Ketika aku kembali ke
dunia nyata, seminggu telah berlalu. Setelah puluhan jam, untuk pertama kali aku membebaskan diri dari tetikus dan kibor dan memasuki kamar mandi. Di
cermin memantul seorang yang bukan main berbahaya—singkatnya, aku. Tunggul
jenggot karena belum bercukur, rambut lepek, mata kopong, rahang kendur …
hikikomori penganggur putus kuliah yang akan dihindari siapa pun, yang tidak
seorang pun mau dekat-dekat … seorang dekil, kusut, bau, menyeramkan ….
Seorang lolicon tegak di sana.
“Ugh.” Lunglai aku
menggelincir ke lantai kamar mandi.
Bagaimana bisa jadinya
seperti ini?
Nasi sudah menjadi
bubur. Aku sudah …. Aku sudah mengoleksi gambar Lolita dari seluruh dunia. Dan
aku tidak puas hanya oleh gambar. Malah aku sudah tersangkut oleh data video,
dalam format-format seperti MPEG dan RealMovie. Kandar keras 30 GB milikku
sudah penuh dengan tubuh-tubuh tak senonoh gadis kecil yang, sebenarnya, aku
kasihani.
Aku tidak bisa lanjut. Aku benar-benar
tidak bisa lanjut. Hikikomori lolicon merupakan barang paling nista. Aku lebih rendah daripada manusia. Aku
monster. Aku tidak bisa terus hidup. Aku tidak akan pernah bisa lagi berjalan
waktu terang.
Benar, sudah pasti aku seorang hikikomori. Tapi, aku cukup yakin aku bukan
lolicon. Seleraku cukup biasa-biasa
saja dan, sebenarnya, dulu aku suka pada perempuan-perempuan yang lebih tua.
Biar begitu, bagaimana ….
“Ahhh … hunh hunh!” Isak tak tertanggungkan mencurah keluar, dan air mataku memancar ke lantai. Air
mata pertobatan. Ya, aku mengakui kesalahanku, dan aku ingin memperbarui diriku
sekarang. Aku mau berubah. Tapi sudah terlambat.
Segera begitu aku
mulai mengisikkan kalimat seperti, “Nozomi cantik,” aku tahu aku bakal ke
neraka. Segera begitu aku mulai menggumamkan pikiran seperti, “Kizomi
mengagumkan. Untuk siswi kelas satu SMP sekalipun, dia mengagumkan,” aku sudah
siap terjun ke neraka. Begitu aku mulai berkomentar, “Wow, Rusia itu hardcore, dan Amerika parah juga,”
seraya menyeringai sendiri, aku tahu bahwa kesempatanku 100% untuk masuk ke
neraka.
Maafkan aku, maafkan aku, aku mohon
maaf, aku tidak benar-benar ingin melakukan ini. Aku tidak bermaksud buruk
apa-apa. Ini pada mulanya hanya lelucon. Tapi sekarang ….
“Argh!” Sakit. Aku terluka. Dadaku nyeri. Jantungku retak oleh rasa
bersalah. Aku tidak mau jadi lolicon atau
semacamnya. Meski begitu, sekarang ini aku hikikomori lolicon kelas satu, sepotong sampah manusia paling tak berharga
yang pernah hidup.
Meski begitu, dengarkanlah: Kamu keliru.
Kamu sedang khilaf! Aku tidak mau mengurung gadis di kamarku atau semacam itu!
Aku tidak mau menculik siapa-siapa! Kamu keliru! Bukan akulah yang melakukan
kejahatan itu! Tolong, percaya padaku! Yakinlah padaku! Jangan melihatku
seperti itu! Jangan menatapku!
Tapi … tas sekolah merah. Dan suling plastik. Dan gadis-gadis polos
bermain di taman. Gah!
“Mau main sama abang?”
“Nanti abang kasih
permen.”
“Tinggal angkat
rokmu.”
“Ayo main
dokter-dokteran.”
“Ini suntikannya!”
Sudah, sudah, sudah! Aku seharusnya
mati, mati, mati, selekasnya. Suara apa itu? Diamlah ….
“Satou? Kamu ada di dalam, kan? Buka dong!” Entah dari mana, ada yang
memanggil, “Satou! Kamu masih hidup? Atau sudah mati? Kalau kamu masih hidup,
buka dong pintunya!”
Ada yang menggedor pintu apartemenku. Tapi aku tidak sanggup lagi
menampakkan diri di muka umum. Tinggalkan
aku sendiri ….
“Hah, kamu benar-benar lagi pergi, ya? Aku cuma ingin meminjami kamu video
ilegal yang bagus banget ini.”
Berdiri, aku menyeka air mata dan membukakan pintu.
Mendengar ceritaku, Yamazaki mengerutkan wajahnya menjadi kejijikan bukan
buatan. “Seminggu kamu mengurung diri cuma untuk mengoleksi pornografi? Dasar
manusia gagal.”
“Pertama-tama, ini semua salahmu.”
“Bilangnya begitu, tapi kurasa itu memang sifatmu. Benar, Satou?”
“K—k—kamu enggak merasa bersalah, ya, menyeretku sampai begini, lalu
mengatakan itu?”
“Kan sudah kubilang
itu cuma untuk referensi karakter? Begini, Satou, kamu tuh sama sekali enggak
normal kalau mengoleksi tiga giga pornografi. Aku bahkan enggak mau dekat-dekat
kamu. Jangan dekat-dekat—kamu bikin takut saja!”
“G—gr—grrrr!” Akibat gelora amarah, pandanganku sungguh-sungguh memerah.
Kepalan kedua tanganku gemetar.
“Y—ya sudah, biar ganti suasana, mari kita bahas yang serius tentang
rencana pembuatan gim kita. Aku akan meminjamimu rekaman ini, oke?”
Seraya menjambret rekaman itu dari kedua tangannya, aku menghantamkannya
pada kakiku hingga terbelah dua. “Ap-ap-apa yang kamu …?” Yamazaki menggagap.
Seketika itu, aku mendapati satu-satunya cara untuk lepas dari dunia lolicon.
Aku membelalak pada
Yamazaki. “Yamazaki.”
“Apa? Tebus video itu
dong.”
“Materi lolicon itu enggak manusiawi. Itu
jahat.”
Ia terdiam.
“Mari kita lepas, mari
kita lepas bersama-sama! Kalau kita enggak meninggalkannya sekarang juga, kita
akan menjadi lolicon sampai mati!
Cepatlah!” Merenggut paksa tangan Yamazaki, kutarik dia keluar ruangan.
***
Setelah berhenti sebentar di kamar
Yamazaki untuk mengambil kamera digital, kami menuju ke luar, berjalan
cepat-cepat melintasi kota.
Saat itu awal Mei sore. Walaupun di kota hangat, sedikit saja orang di
luar.
“Ke mana kita?”
Tanpa menjawab, aku
terus berjalan dengan susah payah.
Di jalan, aku mampir ke minimarket dan membeli kamera sekali pakai, yang
kuberikan pada Yamazaki. Lalu aku lanjut bergegas ke tujuanku. Yamazaki
terseret-seret.
Saat itu pukul tiga
sore. Waktu terbaik yang mungkin.
“Kamera digital dan kamera sekali pakai? Kamu ingin aku menggunakannya
buat apa?” tanya Yamazaki, terengah-engah.
Begitu sampai di tujuanku, kujawab, “Ambil gambarku.”
“Kenapa?”
“Yah, kamu tahu di mana kita?”
“Hm. Kelihatannya ini pintu gerbang sekolah dasar.”
“Benar, Sekolah Dasar Ikuta, SD negeri dengan sekitar lima ratus siswa.
Dan aku akan bersembunyi di semak-semak depan gerbang. Yamazaki, kamu sembunyi
juga. Cepatlah!”
“Eh?”
“Bel pulang sekolah akan segera berbunyi. Saat itu, anak-anak akan
berbondong keluar dari gerbang ini.”
“Iya. Terus?”
“Aku akan mengambil gambar.”
“G—gambar apa?”
“Gambar anak-anak SD.”
Ia diam saja.
“Aku akan mengambil gambar-gambar gadis kecil cantik yang bagus,
menggunakan kamera digital tercanggih milikmu.”
Hening.
“Kamu mengerti, Yamazaki?
Aku akan segera menyelundupkan beberapa gambar. Aku akan bersembunyi dan mengambili gambar-gambar
gadis kecil pada musim semi. Aku bisa saja akan ‘secara tidak sengaja’ membidik
celana dalam. Enggak bakal kenapa-kenapa. Kalau kita tenang dan bersembunyi di
semak-semak ini, tidak akan ada yang menemukan kita. Aku akan mempotret
anak-anak SD ini. Aku akan mengambil sebanyak-banyaknya gambar—hanya anak-anak
paling cantik, tentunya.”
Bel berbunyi. Dalam beberapa menit, para siswa akan keluar lewat gerbang
ini.
“Yamazaki, kamu ambil
gambarku dengan kamera sekali pakai itu. Ambillah sebanyak-banyaknya fotoku, si
pria lolicon jelek mesum ini, selagi dia mengambil gambar anak-anak
SD! Kamu mengerti? Kamu mengerti? Ini gambar yang jelek. Tapi, ini juga
penampilanmu. Kamu harus membakar penampakan kotor, menyedihkan lagi
menjijikkan ini ke film itu. Kita akan mencucinya bersama-sama lalu secara
objektif melihat kejelekkan, kekotoran, dan keburukan kita sendiri. Dengan
begitu, kita akan bisa lepas dari lolicon
dan kembali normal.”
Suara gadis-gadis
kecil menggema keluar dari gerbang masuk ke tangga. Aku mempersiapkan kamera digital. Tinggal sedikit saja lagi ….
“Siap, Yamazaki?! Aku akan mengambil gambar. Sebentar lagi, akan datang
para gadis yang pertama-tama. Aku akan sembunyi-sembunyi mengambil gambar
mereka! Lalu, kamu ambil gambarku! Kamu paham? Kalau kamu mengerti, jawablah,
Yamazaki.
“Ah, yang pertama itu cantik! Pakai baju putih, celana panjang hitam
ketat, dan bot cokelat gelap, dia mengagumkan! Moe, moe! Kamu dengar,
Yamazaki?! Aku mengeklik shutter!
Sekarang kamu klik shutter juga. Tapi
jangan gunakan kilat—kalau kamu melakukannya, mereka akan menemukan kita dan
langsung memanggil polisi.
“Ah, ini seru, ketegangan yang menggolakkan darah dan merayapi daging. Aku
bergairah! Jantungku berdebar-debar! Anak-anak SD sekarang manis-manis. Aku
klik shutter! Klik! Klik! Bidikan
mantap!
“Mari sebut anak SD yang cantik itu—kelihatannya dia sekitar kelas enam
SD—mari sebut dia Sakura, sementara ini. Begitu Sakura berbalik untuk melihat
kawan-kawannya, aku tidak bisa membiarkan sudut diagonal empat-puluh-lima
derajat yang sempurna itu lepas dari aku! Heh heh heh, kamu dengar, Yamazaki?
Apa kamu sudah memastikan untuk mendapatkan foto-fotoku, Yamazaki? Tangkaplah
setiap detail penampakan lolicon-ku
yang mengerikan ini, atau kalau tidak aku akan jadi orang mesum yang biasa-biasa saja.
“Wah! Lebih banyak lagi murid yang keluar dari bangunan. Lihat gadis-gadis cantik itu, bersemangat
sekali. Aku ambil gambar mereka, ambil gambar mereka, ambil gambar mereka!
Bertiuplah, angin sepoi musim semi! Naiklah, angin ribut! Dan angkatlah rok
mereka!
“Kamu masih di situ, Yamazaki? Aku sedang mencari jendela bidik kamera
digitalnya, jadi aku enggak bisa lihat kamu. Kamu lagi berdiri miring di
belakangku, kan, Yamazaki? Pastikan untuk memotret penampakanku yang
menjijikkan ini. Kamu mengerti, kan? Ayolah, Yamazaki, apa kamu sungguh-sungguh
dengar? Hei, katakan sesuatu! Aku sedang berusaha sebaik-sebaiknya untuk
membidik celana dalam anak-anak kecil ini. Kamu semestinya ketularan semangatku
dan melakukan yang terbaik juga. Kamu dengar? Hei, kubilang katakan sesuatu! Oh
ya sudah, terserah lah. Lagian kita sedang berbuat jahat. Kalau kamu terlalu
takut untuk bicara, itu wajar saja. Suaramu lembek, lagian.
“Hei, tahu enggak sih kamu? Memotret diam-diam itu asyik. Dan sekarang aku
ini manusia keji …. Hm, benar—dulu aku tidak benar-benar ingin menjadi sampah semacam ini. Saat
aku kecil, mimpiku kuliah di Universitas Tokyo dan menjadi ilmuwan hebat. Aku
ingin menemukan sesuatu yang dapat membantu seluruh umat manusia. Dan sekarang,
aku hikikomori lolicon! Semestinya
kamu menangis. Yeah, benar. Menangislah! Cucurkanlah air mata karena
penampilanku yang menjijikkan ini!
“Kita ingin tersenyum lepas dan gembira setiap hari. Kita ingin menikmati
kehidupan sehari-hari yang normal, biasa saja, dan mengasyikkan. Tapi,
gelombang takdir yang kasar dan sulit dipahami ini menjadikannya tidak
mungkin—maka, menangislah dalam keputusasaan! Kita sungguh-sungguh ingin
menjadi orang berguna bagi semua orang, dihormati semua orang, hidup harmonis
bersama semua orang. Tapi, sekarang kita hikikomori lolicon—jadi, menangislah dalam keputusasaan! Kamu harus menangis!
“Ah, aku sedih. Begitu sedihnya aku. Tapi anak-anak SD itu cantik-cantik.
Aku bergairah.
“Ah. Oooh. Air mataku enggak mau berhenti. Jendela bidiknya mengembun
juga, jadi aku enggak bisa melihat dengan jelas. Tapi aku akan terus mengambili
gambar para gadis kecil ini—jadi, Yamazaki, kamu harus bekerja keras mengambili
gambar juga. Menyedihkan, tapi berusahalah yang keras. Kita tidak bisa berhenti
menangis, tapi lakukanlah yang kita bisa. Kita akan berusaha sebaiknya untuk memotret
anak-anak SD ini!
“Hah? Apa? Kenapa kamu tiba-tiba menepuki pundakku? Ada masalah apa? Hei,
hei, berhentilah. Ini baru mulai bagian bagusnya.
“Lihat, kan? Lihat yang satu itu, gadis berambut pendek yang pakai kaus
kaki sampai lutut. Dia manis banget, aku ingin membawa dia pulang. Membopongnya
seperti makanan dari restoran dan membawa dia pulang. Eh? Menyebalkan sekali
kamu ini! Aku lagi sibuk! Ayolah, kenapa sih, Yamazaki. Kalau kamu menepukiku
begitu, gambarnya bakal kabur. Hei, hei, kamu ini benar-benar menjengkelkan,
ya. Kenapa sih kamu ini, mendadak begitu?”
“Satou! Hei, Satou!”
“Shhh! Diamlah, nanti
kita ketahuan!”
“Kamu lagi apa,
Satou?”
“Kan sudah jelas.
Gadis yang berambut pendek itu …”
“Gadis?”
“Mengambil gambar
raha—“
Seketika itulah, kebetulan aku melepaskan mata dari jendela bidik. Selagi
begitu, telapak tangan yang bertengger di pundakku memasuki sudut pandanganku.
Jemari ramping lagi lentur yang tidak mungkin dimiliki seorang pria ….
Aku berpaling.
Ada Misaki. Jantungku mulai memompa lima puluh kali denyut nadiku yang
biasanya.
Bertiuplah angin sepoi-sepoi yang lembut.
Berhentilah waktu.
***
Entah bagaimana pada waktu itu, Yamazaki telah
lenyap, digantikan Misaki.
Lebih buruk lagi, Misaki sedang mengenakan pakaian keagamaannya—gaun lengan
panjang sederhana berikut payung pelindung matahari putih. Dengan berpakaian
begitu, ia merunduk di semak-semak bersama aku.
“Se—se—sejak kapan
kamu di sini?”
“Baru saja.”
Tadinya aku mau menanyakan seberapa banyak ocehan gilaku yang sudah
didengarnya, tapi aku menyerah. Bagaimanapun juga, ini krisis yang sangat
besar.
Seorang pria tak
senonoh, dengan kamera digital menggantung di seputar lehernya, bersembunyi
dalam bayang-bayang dekat gerbang sekolah dasar. Siapa pun akan menganggap dia
orang mesum—dan wajar saja begitu. Aku sudah tidak ada pilihan. Gah! Maafkan aku, Ibu dan Ayah. Aku telah
mengecewakan dengan putus kuliah. Aku mesti masuk penjara juga karena kejahatan
seksual. Aku putra yang gagal. Bagaimana aku dapat bertobat dari kejahatan ini?
Aku sudah kehabisan
waktu. Misaki, yang terus saja menatap wajahku, akan mulai berteriak. “Ada
orang mesum! Ke sini cepat!”
Tidak, tidak.
Akhirannya sudah pasti tidak akan berakhir seperti itu. Lagi pula, ia
mengenakan pakaian keagamaannya. Dan agama-agama biasanya punya firman keras
seperti, “Janganlah mendekati zina.” Tentu saja, bernafsu pada anak-anak itu
sudah melampaui batas—yang itulah persisnya kenapa murka Tuhan tumpah pada
pria-pria lolicon.
Benar. Kemungkinan
Misaki akan mengancamku dengan “Tuhan mengetahui semua dosamu!”[1]
Ia akan bilang, “Sebab, apabila hati kita menyalahkan kita, Allah lebih besar
daripada hati kita, dan Dia mengetahui segala sesuatu![2]”
dan membuatku menggigil ketakutan. Bersabda, “Sebab upah dosa ialah maut,”[3]
kemungkinan dia akan berusaha melemparkanku ke dalam api neraka atas murka
Tuhan!
Inilah akhir yang
mutlak. Memandang langit, aku menyiapkan saat ketika hukuman Tuhan akan turun
padaku. Dalam waktu itu, kehidupanku akan menuju akhirnya. Masa depanku akan
khatam. Sesaat lagi.
Tapi, waktu berlalu
selagi aku menunggu, dan Misaki tidak mencelaku. Ketika aku melihat pada
Misaki, dia masih memandangiku. Dengan tubuh kami tersembunyi di semak-semak,
kami menatap hening pada satu sama lain.
Akhirnya, Misaki
menjelaskan, “Baru saja aku melihat Yamazaki, sambil menutupi muka dengan kedua
tangannya, berlari ke arah apartemenmu. Aku heran apa yang terjadi. Ketika aku
menengok kemari, aku melihat kamu, Satou, jadi ….”
“Kamu kenal Yamazaki?”
“Orang di kamar 202, kan? Dia kelihatannya senang mendapat ‘Bangkitlah!’
dari kami. Itu enggak biasa.”
“Benarkah? Aneh betul dia.”
“Apa aku mengganggumu? Kelihatannya kamu sibuk, Satou.”
“Eng—enggak! Enggak sama sekali kok. Maksudku, enggak juga. Omong-omong,
Misaki, kamu lagi apa di sini?” Aku berusaha mengalihkan topik. Aku mulai
merasa seolah-olah aku bisa benar-benar kabur dari situasi ini.
“Aku mau pulang dari rekrutmen agama kami. Tadi aku dan Bibi Kazuko lagi
lewat dekat sini. Aku meminta Bibi pulang duluan ketika aku melihat kamu di
sini.”
“Yeah? Omong-omong, aku benar-benar suka sama pakaian keagamaan kamu.
Payung pelindung matahari itu benar-benar mengeluarkan aura spiritual.”
Selagi aku bilang begitu, Misaki merundukkan pandangannya. “Ini buat
samaran.” Wajahnya jadi merah jambu selagi ia berkata.
“Eh?”
“Aku sebenarnya benci ikut acara kumpul-kumpul keagamaan begini, jadi aku
bawa-bawa payung. Dengan begitu, orang enggak akan ingat wajahku.” Anehnya,
alasan dia itu melegakan hati. Terlepas dari itu, dia tetap misterius. Aku masih belum bisa mengenali bagaimana
sebenarnya dia.
Ini kesempatanku untuk
lari. Kabur sekarang!
“Ya sudah, aku harus
pergi,” aku berdiri.
Misaki juga berdiri,
seraya menutup payungnya.
Serta-merta aku mulai
berjalan menjauh dengan canggung. Aku sampai ke trotoar dari balik semak-semak,
lantas aku berjalan cepat-cepat menuju jalan ke arah apartemenku.
“Satou?”
“Ya?” sambutku tanpa
menoleh atau melambat.
“Jadi, sebenarnya kamu
ini lolicon?”
Aku merasa seolah-olah jantungku mau berhenti. Berlagak tidak dengar, aku
melangkah semakin cepat.
Misaki melanjutkan,
“Enggak apa-apa kalau kamu lolicon.
Malah, mungkin kamu akan merasa lebih nyaman. Kalau kamu bilang kamu adalah
hikikomori lolicon, itulah yang
terbaik. Kamu akan berada di peringkat paling terbawah dalam masyarakat umat manusia.”
Aku berhenti jalan dan
berpaling.
Misaki memasang senyum yang biasanya. “Yeah. Dipikir-pikir, lolicon itu lebih baik. Dengan begitu,
aku menganggap kamu semakin sempurna untuk proyekku.” Ia melompat ringan,
kegirangan. Lagi-lagi, kelihatannya seperti agak dipaksakan.
Dengan suara paling tenang yang dapat kuusahakan, aku menyatakan, “Aku
enggak tahu apa maksudmu. Lagian, aku bukan hikikomori lolicon, ya. Aku ini kreator! Aku cuma lagi ambil gambar buat
referensi.”
“Hm ….”
“Benar kok.”
“Yah, ayo nanti kita ketemu lagi. Jangan melakukan apa pun yang bisa membuatmu masuk
berita, oke?” Bersamaan dengan itu, Misaki melangkah pergi.
Saat itu Mei sore.
[1] Dalam catatan kaki teks asli, disebutkan bahwa ayat ini
berasal dari Yohanes 3:20. Setelah ditelusuri, ternyata tidak ditemukan ayat
Alkitab yang sesuai. Ayat dari Yohanes 3:20 ada pada kutipan selanjutnya (yang
dalam catatan kaki teks asli tertulis berasal dari Yohanes 3:36).
[2] Yohanes 3:20. Terjemahan diambil dari Alkitab SABDA.
[3] Roma 6:23. Terjemahan diambil dari Alkitab SABDA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar