Beberapa hari berlalu dengan cepatnya.
“Sebuah perjalanan tentang cinta dan masa muda dibuat oleh para prajurit
yang tegak menghadapi suatu organisasi raksasa yang jahat ….” Inilah kisah yang
kucoretkan, kelihatannya sudah tepat. Pada awalnya, anehnya berjalan dengan baik. Kata-kata mengalir lancar. Aku
kaget akan bakat sastraku sendiri.
Sayangnya, aku menemui
masalah besar: kisah yang kutulis mestinya skenario gim erotis—dan sebagai
skenario gim erotis, mesti ada adegan-adegan erotis. Singkatnya, untuk menulis
cerita erotis, aku harus menggambarkan adegan-adegan cabul dengan seutuhnya. Aku mesti menuliskan adegan-adegan
cinta secara saksama. Ini memedihkan. Betapa tragisnya bahwa aku, pada usia dua
puluh dua tahun, harus menulis cerita erotis aspiran. Terlalu pedih.
Pekerjaanku menjadi
sangat menyulitkan. Skenarioku bahkan tidak beranjak dari sebaris pun dalam
sejam. Kosakata …. Aku enggak punya
kosakata. Otakku benar-benar tidak diperlengkapi dengan
metamorfosis-metamorfosis[1]
khusus yang biasa ada dalam fiksi erotis. Aku tidak tahu yang mesti kutuliskan.
Memilih satu kata saja rasanya seperti selamanya.
Lebih-lebih lagi, ini memalukan. Apa-apaan yang kupikirkan ini, menulis
kalimat-kalimat memalukan begini? Bahkan eskapisme pun ada batasnya. Wajahku
memanas, sementara duduk sendiri di kamarku yang gelap. Jantungku berpacu,
keringat dingin keluar, di kibor jemariku hendak berhenti selagi aku mengetik
…. Aku tidak bisa tahan lagi. Aku tidak mau menulis skenario erotis.
Ya ampun, aku muak.
Sungguh, sungguh-sungguh muak.
Tapi, kupaksakan untuk
teguh, dan merakit kalimat-kalimat dengan segenap fokus diri sebab aku takut
bahwa begitu aku berhenti menuliskan gim erotis ini, masalah sesungguhnya yang
tanpa daya coba kuabaikan akan kembali dengan sepenuh kekuatannya. Nantinya aku
mesti menghadapi langsung kenyataan menyakitkan, dan akibatnya tak akan baik.
Justru akan buruk.
Karena itulah aku menggunakan buku-buku France Shoin[2]
yang telah kubeli sebagai contoh selagi aku berfokus menulis skenario. Carilah kosakata yang tepat! Temukan
metafora! Ini cobaan berat nan melelahkan. Aku tulis dan hapus …. Tulis dan
hapus. Otakku mau copot.
“Lelaki itu membuka ritsleting celana lalu menurunkan jinnya ke lutut.”
“Ah, ah, jangan!”
“Kakak, kakak, kakak!"
“Dan payudaranya yang lembut ….”
“… mengocok …”
Enggak bagus. Hapus.
“Membengkak.”
Enggak. Hapus.
“Bangkit menjulang dengan jantannya.”
Salah! Hapus, hapus!
“Menikam langit.”
Bercanda ah?! Hapus, hapus, hapus!
“Terendam basah.”
Salah!
“Salmon merah jambu.”
Kubilang juga, “salah!”
“Mengilau basah.”
Tidak!
“Melekat dengan basahnya pada abdomen bagian bawah.”
Hentikan!
“Berlendir.”
Cukup sudah!
“Detak jantung.”
Aku enggak kuat lagi!
“Labia.”
Aku ini kenapa sih?
“Cangkang merah jambu.”
Kubilang, “aku ini kenapa?”
“Seputih susu.”
Apa yang salah dengan diriku …”
“Payudara yang kecil ….”
“… segar lagi belia …”
“… berkeringat …”
“… lebih keras …”
“J—jangan!”
“… desahan manis …”
“… bergesekkan dengan dia …”
“… agak menguncup …”
Kata-kata lainnya menghampiriku: “meraba” … “mengombak” … “memasukkan” …
“pinggul” … “dari bibirnya” … “menggilas” … “manis” … “seperti anak kucing” …
“tubuh perempuan” … “tegang” ….
Apa yang salah dengan aku ini …?
“Membengkak” … “ke selangkang” … “imut” … “desak” … “mengeras” … “merah
jambu terang” … “ingin bertemu” … “oke, tidak apa-apa” … “telanjang bulat” …
“tanpa sehelai benang pun” … “noda berbentuk lonjong” … “gundukan” … “celah” ….
Cukup.
“Tepat di bawah pusar”
… “bagian pribadi” … “membuat dadamu berdebar-debar” ….
Aku sudah.
“Membengkak” … “bernapas
tenang” … “sederhana” … “semak-semak” … “madu yang melimpah” … “dengan jari
telunjuknya” … “seperti kamu membuat dirimu sendiri basah” … “tak sabar” … “tak
senonoh” … “dari selaput” ….
Bagaimanakah hidupku ini …?
“Membengkak” …
“piston” … “vulgar” … “membelah” ….
Aku tidak bisa melihat masa depan.
“Membengkak” … “suara yang melekat” … “basah” … “panas” … “rawa isap” …
“tercemplung” … “kulup” … “daging lembut” … “agak merona” … “cabul” ….
Mending aku mati saja.
“Membengkak” … “membengkak” … “menikam langit” … “menjulang tinggi.”
“Membengkak” … “membengkak” … “membengkak” … “membengkak” … “membengkak!”
AHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHHH!
Kugaruk-garuk kepala.
Hapus semua, hapus semua, hapus semua ….
Menggunakan buku France Shoin sebagai contoh merupakan kesalahan dari awal
juga. Ketika fiksi menjadi referensi untuk fiksi, wajar saja penggambarannya
menjadi semakin aneh. Aku merasa akan gila.
Aku baik-baik saja. Kalemlah.
Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, aku memutuskan
untuk memulai lagi dari awal, dengan menggunakan pengalamanku sendiri sebagai
referensi. Dengan begitu, mestilah aku bisa menggambarkan adegan-adegan erotis
yang realistis berdasarkan pengalamanku sendiri yang nonfiktif.
Pengalaman nyata, pengalaman nyata ….
Menyoal pengalaman di
kehidupan nyata yang bisa kugunakan untuk gim erotis, mau tidak mau aku
mengenang jauh ke belakang. Aku mesti mengingat waktu yang telah renggang itu,
lima tahun lalu … masa asyik pada lima tahun lalu … tahun-tahunku SMA.
Aku memejamkan mata dan mengingat-ingat. Selagi begitu, segera aku
menyadari bahwa kenangan-kenangan itu akan bergerak ke arah yang mengusik
emosi. Buru-buru kubuka mata dan kucoba berhenti memikirkannya. Tapi,
panah-panah pikiranku, sekali diberikan arah, tak lagi dapat dihentikan.
***
Tahun-tahun SMA-ku yang cerah lagi
optimistis … masa mudaku yang menyegarkan.
“SMA” memberi kesan
akan kisah kasmaran yang sedikit pahit, dan masyarakat pada umumnya mengiyakan
kearifan yang lumrah ini. Aku juga waktu itu sedang kasmaran, setiap hari diisi
oleh gairah, seperti dalam gim simulasi cinta. Contohnya, aku menyukai cewek
yang lebih tua dari klub sastra itu.
Seperti yang sudah
bisa ditebak pada orang dari klub sastra, dia pembaca yang sangat giat. Karena
itulah, dia luar biasa dungu. Ia pernah membaca buku Panduan Lengkap Bunuh Diri di depanku.
Waktu itu aku berpikir, Hentikanlah,
kelakuanmu itu enggak asyik. Kamu cantik, kenapa enggak bertingkah sewajarnya
saja sih?
Gadis itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda memerhatikan.
“Kenapa kamu baca buku itu?” tanyaku padanya, dengan rasa enggan.
Sambil tertawa
dibuat-buat, dia menjawab, “Apa menurutmu bunuh diri itu enggak keren?” Pada
waktu itu, dia baru saja putus secara tidak baik-baik dengan pacarnya, dan
sepertinya dia jadi sedih.
“Hei, Satou. Menurutmu
kenapa orang bunuh diri?” tanyanya padaku.
“Menurutku sih itu
enggak apa-apa, iya enggak sih? Kalau orang mau bunuh diri, ya, semestinya
mereka dibiarkan saja. Sepertinya orang lain enggak berhak menghakiminya.”
“Hm.” Ia tidak tampak terkesan dengan jawabanku yang membosankan. Seperti
yang kempis, ia merundukkan pandangannya lagi pada buku di pangkuannya.
Sepulang sekolah, pada hari lainnya, ketika aku mulai muak main kartu
dengan dia, ia berucap, “Hei.”
“Apa?”
“Satou, setelah selama ini, kalau aku mati atau sesuatunya, kamu bakal
sedih enggak?” Bagaimanapun upayaku, aku tidak dapat mengingat jawabanku atas
pertanyaan tiba-tiba itu. Yang kuingat jelas hanya beberapa hari kemudian ia
datang ke sekolah dengan perban putih membalut pergelangan tangannya yang
kurus.
Ayolah, beri aku jeda. Aku enggak tahu
betapa seriusnya kamu ingin mati, tapi semestinya paling tidak kamu punya
sedikit rasa malu sudah berbuat melodrama.
“Kamu tuh bukan anak
SMP yang tolol.”
Jawabnya, “Aku anak
SMA yang tolol.”
Ia tipe gadis yang
blakblakan mengatakan hal semacam ini, padahal ia ingin masuk ke Universitas
Waseda yang sangat kompetitif itu. Dengan berlagak, ia menceploskan yang tidak
ada hubungannya seperti, “Omong-omong, masalahnya adalah kita enggak punya
musuh.”
Ia melanjutkan penjelasannya. “Enggak ada yang bisa dipersalahkan. Bukan
Mizuguchi dari tim bisbol, atau aku, atau kamu, Satou—tidak seorang pun dari
kita yang dapat dipersalahkan. Entah kenapa, segala hal tampaknya menuju ke
arah yang buruk. Aneh.”
“Yang aneh itu
pikiranmu.”
“Jangan berkata dingin
begitu sama cewek yang baru keluar dari ruang gawat darurat. Omong-omong,
Satou, kamu memerhatikan enggak sih walaupun ini bukan kesalahan kita, ada
banyak peristiwa menyakitkan yang begitu saja terjadi di sekitar kita? Ini
karena ada organisasi besar merencanakan konspirasi keji melawan kita.”
“Yah, yah.”
“Benar kok. Ada burung
kecil yang memberitahuku.”
“Yah, yah.” Ia tipe
cewek yang suka bertingkah seolah-olah dia gila. Meski begitu—dan karena dia
cantik—aku suka dia. Beberapa hari sebelum lulus, ia bahkan membiarkan aku
untuk mencoba dia sekali.
Aku sangat tersentuh
mengingat bahwa bayaran untuk menyenangkan dia selama dua tahun itu berupa satu
kejadian itu. Pengalaman yang menggairahkan secara membabi buta, tapi juga
menyedihkan. Pada akhirnya, aku hanya bisa melakukannya sekali itu saja.
Aku merasa semestinya aku melakukannya berkali-kali lagi. Tapi, aku juga
merasa mungkin lebih baik aku tidak melakukannya termasuk yang sekali itu. Aku
tidak tahu mana yang benar.
Ahhh ….
Di sebuah kafe trendi di Shibuya, aku menanyai dia, “Jadi, bagaimana
menurutmu?” Itu kali pertama aku bertemu dia setelah bertahun-tahun.
Minggu sebelumnya, tanpa ada pertanda apa-apa, aku mendapat panggilan
telepon. “Ayo kita ketemuan,” katanya.
Aku meninggalkan rumah
tanpa rasa khawatir.
Kami berjanji untuk
bertemu di depan Patung Moai. Tempat itu agak ramai oleh turis, tapi karena
kami berasal dari kota lain, maka tidak ada masalah berarti. Segera begitu kami
menyalami satu sama lain, gadis itu berkata, “Aku menelepon ke rumah
keluargamu, Satou, untuk mencari informasi kontakmu yang sekarang, tapi ibumu
mengira aku wiraniaga dan curiga.”
“Oh ya, sering begitu kok. Pencari sumbangan berpura-pura jadi teman
sekelas sedang mengumpulkan daftar nama anak-anak ….” Rada suram setelah
bertahun-tahun tidak berjumpa, hal begini yang pertama kali diobrolkan.
Kenangan-kenanganku
tidak mengecoh: dia sungguh cantik bagaimanapun juga. Karena itu, aku agak
gugup. Ditambah lagi, aku mengidap ketakutan akan kontak mata serta
agorafobia—gangguan yang khas bagi hikikomori. Bahkan setelah memasuki kafe,
aku tidak bisa berhenti berkeringat.
Duduk membelakangi jendela, gadis itu mengaduk es kopinya dengan sedotan.
“Satou, apa kegiatanmu sekarang?”
Aku menjawab sejujurnya, tanpa menyembunyikan apa pun. Senyum di wajahku.
Ia tertawa. “Aku sudah menduga kamu bakal berakhir seperti ini.”
“Oh, sekarang ini aku sudah mengurung diri selama empat tahun,” aku
membual. “Aku hikikomori profesional!”
“Sekarang pun, kamu kesulitan keluar rumah?”
Aku mengangguk.
“Kalau begitu, aku ada barang bagus buat kamu.”
Gadis itu mengeluarkan benda yang terlihat seperti wadah pil dari tas
kecilnya, lalu menyerahkan padaku beberapa kapsul. “Ini Ritalin.”
“Apa itu?”
“Ini obat dari jenis stimulan. Sangat manjur. Dengan ini, kamu bisa
bersemangat kapan saja!”
Setelah selama ini, dia masih orang yang aneh. Buktinya, dia menemui
sekitar tiga psikiater. Meski begitu, aku senang akan perhatiannya, sehingga
aku mengambil salah satu pil meragukan itu dengan penuh rasa syukur.
Setelah itu, aku menjadi energik. Malah, kami bertukar cakapan ceria yang
tak penting.
“Kamu normal banget
sewaktu SMA, Satou …. Eh, enggak, enggak juga sih.”
“Kegiatanmu apa
sekarang?”
“Aku penganggur.”
“Kamu lulus kuliah,
kan?”
“Iya, tapi sekarang aku menganggur. Tapi aku akan jadi ibu rumah tangga
sebentar lagi.”
“Hm, kamu akan menikah?” Istri muda
berusia dua puluh empat tahun. Moe moe
….
“Kaget?”
“Sedikit banyak.”
“Sedih?”
“Enggak tuh.”
“Kenapa enggak?”
“Menurutmu kenapa?”
Kami meninggalkan kafe. Gadis itu melompat-lompat di sekitarku, sambil
tertawa riang.
Lalu, ia berkata, “Aku sungguh-sungguh bahagia sekarang ini.”
Ia menyombong bahwa ia akan menikahi seorang pegawai pemerintahan pusat
yang pekerja keras, kaya, sekaligus tampan. Pada dasarnya, ia akan menikahi
orang yang sebaik-baiknya!
“Jangan berpikir terlalu keras. Jangan meruwetkan segala hal. Aku
bahagia.” Nadanya ceria. Terlihat bahwa, di samping itu, dia juga tengah membantu dirinya dengan obat
itu.
Selagi kami menerobos keramaian orang, ia bertanya, “Dulu, semestinya aku
kencan dengan kamu. Dulu kamu benar-benar menyukaiku, kan, Satou?”
“Sebenarnya aku cuma
ingin merasai cewek.”
“Maaf, ya. Mungkin semestinya kita tidak menghabiskan seluruh waktu itu
dengan bermain kartu saja tiap hari.”
“Kenyataan bahwa sekali kita melakukannya, setelah itu kita langsung
berpisah … agak sulit bagiku.”
“Mungkin salahku kamu
jadi hikikomori.”
“Enggak ada hubungannya sama sekali. Lebih seperti ada semacam ….”
“Organisasi besar?”
“Ya, benar! Organisasi
raksasa jahat itu mencengkeramku seutuhnya.”
“Aku, juga, tahu
enggak sih? Organisasi jahat itu mencabikku juga! Mungkin tidak ada yang bisa
kulakukan ….”
Tahu-tahu, ia bilang
sedang hamil.
“Wah! Aku takjub
banget! Kamu akan jadi ibu!” aku terkejut.
“Itu sebabnya aku akan
menikah. Sekarang, hidupku telah sukses! Aku telah berada di jalur yang tepat.
Sekarang, kurasa aku bisa maju, tanpa rintangan, dalam garis yang lurus.”
Langkahnya cepat, sekitar tiga kaki di depanku. Aku tidak bisa melihat raut
mukanya, tapi aku mengira dari nadanya bahwa ia memang bersemangat. Ia bahagia.
Ia harus begitu.
“Benar-benar hebat.
Sangat hebat. Sungguh hebat.” Kukatakan tiga kali berturut-turut untuk
merayakan awal dari kehidupan barunya itu dengan seremoni yang selayaknya.
“Enggak apa-apa buatmu,
Satou?” Langkahnya tertahan.
“Enggak, enggak juga,”
aku juga ikut berhenti.
“Enggak tahu kenapa,
tapi aku merasa sakit.”
Kami telah tiba di suatu jalan yang dibarisi hotel-hotel. Ada beberapa
pasangan yang sedang menongkrong sambil berangkulan, walaupun pada saat itu
tengah hari. Aku merasa sedikit menggigil akibat kegairahan.
“Mestikah kita berselingkuh atau sesuatunya?” Gadis itu tersenyum selagi
mengatakannya.
“Selingkuh dengan istri muda! Kayak di TV!” Aku menjadi semakin bergairah.
“Aku baru membiarkanmu melakukannya sekali, jadi aku merasa enggak enak.”
Kami berdiri di depan sebuah hotel, memandang langsung pada satu sama
lain. Aku benar-benar ingin masuk ke sana bersama dia.
Kami sama-sama tertawa. “Kamu bahagia, kan, sekarang?” tanyaku.
“Benar.”
“Kamu ada di tempat yang tidak akan terjangkau lagi oleh organisasi
raksasa itu, kan?”
“Benar,” ulangnya.
“Kalau begitu, aku pulang.” Seraya membungkuk, segera kutinggalkan tempat
itu. Selagi aku melewati dia, aku mencuri pandang sekilas. Ia menangis. Rasanya
mustahil. Mestinya mudah bagi orang secantik dan seramah dia untuk mendapatkan
hidup yang bahagia, waras, dan ringan—sesuatu yang akan diirikan orang lain.
Orang yang secantik itu mestilah bisa menjalani hidup yang riang.
Sesungguhnya, tidak ada yang bisa dilakukan pada depresi berulang, yang
tak ada gunanya. Orang bisa menjadi putus asa atau marah. Sekalipun jika mereka
cukup marah hingga hendak meninju sesuatu, mereka tidak akan menemukan target.
Organisasi raksasa …. Mereka berharap suatu organisasi raksasa yang keji itu
ada. Itu menjadi mimpi kami ….
Hal buruk membanjiri
dunia ini. Dunia ini terbelit oleh kemalangan dan kepedihan yang rumit, kacau,
tanpa perasaan, dan tak dapat dimengerti.
Ia memberitahuku bahwa ada teman kuliahnya yang bunuh diri, dengan
meninggalkan surat wasiat tolol yang isinya macam, “Aku telah dihancurkan oleh
impian dan cinta, maka sebaiknya aku mati saja.” Seorang teman sekelas dari SD
telah menikah lalu bercerai. Yamada sekarang membesarkan dua anak sendirian dan
mulai beruban, dan kakak kelas perempuanku itu pun tertawa. Kazumi, yang
tinggal bersama seorang pria, pulang pada keluarganya. Yuusuke, yang ingin
menjadi pegawai negeri sipil, gagal dalam tes. Yamazaki, yang sedang membuat
gim erotis, semua mimpinya telah runtuh.
“Aku sedang menjajal bakatku sendiri. Jadinya enggak mesti gim erotis sih,
tapi aku … aku akan berbuat sesuatu!” Ketika Yamazaki menyatakan ini, sembari mabuk sake,
masa depannya telah ditentukan sebagai pemerah susu, yang mengejar-ngejar sapi.
Entah bagaimana dia bisa melepaskan diri.
Di acara-acara reuni dan pesta, setiap orang tertawa dan bikin recok.
Acara-acara seperti itu seru, seperti di karaoke. Setiap orang bersenang-senang
dan sepertinya yakin bahwa masa depan akan jadi sempurna. Kita bisa menjadi
segalanya! Kita bisa melakukan apa saja! Kita bisa bahagia!
Itu benar—tapi berangsur-angsur, secara tetap, dengan laju yang begitu
perlahan hingga kita tidak menyadarinya, kita dirobohkan. Tidak ada yang bisa
kita lakukan, sekalipun bila kita mendapat masalah, takluk, menangis. Setiap dari
kita pada akhirnya mengalami peristiwa buruk. Perbedaannya hanya terjadi
sekarang atau nanti. Tapi pada akhirnya, kita semua akan terpuruk dalam situasi
yang sungguh tak tertahankan.
Aku takut. Aku takut akan segala macam hal.
Aku memikirkan teman sekolah perempuanku itu. Hei, aku bukan orang baik. Aku lima ratus kali lebih buruk daripada PNS yang
berhasil kamu gaet itu.
Tidak ada yang bisa aku lakukan buat
kamu. Aku sungguh ingin ke hotel itu bersama kamu, tapi keadaanmu akan semakin
sulit. Aku bukannya sok keren atau apa. Ah, aku benar-benar ingin terlibat
dalam perselingkuhan dengan kamu. Tapi, tidak mungkin. Jelas-jelas tidak mungkin. Hikikomori menyedihkan
seperti aku, yang bahkan tidak bisa memelihara dirinya sendiri, tidak punya
daya untuk membuatmu bahagia.
Oh, aku ingin menjadi
orang yang kuat, orang yang bisa diandalkan, yang menceriakan sekitarnya hanya
dengan kemunculannya. Aku ingin menjadi pembawa nasib baik. Tapi, kenyataannya
aku ini hikikomori—seorang hikikomori yang takut pada dunia luar.
Entah kenapa aku begitu ketakutan,
saking ketakutannya sampai-sampai aku tidak berdaya. Tidak ada lagi kebaikan
padaku.
***
Bulan depan, biaya
hidupku bakal dihentikan. Apa yang bisa kulakukan ketika itu? Gaya hidup ini
mesti diakhiri segera. Mestikah aku mengakhiri hidupku saja?
Kumatikan komputer yang sedang kugunakan untuk menulis skenario gim
erotis. Aku memutuskan untuk menelepon Yamazaki dan meminta maaf. “Maaf, aku
enggak bisa menulis skenario lagi.”
Tapi Yamazaki sudah pegang telepon. Aku bisa mendengar jeritan marahnya
dari kamar sebelah. “Kenapa sih selalu balik ke masalah ini lagi?! Pertama, aku
ke sini pakai uangku sendiri. Aku enggak harus menuruti perintahmu!”
Kedengarannya ia sedang berantem sama orang tuanya lagi. Setiap orang
punya masalah sendiri-sendiri.
Aku hampir saja tiba
pada titik sungguh kehilangan keberanian untuk terus. Sebuah baris dari suatu
puisi timbul di benakku: Akhir musim hujan, menyegarkan, bunuh diri.
Kugelengkan kepala. Sekarang, kuputuskan untuk tidur saja. Setelah
berganti pakaian jadi piama, aku coba berbaring di tempat tidur. Selagi begitu,
secarik kertas di atas TV terlihat olehku. Itu kontrak yang kuterima dari
Misaki.
Suatu malam, aku sedang membaca manga di pojok minimarket yang menyediakan
majalah-majalah, ketika, tahu-tahu, Misaki berdiri di belakangku. “Nanti bila
kita bertemu lagi, sudah tanda tangani dan stempel ini, oke?” katanya, seraya
mencabut selembar kertas dari tasnya. Ia menyerahkannya kepadaku. Kelihatannya,
sudah beberapa lama ia membawa-bawa kertas ini.
Secarik kertas itu ….
Aku sudah membacanya berkali-kali, tapi aku mengambilnya dan membacanya
lagi. Tentunya, itu suatu dokumen yang tak habis-habisnya kupikirkan, saking
konyolnya sampai bikin aku mumet. Tapi, dengan emosiku yang berada di titik
nadir ini, anehnya aku jadi tertarik. Maka, akhirnya aku menandatangani dan
menstempel kontrak itu.
Setelah mendesakkannya ke saku, aku menuju ke arah taman sekitar. Saat itu
malam, dan tidak ada bulan. Di suatu tempat, ada anjing menggonggong. Sembari
duduk di bangku dekat ayunan, kupandang langit malam dalam lamunan.
Tak dinyana, Misaki muncul, kembali mengenakan pakaian biasa alih-alih
busana keagamaannya. Ia bergabung denganku di bangku taman dan mulai mengajukan
alasan-alasan sebelum aku sempat mengatakan apa-apa. “Bukannya tiap malam aku
mengawasi gerbang taman dari jendelaku.”
Aku tertawa. Setelah tawaku menguap, salak anjing di kejauhan itu sudah
berhenti, dan yang terdengar hanya sayup-sayup sirene ambulans, Misaki
bertanya, “Gimnya sudah selesai?”
“Ah, iya, gim
erotisnya mandek juga akhirnya. Tapi, tahu dari mana kamu?”
“Sewaktu Yamazaki
datang ke kafe manga beberapa hari lalu, kebetulan aku menguping dia mengobrol
soal itu. Omong-omong, gim erotis itu apa sih?”
“Itu kode buat EROA dan GARIOA[3].
EROA itu singkatan dari Economic
Rehabilitation in Occupied Areas, sedangkan GARIOA itu Government Appropriation for Relief in Occupied Areas. Keduanya
dikembangkan pemerintah Amerika untuk mencegah masalah sosial, seperti penyakit
dan kelaparan, di kawasan-kawasan yang diduduki Amerika Serikat setelah Perang
Dunia II.”
“Bohong, ya?”
“Iya.”
“Kamu juga bohong soal
jadi kreator itu, ya?”
“Iya.”
“Kenyataannya, kamu
ini hikikomori penganggur, ya?”
“Iya.”
Aku mengulurkan kontrak itu. Segera ia menjambretnya dari kedua tanganku,
lalu melompat. “Akhirnya kamu mau menandatangani! Sekarang kamu akan baik-baik
saja, Satou. Kamu bisa berkelana ke dunia luas setelah sedikit pelatihan.”
“Misaki, sebenarnya
kamu ini siapa sih?”
“Aku sudah kasih tahu kamu, kan? Aku ini semacam cewek yang menyelamatkan
anak-anak muda dari penderitaan. Kegiatan ini, tentu saja, merupakan bagian
dari proyekku. Tolong, yakinlah, tidak akan ada kejadian buruk. Oke?”
Penjelasannya meragukan. Biar begitu ….
“Tapi, dengan ini, kontrak kita punya kuasa! Kalau kamu membatalkannya,
penaltinya satu juta yen, oke?” Misaki mengantongi kontrak dan tersenyum
menyilaukan. Seketika itu, aku mulai gugup. Ada perasaan bahwa aku telah
membuat kesalahan besar.
Memangnya, seberapa besar kekuatan hukum yang dimiliki kontrak ini?
Mestinya aku tanya-tanya dulu sama teman kuliahku yang studi hukum.
***
Kontrak Pelepasan dari Kehidupan
Hikikomori Berikut Dukungannya
Nama hikikomori: Satou
Tatsuhiro.
Nama pendukung
pelepasan: Misaki Nakahara.
Dengan mendefinisikan hikikomori sebagai pihak A dan pendukung sebagai
pihak B, berikut ini dilakukan perjanjian antara kedua pihak.
A akan memberi B pengakuan semua kesedihan, kesulitan, keluhan, dan segala isi batin lainnya sehubungan dengan
pelepasan dari kehidupan hikikomori.
B akan melakukan
segala hal sesuai dengan kemampuannya untuk membantu A lepas dari kehidupan
hikikomori dan agar sukses kembali pada masyarakat (disebut sebagai pihak C).
Sebagai tambahan, selama proses menuju C, B akan berusaha memelihara kestabilan
emosi A.
Sebaliknya, A akan
berbicara secara sopan kepada B.
A akan mematuhi setiap
instruksi B.
Selanjutnya, A tidak akan memperlakukan B sebagai orang yang buruk. A
tidak akan memperlakukan B dengan jahat.
Sewajarnya, perilaku kasar, seperti memukul atau menendang, tidak boleh
dilakukan.
Konseling akan diadakan setiap malam di taman Mita Distrik Keempat. Datang
setelah makan malam.
Bila A menjalankan kontrak, A akan bergerak menuju C. Jika A memutus
kontrak, penaltinya satu juta yen.
***
Mengingat isi kontrak itu, aku terserang
oleh kecemasan parah. “Lupakan! Kembalikan kontrak itu!”
Tapi Misaki sudah lama
minggat.
Aku ditinggalkan sendiri,
pada batasku yang penghabisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar