“Aku janji.”
Karena malu, menyesal, dan takut pada hukuman dari Allah Yang
Mahakuasa, si bocah berjanji dengan teguh dan sungguh-sungguh pada ayahnya,
yang imigran dari Pakistan.
“Aku berjanji tidak makan selama puasa. Aku baru akan makan
ketika magrib, setelah matahari terbenam, bersama semua muslim lainnya yang
berpuasa.”
Janji sebelumnya batal gara-gara cokelat M & M yang lezat
dan berbahaya. Bagaikan Hawa dengan buah khuldi, si bocah menemukan “dosa
asal”nya itu tersangkut di lipatan kantung celana Husky yang dikenakannya, dan cokelatnya
masih baik untuk dimakan. Puasa pertamanya pun terampas oleh permen yang sudah
apak dan meleleh.
Namun, itu terjadi dua hari lalu pada hari ke-27 Ramadan.
Bulan yang diberkahi, ketika umat Islam berpuasa dari makan, minum, dan berbuat
buruk, sehingga Allah berkenan, mengampuni dosa-dosa mereka, dan memasukkan
mereka ke surga alih-alih neraka, tempat manusia dibakar selama-lamanya.
Selama Ramadan, orang Islam yang berpuasa juga dilarang
melakukan “perbuatan dewasa” serta “perzinaan” hingga matahari terbenam. Si
bocah bertanya pada kedua orang tuanya, “Apa itu perbuatan dewasa dan
per-zi-naan? Apakah itu ketika ada laki-laki dan perempuan masuk kamar,
mengunci pintu, dan bersuara seperti menyakiti satu sama lain?”
Wajah kedua orang tuanya merona karena cemas. Mereka sungguh
terkejut oleh pertanyaan yang mereka ingin hindari saja hingga si bocah remaja.
Mereka cepat-cepat menjawab, “Nanti kamu tahu kalau sudah besar! Siapa yang
mengajarimu perkataan itu?”
“Ada di buku tentang Ramadan yang dikasih Ayah.”
Mata elang ibu tertuju pada ayah, yang menundukkan kepala
mengakui.
“Jangan dulu pikirkan itu. Besok hari terakhir Ramadan, dan
insyaallah kamu akan melakukan roza[1]
untuk pertama kali, ya kan?”
“Roza pertama yang berhasil,” tambah ayahnya antara bangga
dan penuh asa. “Masyaallah--sudah
besar ya kamu, mau berpuasa. Padahal kamu lebih muda daripada anak-anak yang
lain! Orang-orang di komunitas iftar akan sangat bangga padamu.”
“Kasih tahu paman dan bibi bahwa kamu berpuasa,” ibunya
mengingatkan. “Nanti, mereka bakal kasih kamu lebih banyak uang eidi[2]
dan hadiah waktu Lebaran. Kecuali Bibi Shabnam dan Paman Abdullah
pastinya--mereka itu kanjoose makhi choos[3].
Tidak pernah mereka itu kasih kamu eidi.
Padahal tiap tahun kami kasih uang eidi
untuk keempat anak mereka ....” Si bocah yang sudah terbiasa dengan ocehan
ibunya pun berhenti menyimak, lalu menaiki tangga hendak bermain Nintendo.
Malam itu, diam-diam si ayah memasuki ruangan anaknya
sementara si bocah dengan garang menumbukkan jempolnya pada konsol permainan.
Si ayah tersenyum melihat anaknya. “Apa yang lucu, Yah?” tanya si bocah.
“Enggak apa-apa,” kata si ayah.
“Beta[4], Ayah ingin memberimu ini,” ucap si
ayah sambil meletakkan dua lembar George Washington yang masih baru di tangan
putranya yang tembam. “Ini buat eidi-ku?
Tapi kan belum Lebaran! Lagian tahun lalu Ayah kasih sepuluh dolar.” Si ayah
tersenyum dan dengan tenang menjawab, “Santai, ini bukan eidi-mu kok. Insyaallah, nanti kamu dapat lebihnya pas Lebaran.
Jangan kemaruk ah! Sekarang Ayah kasih dua dolar dengan syarat, dan hanya satu
syarat: kamu janji lagi, ya, jangan
makan selama puasa besok. Setelah matahari terbenam, baru kamu boleh makan iftar
dengan muslim yang lain--hanya setelah matahari terbenam lo. Kalau kamu tamat
puasanya, Ayah kasih kamu lima dolar waktu iftar.”
“Wah!” seru si bocah.
“Iya. Lima dolar utuh cuma buat kamu sebagai tambahan panjar dua
dolar ini. Oke? Tapi, kalau kamu ingkar janji dan malah makan seperti
sebelumnya, ya, Ayah bakal kecewa sekali, beta.
Jadi, kamu bisa tidak? Pikirkan dulu
sebelum berjanji. Ingat, Allah mengetahui segala niat dan pikiran kita. Bisakah
kamu berjanji yang tulus?” tanya si ayah, sambil masih memegangi lembaran hijau
itu.
“Aku--aku janji--kali ini aku bisa. Aku bersumpah.”
Si ayah melepaskan uang itu, dan mengecup pipi anaknya. Si
bocah pun menyeka bagian wajahnya yang jadi basah menjijikkan itu dengan
telapak tangan kiri, sebagaimana lazimnya bocah-bocah. Setelah berhasil membuat
perjanjian, si ayah menuju pintu. Sebelum berlalu, ia menaruh kedua tangan di khameez[5]-nya
dan teringat--
“Tunggu, beta.
Kemarilah, Ayah ingin kamu memiliki ini.” Si ayah memandangi benda berbulu itu.
Matanya--andai saja cuma sebentar--mengenang masa muda yang sudah lama berlalu
namun tidak sepenuhnya terlupakan.
”Ayahnya Ayah memberikan ini sewaktu Ayah masih bocah
seumuranmu--sudah lama sekali, beta.
Benda ini mengingatkan Ayah padamu. Jadi, sekarang ini milikmu.” Si ayah memberi
bocah itu sebuah boneka kecil yang terlihat seperti sapi putih dengan dua
tanduk kecil.
“Kenapa Ayah memberiku sapi?” tanya si bocah.
“Ini bakra--kambing.
Dia itu zidee seperti kamu.”
“Apa itu zidee?”
“Artinya bandel.”
“Bandel itu apa?”
Si ayah tersenyum. Sebelum pergi, ia berujar, “Nanti kamu
tahu saat sudah besar.”
Si bocah mengamati boneka yang bergoyang-goyang di tangannya
itu. Bunyinya berdesir lembut saat ditekan. Si bocah melontar benda itu ke
samping dan membatin, “Kenapa, ya, aku lapar banget waktu puasa? Aku lapar banget apalagi pas mau buka. Aku selalu
lapar.” Si bocah merenung sendiri, mengkhawatirkan pola makan disiplin yang
mesti dijalaninya nanti. Latihan kesalehan ini rasanya tidak adil dan
hampir-hampir keji bagi si bocah tujuh tahun yang gembul. Isi perutnya yang
kemaruk bermain pinball secara sengit
dengan organ-organ di dalam tubuhnya, dan meraung bagaikan Chewbacca, baru dua
hari yang lalu selama percobaan puasa pertamanya yang gagal.
Ia pun berdoa kepada Allah sembari meringkuk dengan nyamannya
di kasur, di balik selimut Batman, dengan mengenakan piama Spiderman dan kaus
Hulk si Hebat. Dengan sungguh-sungguh, si bocah memohon:
“Ya Allah, aku mohon jangan
biarkan aku makan besok sampai magrib. Aku akan berusaha sekuat-kuatnya, tapi Kau membuatku lapar banget
terakhir kali aku mencoba. Jadi,
Ya Allah, aku mohon bantulah aku berpuasa supaya Ami dan Abu enggak
sedih dan marah padaku. Selain itu, aku
mohon berilah aku eidi yang banyak, juga Tecmo Super Bowl buat Nintendo sewaktu Lebaran. Aku janji, janji,
janji bakal jadi anak muslim
yang lebih baik--jadi aku mohon jangan masukkan aku ke neraka. Amin.”
Maka, pada hari terakhir Ramadan, si bocah duduk sendiri di
ayunan timpang lagi teraniya, yang secara swadaya dibangun oleh paman-paman
dari komunitas muslim bagi “anak-anak muda” yang lahir di Amerika. Di seberang
jalan, secontong besar es krim menyala di depan Kedai Es Krim Briar, yang
menjual bonbon berpilin dengan M&M di puncaknya dalam contong gula--kesukaan
si bocah.
Masjid komunitas, yang sebenarnya merupakan pusat fasilitas
rekreasi untuk lansia yang disewa, digunakan sebagai masjid “sementara” hingga
masjid yang “asli” selesai dibangun. “Masjid” ini aromanya seperti kari Ben-gay[6]
serta chai[7]
Vicks VapoRub. Biasanya alergi dan ingus pampat si bocah secara ajaib hilang
sepulang dari masjid.
Petugas tempat itu berkali-kali menanyai para penghulu muslim,
“Kenapa selalu ada genangan air di wastafel kamar mandi?” meski begitu, mereka
tidak pernah menerima jawaban yang memuaskan. Bagaimana mungkin para paman itu
mengakui, apalagi menjelaskan, soal wudu, ritual pembersihan diri secara
singkat saat muslim membasuh wajah, lengan, dan kaki tiga kali sebelum
memanjatkan salat?
Alih-alih, saat pertanyaan ini diajukan setiap minggunya,
Paman Ganja[8],
yang kiranya dinamai menurut kepalanya yang botak mengilap serupa Mr. Clean[9]
berkulit cokelat, cuma menuding Paman Mota,
lalu menganggukkan kepala, dan tidak berucap apa-apa lagi.
Paman Mota menjadi
kambing hitam sekaligus martir bagi komunitas religi yang khas ini. Ia paman
berusia paruh baya dari Pakistan yang kegendutan dan hampir-hampir tidak
berdaya. Ia sedikit saja bisa berbicara bahasa Inggris dan selalu duduk di
pojok sambil memakan halwa[10]
manis buatan istrinya. Kelak saat si bocah sudah besar, ia senang mengenang
bretel berwarna cerah pada celana korduroi yang dikenakan Paman Mota hingga dada, bagaikan Sinterklas
dari Anak Benua. Tawanya yang keras membungkam suara-suara lain, dan wajahnya
pun memerah bagai warna sirup stroberi dalam botol Rooh Afza[11].
Paman Mota suka menyuapkan halwa pada si bocah, lalu memberkatinya
dengan mengusapkan kedua tangan pada kepalanya sambil berkata, “Allah khush rakeh”--Semoga Allah selalu
mencukupimu. Si bocah selalu beranggapan bahwa Paman Mota itu lebih cerdik daripada kelihatannya dan diam-diam
mengetahui seluruh muslihat Paman Ganja.
Namun, karena ia baik, ia diam saja, pura-pura tidak tahu, sambil memakan halwa-nya. Karena itulah si bocah selalu
menyukai Paman Mota.
Ramadan kali ini akan menjadi yang terakhir bagi Paman Mota.
“Bapak-bapak, ibu-ibu, tolong, ya. Tolong. Tolong
berhenti mengobrol. Tolong--“ pinta suara parau beraksen Asia Selatan memecah
audio pada sistem pengeras suara rakitan sendiri. Si bocah bisa mengenali suara
yang khas itu sekalipun jika ia tuli, buta, dan bisu. Paman Dari-wala dari Pakistan, agaknya
dijuluki demikian karena jenggotnya yang panjang dan kasar menyerupai Velcro
keriting yang ditempelkan ke wajahnya dengan lem batangan. Ia menguasai
satu-satunya megafon milik masjid seraya meminta jemaah untuk memberi “dana”
serta “sumbangan” bagi “proyek masjid komunitas yang belum selesai”. Paman Dari-wala juga selalu mengeluhkan “para
saudara-saudari” yang selalu memarkir mobil mereka secara ilegal di jalan atau
trotoar alih-alih di arena parkir yang telah disewakan. Seiring dengan
berlalunya tahun demi tahun, si bocah tidak pernah ingat melihat ada mobil yang
diparkir di arena tersebut--sama sekali.
Biar begitu, hari ini Paman Dari-wala terus meminta, malah memohon, supaya sepatu, jootas, serta chapals ditaruh di
sebelah luar bangunan, di dekat pintu. Yang dilihat bocah itu ada hampir
seratus sepatu di sebelah dalam bangunan--di depan pintu.
Si bocah, yang dasarnya pemalu serta bosan dengan persiapan iftar
di dalam gedung, dengan canggung mendesakkan pantatnya yang lebih dari “subur”
itu. di bangku ayunan yang timpang. Asal saja ia berayun maju mundur menunggu
datangnya magrib. Ia dapat membaui kheema
samosa[12]
yang dibuat dengan daging giling, pakora[13]
kentang yang direbus dalam minyak, tikka[14]
ayam--bukan--tunggu--bukan. Ah ya, maaf, kari domba maksudnya. Mmmm. Perut si
bocah mulai main tinju dan menggeletar.
Sementara itu, anak-anak laki lainnya bermain rugbi-rugbian.
Anak-anak yang lebih besar dan lebih tua selalu mengambil posisi yang asyik
seperti quarterback, running back, dan wide receiver. Anak-anak yang lebih kecil terpaksa mengambil posisi
yang lemah di barisan penyerang. Biasanya, si bocah mencoba ikut bermain--sudah
pasti ia yang menjadi “center” karena
ukurannya yang “subur”--namun hari ini ia ingat janji lain yang lebih dulu ia buat kepada ibunya.
“Beta, untuk hari
terakhir Ramadan, Ibu ingin supaya shehzada[15]
Ibu terlihat tampan. Nih, pakailah shalwar
khameez baru warna krem yang dibelikan bibimu. Ini dari Pakistan dan 100%
terbuat dari katun! Ukurannya XL sesuai dengan badanmu yang subur. Berjanjilah
pada Ibu kamu tidak akan mengotori ataupun menumpahkan khana[16]
seperti biasanya ke baju ini! Janji, ya?”
Mudah untuk mengetahui yang sehari-hari dimakan si bocah
dengan mengamati kausnya pada penghujung hari. Kemarin, petunjuk mengarah pada
bercak ungu (selai kacang), bintik cokelat gelap (susu cokelat), noda kuning
(moster menunjukkan roti isi daging kalkun halal), adapun bubuk kunyit pada
kerahnya menunjukkan salan asli
Pakistan yang bergizi alias kari untuk makan malam.
Demi menetapi janjinya yang satu ini, si bocah berayun
sendiri pelan-pelan sembari menghindari tanah, rumput, serta bercak lumpur yang
bisa-bisa diperolehnya dari permainan rugbi yang padahal tak membahayakan itu.
Anak-anak muslim lain telah mengolok-olok si bocah gara-gara
pakaiannya, dan menjulukinya “enggak keren” karena tidak mengenakan kaus serta
celana panjang. Si bocah menangkis, “Aku pakai ini gara-gara disuruh ibuku,
tahu!”
Baru kemudian si bocah menyadari, tanggapan yang naif lagi
polos ini merupakan kesalahan fatal--karena meledakkan tawa dan ejekan
anak-anak lainnya. Selain “enggak keren”, si bocah kini juga dikenal sebagai
“anak mami” serta “Jabba si Hutt” gara-gara perawakannya yang “subur”. Perutnya
kini mulai melontarkan perlawanan serta pukulan mengait.
Ia meraba-raba kantong shalwar
khameez-nya dan menemukan dua lembar George Washington yang sudah renyuk
dan kusut. Temannya cuma si boneka kambing, yang disembunyikan dalam kantong
untuk menghindari ejekan. Sebelah tangan si bocah meremas si kambing, sedang
tangan satunya lagi menyibak lembaran hijau. Ia berbalik dan melihat contong es
krim di seberang jalan--yang terang-benderang. Matahari bersiap-siap
mengundurkan diri sementara bulan mulai terbit untuk kembali tampil pada malam
hari. Dalam sepuluh menit, matahari akan terbenam, puasa terakhir pada Ramadan
pun usai, dan komunitas itu melahap iftar bersama-sama, sembari menanti Hari
Raya Eid dengan sukacita.
Secara memalukan tebersit pikiran nakal di benak si bocah.
Perutnya melepaskan serangan kombo yang melumpuhkan dan hampir takluk.
Azan terdengar hingga ke seberang jalan--bahkan di kedai es
krim itu. Azan mengumumkan waktu magrib, salat harian saat matahari terbenam, tanda
dimulainya waktu berbuka puasa. Sepanjang hari itu, umat Islam menjalankan
disiplin spiritual dalam menahan diri dan tidak bersikap berlebih-lebihan.
Kedisiplinan itu lenyap begitu kertas aluminium dilepaskan dari baki berisi pakora serta samosa, dan kurma ditaruh di lidah orang-orang yang berpuasa. Kekacauan,
anak-anak menjerit, para wanita mengoceh, para paman kelaparan, keributan tiada
henti, hiruk-pikuk saat mengambil makanan, sajadah dihamparkan untuk persiapan
salat, sementara seperti biasanya saat iftar si ayah mengamati keramaian
mencari-cari anaknya.
Seiring dengan menumpuknya piring plastik berlumur minyak dan
biji kurma dalam kantong sampah hitam, si ayah keluar mencari si bocah.
Pertama-tama ia hendak mengamati lapangan dan menanyai anak-anak yang lebih
besar yang sedang bermain rugbi kalau-kalau mereka melihat bocah berpakaian shalwar khameez. Ketika mengingat si
bocah, anak-anak itu tertawa lagi. Si ayah celingukan, memanggil nama anaknya,
lantas melihat ayunan yang bergerak pelan seakan ada yang baru buru-buru
meninggalkannya.
Si ayah mendekati ayunan, tidak menemukan siapa-siapa, namun
mendengar suara merajuk pelan dari balik pohon. Saat mendekati pohon, si ayah
mendengar rajukan itu berubah menjadi isakan kecil yang mengingatkan pada
putranya. Sambil menyembunyikan diri, si ayah mendapati seorang bocah
memunggunginya sambil menangis pelan. Si ayah memutar bocah itu dan mendapati
putranya.
Air mata mengalir di pipi si bocah. Tangan kirinya memegang
es krim bonbon berpilin yang sudah separuh dimakan dalam contong gula yang
menetes-netes, sementara tangan kanannya meremas boneka. Hampir seluruh mulut
hingga dagunya, sebagaimana kaus-kausnya, menyerupai lukisan Pollock[17],
berlumuran lelehan es krim vanila dan cokelat, beserta serpihan M&M
berlapis gula melekat di bibir.
Sementara itu, tampaknya si bocah hanya mengingkari salah
satu janjinya.
Lantas--setetes es krim dari
contong gula jatuh ke khameez-nya.[]
Wajahat Ali penulis Amerika Serikat keturunan Pakistan,
terkenal akan dramanya, The Domestic Crusaders, tentang
pertemuan sehari keluarga Muslim Amerika keturunan Pakistan pascaperistiwa
9/11. Cerpennya, “Ramadan Blues”, termuat dalam antologi Pow-Wow: Charting
the Fault Lines in the American Experience, Short Fiction from Then to Now (Da
Capo Press, 2009).
[1] Urdu: puasa
[2] Semacam angpau, pemberian dari orang-orang tua untuk anak-anak kecil saat Lebaran
[3] (harfiah) Orang kikir yang mengisap lebih banyak daripada lalat.
[4] Hindi: panggilan untuk anak
[5] Tunik panjang serta longgar, lazim digunakan di Asia Selatan
[6] Merek semacam krim pereda nyeri otot
[7] Campuran teh hitam dan rempah, berasal dari India
[8] Dari Ganges atau Ganges River, Sungai Gangga di India, tempat asal tumbuhnya kanabis yang lebih dikenal sebagai “ganja”
[9] Maskot dari merek produk pembersih milik Procter & Gamble
[10] Kue yang populer di Timur Tengah dan Asia Selatan sebagai sajian Idul Fitri
[11] Merek sirup asal India, populer di kalangan muslim Asia Selatan sebagai hidangan berbuka puasa
[12] Semacam pastel
[13] Camilan yang digoreng
[14] Makanan India berupa potongan daging dengan bumbu kari
[15] Urdu: pangeran
[16] Hindi: makanan
[17] Pelukis Amerika Serikat (28 Januari 1912 - 11 Agustus 1956) beraliran abstrak ekspresionis, terkenal akan teknik melukisnya yang khas yaitu dengan meneteskan atau menumpahkan cat ke atas kanvas.
[1] Urdu: puasa
[2] Semacam angpau, pemberian dari orang-orang tua untuk anak-anak kecil saat Lebaran
[3] (harfiah) Orang kikir yang mengisap lebih banyak daripada lalat.
[4] Hindi: panggilan untuk anak
[5] Tunik panjang serta longgar, lazim digunakan di Asia Selatan
[6] Merek semacam krim pereda nyeri otot
[7] Campuran teh hitam dan rempah, berasal dari India
[8] Dari Ganges atau Ganges River, Sungai Gangga di India, tempat asal tumbuhnya kanabis yang lebih dikenal sebagai “ganja”
[9] Maskot dari merek produk pembersih milik Procter & Gamble
[10] Kue yang populer di Timur Tengah dan Asia Selatan sebagai sajian Idul Fitri
[11] Merek sirup asal India, populer di kalangan muslim Asia Selatan sebagai hidangan berbuka puasa
[12] Semacam pastel
[13] Camilan yang digoreng
[14] Makanan India berupa potongan daging dengan bumbu kari
[15] Urdu: pangeran
[16] Hindi: makanan
[17] Pelukis Amerika Serikat (28 Januari 1912 - 11 Agustus 1956) beraliran abstrak ekspresionis, terkenal akan teknik melukisnya yang khas yaitu dengan meneteskan atau menumpahkan cat ke atas kanvas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar