- Tutupan pohon meningkat di seluruh dunia selama 35 tahun terakhir menurut makalah yang diterbitkan jurnal Nature.
- Studi yang dilakukan Xiao-Peng Song dan Matthew Hansen dari University of Maryland ini berdasarkan analisis data satelit dari 1982 hingga 2016.
- Penelitian tersebut mendapati bahwa kehilangan tutupan pohon di wilayah tropis dilampaui oleh perolehan tutupan pohon di wilayah subtropis, sedang, boreal, dan polar.
- Namun demikian, semua data tutupan pohon diiringi peringatan penting: tutupan pohon tidak berarti tutupan hutan.
Terlepas
dari keberlangsungan penebangan hutan, kebakaran lahan, kekeringan berakibat
kematian massal, serta penjangkitan serangga, tutupan pohon dunia sebenarnya
meningkat sebesar 2,24 juta kilometer persegi—seluas gabungan Texas dan
Alaska—selama 35 tahun terakhir, menurut makalah terbitan jurnal Nature. Namun penelitian itu juga
menyatakan kehilangan ekosistem dengan keanekaragaman hayati terkaya di planet
ini dalam skala besar, terutama yang berupa hutan tropis.
Studi
yang dilakukan oleh Xiao-Peng Song dan Matthew Hansen dari University of
Maryland ini berdasarkan analisis data satelit dari 1982 hingga 2016. Mereka
membagi tutupan lahan menjadi tiga kategori: vegetasi tinggi yang terdiri dari
pepohonan dengan ketinggian paling rendah lima meter (16 kaki); vegetasi rendah
dengan ketinggian di bawah lima meter termasuk semak, rumput, dan tanaman pertanian;
serta “tanah gundul” yang meliputi kawasan perkotaan, pasir, tundra, dan
karang. Walaupun pembagian itu mungkin terkesan menyederhanakan, dari data
tersebut dapat ditarik kesimpulan kuat yang mencakup taksiran perluasan
pertanian, perluasan pergerakan iklim dan penyusutan ekosistem, serta pembukaan
dan pemulihan hutan.
”Hasil
studi ini menggambarkan tatanan Bumi yang dikuasai manusia,” tulis para
peneliti. “Tindakan langsung manusia pada bentang alam ditemukan pada area-area
besar di setiap benua, dari intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian hingga peningkatan
penggunaan lahan kota dan kehutanan, dengan melibatkan pemeliharaan jasa
ekosistem.”
Secara
keseluruhan, studi ini mendapati bahwa kehilangan tutupan pohon di wilayah
tropis dilampaui oleh perolehan tutupan pohon di wilayah subtropis, sedang,
boreal, dan polar. Perolehan tutupan pohon didorong oleh pengabaian pertanian
di beberapa wilayah Eropa, Asia, dan Amerika Timur; menghangatnya suhu yang memungkinkan
hutan tumbuh ke arah kutub; serta program penanaman pohon besar-besaran di
Cina. Tutupan pohon juga meningkat di kawasan pegunungan di seluruh dunia.
Perolehan
tutupan pohon terbesar terjadi di hutan sedang kontinental (+726.000 kilometer
persegi), hutan konifera boreal (+463.000 kilometer persegi), dan hutan lembap
subtropis (+280.000 kilometer persegi). Sementara itu, Rusia (+790.000
kilometer persegi), Cina (+324.000 kilometer persegi), dan Amerika Serikat
(+301.000 kilometer persegi) mengalami perolehan tutupan pohon terbesar di
antara negara-negara lain.
Sebaliknya,
wilayah tropis menghadapi kehilangan tutupan pohon yang besar, dipimpin oleh
hutan gugur basah (-373.000 kilometer persegi), hutan hujan tropis (-332.000
kilometer persegi), dan hutan kering tropis (-184.000 kilometer persegi). Hutan
kering tropis mengalami tingkat kehilangan tertinggi selama 35 tahun ini
sebesar 15 persen. Sejauh ini Brasil memimpin dalam kehilangan tutupan pohon
yaitu sebesar 399.000 kilometer, lebih banyak dibandingkan dengan total
gabungan kehilangan empat negara berikutnya dalam daftar (Kanada, Rusia,
Argentina, dan Paraguay).
Studi
ini memperkirakan jumlah kotor kehilangan kanopi pohon di seluruh dunia sebesar
1, 33 juta kilometer persegi atau 4,2 persen dari tutupan pohon pada 1982. Namun
dengan bertambahnya perolehan, total area tutupan lahan di planet ini meningkat
sebesar 2,24 juta kilometer persegi atau 7,1 persen, dari 31 juta menjadi 33
juta kilometer persegi. Para penulis melihat jumlah ini “menyanggah” data dari
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO), yang
mengumpulkan data hutan nasional dari kementerian kehutanan berbagai negara dan
sejak dulu dianggap sebagai sumber informasi tutupan hutan paling konsisten.
“Perolehan
jumlah bersih kanopi pohon di seluruh dunia berlainan dengan pemahaman terkini
akan perubahan kawasan hutan jangka panjang. Organisasi Pangan dan Pertanian
Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) melaporkan jumlah bersih kehilangan hutan
antara 1990 dan 2015. Namun demikian, taksiran jumlah kotor kehilangan pohon
(-1,33 juta kilometer persegi) sejalan dengan taksiran FAO akan jumlah bersih
perubahan kawasan (-1,29 juta kilometer persegi, -3%), walaupun ada perbedaan
dalam cakupan kurun waktu serta definisi hutan.”
Namun
demikian, semua data tutupan pohon disertai peringatan penting: tutupan pohon
tidak selalu berupa tutupan hutan. Budidaya kayu industri, perkebunan kelapa
sawit tua, serta “hutan tanaman” tidak alami lainnya dianggap sebagai tutupan
pohon. Sebagai contoh, menebang sebidang hutan primer seluas 100 hektar dan menggantikannya
dengan perkebunan kelapa sawit seluas 100 hektar dalam data tidak akan
dipandang sebagai perubahan jumlah bersih dalam tutupan pohon. Akan tetapi,
aktivitas tersebut akan dihitung sebagai “penebangan hutan” oleh FAO. Dengan
demikian kehilangan tutupan pohon tidak selalu diartikan secara langsung
sebagai “penebangan hutan”.
Walau
demikian, menetapkan rekor perubahan tutupan lahan memungkinkan peneliti untuk membedakan
jenis-jenis aktivitas. Data pada studi terkini memang menyajikan pengertian
ketika ada perubahan di antara tipe-tipe vegetasi.
“Penebangan
hutan karena perluasan pertanian sering kali ditampilkan sebagai kehilangan
kanopi pohon dan perolehan vegetasi rendah, padahal degradasi lahan bisa saja
mengakibatkan kehilangan vegetasi rendah sekaligus perolehan tanah gundul,”
tulis para peneliti, yang menggunakan sampling untuk membuat model yang
memungkinkan mereka untuk menghubungkan perubahan penggunaan lahan dengan
aktivitas manusia langsung atau pendorong tidak langsung seperti iklim. Studi
menyimpulkan bahwa 60 persen dari semua perubahan selama masa studi berkaitan
dengan aktivitas manusia. Atribusi berbeda-beda di seluruh bioma, dengan dampak
manusia langsung berhubungan dengan 70 persen kehilangan kanopi pohon (misalnya
penebangan hutan), tetapi hanya 36 persen perolehan tanah gundul (misalnya
tundra yang dijajah oleh vegetasi yang berpindah ke arah kutub akibat
menanjaknya suhu).
Para
penulis membahas bagaimana temuan itu menggambarkan beberapa tren utama
penggunaan lahan di seluruh dunia.
“Meluasnya
batas pertanian merupakan pendorong utama penebangan hutan di wilayah tropis,”
tulis mereka. “’Busur penebangan hutan’ di sepanjang sisi tenggara Amazon
terdokumentasikan dengan baik. Pembukaan vegetasi alami untuk pertanian
industri bertujuan ekspor juga banyak terjadi di Cerrado dan Gran Chaco. Titik-titik
penebangan hutan juga ditemukan di Queensland, Australia, serta di Asia
Tenggara—meliputi Myanmar, Vietnam, Kamboja, dan Indonesia—semakin mengurangi
hutan primer yang sudah langka di wilayah tersebut. Di Afrika sub-Sahara, kehilangan
tutupan pohon menyebar di seluruh hutan hujan Kongo dan hutan Miombo, yang
sejak dulu berkaitan dengan pertanian skala kecil lalu meningkat menjadi
budidaya tanaman komoditas. Hutan di Kanada boreal, Alaska timur, dan Siberia
tengah menampakkan petak-petak besar kehilangan kanopi pohon serta perolehan
vegetasi rendah, serupa dengan yang terjadi di wilayah tropis. Akan tetapi, ini
merupakan akibat dari gangguan kebakaran liar yang berkepanjangan serta
pemulihan vegetasi alami yang menyusul kemudian.”
Tidak
hanya mendorong hilangnya tutupan pohon di wilayah tropis, jejak pertanian
muncul di bagian lain data, khususnya menggantikan tutupan tanah gundul dengan
tutupan vegetasi rendah.
“Di
antara semua negara, India dan Cina mengalami kehilangan tanah gundul paling
banyak,” tulis para peneliti. “India juga berada di peringkat kedua dalam
perolehan vegetasi rendah (+195.000 km2, +9%), setelah Brasil (+396.000 km2,
+12%). Sementara perolehan vegetasi rendah di Brasil sebagian besar disebabkan
oleh meluasnya batas pertanian ke ekosistem alami, perolehan vegetasi rendah di
India terutama disebabkan oleh intensifikasi lahan pertanian yang sudah ada—kelanjutan
dari ‘Revolusi Hijau’. Sebagian dari perolehan tanah gundul yang teramati dapat
dihubungkan dengan pengambilan sumber daya serta persebaran kota yang tidak
tertata, kebanyakan terjadi di Cina timur. Walau demikian, secara global,
pertumbuhan kawasan kota berdampak kecil terhadap perubahan lahan.
Tanah
gundul juga berkurang di gurun, area pegunungan, serta tundra, menunjukkan
pengaruh perubahan iklim, yang menimbulkan kondisi yang mendukung pertumbuhan
rumput, semak, dan pohon. Perubahan ini berakibat pada tren penghijauan secara
keseluruhan, di mana tutupan tanah gundul menurun sebesar 3,1 persen sejak
1982.
Walau
demikian “penghijauan” tersebut menyembunyikan dampak ekologis dari
menggantikan bentang darat alami yang beragam dengan tanaman monokultur. Maka
sementara Bumi mungkin terlihat memiliki lebih banyak pohon daripada 35 tahun
lalu, studi ini menegaskan bahwa sebagian dari biomanya yang paling produktif
dan beragam—terutama hutan tropis dan savana—secara signifikan semakin rusak
dan merosot, mengurangi ketahanan dan kapasitasnya untuk memberikan jasa ekosistem.
RUJUKAN:
Xiao-Peng
Song, Matthew C. Hansen, Stephen V. Stehman, Peter V. Potapov, Alexandra
Tyukavina, Eric F. Vermote & John R. Townshend. “Global land change
from 1982 to 2016”. Nature
(2018). Terbit: 8 Agustus 2018
Ralat 15
Agustus 19:45 Waktu Musim Panas Pasifik: dikarenakan kesalahan transkripsi
dalam fail data yang diberikan pada Mongabay, versi asli dari artikel ini
berisi teks berikut: Rusia (+790.000 kilometer persegi), Kolombia (+324.000
kilometer persegi)—boleh jadi disebabkan oleh pertumbuhan kembali hutan selama
konflik beberapa dekade dengan FARC,
dan Amerika Serikat (+301.000 kilometer persegi) mengalami perolehan tutupan
pohon terbesar di antara negara-negara lainnya selama masa itu.” Akan tetapi
data dari Kolombia diubah dengan data dari Cina sehingga kami mengubahnya
setelah mendapatkan pemberitahuan.
Artikel
dipublikasikan oleh Rhett Butler, diterjemahkan dari "Earth has more trees now than
35 years ago"
dalam Mongabay.com, 15 Agustus 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar