“Permisi
sebentar,” ucapku, seraya bangkit dan memburu Bel ke kamarnya. Di situ Bel
tengah berdiri sambil merenungi rak sepatu.
“Charles,
demi Tuhan, siapa juga yang mau memasukkanmu ke cerobong asap,” ujarnya. “Aku
mau ganti baju nih, dasar menyebalkan. Sebentar lagi aku balik ke sana.”
“Hei, aku
yang sebal,” tukasku. “Malah sebenarnya aku sebal sekali. Kukira kamu cuma mau
ambil susu.”
“Charles,” Bel menoleh, seraya
mengayunkan sisirnya tak sabar, “bisa enggak sih kamu enggak aneh-aneh sebentar
saja, mengobrol saja sama dia sampai—“
“Aku sudah
mencoba mengobrol sama dia,” ujarku, sambil menggeser gorden demi melihat angin
masih meluncur di atas rumput yang tinggi. “Apa pun yang kukatakan benar-benar
… meresap. Menjengkelkan sekali. Lalu
aku khawatir nanti dia jadi lapar, dan keliru mengira aku ini daging lamur.”
“Yah, kalau
kamu benar-benar memperkenankan aku berganti pakaian, setelah ini aku—baru sadar
aku, apa kamu memang berencana untuk mengolok-olok penampilan seharian ini? Atau
kemunduranmu yang tampaknya tak berkesudahan itu sudah mencapai taraf baru?”