Suatu pagi, saat sedang
membereskan tempat tidur bersama ibunya, Cecila menampakkan gejala kegilaan.
Sekonyong-konyong dia berkata, “Tanahnya bergerak. Akan ada bencana.”
Ibunya memandang dia dengan sangsi. “Apa katamu?”
Cecila menjawab, “Apa?” Jelas dia tidak ingat perkataannya
barusan.
Ibunya mengulang kalimat itu. “Tanahnya bergerak. Akan ada
bencana.” Namun, karena melihat tatapan putrinya yang sungguh-sungguh tak
mengerti, intuisi si ibu memperingatkan agar tidak melanjutkan. Akan tetapi,
seharian kalimat itu terus terngiang dalam benak si ibu. Malam itu di pembaringan,
kala Cecilia sudah tertidur di ranjangnya sendiri, ibunya masih saja menggumam,
“Tanahnya bergerak.”
Hari-hari pun berlalu. Setiap hari sama saja dengan hari
lainnya pada tahun itu. Cecilia membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah,
menisik pakaian, dan kadang dia menangis. (Dua tahun lalu, pada hari Minggu,
mereka menonton sebuah film). Malam-malam, setelah si ibu membersihkan meja, sementara
Cecilia menutup jendela-jendela serta mengeluarkan baju tidur mereka, keduanya
pergi tidur meski hari belum gelap benar.
Baru terpikir oleh si ibu bahwa putrinya mungkin tak akan
pernah menikah. Pikiran itu sangat tidak mengenakkan, namun si ibu juga
menyadari bahwa dirinya akan sangat sedih apabila Cecilia tidak lagi hidup
bersamanya untuk menutup jendela-jendela dan mengeluarkan baju tidur.
Lama sudah si ibu melupakan ucapan ganjil gadis itu, hingga
suatu petang Cecilia mendongak dari tisikannya, menatap wajah ibunya
dalam-dalam dan berkata, “Kuda-kuda agak letih pagi ini, Mama.” Kali ini si ibu
terlonjak. “Ada apa denganmu, Nak? Kau sakit?” Ia bergegas menghampiri Cecilia.
Kedua tangannya merengkuh kepala gadis itu. Cecilia sadar kembali.
“Ada apa, Mama?”
“Kau bilang kuda-kuda agak ….”
“Aku tak pernah mengatakan apa pun tentang kuda, Mama,” gadis
itu menggeleng. “Mungkin Mama bermimpi.”
Namun Cecilia kembali meracau tiba-tiba pada keesokan
harinya, lalu tiap hari, beberapa kali sehari, hingga dengan bantuan kerabat ia
dirawat di rumah sakit jiwa di kota sebelah.
Hampir tiap minggu kepala rumah sakit mengirim laporan
kemajuan pada ibu Cecilia, meski ia tidak mengizinkan wanita itu berkunjung
selama anaknya dalam observasi. Akan tetapi, pada akhirnya izin berkunjung
diberikan, dan ibu yang lara itu pun datang ke klinik. Kepala rumah sakit mempersilakan
si ibu duduk dan mulailah ia berbicara panjang lebar.
“Pengobatannya baru dimulai. Seperti yang kami duga, delusi
Cecilia akhirnya menjadi fiksasi yang tetap. Ia meyakini dirinya Ratu Theodora.
Keyakinan itu meresap dalam setiap tindakan sadarnya. Pastinya sedih melihatnya
demikian, namun sekarang kami telah menemukan cara menangani delusi semacam
ini. Ada pengobatan khusus, yang baru-baru ini telah kami kembangkan.” Kepala
rumah sakit mengangguk pada asistennya, yang tersenyum. “Kami telah memberikan
beberapa suntikan uji coba yang hasilnya sangat bagus. Tubuhnya menerima obat
itu sepenuhnya. Oleh karena itu, kami yakin dapat menjalankan pengobatan ini
secara lengkap. Dengan dosis penuh, pengobatan ini akan menyebabkan semacam
epilepsi, namun setelahnya Cecilia akan benar-benar pulih.”
“Benar-benar pulih? Dia akan kembali seperti sediakala?”
“Tepat sekali.”
“Dia akan dibolehkan pulang? Kami bisa bersama-sama lagi? Oh,
Dokter!”
“Nah, mari,” sela dokter itu. Ia mengantar si ibu melalui
koridor, berhenti di depan sebuah pintu dan berbisik, “Ia di ruangan ini.” Ia
membuka pintu itu, melongok, dan berseru riang, “Cecilia, ibumu datang.” Lalu
ia mundur dan mengisyaratkan wanita itu agar masuk.
Sejenak si ibu terdiam, silau akan tembok yang putih. Lantas
ia melihat putrinya, yang tampaknya bertambah tinggi, sedang berdiri di samping
tempat tidur. Si ibu mengangkat tangannya dan melangkah menuju gadis itu, namun
merasa takut dan terhenti.
“Engkaukah itu, Ibunda terkasih? Terima kasih telah menempuh
perjalanan jauh. Kuharap mereka memperlakukanmu dengan baik, selayaknya kepada
ibunda sang Ratu?”
“Cecilia, Sayang,” rintih si ibu, yang sembari mencondongkan
tubuh ke depan, baru memerhatikan bahwa gadis itu terselubung oleh seprai,
seakan mengenakan mantel panjang. Ia menggapai pinggang gadis itu dan
memeluknya sesaat. Gadis itu membiarkan si ibu menciumnya, lalu mendorong
wanita itu dengan lembut.
“Ibunda terkasih, aku sungguh menyesal, aku tidak bisa
menghabiskan banyak waktu dengan Ibu hari ini karena ada tugas penting. Ibunda
duduklah dulu di kursi itu,” imbuhnya, seraya menunjuk bangku kecil di kaki
ranjang.
Si ibu terhuyung, nyaris tak sanggup mendudukkan dirinya di
tepi bangku itu, dan menggagap tak jelas. Cecilia yang masih berdiri berpaling
ke pojok ruangan dan berkata. “Ladies,
siapkan kamar untuk ibuku. Pengawal, kosongkan ruang tunggu tamu, aku tak
hendak menemui siapa pun hari ini. Ibunda, kemarilah lihat jendela ini.”
Ibu Cecilia pun menurut. Di jendela ia menarik napas
dalam-dalam. Di bawahnya yang terlihat hanyalah halaman sempit dengan jalur
hijau yang dikelilingi bunga aster. Ia berpaling pada putrinya lagi, bimbang
antara tetap berada di jendela atau kembali ke sisi gadis itu.
“Jika Ibunda kembali esok pagi dan memandang taman ini,
Ibunda akan melihatku sedang berjalan bersama sang Raja. Pada saat itulah kami
membicarakan urusan negara dan Paduka meminta pertimbanganku. Pagi ini,” Cecilia
merendahkan suaranya secara misterius. “Aku memintanya menggulingkan Paus, yang
merupakan musuhku. Di sisi lain,” ia meninggikan suaranya, merentangkan tangan
dan memalingkan wajah pada langit-langit yang putih. “Semua orang di sini
mengasihi dan mematuhiku. Ibunda sedang melihat apa? Oh, langit-langit? Apakah
Ibunda suka bintang-bintang emas dipasang di sekitar salib hijau itu?”
Seketika itu juga, di tengah kengeriannya, si ibu menyaksikan
langit-langit benderang oleh bintang-bintang. Sekujur tubuhnya gemetar, dan ia
menutup wajahnya dengan kedua belah tangan. Setelah merasa tenang kembali, ia
tak sanggup menatap Cecilia, yang masih berkata-kata.
“Begitu banyak hal lain yang ingin kutunjukkan pada Ibunda.
Esok pagi, kita akan mengawalinya dengan melihat-lihat permataku, ya, lalu
mahkota, mahkota emas dengan permata dan mutiara, yang kukenakan pada
penobatanku di Santa Sofia saat aku berdiri di samping Raja dikelilingi dupa dan
bebunyian yang indah. Bahkan kukira saat itu para malaikat di surga tengah
bernyanyi. Tak ada wanita lain di seluruh dunia ini yang pernah mengalaminya.
Tak ada wanita lain yang dapat merasakan kebahagiaan yang sedemikian.”
Cecilia terdiam dengan sorot mata bercahaya, namun hati ibunya
penuh ketakutan.
“Sayang, putriku yang manis, tidakkah kau ingat?”
“Apa yang mesti kuingat, Ibunda?”
Wanita tua itu tak sanggup berkata-kata. Ia tak lagi ingat
akan perkataan yang hendak disampaikannya. Tubuhnya limbung seakan ia baru saja
mendapati dirinya berada di pinggir tebing. Sambil berpegangan, ia menengadah
dan menatap wajah putrinya. Meski begitu, ia tak sanggup memandang lama-lama.
Setelah beberapa saat termenung, dengan tatapan menerawang Cecilia mulai
berbicara lagi.
“Ketika kita merasa sangat bahagia, kita tak sempat
mengingat-ingat. Yang terpikirkan tentang masa lalu hanyalah kesedihan. Aku
memiliki segalanya, Ibunda. Akankah Ibunda kembali pada hari upacara untuk
melihatku menaiki kereta kencana yang dihela empat ekor kuda putih?”
Si ibu memegang dahinya. “Ya, Sayang, aku akan datang.”
Dengan mata terpejam, gadis itu mendengarkan suara yang
seakan datang dari kejauhan. “Dan meja gadingku yang besar? Dan taman merak?
Pesta terang bulan di Bosporus? Ruang rahasia tempat aku membuat sendiri
parfumku? Singgasana tempat aku menerima duta besar dari semua negara di dunia?
Ibunda, Ibunda.” Kini gadis itu bersorak dalam luapan sukacita. “Ibunda, aku
ingin engkau melihatku berjalan-jalan dengan mantel unguku, saat orang-orang
menghamburkan diri ke kakiku seraya menyerukan ‘Yang Mulia, Yang Mulia.’”
Ibu Cecilia mendapati dirinya di koridor tengah bersandar
pada dinding, tanpa ingat bagaimana bisa berada di sana. Ada yang menemukannya
dan membawanya ke tempat dokter tengah menunggu. Begitu melihat dokter, ia menegakkan
tubuhnya, dan sebelum lelaki itu sempat berkata-kata, ditegaskannya dengan
suara yang dingin dan kaku, “Jangan sembuhkan putri saya.”[]
Massimo Bontempelli (1878-1960)
penulis Italia yang juga bekerja sebagai wartawan, guru, dan musikolog, serta
menjabat sebagai perwira artileri pada Perang Dunia Pertama. Pada 1926 ia
mendirikan jurnal sastra yang kontroversial, 900, yang mana James
Joyce, Max Jacob, dan Rainer Marie Rilker termasuk editornya. Ia salah satu
penulis inventif paling cemerlang pada abad ke-20, dan banyak yang
menganggapnya sebagai bapak dari “realisme magis”. Bontempelli menulis lebih
dari enam puluh buku puisi, drama, fiksi, dan teori menulis. Cerpen ini diambil
dari buku kumpulan cerpennya, The Faithful Lovers, dan diterjemahkan berdasarkan versi bahasa Inggris Estelle Gilson
dalam Words Without Borders edisi
Agustus 2007: “Dreams of Our Russian Summer”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar