Diterjemahkan oleh Lynne E. Riggs
Kamu mungkin kaget mendapat surat ini. Tapi sudah
lama aku memikirkan kamu.
Ingat
hari pertama SMA? Sakura sedang mekar. Rambutmu masih panjang sampai pinggang.
Berombak-ombak ditiup angin, panjang dan hitam … indah sekali. Kelopak bunga
merah jambu menari-nari di udara. Kamu tersenyum dan menyapa “Selamat pagi!”
Aku
mengingatnya dengan jelas.
Cuma
pada waktu itu kamu bicara padaku. Malah kita akhirnya sekelas, tapi kamu tidak
pernah berkata apa-apa padaku lagi. Sekarang seperti yang lain-lainnya, kamu
mengabaikanku.
Aku tahu sebabnya, tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku tahu kenyataannya hatimu suci. Kamu lihat yang lain-lainnya mengatakan hal buruk, sehingga kamu kasihan padaku. Aku tahu, karena kamu orang yang lembut.
Yang
lain-lainnya itu, mereka benar-benar tidak mengerti. Mereka tidak mengerti
apa-apa selain diri mereka sendiri—sehingga mereka bersemangat soal hal-hal
remeh yang tolol di kelas atau di ekskul. Semestinya kamu tidak bersama para
idiot itu. Kamu malaikat … malaikat yang terpeleset dari surga. Seperti itulah
bayanganku ketika aku melihat kamu bersama yang lain-lainnya itu.
Mungkin
aku kelihatan seperti orang culun, tapi sejak ketemu kamu, aku menemukan
malaikat yang ingin aku lindungi, seseorang yang bisa membuatku terbuka. Aku
akan menyerahkan hidupku untuk mempertahankanmu—dari para utusan yang mungkin
mau membawamu kembali ke surga juga para penjahat di dunia kotor ini yang
mungkin mau menodaimu.
Ketika
aku merasa sengsara dan terluka, aku selalu ingat senyumanmu. Dengan begitu aku
merasa kuat. Aku berharap bisa selalu ada di dekatmu. Malah, aku ingin supaya
senyumanmu itu jadi milikku dan hanya untukku. Aku ingin kamu jadi milikku
seorang.
Tapi
itu bukan alasan aku menulis surat ini. Karena mau memintamu jadi “pacar”ku
atau apa—aku sangat benci hal begituan. Aku benci”cinta-cintaan” cowok-cewek
yang dangkal itu—para idiot itu cuma meniru dari cerita-cerita di TV. Orang
bersatu semestinya bukan sekadar lagak biar dilihat orang. Semestinya itu
karena ada hubungan jiwa—ikatan sejati.
Hanya
saja aku mendengar tentang perceraian orang tuamu. Aku perhatikan kamu jadi
kuyu, sehingga aku khawatir. Aku lihat kamu membalas dengan ceria seperti
biasanya ketika diajak mengobrol oleh teman-temanmu. Kamu mengoceh dan
bersenang-senang dengan mereka seperti biasanya. Tapi ketika kamu diam dan
sendirian, kadang-kadang kamu terlihat seperti yang mau menangis …. Pada
saat-saat seperti itu, tentu saja aku tidak bisa berkata apa-apa sama kamu,
tapi aku tahu. Aku tahu kamu sedang berjuang dengan kesedihan, seorang diri.
Ketika
kamu merasa sedih seperti itu, mungkin akan menghibur dengan mendengarkan
“Don’t’ Cry” dari Kirara Kanbayashi, lagu tema dari drama Angel of Love: Magical Angela. Mungkin itu bisa memberimu
sedikit kekuatan.
Malaikat
terlihat paling cantik ketika tersenyum, jadi aku berharap kamu segera
mengatasi kesedihanmu dan bisa tersenyum lagi seperti sedia kala. Bukan hanya
senyum terpaksa yang kamu tunjukkan ketika kamu bersama teman-temanmu, tapi
senyuman sejati yang berasal dari hati.
Lagi
pula, satu-satunya pancaran cahaya buatku adalah senyumanmu.
Sampai
ketemu di sekolah.
=
Ketika aku melihat surat itu, aku nyaris tercekik.
Lagian, pengirimnya si “Ubur-ubur”. Tentu saja Ubur-ubur itu nama panggilan.
Semua orang menyebut dia begitu karena sewaktu bimbingan karier dia menjawab
“ubur-ubur” ketika ditanya mau jadi apa di masa depan. Itu bukan karena yang
lain menganggap dia menarik atau lucu. Justru sebaliknya—dia sasaran ideal
untuk ditindas.
Jadi
begitu aku menemukan surat dari si Ubur-ubur dalam loker sepatuku di pintu
masuk sekolah, aku pikir, masak sih, jangan bercanda ah—jangan mengganggu
hidupku juga dong!
“Apa
tuh? Surat cinta?” Yukari, yang selalu pulang bareng aku, menyambar surat itu,
mengambilnya dari tanganku. Lantas, setelah melihat nama pengirimnya, ia
meringis.
“Iyuh!
Ubur-ubur? Ngeri deh!”
“Apa-apaan
sih dia ini?” Mami mendengus. “Berani-beraninya dia naksir Kanako! Bayangkan
saja! Dia enggak sadar, ya! Enggak tahu diri banget dia sama Kanako!”
Dan
ia pun menyambung, “Itulah anehnya otaku; mereka terkurung di dunianya
sendiri dan sama sekali enggak memikirkan perasaan orang lain. Dia enggak bisa
peka, ya?”
Mami
memeluk dirinya sendiri lalu bergidik jijik.
“Iya,
orang yang enggak memikirkan perasaan orang lain itu orang yang paling buruk,” kata
Yukari. “Enggak heran orang begitu enggak ada yang suka!”
Aku
setuju dengan mereka. Si Ubur-ubur asyik sekali bicara soal anime, tapi tidak
seorang pun yang tertarik. Tapi ketika yang lain-lainnya mengobrolkan acara TV
atau musik yang disukai semua orang, ia bengong saja.
Kalau
aku, aku berusaha mendengarkan para penyanyi populer yang tidak betul-betul kusukai
supaya aku siap ketika pergi karaoke bersama teman-temanku. Aku menonton
acara-acara drama TV membosankan yang aku sama sekali tidak tertarik supaya aku
bisa menyesuaikan dengan obrolan di sekolah. Tapi si Ubur-ubur tidak mau
melakukan yang seperti itu. Padahal orang harus mengikuti yang dilakukan semua
orang supaya bisa diterima, tapi dia tidak mau berusaha—sehingga mereka
menggoda dan menindas dia sehingga hidupnya menderita. Memangnya mau apa lagi
dengan orang yang tidak mau berusaha bergaul dengan yang lain?
“Kanako,
suratnya mau kamu apakan? Apa kita buang saja?”
Yukari
melambai-lambaikan surat itu, menjepitnya penuh penghinaan dengan ujung jari.
“Eh,
jangan! Jangan buang di sini! Bisa-bisa nanti ada yang menemukannya! Aku bawa
pulang saja nanti kusobek.” Aku mengambil kembali surat itu dari Yukari dan
memasukkanya ke tas. “Sudahlah. Mau ke mana kita pulang nanti? Kalau aku, aku
mau yoghurt beku!”
Maka
kami pun mampir ke toko yoghurt beku, dan baru larut malam itu aku membaca
surat si Ubur-ubur. Setelah aku pulang, mandi, dan selagi menonton TV sambil
mengeringkan rambut, aku ingat harus menyiapkan kamus buat di kelas besok—dan
aku pun menemukan surat itu lagi di tas.
Aku
kebetulan saja mulai membacanya, tapi setelah membaca terus, aku merasa … aku
tidak bisa menjelaskannya, tapi aku merasa hatiku seperti yang dicengkeram. Kok
dia bisa tahu? Rasanya seperti … segala hal yang selama ini bergolak-golak di
kepalaku—dia bisa menguraikan semuanya, seterang siang, secara beruntun.
Memang
benar. Aku tidak bisa membicarakan tentang perceraian orang tuaku kepada
temanku yang mana pun. Apa yang menggangguku bukanlah hal yang bisa benar-benar
dibicarakan bersama teman-teman sekelas, dan aku tidak mau merusak kesenangan
bersama mereka dengan membeberkan soal yang sangat serius atau berat.
Sebagian
orang ingin punya “sahabat” yang tahu segalanya tentang mereka, tapi buatku itu
berlebihan. Kurasa aku memang berharap ada orang yang sungguh-sunggguh memahami
yang kurasakan dan bahkan memerhatikannya. Meski begitu, cewek-cewek yang
selalu bergaul bersamaku ini cuma untuk bersenang-senang di sekolah. Kalau
mengenal satu sama lain terlalu dekat, rasanya jadi lebih sulit untuk bergaul.
Kenyataan
bahwa si Ubur-ubur selama ini mengamatiku membuatku merasa seram—seperti yang
dia ini penguntit atau semacam itu—tapi aku juga sedikit gembira. Rasanya cukup
menyenangkan karena si Ubur-ubur pikir aku ini istimewa, dan menakjubkan juga
karena dia memerhatikan betapa sedihnya perasaanku.
Masalah
di antara orang tuaku—membuatku memikirkan tentang hal-hal yang dapat
menyatukan orang … cinta, atau apa pun itu. Tapi aku tidak bisa membayangkan
memberi tahu Yukari dan cewek-cewek lainnya—bakal terlalu memalukan. Kami tidak
mengobrol soal yang begitu.
Aku
mulai merasa mungkin enak mengobrol panjang lebar dengan si Ubur-ubur. Tapi
tentu saja aku tidak akan pernah melakukannya. Lagian, kelihatan bareng dia
sebentar saja akan menyisihkan aku ke sana, ke dunianya yang bermasalah
dan terasing. Dan aku tidak akan bisa berada di dunia yang sama dengan teman-temanku
lagi.
Bahkan
sekalipun aku bicara padanya, aku akan jadi sendirian sama sekali. Aku mungkin
pergi ke sekolah, tapi saat melihat teman-temanku berkumpul tertawa meriah
karena suatu hal, lalu bergabung bersama mereka, suasananya bakal tiba-tiba
berubah. Mereka bakal jadi diam, memberiku tatapan dingin seolah-olah aku ini
orang asing, dan lantas mereka meninggalkanku. Aku tidak akan sanggup
menanggungnya—mati sajalah kalau aku harus makan siang sendirian di sekolah!
Maka,
sekalipun sudah membaca surat itu, aku tidak mau bersinggungan dengan si
Ubur-ubur. Kupikir tidak ada yang bisa aku lakukan untuk lebih mengenal dia. Di
sekolah, Yukari menanyaiku—sengaja keras-keras, supaya si Ubur-ubur bisa
mendengar yang kami katakan—“Suratnya kamu apakan?” dan aku pun menjawab, “Aku
buang di tempat sampah, tentu saja enggak kubuka.”
=
Kenapa aku bilang begitu?! Sebenarnya, aku
menghargai surat itu, dan berhati-hati menyimpannya di laci tempat aku menaruh
barang-barang penting. Ketika Yukari menanyaiku tentang surat itu, aku
menjawabnya tanpa berpikir. Mau sesering apa pun aku menyesali perkataanku, aku
tidak bisa menelannya kembali. Hari itu, kalau saja aku bisa lebih … lebih ….
Sekarang,
kapan pun aku merasa ingin menangis, aku membaca surat itu, dan aku pun selalu
merasa membaik. Ketika membaca surat itu, aku merasa bersama si Ubur-ubur.
Tidak
ada orang lain yang pernah menyebutku dengan malaikat atau menganggap aku orang
yang baik atau lembut. Karena surat itu, betapapun sedih atau putus asanya
perasaanku, aku bisa kembali bersemangat. Aku bisa berusaha untuk tersenyum
lagi.
Bahkan
sekarang, setelah si Ubur-ubur pergi dan bunuh diri, aku terus maju. Aku tetap
tersenyum.[]
Megumi Fujino pengarang yang tinggal Osaka ini menulis bacaan untuk
anak-anak dan dewasa muda, misteri, serta fiksi roman. Karya debutnya, Neko
mata yokaiden (Kisah Monster Nekomata) diterbitkan pada 2004.
Lynne E. Riggs penerjemah profesional yang tinggal di Tokyo. Ia anggota aktif Society
of Writers, Editors, and Translators serta mengajar penerjemahan Bahasa Jepang-ke-Bahasa
Inggris di International Christian University. Karya terjemahan fiksinya
mencakup Kiki’s Delivery Service oleh Eiko Kadono serta School of
Freedom oleh Shishi Bunroku. www.cichonyaku.com
Cerpen ini diterjemahkan dari "Love Letter" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012. Judul asli "Rabu Retta" dalam Shukan shosetsu (5 Maret 1999), Jitsugyo no Nihon Sha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar