Kami telah mengobrol lama, dan percakapan pun
mulai surut; asap tembakau telah meresap ke gorden-gorden tebal, anggur pun
telah meresap ke otak mereka yang sudah berat juga, sehingga sudah teranglah
bahwa pertemuan itu barangkali segera akan berakhir dengan sendirinya, adapun
kami, para tamu, akan kembali ke tempat tidur dan kemungkinan besar tidur.
Tidak ada yang mengutarakan hal menarik; boleh jadi tak seorang pun punya topik
menarik lagi.
Saat
itulah Brisbane bicara, sehingga kami semua memandangnya. Ia pria berusia lima
puluh tiga tahun, dan dikaruniai bakat yang terutama menarik perhatian kaum
pria. Ia seorang lelaki gagah. Tidak ada yang luar biasa pada penampilannya,
meskipun ukurannya di atas rata-rata. Tinggi badannya sedikit di atas enam
kaki; ia tidak tampak gendut, namun di sisi lain, dia jelas-jelas tidak kurus.
Kepalanya yang kecil ditopang leher yang kokoh, dan tangannya bertenaga serta
dadanya luar biasa berotot. Ia jenis pria yang tampak sangat kuat dan
sesungguhnya jauh lebih kuat daripada kelihatannya.
“Kejadiannya sangat aneh,” kata Brisbane.
Semua
orang terdiam. Suara Brisbane tidaklah keras, namun mengandung ketajaman yang
dapat memotong percakapan orang-orang bak pisau. Semua orang pun mendengarkan.
Brisbane memerhatikan bahwa ia telah menarik perhatian orang-orang.
“Kejadiannya
sangat aneh,” ia melanjutkan, “tentang hantu. Orang suka bertanya apa ada yang
pernah melihat hantu. Aku pernah.”
“Omong
kosong! Apa, kamu? Kamu mengada-ada saja, Brisbane!”
Seruan
dari segala arah menyambut pernyataan Brisbane yang menakjubkan itu. Situasi
pun dapat diatasi. Brisbane akan menceritakan pengalamannya.
Aku
sudah lama jadi pelaut, kata Brisbane, dan karena aku harus mengarungi Atlantik
cukup sering, ada kapal-kapal yang aku suka. Aku biasa menunggu kapal tertentu
ketika aku harus berlayar. Perjalananku selalu lancar, kecuali yang satu ini.
Aku
ingat dengan jelas, saat itu pagi Juni yang hangat. Bawaanku tidak banyak—tidak
pernah banyak. Aku berbaur dengan ramainya penumpang dan orang-orang lainnya
yang berusaha memaksakan jasa mereka kepada penumpang yang tidak memiliki
bantuan. Kamtschatka dulunya salah satu kapal yang paling aku suka. Aku
bilang dulunya, sebab sekarang ini tentu saja tidak. Entah apa yang dapat
memaksaku naik kapal itu lagi. Ya, aku tahu kalian akan bilang apa: itu kapal
yang bagus; kelebihannya banyak. Tapi aku tidak mau menumpang kapal itu lagi.
Yah, jadi saat itu aku pun naik kapal itu lalu memanggil pelayan yang hidung
merahnya masih kuingat.
“Seratus
lima, tempat tidur sebelah bawah,” kataku, dengan suara orang yang sudah
berpengalaman menyeberangi Atlantik dan tidak pikir panjang lagi.
Pelayan
itu mengambil tas serta mantel besarku. Aku tidak akan pernah melupakan
ekspresi di wajahnya. Memang wajahnya tidak menjadi pucat; namun dari
ekspresinya itu aku menduga dia entahkah mau menangis tersedu-sedu, atau
menjatuhkan tasku. Karena di dalam tasku ada dua botol anggur yang bagus,
pemberian kawan lamaku Snigginson van Pickyns, aku merasa sangat gelisah. Namun
si pelayan itu tidaklah menangis ataupun menjatuhkan tasku.
Ia
sekadar menyerukan keterkejutan dengan suara pelan, lantas mengarahkan jalan.
Aku mengira dia mabuk, tapi aku diam saja dan mengikuti dia turun ke bagian
bawah kapal. Nomor 105 letaknya agak di belakang kapal; tidak ada yang istimewa
pada ruangan itu. Tempat tidur sebelah bawah, seperti kebanyakan yang ada di Kamtschatka,
kasurnya dobel. Ruangnya cukup lega; ada bak cuci serta tempat-tempat
menggantungkan sikat gigi yang tidak tersusun rapi. Tidak disediakan handuk,
dan ada botol-botol kaca yang terisi oleh cairan berwarna agak cokelat berbau
tidak enak.
Pelayan
itu menurunkan barangku dan memandangku seakan-akan mau melarikan diri—mungkin
hendak mencari penumpang lagi serta lebih banyak tip. Sebaiknya berakrab-akrab
dengan jenis orang seperti ini, sehingga aku pun segera memberi dia koin
pecahan tertentu.
“Saya
akan berusaha supaya Tuan senyaman mungkin,” ucapnya sembari memasukkan koin ke
sakunya. Namun dalam suaranya terdapat keraguan yang mengejutkanku.
Jangan-jangan tip yang kuberikan kurang besar, sehingga ia tidak puas; namun
aku cenderung mengira bahwa dia agak mabuk. Tapi, aku salah dan telah bersikap
tidak adil kepada lelaki itu.
II
Hari itu tidak ada yang istimewa untuk
diceritakan. Kapal berangkat tepat waktu dan perjalanannya sangat menyenangkan,
karena cuaca hangat dan pergerakan kapal mengembuskan angin. Kita semua tahu
seperti apa rasanya hari pertama di kapal. Orang berjalan-jalan dan saling
memandang, dan kadang-kadang berjumpa teman yang tidak mereka sangka ikut berlayar
juga. Biasanya tidak tentu apakah makanannya bakal layak atau tidak sampai dua
suguhan pertama memastikannya. Biasanya tidak tentu mengenai cuacanya.
Meja-meja pada awalnya ramai; namun kemudian orang-orang bermuka pucat pada
memegas dari tempat duduknya dan terburu-buru ke pintu, sehingga para pelaut
yang berpengalaman dapat bernapas lebih leluasa sementara tetangganya yang
mabuk laut berlari pergi dan meninggalkannya bersama lebih banyak ruang dan
lebih banyak makanan.
Pelayaran
lintas Atlantik biasanya begitu-begitu saja, dan kami yang sudah sering
menyeberanginya tidak melakukan perjalanan itu sekadar karena daya tariknya.
Bagi kebanyakan dari kami, saat paling nikmat adalah setelah kami selesai
berjalan-jalan menghirup udara segar, puas merokok, dan berhasil melelahkan
diri sehingga dapat tidur tanpa rasa malu.
Pada
malam pertama perjalanan itu, aku merasa begitu malas, sehingga pergi ke tempat
tidurku di kamar 105 lebih awal daripada biasanya. Sesampainya aku di sana, aku
terkejut melihat bahwa aku mendapatkan teman sekamar. Sebuah tas yang persis
milikku diletakkan di pojok seberang, dan ada sebatang tongkat pada tempat
tidur sebelah atas. Padahal aku berharap dapat bersendiri, sehingga aku kecewa.
Namun aku penasaran siapakah gerangan kawan sekamarku itu, sehingga aku
menetapkan untuk mengamatinya.
Belum
lama aku di tempat tidur, masuklah dia. Orang itu, sejauh yang dapat kulihat,
sangat jangkung, sangat kurus, sangat pucat, dengan rambut pirang pasir serta
mata kelabu. Ia sejenis pria yang biasa ada di Wall Street atau Café Anglais,
yang sepertinya selalu bersendiri; mungkin juga dia suka berada di pacuan kuda,
namun sepertinya dia tidak akan berbuat apa-apa juga di sana. Cara
berpakaiannya agak berlebihan—sedikit janggal. Di kapal laut mana pun, ada saja
tiga atau empat orang yang semacam itu. Aku memutuskan bahwa aku tidak ingin
berkenalan dengan dia, dan aku pun tidur seraya membatin bahwa aku hendak
mengamati kebiasaannya agar dapat menghindari dia. Kalau dia bangun pagi, aku
akan bangun sesudahnya. Kalau dia tidur larut, aku akan tidur cepat. Aku tidak
suka berkenalan dengan dia. Kasihan! Aku tidak perlu lagi repot-repot
memutuskan soal dia, sebab aku tidak pernah melihat dia lagi setelah malam
pertama di 105 itu.
Aku
tengah tidur nyenyak saat mendadak aku terbangun oleh bunyi keras. Dari
suaranya, aku menduga kawan sekamarku itu memegas dengan sekali lompat dari
tempat tidur sebelah atas ke lantai. Aku mendengar dia sedang membuka pintu;
pintu pun terbuka, dan kemudian aku mendengar langkah kakinya sementara ia
berlari sekencang-kencangnya ke ujung gang, membiarkan pintu kamar terbuka.
Kapal melandai sedikit, dan aku mengira akan mendengar dia jatuh, namun larinya
seperti yang hendak menyelamatkan diri. Pintu pun berayun-ayun seiring dengan
pergerakan kapal, dan suaranya menjengkelkanku. Aku bangkit dan menutupnya,
lalu berhasil kembali ke tempat tidurku dalam kegelapan. Aku dapat tidur lagi;
namun entah berapa lama aku tertidur.
Ketika
aku terbangun, hari masih gelap. Namun aku merasakan dingin yang tidak nyaman,
dan tampaknya udara lembap. Kita tahu aroma khas tempat yang basah oleh air
laut. Aku menyelimuti diri serapat-rapatnya lalu tidur lagi, sambil berniat
untuk mengajukan komplain besoknya, dan memilih-milih kalimat paling
menggentarkan. Aku bisa mendengar kawan sekamarku berbalik di tempat tidur
sebelah atas. Mungkin ia telah kembali selagi aku tidur. Sempat aku berpikir
bahwa ia terdengar seperti yang kesakitan, sehingga aku berpendapat bahwa ia
mabuk laut. Rasanya sangat tidak nyaman bagi orang yang ada di sebelah bawah.
Tapi aku dapat tidur sampai menjelang siang.
Kapal
bergoyang-goyang kencang, lebih kencang daripada malam sebelumnya, dan cahaya
yang masuk lewat tingkapan berubah warna seiring dengan setiap pergerakan
bersamaan dengan sisi kapal yang menghadap ke laut atau ke langit. Saat itu
sangat dingin—terutama pada bulan Juni. Aku menoleh dan melihat tingkapan,
lantas terkejut karena tingkapnya terbuka lebar dan pengaitnya terpasang
kencang. Aku sangat marah. Lantas aku bangkit dan menutupnya. Ketika berbalik,
aku melihat ke tempat tidur sebelah atas. Gordennya ditutup rapat; kawan
sekamarku barangkali merasa kedinginan sebagaimana aku. Aku merasa telah cukup
tidur. Ruangan itu terasa tidak nyaman, tapi anehnya, aku tidak membaui aroma
lembap yang menjengkelkanku semalam. Kawan sekamarku masih tidur—kesempatan
bagus untuk menghindari dia—maka aku pun langsung berpakaian lalu pergi ke
luar. Hari itu hangat tapi mendung, dengan ombak yang berminyak di atas
permukaan air. Saat itu sudah pukul tujuh saat aku keluar—lebih telat daripada
yang kukira. Aku bertemu si dokter, yang sedang menghirup segarnya udara pagi.
Ia seorang pemuda dari Irlandia Barat—orangnya besar, berambut hitam dan
bermata biru, sudah mulai agak gemuk; penampilannya bugar dan ceria sehingga
cukup menarik hati.
“Pagi
yang indah,” kataku, memulai perkenalan.
“Yah,”
sahutnya, seraya memandangku dengan raut siap diajak mengobrol, “ini pagi yang
indah tapi juga tidak indah. Saya rasa pagi ini tidak begitu indah.”
“Yah,
memang—pagi ini tidak indah-indah amat,” kataku. “Malah saya merasa kedinginan
semalam. Tapi kemudian saya lihat tingkapannya terbuka lebar. Saya tidak
memerhatikannya saat mau tidur. Selain itu, kamarnya lembap.”
“Lembap!”
ujarnya. “Kamar yang mana?”
“Seratus
lima—“
Tak
dinyana si dokter terloncat dan menatap janggal kepadaku.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Ah—tidak
apa-apa,” sahutnya; “tapi orang-orang pada mengajukan komplain soal kamar itu
dalam tiga perjalanan terakhir.”
“Saya
juga mau mengajukan komplain,” kataku. “Soalnya lembap.”
“Saya
kira itu sudah tidak bisa diapa-apakan lagi,” jawab si dokter. “Saya yakin ada
suatu—ah, saya tidak hendak menakut-nakuti penumpang.”
“Tidak
perlu khawatir menakut-nakuti saya,” balasku. “Saya bisa tahan dengan lembap.
Kalau saya sampai kena pilek parah, saya akan mendatangi Anda.”
“Bukan
karena lembapnya,” kata dia. “Tapi saya pikir Anda akan bisa melaluinya dengan
baik-baik saja. Apa ada teman sekamar?”
“Ya;
orangnya tidak menyenangkan, terburu-buru keluar pada tengah malam, dan
pintunya dibiarkan terbuka.
Sekali
lagi si dokter menatapku ganjil. Namun rautnya serius.
“Apa
dia kembali?” tanyanya.
“Ya.
Saya tertidur, tapi lalu saya bangun, dan mendengar dia bergerak-gerak. Lantas
saya merasa kedinginan dan tertidur lagi. Pagi ini saya mendapati tingkapannya
terbuka.”
“Begini,”
ucap si dokter pelan. “Saya tidak begitu suka kapal ini. Saya beritahukan yang
bisa saya lakukan. Saya punya kamar yang cukup luas di atas sini. Saya mau
berbagi kamar dengan Anda, walaupun saya tidak kenal Anda.”
Aku
terkejut atas saran itu. Entah kenapa tiba-tiba saja ia menaruh minat padaku.
Tapi sikapnya itu saat membicarakan kapal ini betapa aneh.
“Anda
sangat baik, Dokter,” kataku. “Tapi saya pikir kamar itu tinggal dibersihkan
saja. Kenapa Anda tidak suka kapal ini?”
“Dalam
profesi kami, kejadian-kejadian supranatural itu tidak bisa dipercaya, tuan,”
ucapnya, “namun laut memaksa orang percaya. Saya tidak hendak menakut-nakuti
Anda, tapi sekiranya Anda mau menuruti masukan saya, Anda akan pindah. Saya
lebih suka melihat Anda di laut, daripada mengetahui bahwa Anda atau orang
lainnya tidur di 105.”
“Astaga!
Kenapa?” tanyaku.
“Sebabnya,
dalam tiga pelayaran terakhir, orang yang tidur di sana sungguh-sungguh hilang
ke laut,” jawabnya.
Kuakui,
kabar itu mengejutkan dan sangat meresahkan. Aku susah payah memandang si
dokter untuk memastikan apakah ia sedang bercanda, tapi tampaknya ia
betul-betul serius. Aku menyampaikan terima kasih yang hangat atas tawarannya,
namun aku memberi tahu dia bahwa akulah orangnya yang akan tidur di kamar itu
dan tidak jatuh ke laut. Ia tidak banyak menanggapi, namun tetap terlihat
serius, seakan-akan berpikiran bahwa sebelum kami sampai ke sisi seberang
Atlantik sebaiknya aku mengubah pendirian.
Kami
pergi sarapan, namun tidak banyak penumpang di sana. Aku memerhatikan ada satu
dua petugas yang sarapan bersama kami terlihat sangat khidmat. Setelah makan,
aku pergi ke kamarku untuk mengambil buku. Gorden di tempat tidur sebelah atas
masih tertutup rapat. Tidak terdengar sepatah kata pun. Teman sekamarku mungkin
masih tidur.
Ketika
aku keluar, aku bertemu pelayan yang bertugas melayaniku. Ia berbisik bahwa
kapten ingin bertemu dengan aku, lantas dia berlari ke ujung gang seolah-olah
sangat gugup hendak menghindari pertanyaan apa pun. Aku pun mendapati si kapten
tengah menantiku.
“Tuan,”
ucapnya, “saya ada permintaan untuk Anda.”
Aku
bilang akan memenuhi apa pun permintaannya.
“Pria
yang tidur di kamar Anda,” katanya, “telah menghilang. Ia diketahui tidur cepat
semalam. Apa Anda memerhatikan ada tindak-tanduknya yang tidak biasa?”
Pertanyaan
ini, yang muncul setelah perkataan si dokter setengah jam lalu, teramat sangat
mengherankanku.
“Apa
maksud Anda ia telah jatuh ke laut?” tanyaku.
“Saya
khawatir demikian,” jawab si kapten.
“Bukan
main—“ aku memulai.
“Kenapa?”
tanya si kapten.
“Dia
yang keempat,” aku menjelaskan. Demi menjawab pertanyaan lainnya dari si
kapten, aku bilang telah mendengar cerita mengenai kamar 105, tanpa menyebutkan
tentang si dokter. Si kapten terlihat sangat jengkel mendengar bahwa aku sudah
mengetahuinya. Aku menceritakan kepada dia kejadian semalam.
“Yang
Anda ceritakan itu,” sahutnya, “persis dengan yang disampaikan kepadaku oleh
teman sekamar dua atau tiga orang sebelumnya. Mereka lompat dari tempat tidur
lalu lari ke ujung gang. Dua di antaranya terlihat jatuh ke laut; kami pun
menghentikan kapal dan menurunkan sekoci, namun mereka tidak ditemukan. Tapi,
tidak seorang pun melihat atau mendengar pria yang hilang semalam—kalau dia
memang sungguh-sungguh hilang. Si pelayan yang mengira ada yang tidak beres
pagi ini mengecek dia dan mendapati tempat tidurnya kosong. Pakaiannya masih
ada sebagaimana sewaktu ditinggalkan. Pelayan itu satu-satunya di kapal yang
pernah melihat dia, dan telah mencari orang itu ke mana-mana. Orang itu lenyap!
Nah, tuan, saya mohon kepada Anda agar tidak menceritakan soal ini kepada
penumpang mana pun; saya tidak ingin nama kapal ini tercemar. Anda boleh
memilih kamar petugas mana pun yang Anda kehendaki, termasuk kamar saya, selama
sisa perjalanan. Apakah itu tawaran yang adil?”
“Sangat
adil,” kataku; “dan saya sangat berterima kasih kepada Anda. Tapi sekarang
kamar itu ada untuk diri saya sendiri dan saya sendirian di sana; jadi saya
lebih suka tidak pindah. Kalau pelayan mau mengeluarkan barang-barang pria
malang itu, saya mau tetap di sana saja. Saya tidak akan menceritakan apa pun
tentang soal ini, dan saya merasa dapat berjani kepada Anda bahwa saya tidak
akan mengikuti jejak kawan sekamar saya.”
Si
kapten berbantah denganku; tapi aku memilih untuk bersendiri di kamarku. Kalau
aku pindah, aku mesti berbagi kamar dengan petugas kapal. Entah apakah waktu
itu aku sudah bertingkah konyol, tapi seandainya aku menuruti masukan dari dia,
tidak ada lagi yang dapat kuceritakan.”
Tapi
persoalannya tidak selesai sampai di situ. Aku menetapkan bahwa aku tidak akan
terusik oleh cerita-cerita serupa itu. Aku memberi tahu si kapten bahwa ada
yang tidak beres dengan ruangan itu. Keadaannya agak lembap. Tingkapannya
terbuka semalam. Barangkali kawan sekamarku sudah sakit ketika dia naik ke
kapal, dan bisa saja dia kena demam setelah pergi tidur. Boleh jadi dia
sekarang sedang bersembunyi di suatu tempat di kapal, dan dapat ditemukan
nanti. Kamar itu harus dibersihkan, dan pengait tingkap itu agar diperbaiki.
Aku meminta izin si kapten untuk membereskan hal-hal tersebut.
“Tentu
saja Anda berhak tetap di sana kalau Anda berkenan,” jawabnya; “namun saya
berharap Anda pindah ke tempat lain, sehingga saya bisa mengunci tempat itu.”
Aku
tidak bersepakat dengan dia, dan pergi setelah berjanji untuk diam mengenai
hilangnya pria itu. Dia tidak terlintas di pikiran sepanjang hari itu.
Menjelang malam aku berjumpa lagi dengan si dokter, dan ia menanyaiku apakah
aku telah berubah pendirian. Aku katakan padanya pendirianku tetap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar