Kisah ini terjadi saat masa muda dan optimisme merupakan kawan baikku.
Angin sepoi-sepoi musim semi berembus sepanjang jalan Matienzo di Las Cañitas
pada Kamis sekitar pukul sebelas, satu-satunya hari dalam seminggu ketika
jadwal mengajarku kosong. Aku mengajar Bahasa dan Sastra di beberapa SMA. Saat
itu usiaku dua puluh tujuh tahun, sangat bersemangat dengan buku dan imajinasi.
Aku sedang duduk-duduk di balkon sambil minum maté[1] dan membaca
ulang, setelah lima belas tahun berselang, petualangan memikat tentang Tambang
Raja Sulaiman. (Sedihnya, rupanya aku jauh lebih menikmati cerita tersebut
semasa bocah.)
Tahu-tahu aku merasa ada yang memerhatikanku.
Aku tengadah. Di salah satu balkon bangunan yang menghadap tempat
tinggalku, pada ketinggian yang sama dengan kamar apartemenku, aku melihat
seorang wanita muda. Aku mengangkat tangan dan melambai. Ia balas melambai dan
meninggalkan balkonnya.
Karena penasaran akan kejadian berikutnya, aku berusaha mengintip ke dalam
apartemen wanita itu, nihil hasilnya.
“Kalau begini percuma saja,” aku membatin, dan kembali membaca. Belum
sampai sepuluh baris yang kubaca, wanita muda itu berada lagi di balkon, kali
ini mengenakan kacamata hitam ia duduk
di kursi dek.
Terburu-buru aku mulai memberi tanda dan isyarat. Wanita muda itu sedang
membaca—atau berlagak membaca—majalah. “Pura-pura saja dia,” pikirku, “mana
mungkin ia tidak melihatku, dan sekarang ia berpose supaya aku bisa menikmati
pertunjukannya.” Aku kurang begitu menangkap wajahnya, namun aku bisa melihat
badannya jangkung dan ramping lalu rambutnya, yang hitam lurus, menjuntai ke
bahunya. Secara keseluruhan, ia tampak cantik, mungkin usianya sekitar dua
puluh empat atau dua puluh lima tahun.
Kutinggalkan balkon, memasuki kamarku, dan mengintai lewat daun jendela.
Ia sedang memandang ke arahku. Maka aku pun keluar dan menangkap basah dirinya.
Dengan jemawa kuberi ia lambaian semangat yang menuntut balasan. Memang,
ia melambai balik. Setelah salam-salaman itu, biasanya percakapan dimulai.
Tetapi tentu saja kami tidak akan saling berteriak. Maka aku pun mengangkat
telunjuk tangan kananku ke telinga dan membuat gerakan berputar yang, seperti
sudah diketahui, berarti aku ingin menelepon dia. Sambil menurunkan kepalanya
ke bahu dan membuka kedua tangannya, wanita muda itu menunjukkan, berkali-kali,
bahwa ia tidak mengerti. Lonte! Kok bisa ia sampai tidak mengerti?
Aku pun kembali ke dalam, mencabut kabel telepon, dan membawanya ke
balkon. Aku mengacungkan benda itu bagaikan piala atlet, mengangkatnya ke atas
kepala dengan kedua tangan. “Jadi, otak udang, kau mengerti atau tidak?” Ya, ia
mengerti. Senyum lebar menyinari wajahnya bak kilatan petir, dan ia
mengangguk-angguk setuju.
Bagus. Sekarang aku sudah mendapat lampu hijau untuk menelepon dia. Hanya
saja aku tidak tahu nomor teleponnya. Akan kucari tahu menggunakan bahasa
tubuh.
Aku pun kembali membuat tanda dan isyarat yang rumit. Merumuskan
pertanyaan tidaklah mudah, namun ia tahu pasti yang ingin kuketahui. Pada
dasarnya, seperti lazimnya perempuan, ia ingin bermain-main dulu denganku.
Ia mengulurkan permainan itu selama mungkin. Dan, akhirnya, ia berlagak
mengerti apa yang tak ayal lagi sudah jelas dari awal juga.
Dengan menggunakan jari telunjuk, ia mengguratkan hieroglif di udara.
Kusadari ia tengah menggambarkan nomor seolah-olah ia membacakannya, dan bahwa
aku harus “memecahkan kode” dari apa yang kulihat itu seolah-olah aku
melihatnya di cermin. Aku pun memperoleh tujuh nomor yang dapat mengenalkanku
dengan si tetangga cantik dari apartemen seberang.
Aku pun girang bukan kepalang. Aku menyambungkan lagi kabel telepon dan
memutar nomornya. Pada bunyi yang pertama, ada yang menjawab:
“Haloooowww!!” suara bas seorang lelaki mengguntur di telingaku.
Terkejut, aku pun ragu-ragu.
“Siapa ini?” sambung suara menggelegar itu, dengan nada antara marah dan
tidak sabar.
“Uh …” aku bergumam, ketakutan. “Apa di sini 771 …?
“Suaranya diperkuat, señor!” sela lelaki itu, tak tanggung-tanggung.
“Enggak ada yang kedengaran, señor! Mau bicara dengan siapa, señor?”
Ia mengatakan “diperkuat” alih-alih “diperbesar”, ia mengatakan “Enggak
ada yang kedengaran” alih-alih “enggak kedengaran apa-apa”. Nadanya saat
mengucapkan señor seperti mengatai seseorang idiot. Karena ngeri, aku pun
menggagap:
“Uh …. Dengan perempuan ….”
“Perempuan apa, señor? Perempuan apa yang Anda omongkan ini, señor?” Suara
mengguntur itu kini mengandung ancaman.
Bagaimana menjelaskan sesuatu pada seseorang yang tidak hendak mengerti?
“Uh …. Dengan perempuan yang di balkon.” Suaraku sekecil pecahan beling.
Namun ia tidak tergugah. Sebaliknya, ia menjadi semakin gusar:
“Jangan ganggu kami, señor, tolong ya! Kami orang sibuk, señor!”
Percakapan itu diakhiri bunyi klik yang berang. Sejenak aku terdiam. Aku
memandangi telepon lalu mulai merutuk sambil menggemeretakkan gigi.
Lalu aku menyerapahi gadis tolol itu yang tidak mau repot-repot mengangkat
telepon sendiri. Sekonyong-konyong aku memutuskan bahwa salahkulah yang
menelepon terlalu cepat. Lelaki dengan suara menggelegar itu cepat mengangkat
telepon, sehingga teleponnya tadi mestilah ada dalam jangkauannya, boleh jadi
bahkan ada di mejanya. Itulah sebabnya ia mengatakan, “Kami orang sibuk.”
Lalu bagaimana denganku? Semua orang juga sibuk, apa istimewanya sih. Aku
mencoba membayangkan lelaki itu, memberi dia perawakan yang jelek: ia gendut,
kemerah-merahan, berkeringat, dan berperut buncit.
Si orang bersuara nyaring itu telah memberiku kekalahan tak bersyarat
lewat telepon. Aku merasa agak tertekan dan ingin membalas dendam.
Setelahnya aku kembali ke balkon, memutuskan untuk menanyakan nama wanita
muda itu. Wanita muda itu sudah tidak ada di balkon. “Tentu saja,” simpulku
optimistis, “ia sedang berdiri di dekat telepon menunggu dengan cemas panggilan
dari diriku.”
Dengan semangat baru, tetapi juga diiringi kegentaran, aku memutar tujuh
nomor itu. Kudengar bunyi. Kudengar:
“Haloooowww!!”
Karena ngeri, telepon kututup.
Batinku: “Manusia gua ini dapat bersimaharajalela atasku karena satu hal
yang tidak kumiliki: nama orang yang ingin kuajak bertelepon. Aku harus
mendapatkannya.”
Lalu aku berpikir: “Di Panduan Hijau ada bagian yang memungkinkan untuk
mencari nama pemilik nomor telepon. Aku tidak punya Panduan Hijau. Perusahaan
besar yang punya. Bank adalah perusahaan besar. Karena itulah bank punya
panduan tersebut. Temanku Balbón bekerja di bank. Bank buka siang-siang.”
Aku menunggu sampai 12.30 dan menelepon Balbón.
“Oh, Fernando sayang,” sahutnya. “Aku sangat gembira dan terhibur
mendengar suaramu ….”
“Terima kasih, Balbón. Tetapi dengarkan ….”
“ … suara seorang pemuda yang tidak punya kesulitan ataupun kewajiban,
tugas ataupun tanggung jawab. Beruntunglah dirimu, Fernando sayang,
terombang-ambing bersama gelombang ria kehidupan, tidak ada urusan luar yang
dapat mengusik kedamaianmu. Beruntunglah dirimu ….”
Aku tidak bisa membuktikannya, tetapi aku mohon supaya dipercaya: Aku
bersumpah Balbón itu ada dan bahwa, memang, ia bicara begitu dan mengatakan hal
seperti itu.
Setelah memberkatiku dengan pesona imajiner serupa itu, ia mulai
menggambarkan dirinya sendiri—tanpa memberiku kesempatan untuk
berbicara—sebagai semacam korban:
“Sebaliknya, aku, Balbón yang sederhana lagi tiada berarti ini, hari ini
terus, seperti yang diperbuatnya kemarin dan esok hari, sampai berabad-abad,
menyeret segerobak penuh derita dan luka hati mengarungi planet yang lancung
ini ….”
Aku telah mendengar kisah ini ribuan kali.
Pikiranku berkelana sementara menanti litani keluhan mencapai ujungnya.
Kemudian tahu-tahu aku mendengar:
“Senang berbicara denganmu. Jaga diri baik-baik, ya.”
Dan ia pun menutup telepon.
Naik darah, aku pun menelepon dia lagi.
“Che, Balbón!” tempelakku.
“Kenapa kau tutup teleponnya.”
“Ah,” sahutnya, “kau mau mengatakan sesuatu?”
“Aku ingin kau lihat Panduan Hijau, lihat siapa nama pemilik nomor telepon
ini ….”
“Tunggu sebentar. Aku cari dulu fountain
pen-ku. Aku enggak suka menulis pakai pensil apalagi bolpoin.”
Ketidaksabaran melahapku.
Akhirnya, setelah beberapa menit, ia berkata, “Nomor itu milik
CASTELLUCCI, IRMA G. DE. Castelluci l dan c-nya dobel. Tetapi, kenapa kau
pengin tahu?”
“Terima kasih, Balbón. Aku jelaskan kapan-kapan saja ya. Sudah dulu.”
Kini akhirnya: aku memiliki senjata mandraguna. Aku memutar nomor gadis
itu.
“Haloooowww!!” si manusia gua mengguntur.
Tanpa ragu lagi, dengan suara nyaring lagi merdu dan tertata apik, bahkan
disertai nada memerintah secukupnya, kuucapkan:
“Tolong, aku mau bicara dengan Señorita Castellucci.”
“Siapa ini, señor?”
Kebiasaan menanyakan siapa ini menggondokkanku saja. Supaya ia bingung,
kukatakan saja: “Ini Tiber'ades Heliogábalo Asoarfasayafi.”
“Tetapi, señor!” ia tergagap. “Keluarga Castellucci sedikitnya sudah empat
tahun tidak tinggal di sini, señor! Banyak sekali telepon menanyakan keluarga
Castellucci sialan itu, señor!”
“Terus kalau mereka tidak tinggal di situ lagi, kenapa juga kau menanyaiku
siapa ….?”
Aku terpotong oleh klik murka. Ia bahkan tidak membiarkan ada protes
sedikit pun terhadap perilaku lalimnya itu. Baiklah, aku tidak akan
membiarkannya begitu saja!
Secepat kilat aku menelepon lagi.
“Haloooowww!!”
Dengan berucap lambat-lambat seakan-akan aku ini orang yang mengalami
keterbelakangan mental, aku bertanya:
“Boweh aku bicawa cama kewuarga Castewussi?”
“Tidak bisa, señor! Keluarga Castelluci sudah lima tahun tidak tinggal di
sini, señor!”
“Oh, baik! Ini kau, señor Castewussi …. Apa kabarmuuu, señor Castewussi?”
“Bukan, bukan, señor! Dengarkan aku, señor!” Ia mulai tak berkutik. “Keluarga
Castelluci sudah tujuh tahun tidak tinggal di sini, señor!”
“Kau baik-baik sajaaa, señor Castewussi?” dengan ramah aku mengotot. “Gimana
istrimu? Dan anak-anak? Kau tidak ingat camaku, señor Castewussi?”
“Tapi Anda ini siapa, señor?” Selain menyebalkan, monster ini juga
penasaran.
“Ini Bawwie, señor Castewussi.”
“Barrie?” ia mengulang, dengan jijik. “Barrie siapa?”
“Bawwie, señor Castewussi, petugas pewpustakaan.”
“Apa?! Perpustakaan?!” Ia belum juga menangkapku dengan cukup baik. Cuma
itu yang bisa kulakukan supaya tidak tertawa.
“Bawwie, señor Castewussi, Bawwie Wudder.”
“Barrie Rudder? Barrie Rudder apa?”
“Bawwie Wudder, nyang matanya sebelah tutupan dan nyang satu lagi ga bisa
ngelihat, señor Castewussi.”
Ia meledak bagai bom atom. “Bantu aku dan enyahlah kau, idiot! Kenapa kau
tidak tembak saja dirimu itu, bahlul!?”
“Ga bisa, señor Castewussi. Maksudku baik, señor Castewussi. Kawi tewakhir
aku mau menembak kepawaku ga sengaja aku bunuh penguin di Antawtika, señor
Castewussi.”
Hening sejenak, seolah-olah, karena sudah menggila, ia menarik seluruh
oksigen di atmosfer supaya tidak mati karena apopleksi.
Dengan sabar, aku menunggu.
Lantas, di pucak kemurkaan dan karena tercekik oleh amarahnya sendiri,
setan itu melancarkan artileri beratnya padaku, dengan menjerit-jerit, saking
cepatnya melontarkan kata-kata hingga menimpa satu sama lain.
“Pergi ke jahanam sana, dasar sampah Siberia pengidap sipilis, rematik,
cacat mental, perancap berkulit badak bermuka pastel, parasit, anak imbesil
enggak berguna putra orang gila bermuka lonte!!!!”
“Aku bersyukur atas pujian itu, señor Castewussi, muchas gwacias, señor
Castewussi."
Ia membanting telepon itu keras-keras. Sayang, padahal aku menikmati
umpatannya. Betapa senangnya membayangkan musuhku itu: wajahnya merah,
berkeringat, menjambaki rambutnya dan mengigiti buku jarinya … boleh jadi malah
teleponnya rusak gara-gara dibanting begitu keras.
Aku merasa nyaris bahagia. Tidak penting lagi aku tidak bisa mengobrol
dengan cewek di balkon itu.[]
Cerpen yang aslinya
berbahasa Spanyol ini diterjemahkan dari versi bahasa Inggris Michele
Aynesworth, "A Drama of Our Time"
dalam situs East of The Web.
[1] Minuman semacam teh dari
sejenis tumbuhan hijau berdaun runcing dan berbuah merah bergugus-gugus khas
Amerika Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar