Ia berdiri di dekat sungai. Menatap batu-batu pijakan, masing-masing
diingat-ingatnya. Di tengah ada satu batu bundar yang goyah, meruncing, dan datar—batu yang aman tempat kau bisa berdiri dan melihat-lihat. Batu yang
selanjutnya tidak begitu aman ketika sepanjang sungai sedang dipenuhi aliran
air. Bahkan ketika tampaknya kering, batu itu tetap licin. Namun setelahnya
tidak sulit. Segera ia sampai di seberang.
Jalan tersebut lebih lebar ketimbang dahulu, namun dikerjakan secara
asal-asalan. Pepohonan yang tumbang tidak dibersihkan. Semak belukar tampak
terinjak-injak. Namun ini masih jalan yang sama. Ia menapakinya dengan
kegembiraan yang luar biasa.
Hari yang indah, hari yang biru. Hanya saja langit terlihat seperti kaca. Hanya itu kata yang terpikirkan olehnya. Seperti kaca.
Ia berpaling ke sudut jalan. Ia lihat jalan berbatu yang lama telah dibongkar.
Di sana juga ada jalan yang lebih lebar, tapi tampaknya sama-sama belum
selesai.
Ia sampai di batu pijakan yang telah aus, yang menuju ke rumah itu.
Jantungnya mulai berdebar. Semak pandannya sudah tidak ada, begitupun rumah musim
panas buatan yang disebut ajoupa. Tapi pohon cengkihnya masih ada di sana. Rerumputan tinggi terbentang di puncak anak tangga, sebagaimana diingatnya.
Ia berhenti dan memandang ke arah rumah yang telah diperbesar dan dicat putih.
Rasanya aneh mendapati mobil di depan rumah itu.