diberi tahu untuk tidak membawa aku dan abangku ke “ruang kematian”, mengingat
kami masih kecil dan sebagainya. Tapi kami sudah sangat biasa dengan ruang
kematian dibandingkan orang itu, sehingga kami tidak mengacuhkannya dan berlari
masuk tanpa mengindahkan peringatannya. Aku hampir menangis. Keadaannya yang
sekarat membuatku kacau. Memikirkan betapa ini sangat bergantung pada diriku
dan abangku (yang biasanya begitu payah) membuatku sangat gugup.
Dokter sedang membungkuk ke arah ranjang
dan berbalik ke arah kami untuk memberi tahu kami, untuk sedikitnya yang
kesepuluh kali dalam sejarah keluargaku, kalau, aduh, Mr. Sweet Little tua
sedang sekarat, dan anak-anak tidak dianjurkan untuk melihat wajah orang yang
sedang mengalami proses kematian. (Aku tidak tahu apa maksudnya, tapi apa pun
itu, Mr. Sweet tidak begitu!) Serta-merta ayahku mendorong pria itu, seperti
yang selalu dilakukannya, dan berucap keras-keras supaya Mr. Sweet bisa
mendengarnya, “Persetan dengan kematian, bung, anak-anak ini menginginkan Mr.
Sweet”—sebagai tanda bagiku untuk menghamburkan diri ke ranjang dan menciumi
Mr. Sweet mulai dari jambangnya, bagian bawah matanya, sampai kerah baju
tidurnya yang menguarkan macam-macam aroma, terutama obat gosok.
Aku sangat lihai dalam mengembalikan
kesadarannya. Ketika aku melihat ia berusaha membuka matanya, aku tahu ia akan
baik-baik saja, dan berakhirlah upayaku membangkitkannya kembali. Ketika
matanya terbuka, ia akan mulai tersenyum dan dengan begitu aku tahu bahwa aku
sudah pasti berhasil. Meski begitu, aku pernah sangat ketakutan karena matanya
tidak membuka. Kemudian aku tahu bahwa ia mengalami stroke sehingga salah satu
sisi wajahnya menjadi kaku dan susah digerakkan. Ketika ia mulai tersenyum, aku
bisa menggelitikinya betulan. Aku yakin ia tidak akan kenapa-kenapa lagi berkat
tawanya itu, walau ia pernah mulai terbatuk-batuk keras sampai hampir
melontarkanku dari perutnya. Tapi itu ketika aku masih sangat kecil, cuma
sedikit lebih besar daripada bayi. Rambutku yang lebat mengenai hidungnya.
Begitu kami yakin bahwa ia bisa
mendengarkan kami, kami akan menanyainya, kenapa ia di pembaringan, kapan ia
mengunjungi kami lagi, atau bolehkah kami memainkan gitarnya meski kemungkinan
besar itu cuma akan disandarkan pada tempat tidurnya. Matanya akan berembun dan
kadang ia akan menangis keras-keras. Tapi itu tidak membuat kami malu, supaya
ia tahu bahwa kami menyayanginya. Kadang kami menangis juga entah kenapa. Orang
tuaku akan meninggalkan ruangan sehingga hanya ada kami bertiga. Mr. Sweet, pada
waktu itu, akan bersandar di ranjang dengan sejumlah bantal di bawah kepalanya,
sedang aku duduk dan merebahkan diri pada bahu dan sepanjang dadanya. Bahkan
ketika ia sulit bernapas, ia tidak akan memintaku supaya turun. Sambil menatap
mataku, ia akan menggoyangkan kepalanya yang putih. Jari tuanya yang kasar
menyusuri batas tumbuh rambut di kepalaku, yang agak rendah dan hampir dekat
alisku hingga beberapa orang bilang aku tampak seperti bayi monyet.
Abangku sangat pemurah dalam hal
ini. Ia membiarkan diriku sepenuhnya yang melakukan upaya pembangkitan kembali
ini. Ia sudah biasa melakukannya bertahun-tahun sebelum aku lahir dan sangat
senang bisa mengalihkannya pada orang baru. Yang ia lakukan selama aku bicara
pada Mr. Sweet adalah berpura-pura memainkan gitar. Tepatnya ia berpura-pura
menjadi versi muda Mr. Sweet. Tingkahnya selalu membuat Mr. Sweet senang karena
mengira ada orang yang ingin menjadi seperti dirinya. Tentu kami tidak
menyadarinya pada waktu itu. Kami memainkannya menurut pendengaran kami saja,
selama ia juga tampak menyukainya. Kami benar-benar cemas ia akan pergi
sewaktu-waktu dan meninggalkan kami.
Kami tidak merasa sedang melakukan suatu
hal yang istimewa. Kami tidak belajar bahwa kematian adalah akhir ketika
waktunya benar-benar tiba. Kami tidak berpikir bahwa kami telah menaklukkannya
berkali-kali, dan merendahkan orang-orang yang membiarkan diri mereka dibawa
kematian. Kami tidak merasa dapat menghentikannya sekiranya ayah kami yang
sekarat. Mr. Sweet adalah satu-satunya orang yang berhasil kami pertahankan.
Mr. Sweet berusia delapan puluhan tahun
ketika aku sedang menuntut ilmu di universitas yang amat jauh dari rumah. Aku menjenguknya kapan pun aku pulang, tapi ia tidak pernah sedang
di ambang sekarat, setahuku. Aku mulai merasa kecemasanku akan kesehatan dan
kejiwaannya tidak berarti. Pada waktu itu ia tidak hanya menumbuhkan kumis tapi
juga janggut seputih salju yang panjang melambai-lambai. Aku suka menyisiri dan
mengepangnya selama berjam-jam. Ia begitu tenang, rapuh, dan lembut.
Satu-satunya yang menggeru dari dirinya hanya gitar baja tuanya. Ia masih
memainkannya dengan sedih, merdu, pilu, dan bersahaja sebagaimana dulu.
Pada ulang tahunnya yang kesembilan
puluh tahun, aku sedang menyelesaikan gelar doktor di Massachussetts dan sudah
berencana pulang selama beberapa minggu untuk istirahat. Pagi itu aku mendapat
telegram yang mengabarkan bahwa Mr. Sweet sedang sekarat lagi, bisakah aku
menunda yang lain-lainnya dan pulang. Tentu saja aku bisa. Disertasiku bisa
menunggu. Dosen-dosenku akan mengerti setelah aku menjelaskannya pada mereka
begitu aku kembali. Aku mencari telepon, menghubungi bandara, dan dalam empat
jam aku sudah melesat sepanjang jalan berdebu menuju rumah Mr. Sweet.
Rumahnya lebih bobrok daripada yang
terakhir kali aku lihat, hampir menyerupai gubuk, tapi ramai oleh bunga-bunga
kuning yang ditanam keluargaku bertahun-tahun lalu. Hawa terasa lembap, harum,
dan menenteramkan. Aku merasa ganjil ketika melewati gerbang dengan langkahku
yang goyah. Tapi keganjilan itu lenyap begitu mataku menangkap janggut putih
panjang yang sangat aku kasihi, berjuntai menutupi tubuh kurusnya di atas
selimut. Mr. Sweet!
Matanya tertutup rapat. Tangannya
melintang di atas perut, lemah dan halus, tidak lagi bergurat-gurat. Aku ingat
betapa aku suka berlari dan melompat ke arahnya di mana pun. Sekarang aku sadar
ia tidak akan sanggup menopang berat badanku. Kualihkan mata pada kedua orang
tuaku, dan tertegun mendapati ayah dan ibuku juga terlihat tua dan ringkih. Ayahku,
rambutnya begitu kelabu, bersandar di dekat lelaki renta yang tengah lelap
dengan tenangnya, yang masih saja menguarkan aroma anggur dan tembakau. Ia
berkata, sebagaimana yang telah ia lontarkan berkali-kali, “Persetan dengan
kematian, bung! Putriku sudah pulang untuk menengok Mr. Sweet!” Abangku belum
bisa datang karena sedang dalam peperangan di Asia. Aku membungkuk dan dengan
lembut membelai mata yang mengatup itu. Perlahan mata itu mulai terbuka. Bibir
yang sewarna dengan anggur dan tertutup itu berkedut sedikit, lalu merekah
menjadi senyuman hangat kemalu-maluan. Mr. Sweet dapat melihat dan mengenaliku.
Matanya tampak begitu lincah dan berkedip-kedip sejenak. Aku merebahkan
kepalaku di bantal, di dekat kepalanya. Lama kami memandangi satu sama lain.
Lalu ia mulai menyusuri batas tumbuh rambut yang khas di kepalaku dengan
jarinya yang kurus dan lembut. Aku memejamkan mata begitu jarinya berhenti di
telingaku. (Ia suka melihat kotoran di telingaku sewaktu aku kecil.) Tangannya
menangkupi pipiku. Ketika aku membuka mataku, dengan perasaan yakin bahwa aku
telah berhasil menggapainya tepat waktu, matanya tertutup.
Pada usia dua puluh empat tahun
sekalipun, bagaimana aku bisa percaya bahwa aku sudah gagal? bahwa Mr. Sweet
telah benar-benar pergi? Ia tidak pernah benar-benar pergi sebelumnya. Tapi
ketika aku menatap kedua orang tuaku, aku melihat mereka sedang menahan air
mata. Mereka mencintainya dengan penuh kasih. Ia bagai kepingan porselen yang
langka dan mulus, yang selalu dijaga supaya tidak pecah tapi akhirnya jatuh
juga. Lama aku memandangi wajah tua itu, dahinya yang keriput, bibirnya yang
merah, tangannya yang masih terarah padaku. Kemudian aku merasakan ayahku
menyodorkan sesuatu yang dingin ke tanganku. Gitar Mr. Sweet. Berbulan-bulan
lalu ia telah meminta mereka untuk menyerahkannya padaku. Ia sudah tahu kalau
ia tidak akan bisa menanggapiku sebagaimana dulu kali berikutnya aku datang. Ia
tidak ingin aku merasa perjalananku kemari sia-sia.
Gitar tua itu! Kupetik senarnya,
kusenandungkan “Sweet Georgia Brown”. Ruh Mr. Sweet masih melekat pada baja
yang dingin itu. Melalui jendela, aku bisa menghirup semerbak lembut aroma
bunga-bunga kuning. Lelaki di ranjang tua dengan selimut kapas dan janggut
putih berjurai itu telah menjadi cinta pertamaku.[]
Diterjemahkan dari cerpen Alice Walker, “To Hell with Dying” (1967)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar