Hujan turun
sejak pagi. Tana dalam perjalanan pulang
sekolah. Tiap Kamis sore ada pelajaran
menjahit, dan sekarang ketika di bis, Tana menyadari bahwa inilah kali pertama
ia pulang sekolah saat langit gelap. Bisa terus seperti ini hingga
berbulan-bulan. Di luar dingin dan hujan, sementara bis yang dinaiki Tana, yang
disesaki anak-anak lelaki dan perempuan, para murid sekolahan, panas beruap. Jendela-jendela bis berkabut. Ada yang berhasil membuka
paksa salah satu jendela itu, sehingga Tana, yang sudah berkeringat, jadi
membeku. Pikirnya: bisa-bisa aku sakit, tidak sekolah seminggu. Ia tidak
berusaha untuk menyingkir dari aliran angin itu. Ia tidak memprotes. Hujan
menampar wajahnya, matanya. Sudah
beberapa lama ini hujan tidak turun sehingga kota dan udara penuh debu. Tana
merasakan hujan menghunjami wajahnya, matanya.
Bis itu
ramainya bukan main, namun saking banyaknya suara menjejali kepala Tana hingga
semua penumpang seolah-olah membuka mulut tanpa mengeluarkan suara. Mereka
tertawa tanpa suara. Tana ingat pernah membaca di
ensiklopedia tentang suku Indian di Amerika Selatan yang hidupnya dikelilingi
oleh musuh yang ganas. Alhasil, orang-orang suku itu hampir tidak pernah
berbicara dan paling-paling hanya berbisik. Mulut anak-anak dibebat sampai
mereka mempelajari aturannya. Mereka memutus pita suara anjing-anjing pemburu
mereka dengan pisau khusus yang panjang dan tajam. Dengan begitu musuh tidak
akan mendengar suara mereka. Semua orang di desa itu bergerak dengan teramat
berhati-hati, dengan langkah sunyi. Mereka tidak menyalakan api. Jangan-jangan,
pikir Tana, desanya pun bukan desa sungguhan. Tiap orang memiliki sebuah
selubung, dan selubung yang menutupi kepalanya itulah yang menjadi rumah.
Dengan terkurung dalam rumahnya itu, dari kejauhan orang tersebut mestilah
tampak persis menyerupai belukar yang gundul, atau akar sebatang pohon tumbang
yang membusuk, atau kerangka hewan yang terabaikan. Benda yang tidak akan
menarik siapa pun. Mereka memakan hewan yang mereka bunuh mentah-mentah supaya tidak tercium aroma masakan, dan mereka memakannya
hingga potongan terakhir, hingga carikan kulit dan tulang terakhir, hingga bulu
terakhir, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Mungkin juga suku tersebut
tidak pernah berkumpul bersama-sama. Tiap orang mengembara sendiri-sendiri
dalam rimbunnya hutan basah, suami istri bertemu sesekali saja, selalu di
tempat yang berbeda-beda, selalu pada waktu yang ditetapkan menurut aturan yang
berbeda-beda. Walaupun seringnya, supaya
aman, mereka tidak mengadakan pertemuan sama sekali. Atau yang lebih mungkin,
lelaki suku itu mengembara di hutan, dengan berserah pada nasib atau para dewa
jika ia bertemu seorang perempuan, dan jika itu terjadi, maka perempuan itu
akan menjadi istrinya, dan jika ia bertemu seorang lelaki, maka lelaki itu akan
menjadi kawan atau lawan.