Cerita ini berlangsung di
peternakan La Colorada, di sebelah selatan kotapraja Junín, pada akhir Maret,
1928. Tokoh utamanya seorang mahasiswa kedokteran bernama Baltasar Espinosa.
Sementara ini kita bisa bayangkan dia seperti pemuda kebanyakan di Buenos Aires,
tanpa ada keistimewaan apa pun dari padanya selain kebaikan hatinya yang teramat
sangat serta kecakapannya bicara di muka umum yang membuatnya memperoleh
beberapa penghargaan sewaktu di sekolah Inggris di Ramos Mejía. Dia tidak suka
debat, dan lebih senang jika lawan bicaranya yang benar ketimbang dirinya.
Walau dia menggemari permainan peluang dalam setiap pertandingan yang
diikutinya, dia itu pemain yang buruk sebab dia tidak senang jika dia yang
menang. Kecerdasannya yang luas tak terarahkan. Pada usia 33 tahun, nilainya masih
belum mencukupi untuk lulus, pada satu mata kuliah—mata kuliah yang paling
tidak diminatinya. Ayahnya, yang seorang ateis (seperti lazimnya pria pada masa
itu), mengenalkannya pada ajaran Herbert Spencer[1]. Namun ibunya,
sebelum pergi ke Montevideo, pernah memintanya untuk mengucapkan Doa Bapa Kami[2] dan membuat
tanda salib setiap malam. Sampai bertahun-tahun, dia tidak pernah memenuhi
janji itu.
Espinosa bukannya lemah
semangat. Pernah dia bertukar tinju dengan sekelompok mahasiswa teman-temannya
yang berusaha memaksanya supaya ikut demonstrasi kampus, walau itu lebih karena
apati ketimbang marah. Diam-diam dia punya pendapat sendiri, atau pemikiran,
yang meragukan: dia tidak begitu peduli pada Argentina namun khawatir jika orang-orang
di belahan lain bumi menyangka negaranya itu diduduki bangsa Indian; dia memuja
negara Prancis namun merendahkan masyarakatnya; dia meremehkan orang-orang
Amerika namun tak memungkiri kenyataan bahwa di Buenos Aires pun ada
gedung-gedung tinggi seperti di negara tersebut; dia yakin gaucho[3]
dataran adalah penunggang yang lebih baik ketimbang koboi dari bukit atau
gunung. Sewaktu sepupunya, Daniel, mengajaknya menghabiskan musim panas di La
Colorada, dia langsung mengiyakan—bukan karena dia memang menyukai pedesaan,
melainkan lebih untuk menyenangkan diri dan juga lebih gampang bilang iya
ketimbang mengarang alasan jika bilang tidak.
Bangunan utama di peternakan
itu besar dan agak terbengkalai. Tempat tinggal mandornya, yang bernama Gutre,
berada di dekat situ. Keluarga Gutre terdiri dari tiga orang: si ayah, seorang
anak lelaki yang luar biasa kasar, serta seorang anak perempuan yang tidak
jelas bapaknya. Mereka jangkung, tegap, dan kerempeng, dengan rambut kemerahan
dan wajah yang menampakkan keturunan Indian. Mereka sedikit sekali bicara.
Istri si mandor sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.
Di pedesaan itu, Espinosa
mulai mempelajari hal-hal yang baru diketahuinya, bahkan yang tak pernah
terduga olehnya—misalnya saja, orang tidak boleh mencangklong kuda saat
mendekati perkampungan, dan orang tidak pergi berkuda kecuali ada keperluan
khusus. Lambat laun, dia dapat mengenali burung dari bunyinya.
Beberapa hari kemudian,
Daniel harus pergi ke Buenos Aires untuk membereskan transaksi ternak. Urusan
ini paling tidak makan waktu seminggu. Espinosa, yang sudah jemu mendengar
keberuntungan Daniel yang tiada habisnya dengan para wanita serta perhatian
berlebihan sepupunya itu pada tetek-bengek mode pria, memilih tinggal di
peternakan dengan buku-buku kuliahnya. Tapi hawa panas tak tertahankan,
sekalipun saat malam. Pada suatu subuh, guntur membangunkan Espinosa. Di luar,
angin mengguncang pepohonan cemara Australia. Sambil mendengarkan tetesan hujan
lebat yang pertama-tama itu, Espinosa bersyukur pada Tuhan. Seketika udara
dingin berpusar. Petang itu sungai Salado meluap hingga bantaran.
Esok harinya, sambil
memandangi ladang yang kebanjiran dari serambi bangunan utama, Baltasar
Espinosa berpikir bahwa metafora yang membandingkan pampa dengan lautan itu tak
sepenuhnya salah—setidaknya, tidak pada pagi itu—meski W. H. Hudson[4] menyatakan
bahwa lautan tampaknya lebih luas sebab dipandang dari geladak kapal dan bukan
dari kuda ataupun ketinggian mata.
Hujan tak berhenti. Keluarga
Gutre, dengan dibantu atau malah diganggu oleh Espinosa, si penduduk kota,
menyelamatkan sebagian ternak yang baik kondisinya, namun banyak juga yang mati
tenggelam. Ada empat jalan menuju La Colorada; semuanya terendam oleh air. Pada
hari ketiga, saat rumah si mandor terancam bocor, Espinosa mempersilakan
keluarga Gutre mengisi ruangan di dekat gudang perkakas, di belakang bangunan
utama. Mereka semua pun menjadi dekat. Mereka makan bersama di ruang makan yang
besar. Percakapan menjadi sulit. Keluarga Gutre, yang tahu banyak soal pedesaan,
kesulitan menjelaskan itu pada Espinosa.
Pada suatu malam, Espinosa
bertanya pada mereka jikalau penduduk desa masih ingat akan serangan Indian
pada masa komando perbatasan berada di Junín. Mereka bilang iya, tapi mereka
mungkin akan menjawab begitu juga jika ditanya tentang pemenggalan kepala
Charles I. Espinosa ingat perkataan ayahnya bahwa hampir semua kejadian
mengenai usia lanjut yang tercatat di pedesaan sebetulnya karena silap ingat
atau tak kenal tanggal. Para gaucho
biasanya tak tahu tahun kelahiran mereka pun nama orang tua mereka.
Di rumah itu, rupanya tak ada
bahan bacaan selain sekumpulan majalah Farm
Journal, sebuah buku petunjuk kedokteran hewan, sebuah edisi mewah epik
rakyat Uruguay Tabaré, sebuah buku History of Shorthorn Cattle in Argentina,
sejumlah kumpulan cerita detektif atau erotis, dan sebuah novel baru berjudul Don Segundo Sombra. Espinosa, yang ingin
menjembatani kesenjangan yang tak terelakkan usai makan malam, membacakan
beberapa bab novel itu pada keluarga Gutre, sebab tak seorang pun di antara
mereka yang dapat membaca atau menulis. Sial benar, si mandor dulunya
penggembala ternak, dan tindak-tanduk si tokoh utama, yang juga penggembala
ternak, tidak membangkitkan minatnya. Si mandor bilang pekerjaannya ringan. Para
penggembala selalu bepergian dengan seekor kuda beban yang membawakan apa pun yang
mereka butuhkan. Andaikan ia bukan seorang penggembala, ia tak akan pernah
menjumpai tempat-tempat yang luas sekali seperti Laguna de Gómez, kota Bragado,
dan sebaran keluarga Núñez di Chacabuco. Di dapur ada gitar; para buruh
peternakan, sebelum waktu terjadinya cerita ini, suka duduk-duduk berkumpul.
Seseorang akan menyetemkan alat musik itu tanpa tahu cara memainkannya. Acara
itu disebut pesta gitar.
Espinosa, yang jenggotnya
telah tumbuh, mulai menghabiskan waktu di depan cermin untuk mematut-matut
penampilan barunya. Dia tersenyum membayangkan, sekembalinya di Buenos Aires,
dirinya akan membikin jemu teman-temannya dengan cerita tentang banjir Salado.
Anehnya, dia merindukan tempat-tempat yang jarang dan tak akan pernah
dikunjunginya: ujung Jalan Cabrera yang mana di situ ada sebuah kotak surat;
salah satu singa semen di gerbang Jalan Jujuy, beberapa blok dari Plaza del
Once; serta sebuah ruangan bar tua yang lantainya berubin, yang di mana
persisnya itu dia juga tidak yakin. Baik ayah maupun saudara-saudaranya sudah
tahu dari Daniel bahwa dia tengah terisolasi—secara etimologis, kata itu tepat
sekali—oleh air bah.
Ketika sedang melihat-lihat
isi rumah itu, masih terkurung oleh limpahan banjir, Espinosa menemukan sebuah
Injil berbahasa Inggris. Di antara halaman-halaman kosong di belakang buku, ada
tulisan tangan keluarga Guthri—demikian nama asli mereka—yang menunjukkan garis
silsilah mereka. Mereka berasal dari Inverness[5]; sampai di
Dunia Baru, mestilah sebagai buruh kebanyakan, pada awal abad kesembilan belas;
dan menikahi warga Indian. Kronik itu terputus pada 1870-an, saat mereka tak
lagi tahu cara menulis. Setelah beberapa generasi, mereka sudah lupa bahasa
Inggris; bahasa Spanyol pun, saat Espinosa mengenal mereka, sudah kacau balau.
Mereka tak punya keyakinan agama, namun dalam darah mereka masih hidup,
bagaikan jejak samar, fanatisme keras pengikut Calvin serta takhayul Indian
pampa. Espinosa menyampaikan temuan itu pada mereka, tapi mereka acuh tak acuh.
Ketika sedang membolak-balik
halaman jilid, jemarinya menyibak permulaan Injil Santo Markus. Sekalian
berlatih menerjemahkan, mungkin juga untuk mencari tahu apakah keluarga Gutre
mengerti, Espinosa memutuskan untuk mulai membacakan teks itu pada mereka
setelah makan malam. Dia terkejut karena mereka terpikat dan mendengarkannya
dengan penuh perhatian. Barangkali huruf-huruf emas pada sampulnya menampakkan
suatu wibawa pada buku itu. Keyakinan itu masih mengalir dalam darah mereka,
pikir Espinosa. Teringat pula olehnya bahwa bergenerasi-generasi manusia,
sepanjang masa yang tercatat, selalu menceritakan dan menceritakan kembali dua
kisah[6]—yaitu tentang
sebuah kapal yang hilang saat menyusuri lautan Mediterania demi sebuah pulau
yang didambakan, serta tentang tuhan yang disalib di Golgota. Sambil
mengingat-ingat pelajaran deklamasi sewaktu bersekolah di Ramos Mejía, Espinosa
bangkit saat hendak menyampaikan parabel.
Keluarga Gutre melahap cepat-cepat
sarden dan daging panggang mereka supaya tidak menunda pembacaan Injil. Si domba
piaraan, yang dihiasi si gadis dengan pita biru kecil, terluka akibat seutas
kawat berduri. Untuk menghentikan pendarahan, ketiganya hendak mencobakan
jaring laba-laba pada luka si domba, namun Espinosa mengobati hewan itu dengan
beberapa butir pil. Rasa terima kasih mereka atas pengobatan itu membuat
Espinosa takjub. (Karena tak memercayai mereka pada mulanya, dia bersembunyi
di balik salah satu bukunya yang berharga 240 peso.) Sementara pemilik tempat
itu sedang tidak ada, Espinosa yang mengambil alih dan memberi petunjuk secara
malu-malu, yang dengan segera dipatuhi. Keluarga Gutre, yang seakan kebingungan
tanpa dirinya, suka mengikutinya dari ruangan ke ruangan dan sepanjang serambi
yang mengitari rumah itu. Sementara dia membaca untuk mereka, dia memerhatikan
bahwa diam-diam mereka memunguti remah-remah yang dijatuhkannya di meja. Pada
suatu malam, dia mendapati mereka tak sadar sedang membicarakan dirinya dengan
hormat, dalam sepatah dua patah kata.
Setelah menjelaskan Injil
Santo Markus, dia ingin membacakan tiga Injil lainnya, tapi si ayah memintanya
untuk mengulang yang telah dibacanya, supaya mereka dapat lebih memahami itu.
Espinosa merasa mereka itu seperti anak-anak. Mereka lebih senang dengan
pengulangan ketimbang sesuatu yang baru atau variatif. Malam itu—tak
mengherankan—dia memimpikan Banjir; hantaman angin ribut pada Bahtera
membangunkan dirinya, dan dipikirnya barangkali itu guntur. Sebenarnya itu hujan
yang tadinya sudah reda lalu turun lagi. Hawanya dingin sekali. Keluarga Gutre
memberi tahu Espinosa bahwa badai telah meruntuhkan atap gudang perkakas, dan
mereka akan menunjukkan itu pada dia saat tiang-tiangnya sudah diperbaiki. Bagi
mereka, dia bukan lagi orang asing, sehingga mereka memperlakukannya secara
istimewa, hampir memanjakannya malahan. Mereka tak senang kopi, tapi bagi
Espinosa selalu tersedia secangkir kecil kopi yang diberi gula.
Pada Selasa muncul badai
baru. Kamis malamnya, Espinosa terbangun oleh ketukan pelan pada pintunya,
yang—untuk jaga-jaga saja—selalu dikuncinya. Dia bangkit dari kasur dan membuka
pintu itu. Ada si gadis. Dalam gelap dia hampir tak dapat melihat gadis itu.
Tapi dari langkah kakinya, dia tahu gadis itu tak mengenakan alas kaki, dan
sebentar kemudian, di tempat tidur, mestilah si gadis sudah bertelanjang bulat
sejak dari tempat asalnya. Gadis itu tak memeluknya atau berucap sepatah kata
pun. Ia berbaring saja di sisinya sambil menggigil. Itu kali pertama ia
mengenal seorang pria. Sebelum pergi, gadis itu tak menciumnya. Espinosa
tersadar bahwa dia bahkan tak tahu nama si gadis. Karena suatu sebab yang tak
ingin ditelusurinya, dia memutuskan bahwa sekembalinya ke Buenos Aires dia tak
akan memberi tahu siapa pun mengenai kejadian itu.
Hari berikutnya seperti
hari-hari sebelumnya saja, selain si ayah bicara pada Espinosa dan bertanya
jika Kristus telah membiarkan Dirinya dibunuh demi menyelamatkan semua umat
manusia di muka bumi. Espinosa, yang seorang ateis namun merasa bertanggung
jawab atas apa yang telah dibacakannya pada keluarga Gutre, menjawab, “Ya,
untuk menyelamatkan semua orang dari Neraka.”
Lantas Gutre bertanya, “Apa
itu Neraka?”
“Suatu tempat di dasar bumi
di mana jiwa-jiwa dihanguskan.”
“Dan para prajurit Roma yang
melakukan penyaliban—apakah mereka juga diselamatkan?”
“Ya,” ujar Espinosa, yang
ilmu agamanya agak kabur.
Sejak mula dia khawatir
kalau-kalau si mandor menanyakan soal kejadian semalam dengan anak
perempuannya. Setelah makan siang, mereka memintanya untuk membacakan bab-bab
terakhir sekali lagi.
Sore itu Espinosa tidur yang
lama. Tidurnya tidak nyenyak, sebab terganggu oleh hantaman palu yang bertalu-talu
dan firasat samar-samar. Menjelang malam, dia bangun dan keluar menuju serambi.
Ucapnya, seakan sedang menyuarakan pikirannya keras-keras, “Banjirnya sudah
surut. Tidak akan lama lagi.”
“Tidak akan lama lagi,” ulang
Gutre, seumpama gaung.
Ketiganya mengikuti Espinosa.
Sambil berlutut di muka jalan berbatu, mereka memohon berkatnya. Lalu mereka
mencacinya, meludahinya, dan mendesaknya menuju bagian belakang rumah. Si gadis
menangis. Espinosa mengerti apa yang menantinya di balik pintu. Saat mereka
membukanya, dia melihat sepotong langit. Seekor burung berkicau. Burung kutilang[7], pikirnya.
Gudang itu tanpa atap; mereka telah merubuhkan tiang-tiangnya untuk membuat
salib.[]
Dari terjemahan bahasa Inggris cerpen Jorge Luis Borges oleh Norman Thomas di Giovanni, “The Gospel According to Mark” (1970)
[1] Filsuf dan sosiolog
berkebangsaan Inggris (1820-1903)
[2] Doa yang diajarkan Yesus kepada
para pengikutnya (Matius 6:9-13)
[3] Sebutan bagi koboi di kawasan
pampa Amerika Selatan, biasanya merupakan keturunan Spanyol-Indian
[4] William Henry Hudson
(1841-1920), lahir di Argentina dari kedua orang tua berkebangsaan Amerika. Ia
pindah ke Inggris pada 1869 dan menghabiskan sisa hidupnya di sana. Beberapa
bukunya menceritakan tentang Argentina.
[5] Sebuah desa di barat laut
Skotlandia
[6] Kisah pertama adalah Odisseia karangan Homer, yang
menceritakan tentang petualangan Odisseus; kisah kedua adalah penyaliban Yesus
di Golgota.
[7] Dalam karya seni sering ditunjukkan bayi Yesus tengah memegang seekor burung goldfinch (semacam kutilang). Menurut legenda, burung itu yang mencabuti duri dari kening Kristus saat di
Golgota.
2 komentar:
Terjemahan yang bagus. Selalu suka dengan karya-karya Borges.
Terima kasih :)
Posting Komentar