Fase tersesat. Tidak diragukan lagi. Pada
mulanya, hutan itu tampaknya tempat yang cukup menyenangkan—dihuni oleh banyak
burung dan binatang lainnya yang menarik. Pun banyak tanaman yang tampaknya
bisa dijadikan bahan bakar-bakaran bertumbuhan di mana-mana.
Empat hari kemudian, semua tanaman
menjadi terlalu lembap untuk dapat dibakar, burung-burung membuatnya tidak bisa
tidur pada waktu malam, dan Fase tidak kunjung menjumpai binatang yang tidak
mencoba-coba menyerangnya. Ralat. Ia tidak kunjung menjumpai binatang yang
tidak berhasil menyerangnya.
Kini ia tersesat di sebuah rimba tak
berpenghuni yang asing, di sebuah planet yang amat jauh di jagat yang
sepenuhnya paralel, dan suara-suara genderang itu membuatnya gila.
Kemustahilan adanya suara-suara genderang
di rimba tak berpenghuni menyentaknya, bersamaan dengan melesatnya sebuah
tombak dari semak-semak yang lalu menancap di sisi kirinya.
Ketika sadar, ia mendapati dirinya duduk
di sebuah tanah terbuka, dikelilingi oleh sekitar empat lusin wanita muda.
Mereka mengenakan semacam bikini berbulu yang akan membikin aktris seksi
mana pun putus asa dan mengundurkan diri.
Sekuat tenaga ia menahan agar tidak
mencubiti dirinya sendiri, kalau-kalau ia ternyata hanya bermimpi.
“Halo,” ucapnya, masih agak linglung
akibat serangan tadi.
Beberapa yang lebih muda di antara
mereka (berusia sekitar 18 tahun) membumbung melintasi tanah terbuka itu menuju
pondok-pondok lumpur yang mengitarinya. “Ya Tuhan!” pikir lelaki itu. “Dari atas
mau pun dari sebelah sini mereka kelihatan hampir sama seksinya.”
Wanita yang tertua (sekitar 23 tahun)
mengamatinya dari atas ke bawah.
“Kau ini laki-laki?” tanyanya.
“Kau tidak bisa membedakannya?” sahut lelaki
itu. Ia berusaha agar suaranya tidak terdengar bergetar.
“Semua lelaki dari kaum kami tewas
bertahun-tahun lalu akibat bencana aneh yang melibatkan sekawanan Kura-kura
darat. Jangan tanya. Maka beberapa tahun terakhir ini kami sibuk mencari
laki-laki di hutan, supaya ada yang membantu kami dalam urusan apapun yang
menyangkut ‘memiliki keturunan’.”
Diam-diam Fase memutuskan untuk tidak
akan mencubiti dirinya lagi selama ini berlangsung terus, kalau saja.
“Jadi kapan aku bisa mulai?”
“Sekarang juga, kalau kau mau,” wanita
yang berambut cokelat dan bertubuh jangkung itu berucap di sisi kirinya.
Fase menggosok-gosok tangannya dengan
girang.
“Anak-anaknya di sebelah sana,” kata
wanita yang berambut merah.
Fase bingung, “Anak-anak?”
“Ya,” wanita yang berambut pirang
menjelaskan, “Untuk urusan yang satu itu kami punya lebih dari cukup lelaki. Di
hutan ini ada banyak suku yang para lelakinya terlalu bersemangat menjadi
sukarelawan. Akibatnya kami terlalu sibuk ngeseks dan tidak sempat membesarkan
anak kami sendiri, jadi mesti ada laki-laki lainnya yang ditugaskan untuk
mengasuh mereka.”
Salah seorang dari mereka memegang
lengan Fase. “Jangan khawatir. Sisa hidupmu akan terasa berlalu begitu saja
selama kau berkonsentrasi mengganti popok dan tidak mencoba-coba kabur dengan
cara apa pun.” Wanita itu lalu tampak bingung. “Kenapa kau mencubiti dirimu
sendiri seperti itu?”[]
Alih
bahasa dari cerpen Paul O’Neill, “Phase in Space”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar