Saya menyadari bahwa semakin banyak yang saya pelajari dari kehidupan,
semakin sedikit yang saya ketahui, atau yang dapat saya ketahui. Arogan rasanya
menulis sebuah buku yang boleh jadi, di luar kehendak, memberi kesan bahwa
saya—seorang manusia yang baru mulai memahami seutuhnya bagian-bagian paling
pokok dari dirinya sendiri—memiliki jawaban apa pun atas problematika kemanusiaan mutakhir. Maka buku ini pun ditulis dengan sedikit banyak
kesungkanan.
Kita hidup di dunia yang terdiri dari banyak kebudayaan
manusia. Kenyataannya, kebudayaan-kebudayaan itu dengan gencar tengah
dihomogenkan oleh imperialisme dan hegemoni kebudayaan yang telah menjadi
sinonim dengan globalisasi dan menggantikan bentuk-bentuk kebudayaan yang lebih
tradisional. Di antara kebudayaan-kebudayaan ini terdapat banyak sekali
sub-subkebudayaan, yang semuanya hidup berjalinan dengan konvensi-konvensi
sosial dan ekologi yang terlalu kompleks untuk dipahami secara intelektual.
Kita merupakan gabungan dari para leluhur, dengan kepercayaan religi dan
spiritual yang berlainan, begitu pula dengan riwayat berurat berakar yang
menyertainya. Selama seribu tahun planet kita diiris menjadi negara-negara yang
berbatasan, yang telah mengembangkan hukum, taraf pembangunan, etiket sosial,
mite kebudayaan, harapan duniawi, persoalan seks dan jenis kelamin,
ketergantungan emosi dan fisik, hingga kompleksitas keuangan dan mikroklimatnya
sendiri-sendiri. Bahkan di dalam kelompok-kelompok demografis yang beraneka itu
pun kepribadian manusia banyak macamnya. Negara yang sama menjadi rumah bagi
Noam Chomsky dan Rupert Murdoch.