Oh, aku pasti sudah lama sekali
tertidur. Tempat ini terasa sempit. Sulit untuk bernapas. Tunggu, biar
kunyalakan dulu lampunya. Betapa gelapnya di sini. Dan mengapa aku sulit sekali
untuk bernapas? Aduh! Membentur apa kepalaku ini, masak atap rumahnya ambruk
menimpaku, bagaimana bisa? Eh, tunggu dulu, biar kupikir sebentar, aku di mana
dan tempat apa ini?
Oh! Tampaknya ada orang yang sedang
menuju kemari. Sepertinya dia membawa lentera. Tunggu dulu, sepertinya dia bukan
temanku. Tidak, aku tidak mengenali orang ini, dan dia juga tidak membawa
lampu. Mungkinkah yang datang itu dua orang, dan cahaya dari mana itu? Cahaya
apa yang menyala-nyala di atas itu? Sepertinya mereka sedang membicarakanku.
Tunggu sebentar. Aku akan bertanya pada mereka.
“Hei kalian, tempat apa ini?”
“Kami tidak akan memberitahumu, tapi
cepat atau lambat kau akan mengetahuinya. Kau harus memikirkannya sendiri,
mencermati dirimu sendiri sejenak dan kau akan ingat. Kau akan menemukan
sendiri jawabannya.”
“Hmmm! Tunggu dulu, aku ingat sekarang.
Aku tadi berada di sebuah desa di dekat Duzhakh, dan aku telah mengumpulkan
beberapa prajurit untuk memperjuangkan Islam, untuk melindungi keyakinanku.”
“Kau mengumpulkan pasukan untuk
memfitnah Islam.”
“Aku? Tidak, tidak mungkin, aku
berjihad, aku seorang mujahid.”
“Tidak. Kau bukanlah seorang mujahid.
Itu bukan jihad. Jihad adalah salah satu kewajiban yang paling suci, dan kau
telah mengotorinya.”
“A… a… aku, aku bukan mujahid? Tapi mengapa,
bagaimana mungkin aku bukan mujahid?”
“Pikiran baik-baik perbuatanmu yang lalu
dan kau akan menyadari siapa sesungguhnya dirimu.”
“Ah, tunggu, biarlah aku masuki lubuk
hatiku yang terdalam. Aku berjihad. Aku dibawa ke kawasan pegunungan negeri
kamu untuk berjihad.”
“Baiklah, kau dibawa untuk berjihad, dan
siapa yang membawamu?”
“Siapa yang membawaku? Aku pergi
sendiri. Tidak, tidak sepenuhnya sendiri. Pertama-tama aku dilatih oleh
beberapa jenderal di dekat Duzhakh, lalu mereka membawaku ke pegunungan dan
memberitahuku bahwa wilayah pegunungan di negeri kami adalah medan perang, Darul Harb.”
“Jadi, mereka membawamu ke wilayah
pegunungan untuk berjihad. Bukankah Islam lebih kuat di tempat kalian di dekat
Duzhakh itu daripada di pegunungan? Bukankah di sana jihad itu tidak sah
hukumnya? Bukankah begitu, bahwa kau berjihad untuk membunuh saudaramu sesama
Muslim?”
“Bukan aku. Tidak mungkin aku seorang
pembunuh.”
“Pikirkan ke mana tujuanmu dan apa yang
kau perbuat.”
“Oh, aku ingat. Setibanya aku di
pegunungan, mereka memberiku alamat sebuah sekolah yang hendak dijadikan
sasaran jihad, olehku. Bidah telah mencapai wilayah pegunungan dan di
sekolah-sekolah mereka memberikan pelajaran yang bertentangan dengan Islam.”
“Bidah dan klenik, baiklah. Tapi mereka
juga mengajarkan kitab berisi ayat suci dan doa. Lalu kau pergi ke sana dan
mengakibatkan anak-anak yang tak bersalah, yang belum mengetahui caranya
membedakan kawan dengan lawan, dihabisi kematian.”
“Jadi, tempat apakah ini?”
“Kau masih belum memahaminya? Ini alam
kubur dan kau sudah mati.”
“Aku sudah mati? Tidak, tidak mungkin aku
sudah mati. Jika aku sudah mati, maka aku akan menjadi seorang syuhada. Dan apa
ini?”
“Ini Kitab Perbuatanmu.”
“Kitab Perbuatanku? Tunggu, biar
kuperlihatkan tangan kananku padamu. Aku seorang syuhada. Lihat, kan? Oh,
tangan kananku menghilang. Apa yang mesti kuperbuat kini? Aku menerima Kitab
Perbuatan dengan tangan kiriku. Ya Allah, mengapa Kau membawaku ke neraka?
Bukankah aku seorang syuhada?”
“Bukan, kau bukanlah seorang syuhada.
Kau tidak lain daripada seorang pembunuh, pembunuh umat Muslim.”
“Tidak, tidak, tidak, tidak mungkin
begitu.”
Ah, betapa panasnya
Betapa keringnya mulutku
Betapa gelapnya
Betapa sesaknya di sini
Selamatkan aku, Ya Allah,
Oh, Allah yang Mahakuasa
2007
Mahmud
Marhun adalah penerjemah, penyair, dan penulis prosa, lahir di Kandahar pada
1989 dan kini tinggal di Kabul. Cerpen ini aslinya ditulis dalam bahasa Pashto
dan diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Anders Widmark yang dipublikasikan
di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar