“Bukan agak lagi!” jawab istri Gorohachi, sambil
berkotek-kotek histeris. “Biasanya, kalian sudah sampai memanjatkan doa!”
“Biasanya kita sudah sampai memanjatkan doa,”
Hatayama mengulanginya kepadaku.
“Tapi aku ini orangnya punya tekad yang kuat,”
lanjut wanita itu. “Tidak seperti Gorohachi. Jadi untung saja aku yang terbang
hari ini.”
“Dia bilang pesawat ini dapat terbang karena tekad
yang kuat,” Hatayama memanggilku dengan suara mau menangis. “Kamu dengar? Tekad
yang kuat!”
“Mereka cuma lagi meledekmu saja karena kamu ini
cengeng kayak bayi,” jawabku.
Sekarang kami dikelilingi oleh awan hitam. Pesawat bekertak dan berguncang lagi. Titik-titik air mulai menetes turun, dari engsel pada kerangka aluminium di langit-langit, ke tikar jerami di lantai. Hatayama memandangku. Tahu dia bakal mulai lagi, aku pura-pura tidak mengacuhkannya. Sehingga dia mendekatkan mulutnya tepat ke telingaku.