“Oh, yah, kadang, aku yakin sepenuhnya, sewaktu dengan Daffodil,”
kata anak itu; “dan kadang-kadang aku dapat ilham; dan kadang-kadang aku sama
sekali enggak ada ilham, ya kan, Bassett? Kalau begitu kami berhati-hati,
karena biasanya kami kalah.”
“Dan ketika kamu yakin, sewaktu dengan Daffodil, apa sebabnya kamu yakin,
Paul?”
“Oh, yah, entahlah,” kata si anak dengan suara gelisah. “Aku yakin saja,
begitulah, Paman; itu saja.”
“Seolah-olah ilhamnya datang dari surga, tuan,” ulang Bassett.
“Kelihatannya seperti itu,” sahut si paman.
Namun ia bergabung juga dengan mereka. Dan ketika tiba saatnya balapan lagi, balapan Leger, Paul “yakin” dengan Percik Semangat, yang bukanlah kuda penting. Anak itu menetapkan untuk bertaruh seribu paun pada kuda tersebut, Bassett lima ratus, sedangkan Oscar Creswell dua ratus. Percik Semangat masuk pertama, dan hasil taruhannya pun telah menjadi sepuluh banding satu untuk mereka. Paul memperoleh sepuluh ribu paun.
“Lihat kan,” ujar si anak, “aku yakin sepenuhnya sama kuda itu.”
Bahkan Oscar Creswell saja mendapatkan dua ribu.
“Begini,” kata si paman, “hal seperti ini membuat Paman jadi tidak enak.”
“Tidak perlu merasa tidak enak, Paman. Bisa saja nanti lama aku tidak
merasa yakin lagi.”
“Tapi uang itu mau kamu apakan?” tanya si paman.
“Pastinya,” ujar si anak, “aku memulai ini karena Ibu. Ibu bilang Ibu
tidak beruntung karena Ayah tidak beruntung, jadi kupikir kalau aku yang
beruntung, bisikan itu bakal berhenti.”
“Bisikan apa yang berhenti?”
“Rumah kami. Aku benci rumah kami karena bisikan itu.”
“Apa yang dia bisikkan?”
“Eh”—anak itu ragu-ragu—“entahlah. Tapi selalu saja tidak ada cukup uang,
begitulah, Paman.”
“Paman mengerti.”
“Paman tahu, kan, orang mengirimi Ibu tagihan dan perintah untuk
membayar?”
“Ya,” sahut Paman Oscar.
“Lalu rumahnya berbisik, seperti ada orang yang diam-diam menertawakan
kami. Rasanya mengerikan! Jadi kalau saja aku beruntung—“
“Kamu bisa saja berhenti,” imbuh si paman.
Anak itu memandangi si paman dengan mata birunya yang besar, yang
mengandung api redup nan ganjil, namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Baiklah, kalau begitu,” sahut si paman, “apa yang akan kita lakukan?”
“Aku tidak mau Ibu sampai tahu aku beruntung,” ucap si anak.
“Kenapa tidak, Paul?”
“Nanti Ibu menyuruhku berhenti.”
“Paman rasa tidak begitu.”
“Ah!”—dan gerakan anak itu pun tampak ganjil—“Aku tidak mau Ibu
sampai tahu, Paman.”
“Baiklah! Kita usahakan jangan sampai ibumu tahu.”
Melakukannya sangatlah mudah. Paul disarankan untuk memberikan lima ribu
dolar kepada pamannya, yang memberikan itu kepada pengacara keluarga, yang
kemudian memberitahukan ibu Paul bahwa ada relasi yang telah menyerahkan lima
ribu paun kepadanya. Jumlah ini akan dikeluarkan pada ulang tahun si ibu,
seribu paun sekali waktu, selama lima tahun ke depan.
“Jadi ibumu akan mendapat hadiah ulang tahun seribu paun selama lima
tahun,” kata Paman Oscar. “Mudah-mudahan ia tidak kesulitan lagi nanti.”
Ibu Paul berulang tahun pada November. Belakangan rumah itu berbisik
semakin keras, dan walaupun sudah beruntung, Paul tidak dapat menahankannya. Ia
cemas menantikan kesan yang ditimbulkan surat pada ulang tahun itu nanti, yang
akan menyampaikan kepada ibunya mengenai ribuan paun itu.
Ketika sedang tidak ada tamu, sekarang Paul makan bersama-sama orang
tuanya, karena dia sudah tidak lagi dapat dikendalikan perawatnya. Ibunya pergi
ke kota hampir setiap hari. Wanita itu mendapati bahwa ia mampu menggambar kain
baju serta pakaian dari bulu binatang, maka diam-diam dia bekerja bersama
temannya yang kepala seniman di suatu toko terkemuka. Ia menggambar figur
wanita-wanita berpakaian bulu binatang serta wanita-wanita berpakaian sutra
untuk surat kabar. Si seniman wanita muda itu menghasilkan beberapa ribu paun
setahun, sedangkan ibu Paul hanya memperoleh beberapa ratus, sehingga ia tidak
puas. Ia ingin menjadi yang terdepan dalam suatu hal, namun ia tidak berhasil,
sekalipun dalam membuat gambar untuk surat kabar.
Pada pagi hari ulang tahunnya, ibu Paul tengah berada di lantai bawah
untuk sarapan. Paul mengamati wajah ibunya sementara wanita itu membaca
surat-surat. Paul tahu mana surat yang berasal dari pengacara keluarga. Selagi
si ibu membacanya, wajah wanita itu menegang dan semakin terpaku. Kemudian
tampaklah raut yang dingin dan tegas pada mulutnya. Ia menyembunyikan surat itu
di bawah tumpukan surat-surat yang lain, dan tidak berucap apa-apa.
“Ada kabar yang menggembirakan, Bu?” tanya Paul.
“Sangat menggembirakan,” sahut ibunya, namun suaranya dingin.
Wanita itu pun pergi ke kota tanpa berkata apa-apa lagi.
Namun saat sore Paman Oscar muncul. Ia mengatakan bahwa ibu Paul
menghabiskan waktu lama bersama si pengacara, menanyakan apakah keseluruhan
lima ribu itu dapat dikeluarkan sekaligus, karena wanita itu memiliki utang.
“Bagaimana menurut Paman?” tanya si anak.
“Kamu yang harus memutuskan.”
“Oh, kalau begitu tidak apa-apa. Kita masih bisa menghasilkan uang lagi,”
kata si anak.
“Jangan terlalu yakin,” ujar Paman Oscar. “Harapkan burung terbang tinggi,
punai di tangan dilepaskan. Lebih baik menjaga yang ada daripada mengharapkan
yang belum pasti.”
“Tapi aku yakin tahu pemenangnya untuk acara pacuan yang lainnya: untuk
yang Lomba Nasional, atau yang Lincolnshire, atau Derby. Aku yakin bisa tahu
pemenang salah satunya,” ujar Paul.
Maka Paman Oscar pun menandatangani persetujuan, sehingga ibu Paul
menerima keseluruhan lima ribu itu. Kemudian terjadilah suatu hal yang teramat
janggal. Suara-suara di rumah itu tahu-tahu menggila: sampai beribu-ribu. Ada
perabot baru, dan Paul pun mendapat guru. Ia benar-benar dapat
bersekolah ke Eton, sekolah ayahnya dulu, pada musim gugur nanti. Ada
bunga-bunga pada musim dingin. Namun suara-suara di rumah itu, di balik
bunga-bunga serta dari bawah bantal berwarna-warni, menjerit-jerit: “Harus
ada uang tambahan! Ah, harus ada uang tambahan. Ah, sekarang juga, lebih
daripada sebelumnya, harus ada uang tambahan!”
Paul menjadi ngeri. Ia mempelajari bahasa Latin dan bahasa Yunani, namun
waktunya yang terutama dihabiskan bersama Bassett. Lomba Nasional telah
berlalu: ia tidak mendapat “ilham”, dan kehilangan seratus paun. Musim panas
mendekat. Ia sangat cemas dengan balapan Lincoln. Namun untuk Lincoln sekalipun
ia tidak mendapat “ilham”, dan kehilangan lima puluh paun. Tatapannya jadi
nanar dan perilakunya aneh, seolah-olah ada yang hendak meledak dalam dirinya.
“Sudah biarkan saja,” kata Paman Oscar. “Jangan risaukan itu!” Namun
tampaknya si anak tidak benar-benar dapat mendengar perkataan pamannya itu.
“Aku harus tahu yang akan menang di Derby! Aku harus tahu yang Derby!”
kata anak itu berulang-ulang, mata yang biru besar itu menyorotkan suatu
kegilaan.
Ibunya menyadari betapa kalutnya anak itu.
“Kamu sebaiknya jalan-jalan ke pantai. Mau pergi sekarang saja, daripada
nanti-nanti? Supaya kamu membaik,” kata ibunya seraya cemas memandang si anak,
hatinya entah kenapa terasa berat karenanya.
Namun si anak mengangkat matanya yang biru janggal itu.
“Aku tidak mungkin bisa pergi sebelum balapan Derby, Bu!” sahutnya. “Aku
tidak mungkin bisa!”
“Kenapa tidak?” suara ibunya jadi sedih ketika si anak tidak menyetujui.
“Kenapa tidak? Kamu masih bisa pergi ke balapan Derby dari pantai bersama-sama
Paman Oscar, kalau mau. Buat apa menunggu di sini. Lagi pula, Ibu rasa kamu terlalu memikirkan
soal balapan. Ini pertanda buruk. Keluarga Ibu itu keluarga pejudi, dan baru
setelah besar kamu menyadari perbuatan itu sangat merugikan. Tapi sudah
telanjur. Ibu harus menyuruh Bassett pergi, dan meminta Paman Oscar tidak
membicarakan tentang balapan lagi dengan kamu, kecuali kamu berjanji untuk
bersikap bijaksana. Pergilah ke pantai dan lupakan balapan itu. Kamu terlalu
tegang!”
“Aku akan melakukan apa pun yang Ibu minta, asal jangan suruh aku pergi
sampai setelah balapan Derby,” ujar si anak.
“Menyuruh kamu pergi dari mana? Dari rumah ini?”
“Ya,” sahut anak itu, seraya menatap ibunya.
“Ah, kamu ini ada-ada saja, kenapa tahu-tahu kamu sangat memedulikan rumah
ini? Baru tahu kalau kamu sangat menyukai rumah ini.”
Anak itu tidak berkata apa-apa. Ia memendam rahasia di balik rahasia, yang
belum ia sampaikan, sekalipun kepada Bassett ataupun Paman Oscar.
Namun ibunya, setelah menimbang-nimbang untuk beberapa saat, berkata:
“Baiklah, kalau begitu! Tidak usah pergi ke pantai sampai setelah balapan
Derby, kalau maumu begitu. Tapi, janji, ya, jangan sampai keteganganmu itu
bikin kamu jadi tidak keruan. Janji, ya, jangan terlalu memikirkan soal acara-acara
balapan kuda itu, seperti katamu itu!”
“Ah, tidak,” kata si anak asal saja. “Aku tidak akan terlalu
memikirkannya, Bu. Ibu tidak perlu cemas. Aku tidak akan cemas, Bu, seandainya
aku jadi Ibu.”
“Seandainya kamu jadi Ibu, dan Ibu jadi kamu,” kata si ibu, “kira-kira apa
yang sebaiknya kita lakukan!”
“Tapi Ibu tidak akan cemas, kan?”
ulang si anak.
“Ibu akan lega sekiranya tidak perlu cemas,” sahut ibunya dengan suara
letih.
“Ah, memang seharusnya Ibu tidak perlu cemas,” kata si anak.
“Seharusnya? Nanti Ibu pikirkan,” ucap si ibu.
Rahasia di balik rahasia Paul adalah kuda kayunya, yang tidak bernama itu.
Sejak perawatnya pergi, kuda-kudaan itu dipindahkan ke kamarnya di lantai atas
rumah.
“Jelas-jelas kamu sudah terlalu besar main kuda-kudaan!” ibunya pernah
bilang.
“Yah, Bu, sampai aku bisa punya kuda sungguhan, aku ingin punya
barang peliharaan,” begitulah jawabannya yang ganjil.
“Kamu merasa senang dengan kuda-kudaan itu?” ibunya tertawa.
“Ah, iya! Kuda-kudaan ini bagus sekali, dan aku selalu senang bersama
dia.”
Balapan Derby kian mendekat, dan anak itu pun bertambah-tambah gelisah. Ia
hampir-hampir tidak mendengar yang orang katakan padanya, ia menjadi lekas
tersinggung, dan tatapannya pun sungguh-sungguh ganjil. Ibunya resah karena
anak itu. Kadang-kadang, sampai setengah jam, si ibu tahu-tahu saja merasakan
kecemasan yang nyaris menyakitkan akan anaknya itu. Ia ingin bergegas
menghampiri anak itu seketika itu juga untuk mengetahui apakah keadaannya
baik-baik saja.
Dua malam sebelum balapan Derby, si ibu menghadiri pesta besar di kota,
ketika perasaan cemasnya akan anak itu, putra sulungnya, memenuhi hatinya
sampai-sampai ia hampir tidak sanggup berbicara. Ia melawan perasaan itu dengan
segenap kekuatan. Namun rasanya terlalu kuat. Ia perlu meninggalkan acara dansa
itu dan turun untuk menelepon ke daerah tempat tinggalnya. Nona Wilmot, yang
menjaga anak-anak, amat terkejut ditelepon malam-malam.
“Apa anak-anak baik-baik saja, Nona Wilmot?”
“Oh, ya, mereka baik-baik saja.”
“Tuan Paul? Bagaimana dengan dia?”
“Dia baik-baik saja saat pergi tidur. Perlukah saya naik dan mengecek
dia?”
“Tidak usah,” sahut ibu Paul segan. “Tidak! Tidak usah repot-repot. Tidak
apa-apa. Tidak perlu menunggu sampai larut. Kami akan pulang sebentar lagi.”
“Baiklah,” ucap Nona Wilmot.
Saat itu sekitar pukul satu pagi saat ayah dan ibu Paul berkendara pulang.
Segalanya hening. Ibu Paul masuk ke kamarnya dan melepas mantel bulu putihnya.
Ia mendengar suaminya di lantai bawah sedang menyiapkan minuman.
Lantas, karena kecemasan janggal yang mengisi hatinya itu, ia pun
perlahan-lahan naik ke kamar putranya. Pelan-pelan ia menyusuri lorong di
lantai atas itu. Ada suara sayup-sayup? Apakah itu?
Wanita itu berdiri di sebelah luar pintu dan mendengarkan. Ada bunyi yang
berat, janggal, namun tidak keras. Jantungnya berdetak sunyi. Bunyi itu tanpa
suara, namun bergegas dan bertenaga. Tampaknya sangat besar dan gerakannya pun
bengis. Apakah itu? Ia harus mengetahuinya. Ia merasa mengenali bunyi itu. Ia
tahu benda apa itu.
Namun ia tidak merasa yakin. Ia tidak dapat menerangkannya. Dan benda itu
terus saja bergerak, seperti keedanan.
Dengan lembut, sekaligus beku oleh cemas dan takut, wanita itu memutar
pegangan pintu.
Ruangan itu gelap. Namun dari ruang dekat jendela, ia mendengar dan
melihat ada yang bergoyang maju mundur. Ia menatapnya dengan takut sekaligus
takjub.
Lantas tiba-tiba ia menyalakan lampu dan mendapati putranya keedanan
berayun di atas kuda kayu itu. Sengitnya cahaya sekonyong-konyong menerangi
anak itu dan menerangi wanita itu pula sementara ia berdiri dalam gaun hijau
pucat di ambang pintu.
“Paul!” jeritnya. “Apa-apaan kamu ini?”
“Malabar!” teriak putranya, dengan suara menggelegar namun janggal.
“Pemenangnya Malabar!”
Matanya menyala ke arah si ibu untuk sesaat yang hampa sementara ia
menghentikan kudanya. Lantas berdebumlah ia ke lantai dan ibunya yang dibanjiri
perasaan nestapa pun cepat-cepat menopang si anak.
Namun anak itu tak sadarkan diri, dan tetap demikian, sembari meradang.
Kata-kata dan gerakannya tidak keruan, sementara si ibu duduk membatu di
sisinya.
“Malabar! Pemenangnya Malabar! Bassett, Bassett, aku sudah tahu!
Pemenangnya Malabar!”
Anak itu pun menjerit-jerit, berusaha bangkit, dan menuju pada kuda-kudaan
yang telah memberi dia ilham.
“Apa maksudnya Malabar?” tanya ibu yang hatinya ketakutan itu.
“Tidak tahu,” sahut si ayah dingin.
“Apa maksudnya Malabar?” si ibu menanyai kakaknya, Oscar.
“Itu salah satu kuda yang berbalap di Derby,” begitu jawabannya.
Dan Oscar Creswell pun bicara pada Bassett, sedang dirinya sendiri
bertaruh seribu paun untuk Malabar: empat belas untuk satu.
Pada hari ketiga, penyakit anak itu sangatlah berat. Mereka menanti adanya
perubahan. Anak yang berambut ikal agak panjang itu gelisah sepanjang waktu di
tempat tidurnya. Ia tidak tidur, tidak juga sadar, matanya serupa batu berwarna
biru. Si ibu merasa hatinya telah lolos, benar-benar berubah menjadi batu.
Malamnya Oscar Creswell tidak datang, namun Bassett mengirimkan pesan yang
mengatakan bahwa ia akan datang mampir sebentar, cuma sebentar? Ibu Paul sangat
gusar, namun ia menyetujui. Anak itu masih belum ada perubahan. Barangkali
Bassett akan memulihkan kesadarannya.
Si tukang kebun, lelaki pendek bermata cokelat kecil yang tajam itu,
pelan-pelan memasuki kamar dan menghampiri sisi tempat tidur. Dilihatnya si
anak yang resah lagi sekarat itu.
“Tuan Paul!” ia berbisik. “Tuan Paul! Malabar benar masuk pertama, menang
besar. Sudah saya lakukan sesuai dengan kata tuan. Tuan mendapat tujuh puluh
ribu paun lebih; tuan punya delapan puluh ribu paun lebih. Malabar benar masuk
pertama, Tuan Paul.”
“Malabar! Malabar! Tadi aku bilang Malabar, kan, Bu? Tadi aku bilang
Malabar? Apa menurut Ibu aku beruntung? Aku tahu pemenangnya Malabar, ya kan?
Delapan puluh ribu paun lebih! Itu namanya beruntung, kan, Bu? Delapan puluh
ribu paun lebih! Aku tahu itu! Malabar benar masuk. Kalau aku menaiki kudaku
sampai aku merasa yakin, aku akan memberitahumu, Bassett, kamu bisa bertaruh
sebanyak-banyaknya. Kamu bertaruh banyak, Bassett?”
“Saya bertaruh seribu, Tuan Paul.”
“Aku tidak pernah memberitahumu, Bu, bahwa kalau aku menaiki kudaku, dan sampai
ke sana, dan lalu aku merasa yakin sepenuhnya—oh, sepenuhnya; Bu, apa aku
pernah cerita padamu? Aku memang beruntung!
“Tidak, kamu tidak pernah cerita,” kata si ibu.
Namun si anak mati malam itu.
Dan sementara si anak terbaring tanpa nyawa, si ibu mendengar suara
kakaknya berkata padanya: “Hester, kamu mendapat delapan puluh ribu, tapi
putramu mati. Tapi, kasihan, sungguh kasihan, sudah yang terbaik bagi dia agar
beristirahat dari kehidupan menaiki kuda kayunya untuk menemukan pemenang.”[]
DAVID HERBERT LAWRENCE (1885-1930) menulis beberapa novel pelik, beberapa buku puisi, serta cerita pendek. Esainya, “Fantasia of the Unconscious” (1922) merupakan contoh jenis karyanya yang lain. “The Rocking-Horse Winner” adalah cerita pendek tentang anak laki-laki yang dapat mengetahui pemenang pacuan kuda yang akan datang dengan menunggangi kuda-kudaannya. Anak ini memperoleh banyak uang, tapi kemudian dia mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar