Berlawanan dengan kerangka waktu linear yang dicekokkan narasi kebudayaan
kini pada kita, hidup adalah serangkaian siklus. Terlebih lagi, siklus
memperlengkapi satu sama lain, tidak seperti sistem linear, yang bermula di
satu tempat dan berakhir di tempat lainnya. Kita tuai yang kita tabur yang kita
tuai yang kita tabur. Tentu saja, ini artinya dibutuhkan sejumlah perhatian
serta pemeliharaan untuk memastikan yang dituai itu bermanfaat, begitu pula
pengendalian diri yang kuat agar menjamin siklus tersebut memiliki cukup energi
untuk menyokong dirinya sendiri.
Akan tetapi, peradaban Barat telah memutuskan untuk
memperjuangkan yang linear. Kerangka ini menghendaki adanya masukan yang
sewenang-wenang, yang pada akhirnya berubah wujud dan termuntahkan sebagai
keluaran yang “tidak memiliki tempat”. Dari dalam siklus ekologis yang berjalan
diam-diam di sekitar kita, kita renggut yang kita senangi, mengolahnya melalui
rentetan pabrik, dan menikmati, untuk sesaat saja, yang keluar dari sisi
satunya. Lantas kita membuangnya, dan mulai lagi. Secara terus-menerus kita
mengambil energi, dan tidak ada yang kita kembalikan. Pada taraf tertentu,
siklus ini akan runtuh. Banyak di antaranya yang sudah runtuh.