Tapi, dalam kurun
sebulan, terjadi berbagai peristiwa.
Misalnya saja, pada
suatu malam baru-baru ini, secara kebetulan aku bertemu Misaki di minimarket.
Ia menyerahkan padaku selembar kertas dari mesin pencetak. Tampaknya itu suatu kontrak. Tertulis “Kontrak”
di atas kertas dengan pena bolpoin hitam.
Seminggu sebelumnya,
aku punya rencana bertemu gadis yang kukenal dari klub sastra SMA. Kami pergi ke kafe di
Shibuya dan mengobrol sedikit. Aku agak gugup, tapi tidak ada kejadian penting.
Ditambah lagi, ayahku dirumahkan sementara ada “restrukturisasi”. Biaya
hidupku akan dihentikan mulai bulan depan.
Begitu pula dengan tetangga sebelah kamarku, Yamazaki, tampaknya juga
tengah menghadapi berbagai kesulitan tak terduga akhir-akhir ini. “Ayahku, yang
bekerja di rumah sakit, di opname karena gangguan lever,” ia menjelaskan. “Aku
putra paling tua. Haruskah aku mengambil alih bisnis keluarga?”
Nyatanya, tampaknya ia tidak punya pilihan. Kupikir keputusan yang terbaik
baginya adalah langsung pulang dan menjalankan usaha pemerahan susu serta kilang anggur
milik keluarganya. Agaknya, ia punya persoalan berat dengan kedua orang tuanya.
“Biarpun mereka punya uang, mereka tidak mau membantuku melanjutkan kuliah. Dulu mereka
mendaftarkanku ke sekolah pemerahan susu tanpa sekalipun menanyaiku. Maka
setahun aku kerja paruh waktu di minimarket dan sebagai petugas keamanan untuk
membiayai kuliah di Institut Animasi Yoyogi. Mereka pasti bercanda, merundungku
dengan permasalahan ini sekarang!”
Aku tidak benar-benar memahami amarah Yamazaki, tapi
kegusarannya itu membikin dia mengesampingkan persoalannya. Ia bersikap
seolah-olah tidak hendak berbuat apa-apa, sekalipun jika segala di sekitarnya
ambruk. Aku memutuskan untuk mengikuti teladannya dan menghindari saja
kenyataan untuk sementara waktu ini.
Bicara soal
menghindari kenyataan, masih ada persoalan gim erotis yang kami rencanakan.
Kami berusaha maju, termasuk pada waktu sekarang, ketika proyek kami hampir tak
berarti sama sekali.
Sebenarnya, semestinya
aku melepaskan dari dari kehidupan hikikomori ini selekas mungkin dan berfokus
pada usaha memperoleh pekerjaan yang sah. Tapi karena suatu hal, kupasang
senyum dan kukatakan pada Yamazaki, “Kamu enggak usah mencampuriku soal yang
Lolita itu, oke?”
“Pastilah. Terserah pada seleramu sajalah, Satou. Jujur aku mengira kita
bakal ditahan sewaktu berfoto-foto di SD kapan itu.”
Aku enggak peduli soal begituan sama
sekali. Aku harus dapat kerja sekarang atau tamat riwayatku! Aku ingin berteriak, tapi lagi-lagi, aku tersenyum dan menuruti dia. “Aku
akan menulis skenarionya hari ini.”
“Aku mengandalkanmu. Kualitas gim ini sepenuhnya bergantung pada
skenariomu, Satou.”
“Aku tahu. Aku akan berusaha sebaik-baiknya saat menulis. Aku akan
mengerahkan seluruh energiku dalam membuat gim erotis ini!”
Yeah, inilah puncaknya! Hebat! Atau
malah, ini parah!
***
Tidak ada yang lebih
pas daripada membikin gim erotis untuk melarikan diri dari kenyataan. Lagi
pula, genre itu sendiri menghasratkan eskapisme tanpa batas.
Yamazaki, duduk di dua
menara besar komputernya, memulai pidato baru. “Benar. Eskapisme memang esensi
daripada gim erotis. Sebagai kreator, kita harus memberi pemain pelarian yang nikmat dari kenyataan. Dunia nyata
dibanjiri berbagai hal menyakitkan: cewek-cewek yang membodohi cowok-cowok
seperti kita, cewek-cewek yang memperolok cowok-cowok seperti kita, si jalang
yang berselingkuh dari aku dengan si manajer minimarket, mahasiswa kampus
kejuruan yang bermain-main dengan masa remajaku … semua hal menyakitkan
itu menjadikan dunia ini tempat yang
sulit.”
Paruh kedua pidatonya menggambarkan situasi-situasi yang cukup konkret
khusus bagi dia seorang, tapi aku biarkan saja dia terus. Setelah berjeda
sejenak untuk meminum teh oolong-nya,
Yamazaki semakin mengeraskan suaranya, berdeklamasi, “Singkatnya, wanita
sejatinya tak berharga. Mereka bukan main menyerupai monster. Jadi ….”
“Jadi?”
“Jadi, sebagai kreator gim erotis, kita harus menciptakan karakter
perempuan yang bikin tenteram, jenis yang tidak ada dalam kenyataan.”
Karakter perempuan yang bikin tenteram ….
“Maksudku, karakter
yang mulai menyukai protagonis tanpa alasan yang wajar, yang mendekati
protagonis murni karena niat baik, karakter yang semacam itulah,” Yamazaki menjelaskan. “Karakter tanpa motif tersembunyi, yang tidak akan pernah mengkhianati si
protagonis. Jenis karakter yang tidak akan pernah ada di dunia nyata.”
“Kalau kamu memasukkan karakter yang begitu jauh lepas dari dunia
sebenarnya, apa realisme gim itu secara keseluruhan enggak terkompromikan?”
“Enggak pentinglah
itu. Pemain gim erotis tuh enggak cari realisme. Kalaupun bodohnya kita mencoba
memasukkan realisme, akhirnya pemain justru bakal muak. Kalau orang ingin jatuh
cinta sama karakter yang realistis, mereka bisa bicara sama wanita betulan saja
dan bukannya main gim erotis.”
“Begitu, ya.”
“Masih ada teknik-teknik yang mesti kamu pergunakan untuk menciptakan
karakter,” tegurnya.
“Maksudmu?”
“Yah, kalau kamu hanya memasukkan karakter perempuan yang biasa-biasa saja
dan mengatakan ‘dia tokoh utama perempuan yang sangat ideal!’, tidak ada kesan nyatanya. Kamu harus menggunakan
strategi dalam membangun karakter dan situasi untuk memperkuat fakta bahwa
‘tokoh utama perempuan ideal’-mu memang ideal.
“Misal, tekniknya adalah menjadikan dia sebagai teman masa kecil. Kalau
kamu menjadikan teman masa kecil si karakter utama sebagai tokoh utama
perempuan, kamu bisa mengembangkan ikatan yang bisa dipercaya, sebab mereka
sudah dekat sejak kecil. Dari fantasi ini, kamu punya alasan meyakinkan bahwa
dia memang tokoh utama perempuan ideal, yang sangat cocok dengan kebutuhanmu.
“Teknik kedua yaitu
menjadikan dia pembantu. Kalau kamu menjadikan pembantu sebagai tokoh utama
perempuan, maka, karena pada dasarnya itu pekerjaan dia, hubungan tuan-pelayan
dapat berkembang. Dari fantasi ini, kamu juga bisa punya alasan meyakinkan
bahwa dia tokoh utama perempuan ideal, yang sangat cocok dengan kebutuhanmu.
“Yang terakhir, teknik ketiga yaitu menjadikan dia robot. Kamu menjadikan
robot sebagai tokoh utama perempuan. Sebab robot enggak bisa melawan manusia,
pertimbangan bahwa dia enggak mungkin punya motif tersembunyi atau enggak
mungkin mengkhianati pemiliknya, menjadi alasan meyakinkan bahwa dia tokoh
utama perempuan ideal—“
“R—robot itu maksudnya
bagaimana …?” aku menyela.
“Maksudku, ya, robot
biasa. Kamu menjadikan robot tokoh utama perempuan di gim erotismu.” Percakapan
ini agak-agak surealis, tapi ekspresi Yamazaki memberi kesan bahwa ini hal yang
wajar.
“Singkatnya, tujuan utama saat menciptakan karakter gim erotis yaitu
membuat alasan kenapa si tokoh utama perempuan tidak bisa menentang si karakter
utama. Ini dilakukan saat kamu menetapkan situasi awalnya. Ia mesti mematuhi
setiap perintah dari si karakter utama, dia mesti mendengarkan, dan dia mesti
mencintai si karakter utama tanpa syarat. Dengan teknik-teknik ini, kamu
terbantu memenuhi hal-hal yang mesti ada sebanyak-banyaknya.”
Aku berpikir sebaiknya tidak berpikir terlalu banyak soal ini.
Tanpa harapan sama sekali, aku bertanya, “Eh, bagaimana dengan teman
sekelas yang teman masa kecil sekaligus robot pembantu?”
“Hebat sekali itu!”
sahut Yamazaki dengan raut bersungguh-sungguh pada wajahnya.
“Eh, bagaimana dengan skenario tambahan bahwa dia kekasih karakter utama
dalam kehidupan sebelumnya?”
“Luar biasa!”
“Di samping itu, dia
sakit-sakitan, buta, dan bisu juga. Orang yang bisa dia andalkan cuma si
karakter utama. Bagaimana?”
“Sempurna banget,
enggak sih?!”
“Selain itu, dia punya
Alzheimer.”
“Bagus!”
“Belum lagi menderita
gangguan kepribadian ganda!”
“Sempurna!”
“Sebenarnya dia
alien.”
“Keren!”
Diskusi ini berlanjut sampai berjam-jam. Hasilnya,
kami dapat memutuskan kerangka tokoh utama perempuan untuk gim erotis yang akan
kutulis.
“Dia teman masa kecil
si protagonis yang sekaligus robot pembantu. Dia buta, tuli, dan sakit-sakitan.
Selain itu, dia alien dengan Alzheimer dan gangguan kepribadian ganda. Tapi,
sebenarnya dia hantu yang punya hubungan dengan si karakter utama dalam
kehidupan masa lalu mereka. Dan wujud dia yang sesungguhnya adalah ruh rubah.”
“Wah, luar biasa!
Sempurna! Moe moe!”
“Hm ….”
“Kenapa, Satou? Kamu
bisa langsung mulai tulis skenarionya.”
“Anu …. Anu …”
“Anu?”
“Mana mungkin aku
menulis beginian? Terserah aku lah!” kutendang Yamazaki lalu balik ke kamarku
sendiri.
Saat itu sudah pukul
dua pagi.
Apa-apaan yang kami alami ini? Aku coba meresahkannya, tapi pada akhirnya, kami hanyalah dua hikikomori
tak berguna. Aku memutuskan untuk melanjutkan pelarianku dari kenyataan.
Benar! Bicara soal eskapisme, paling baik, ya, dengan membuat gim erotis.
Karena itulah aku akan
segera menulis skenarionya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar