“Eh? Kenapa ini, kok tiba-tiba?”
“Aku harus segera
jadi kreator. Kamu mahasiswa Institut Animasi Yoyogi, kan? Kamu tahu banyak kan
soal yang begituan?”
“Enggak. Yah, kurasa iya. Serius nih?”
“Aku serius. Aku
sungguh-sungguh serius. Apa saja boleh deh. Pokoknya beri tahu saja bagaimana
supaya aku bisa segera jadi kreator! Tolong, ya?”
“Teleponnya kututup, ya. Datanglah ke
kamar.”
Kejutan dari
situasi ini cukuplah hingga memaksaku untuk menelepon tetangga sebelahku.
Panggilan telepon ini yang pertama kalinya sejak berbulan-bulan.
***
“Kalau kita bertemu lagi, aku akan kasih
lihat kamu pekerjaanku.” Baru beberapa menit lalu, aku benar-benar mengatakan
ini. Aku telah membusungkan dadaku dengan kebanggaan dan dengan konyolnya
mengucapkan ini keras-keras. Kalau kita
bertemu lagi ….
Kiranya pertemuan itu bakal terjadi tidak
lama lagi. Sepertinya Misaki tinggal dekat sini. Bahkan bisa saja aku
berpapasan dengan dia di kota secara kebetulan. Pada waktu itu, aku mesti
mengubah kebohongan besarku yang luar biasa tolol menjadi kenyataan. Aku harus
menjadi kreator betulan. Tapi, kreator itu apaan sih? Apaan tuh?
Yamazaki, sembari
duduk di depan komputernya seperti biasa, meringkaskan keadaanku. “Pendeknya,
Satou, kamu ini berbohong parah karena kamu ingin terlihat baik di hadapan
cewek cantik. Dan sekarang kamu kebingungan dan berusaha untuk menutupi
kenyataan bahwa kamu sudah bohong? Apakah itu sudah cukup merangkum?”
Dengan pipi
memanas, aku mengangguk. Aku tidak peduli
kalau kamu mencemoohku, Yazamaki. Kamu sudah tahu identitasku yang sesungguhnya
sebagai hikikomori penganggur putus kuliah! Tidak ada lagi rahasia yang lebih
memalukan daripada ini. Tolong aku, Yamazaki!
“Ah, enggak usah
khawatir. Aku enggak bakal mengolokmu atau semacam itu. Hm ….”
Yamazaki melipat
kedua lengannya dan mengerang, hanyut dalam pemikiran. Aku duduk di lantai dan
dengan sabar menunggu dia berbicara. Akan tetapi, kalimat dia berikutnya tidak
masuk akal bagaimanapun juga. “Pertama-tama, terlepas dari bagaimanapun seorang
gadis sungguhan merendahkanmu, apakah itu benar-benar soal penting?”
“Eh?”
“Dengarkan aku,
Satou. Wanita itu … mereka bukan orang. Bukan, mereka bukan manusia normal.
Malah, mungkin enggak berlebihan kalau dibilang mereka itu bukan main
hampir-hampir monster tak berperi kemanusiaan. Karena itu, enggak usahlah kamu
menyusahkan diri begini. Apa masalahnya kalau kamu dihinakan perempuan?”
Ekspresi dia tenang seperti biasanya.
Serta-merta aku jadi sangat risi.
Ia melanjutkan,
“Mereka itu enggak punya hati manusia yang sebenarnya. Kelihatannya mereka
manusia, tapi mereka mahkluk yang berbeda. Satou, sebaiknya kamu pahami dulu
kenyataan ini.”
“Ya—Yamazaki ….”
“Ha ha ha! Yah, lagian, itu bukan urusan
yang sebegitu besarnya. Apa pun alasan di balik keputusanmu untuk jadi kreator,
ide itu sendiri bisa jadi lumayan. Enggak apa-apa. Mari kita pikirkan bersama.”
Bangkitlah ia dari
meja komputer, lalu duduk di hadapanku. Gerakannya terpompa oleh kepercayaan
diri yang ajaib. Agaknya, rentang empat tahun dapat secara drastis mengubah
kepribadian seseorang. Sekarang Yamazaki terlihat bergulir ke arah emosi yang
berbahaya. Akan tetapi, pada titik ini, itu tidaklah penting sama sekali. Kalau
itu dapat membantu memecahkan masalahku, aku mau saja membungkuk pada setan.
“Enggak, enggak.
Enggak usah sampai membungkuk begitulah. Mari kita mulai. Singkatnya, ada
beraneka macam kreator, Satou—mana yang kamu suka?”
“Hah? Seperti kataku tadi, aku ingin jadi
kreator ….”
“Enggak ada
pekerjaan namanya ‘kreator’!” suara Yamazaki jadi gahar. “Itu cuma istilah umum
untuk pekerjaan seperti menulis atau menggambar komik. Pada dasarnya, seorang
‘kreator’ itu orang yang membuat sesuatu. Jadi, kamu mau membuat apa, Satou?
Itu pertanyaanku.”
“Apa saja, asalkan aku bisa disebut
kreator.”
“Argh.” Yamazaki mengencangkan
tangan kanannya hingga terkepal. Lantas, seolah-olah ia telah menguasai dirinya
kembali, ia mendesah dalam-dalam. “Yah, marilah mulai dari situ. Kalau begitu,
Satou, kamu punya kecakapan apa?”
“’Kecakapan’
bagaimana maksudnya?”
“Kayak, bisa enggak
kamu menggambar, menulis lagu, atau menulis program komputer yang bagus? Ada
ragam kemungkinan.”
“Aku enggak bisa
melakukan apa-apa. Kalau harus ada jawabannya, sepertinya aku berbakat
menyendiri. Aku sanggup hidup setahun penuh tanpa bertemu siapa-siapa—“
“Itu sih enggak ada gunanya!” Yamazaki
menggebrak lantai dengan kedua tangannya.
“Aku kan sudah bilang, aku tuh enggak
berharga!” seruku balik.
Yamazaki berdiri
dan mencecarku dengan kekuatan yang lebih besar. “Enggak mungkin orang yang
enggak punya kecakapan bisa menjadi kreator dengan mudah, kan?! Enggak benar
juga kalau mau gampangnya doang terus-terusan. Dengar, ya, kamu ketawa sewaktu
aku kasih tahu kamu bahwa aku kuliah di Institut Animasi Yoyogi, kan, Satou?
Oh, enggak apa-apa, enggak usah ditutup-tutupi …. Biar begitu, sudah jelas
bahwa menyangkut urusan kreatif, aku
lebih cakap daripada kamu. Tolong dimengerti, ya.”
Karena dia cukup meyakinkan selama pidato
kecamannya yang panjang, dengan sendirinya aku mengangguk berkali-kali.
Tahu-tahu, tubuh Yamazaki jadi lunglai.
“Enggak, gara-gara ingat para idiot di kelasku, aku jadi terlalu bersemangat.
Orang-orang seperti itu yang paling bikin aku gila—orang-orang yang cuma
bicara, berkumpul sendiri-sendiri, padahal mereka sendiri tidak bisa apa-apa.”
Agaknya entah bagaimana aku telah mengusik
masalah dia dengan kehidupan kampusnya. Aku memutuskan untuk membuatkan dia
kopi supaya dia tenang. Dengan memulung gelas kertas yang belum dipakai dari
sampah yang terserak di lantai, aku menuangkan air dari cerek panas yang
terletak di atas kabinet. Lantas, setelah memancing lebih jauh ke bawah tempat
tidur, aku menemukan satu kue beras kemasan ekonomis.
Sembari makan kue, kami minum kopi.
Setelah tenang,
Yamazaki kembali pada pokok pembicaraan. “Kalau begitu, mari memikirkannya
secara lebih konkret kali ini. Musik perlu keahlian yang tinggi dan selera yang
tajam, jadi itu di luar jangkauanmu, Satou. Kalau pemrograman, kamu enggak
pandai matematika, kan, ya? Jadi, itu juga enggak mungkin. Seni rupa juga
mustahil, ya? Aku pernah lihat gambarmu. Jadi, bikin ilustrasi manga enggak
bakal berhasil. Lalu ….”
Tahu-tahu Yamazaki
menampar lututnya. “Satou, kamu dulu anggota klub sastra, kan, ya?!”
“Terus …?”
“Novel! Bikin novel!”
Kupuntir muka jadi
rengut. “Enggak, aku enggak mau itu! Aku enggak pernah menulis karangan panjang
lagi sejak terpaksa sewaktu SMP. Lagi pula, novel terlalu membosankan. Enggak
bakal berhasil—“
Yamazaki membersut
padaku lagi. Sembari berdengus kasar lewat hidungnya, ia bergumam pelan,
“Lupakan saja, kalau begitu?”
Aku merasa disentuh ketakutan lantas
memutuskan untuk mengganti topik.
“O—omong-omong,
Yamazaki, kamu belajar apa di kampus? Anime, kan ya? Apa kamu melukis sel dan
semacamnya?”
Yamazaki
menggeleng. “Walaupun sebutannya Institut Animasi Yoyogi, jurusannya ada
bermacam-macam. Aku di jurusan Pembuatan Gim.”
Pembuatan Gim?
Mendengar frasa itu lagi, aku jadi bergairah. “Kreator gim.” Terasa bergema.
Titel itu berkesan begitu kekinian. Industri yang glamor di abad modern ini.
Pekerjaan nomor satu yang diinginkan anak-anak SD. Aku membayangkan tokoh besar
dalam industri ini berjalan-jalan dengan Lamborghini, mendapat hiburan di klub
kelas atas Ginza. Bundel-bundel uang kertas beterbangan di sekelilingnya saat
para perekrut tenaga kerja membujuk rayu dia, menongkrong di tengah banyak
antrean panjang yang menanti gim super populer terbaru ciptaannya. Kemudian,
ada murid SMA menakutkan yang mencuri salah satu gim paling dinantikan ini dari
seorang anak SD, lantas cerita ini diangkat dalam siaran berita pukul enam. Si
kreator gim bakal kaya gila-gilaan.
Itu pekerjaan yang
bergaji besar, dengan bayaran per tahun seratus juta yen! Sangat keren!
Sempurna!
Setelah menandaskan
kopiku dalam sekali teguk, kurenggut tangan Yamazaki. “Ayo kita berusaha jadi
kreator gim!”
***
Saat itu sudah lewat pukul sebelas malam.
Yamazaki menyesap cangkir kopi instannya yang kesepuluh, dan aku saking
laparnya hingga menyeduh ramen instan.
Yamazaki jadi
marah. “Jangan sembarangan ambil persediaan makan orang dong!”
Aku menundukkan
kepala meminta maaf kemudian menaburkan sejumlah lada ke atas mi. Selagi aku
menyeruput ramen, Yamazaki menggagap, “Eng—enggak mungkin pemula bisa bikin
gim.”
“Makanya kamu harus membantuku.”
“Gim modern itu
seni yang menyangkut banyak hal. Gim yang layak itu bisa dibuat hanya dengan
memadukan berbagai kecakapan khusus. Orang kayak kamu enggak akan bisa, Satou.”
“Setelah sekian lama kita enggak ketemu,
omonganmu mulai benar-benar kurang ajar, ya?” aku merasa ingin mengatakannya
biar dia kesal. Tapi, setelah memikirkannya, aku menyadari bahwa dari dulu juga
dia sudah kurang ajar. Yeah, itu benar. Walaupun dia lemah, dia itu tipe orang
yang berkata seenaknya tanpa pandang bulu. Ia terang-terangan menyebut teman
sekelasnya idiot atau mengusir mereka. Itu sebabnya dia ditindas. Sepenuhnya
gara-gara salah dia sendiri.
Kepadaku ia bicara
sopan, tapi begitu mendapati bahwa aku telah menjadi penganggur, hikikomori
putus kuliah, tinggal tunggu waktunya sampai dia mulai memperolokku, mengataiku
“tak berharga” di depan mukaku. Tapi, itu bukan soal yang penting. Sekarang
ini, aku mesti melakukan apa saja agar menjadi seorang kreator gim. Aku mesti
menjadi bagian dari dunia industri. Tolonglah,
Yamazaki ….
“Aku bisa mengerti
sulit bagimu untuk minta bantuanku. Tapi, ada hal-hal yang tidak mungkin, mau
meminta-minta bagaimanapun juga, Satou.”
“Tolonglah, lakukan sesuatu untuk
menolongku!”
“Satu hal saja,
tidak mungkin suatu hal yang kamu mulai untuk memperoleh rasa hormat seorang
cewek dapat bertahan lama. Sudah jelas kamu akan segera kehilangan motivasi.”
“Itu enggak benar! Aku serius! Aku
bersemangat!”
“Aku harus kuliah besok. Aku sudah capek.”
“Bukan hanya rasa
hormat Misaki. Kalau bisa jadi kreator gim, aku juga enggak bakal jadi
hikikomori lagi, kan?!”
“Mana mungkin.”
“Mungkin!” paksaku.
“Enggak bakal berhasil.”
“Bakal.”
Sejam lagi kulalui
dengan memohon pada dia. Aku berusaha memenangkan hatinya, membujuk dia,
meneriaki dia—dan akhirnya, aku berusaha memancing keluar sisi baiknya. “Selagi
kamu kuliah, aku bisa merekamkan anime di TV. Iklannya juga nanti aku potongkan
deh.”
Akhirnya, Yamazaki
menyerah. “Hah, Satou, kamu ini sepertinya bertekad sekali.” Suaranya
sungguh-sungguh.
“Ya. Aku memang
serius. Aku bertekad penuh."
“Kalau begitu, ada
satu cara yang bahkan kamu pun, Satou, bisa menjadi kreator gim. Tapi ….”
“Tapi?”
“Ini mungkin jalur
paling berdarah-darah, cara yang menyakitkan lagi beratnya tiada akhir yang
akan membuat siapa saja
meninggalkannya, apalagi orang kayak kamu, Satou.”
Wajah Yamazaki
menyeramkan, dan aku pun serta-merta meneguk ludah. Tapi, tekadku sudah mulai
kukuh. Aku akan melakukannya,
bagaimanapun juga. “Aku akan melakukan apa pun,” kataku.
“Benar nih?”
“Aku mengangguk.”
“Benar? Jangan bilang, ‘Aku menyerah,’ di
tengah-tengah, oke?”
Aku kembali mempertunjukkan anggukan
dalam-dalam.
Yamazaki menyeduh cangkir kopinya yang
kesebelas, dan aku mulai menyeruput mangkuk ramen yang kedua. “Aku mengerti,
Satou. Mari bicara. Akan kuberitahukan rencanaku.” Sembari mencondongkan
badannya, Yamazaki berkata-kata penuh rahasia. “Gim dewasa ini dibuat dalam
skala besar-besaran. Dibutuhkan sejumlah besar data dan pemrograman yang
presisi, sehingga orang-orang baru seperti kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan membuat gim yang kelasnya sudah ketinggalan zaman seperti Super Nintendo
saja sudah merupakan ujian, paling banter. Sekalipun kamu berhasil membuat yang
semacam itu, kamu masih belum bisa menyebut dirimu seorang kreator gim.”
“Jadi—“
Yamazaki cepat-cepat memotong. “Dengarkan
dulu, ya? Kita tuh enggak punya anggaran, enggak punya kenalan orang dalam, dan
sumber daya kita sangat-sangat terbatas. Walaupun kita seadanya, masih ada
jalan. Malah enggak harus bisa menulis program yang layak atau menyiapkan musik
bagus, asalkan kita punya sekitar lima puluh CG—computer graphic—ilustrasi, dan sebundel skenario, ada satu genre
gim yang bisa kita kerjakan!”
Suara Yamazaki sekarang tidak ayal lagi
terbalut oleh nafsu.
“J—jadi genre apa?” suaraku sendiri
terdengar kopong.
“Selama
pemrogramannya jalan, asalkan kita pakai perangkat lunak gratis, kita akan
lancar-lancar saja. Untuk soundtrack
kita ambil dari CD musik yang bebas hak cipta. Aku yang menggambar CG, Satou,
dan kamu yang menulis skenario.”
Skenario? Ah,
semestinya itu gampang asalkan aku tinggal menulis yang wajar-wajar saja.
Misalnya saja, “si hero harus menyelamatkan seorang putri yang diculik para
penjahat”.
“Oke,” kataku. “Aku
akan menulis skenario gim sebanyak apa pun yang kamu inginkan. Apa genrenya?”
“Kamu mau melakukannya, Satou?!” Yamazaki
menepuk kedua belah pundakku.
“Yeah, ayo kita
lakukan, Yazamaki. Mari kita bikin gim! Jadi, seperti yang kutanyakan tadi,
genrenya apa?”
“Asalkan CG dan skenarionya bagus, kita
bisa jadi terkenal. Malah mungkin enggak bakal sulit kalau kelak jadi
profesional. Kalau proyek keluaran sendiri ini menghasilkan uang, kita bahkan
bisa mendirikan perusahaan!”
“Perusahaan! Hebat,
Yazamaki. Kamu jadi direkturnya, dan aku yang jadi wakilnya! Genrenya apa?”
“Kamu mau melakukannya, kan, Satou?”
“Yeah, aku mau.”
“Kalau sudah sejauh ini, tidak ada jalan
kembali.”
“Berapa kali sih aku mesti tanya?”
“Kalau begitu, kita
sepakat, ya. Bersama-sama, kita bisa berlari menuju hari esok!” Yamazaki
mengambil tanganku dan menjabatnya erat-erat. “Jiwa kita telah terjalin.”
“Seperti yang sudah
kutanyakan tadi, genre gimnya apa?”
“Kita sahabat!”
“Genrenya apa?”
“Kita kreator!”
“Seperti yang
terus-terusan kutanyakan, apa sih genre gimnya?!”
Yazamaki akhirnya
dengan bangga menjawab pertanyaan yang telah kuajukan berulang-ulang itu. “Gim
erotis.”
Tolonglah, ada yang selamatkan aku.
***
Gemetar aku berusaha kembali ke kamarku sendiri, tapi
Yamazaki menarikku balik. “Ini bahan-bahannya. Silakan dilihat-lihat begitu
sempat. Kalau kamu suka main gim begini, kamu bisa tahu tren industri.” Sembari
mengatakannya, ia menyerahkan sekitar tiga puluh kotak gim. Kemasan-kemasan ini
dilapisi kata-kata seperti “penyiksaan”, “basah”, “pelecehan”, “cabul”, “dasi”,
“sekolahan”, “kurungan”, “perkosaan”, “biadab”, “cinta sejati”, “pelatihan”,
dan “petualangan”.
Aku mau menangis. Tapi Yamazaki
menyeringai.
“Gim ini enggak dijual buat anak di bawah
umur karena gim erotis. Yah, ini memang gim yang sungguh, sungguh erotis—tapi
ini satu-satunya jalur yang terbuka bagi kita, jadi mari kita menjadi kreator
gim erotis. Mari kita balas orang-orang di kelasku dengan gim erotis kita! Mari
jadi miliarder dengan gim erotis kita! Mari jadi terkenal di seluruh dunia
karena gim erotis kita! Kita akan ke Hollywood dengan gim erotis kita! Mari
kita terima Tanda Jasa Kebudayaan[1]
dengan gim erotis kita! Mari kita dapatkan Hadiah Nobel untuk gim erotis ….”
Senyumnya terus bersinar, menguapkan habis
perasaanku untuk melepaskan diri dan lari.
[1] Tanda Jasa di Jepang (bintang kehormatan) yang diadakan
sejak 1937. Tanda jasa ini hanya terdiri dari satu kelas dan dianugerahkan atas
kontribusi terhadap kesenian, kesusasteraan, atau kebudayaan Jepang.
Penerimanya juga mendapatkan tunjangan seumur hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar