Dulu saya jatuh cinta pada gagasan ekonomi kasih, tanpa
sekalipun tahu tentang istilah itu. Pada waktu itu, saya menonton sebuah film
berjudul Pay It Forward tentang seorang anak laki-laki yang mendapatkan
sebuah gagasan untuk memperbaiki dunia. Ia memutuskan untuk menolong tiga orang
yang membutuhkan uluran tangan, dan tidak mengharapkan balasan apa pun.
Alih-alih, ia meminta tiap-tiap orang itu agar menolong tiga orang lainnya. Ini
akan menciptakan efek bolah salju: perbuatan baik terus berlipat ganda dan
memang dunia pun menjadi tempat yang sedikit lebih baik.
Si
anak kecil ingin menolong sebab dia telah menerima pertolongan. Ini juga
terjadi pada seorang anak kecil bernama Tomi Astikainen. Saya telah menerima
begitu banyak bantuan dan dukungan dari orang-orang yang saya tidak punya
pilihan selain membalaskannya kepada orang lainnya lagi. Dengan sikap ini,
perbuatan baik pun berlipat ganda.
Hari kedua di
Kosta Rika. Mengetahui bahwa negara ini ditempati oleh cukup banyak pensiunan
orang Amerika, aku jadi tidak begitu tertarik. Rencananya sekadar main tebeng
dan berusaha menemukan pertanian tempat kami dapat mempraktikkan segala yang
telah kami pelajari supaya bermanfaat, berdampak nyata.
Salah seorang Amerika—sebagaimana yang telah disebutkan
tadi—menjemput kami. Dia memaksa untuk membelikan kami makan siang. Dengan
senang hati, kami menerima tawaran itu. Kami memberi tahu dia kegiatan kami
baru-baru itu, yaitu dengan bekerja sukarela di suatu pertanian organik di
Meksiko, El Savador, dan Nikaragua. Dia perlu beberapa waktu untuk memahami
kenyataan bahwa kami sungguh-sungguh bekerja tanpa dibayar. Dia pun melihat
peluang: “Saya punya teman yang akan memerlukan bantuan di pertanian miliknya.
Maukah kalian pergi menemui dia?”
Serius? Ayo! Munginkah ini kesempatan kami untuk
mempraktikkan segala yang telah kami pelajari supaya bermanfaat?
Vicki, si pemilik, sedang sendirian di pertaniannya. Pacarnya
telah pergi, sehingga tinggal dia bersama perlengkapannya sendiri. Dia berusaha
untuk menghasilkan uang secara daring dan tidak punya waktu untuk mengurus
pertaniannya. Mimpi memiliki gaya hidup swadaya tanpa fasilitas umum pun mulai
runtuh. Vicki dalam keadaan putus asa. Dia telah memutuskan untuk melepas lahan
yang semestinya membebaskan dirinya itu.
Kami menceritakan pengalaman kami kepada dia. Awalnya, dia
ragu: “Di sini tidak ada fasilitas untuk sukarelawan. Maksudnya, nanti kalian
tidur di mana?” Kami memberi tahu dia bahwa kami tidak mencari kemewahan, dan
menjelaskan tentang gaya hidup kami yang seadanya. Kami dapat tidur di mana
saja. Ia lantas menunjukkan sebuah pondok yang tertutup oleh sampah dan jaring
laba-laba. “Ini sempurna. Kami dapat memperbaikinya,” aku meyakinkan dia.
Akhirnya Vicki setuju. Ia membebaskan kami untuk melakukan
apa saja. Kami terkejut mendengarnya. Bebas? Untuk melakukan apa saja? Dahsyat!
Barangkali inilah tepatnya peluang yang kami cari-cari.
Kami mulai bekerja. Kami menyiapkan bedeng tumbuh untuk
sayur-mayur dan herba. Kami menanam benih dan menangani irigasi. Kami mengurus
hewan-hewan: babi, bebek, ayam, kambing, serta anjing-anjing Doberman. Kami
memperbaiki berbagai barang yang perlu dirawat. Kami membuat sebuah sistem web
sederhana.
Kami menciptakan sebuah strategi untuk beberapa tahun
berikutnya dan menjernihkan visi bersama-sama dengan Vicki: tempat ini akan
menjadi pusat penyelamatan alam liar serta pertanian organik yang dijalankan
sukarelawan. Karena kawasan ini merupakan habitat alami bagi monyet pelolong,
kami menamakannya The Monkey Farm.[1]
Vicki terkejut oleh segala kemajuan ini. Tantangan
terbesarnya adalah merasa tidak sungkan untuk meminta bantuan. Dengan begitu,
kami pun memulai kampanye sehingga memperoleh sokongan dari media serta
masyarakat setempat. Orang-orang mendukung gagasan itu dan membawakan kami
segala yang dibutuhkan tempat itu: pompa air, dudukan toilet, makanan,
peralatan, semua-muanya yang sungguh kami butuhkan. Bagaimanapun juga, para
pensiunan Amerika itu lumayan juga. Pada akhirnya Vicki belajar bahwa tidak
masalah untuk meminta bantuan saat diperlukan.
Kami mengubah pondok yang tidak layak itu berikut gubuk
sederhana lainnya menjadi akomodasi yang dapat menampung sekitar sepuluh
sukarelawan secara cukup nyaman. Kami menggosok setiap sudut dan menghiasi
ruangan-ruangan itu supaya berasa seperti rumah. Kami membuka profil daring
untuk menarik sukarelawan. Segera saja kami mendapatkan mereka selama enam
bulan ke depan. Bagian yang terbaik: kebanyakan dari mereka lebih berpengalaman
daripada kami! Sebagian memiliki keterampilan khusus yang amat berguna mulai
dari bertukang hingga pertanian organik. Ada satu laki-laki yang merupakan ahli
dalam mendirikan pagar. Tepat seperti yang kami perlukan!
Kami melatih Vicki untuk berfokus pada hal-hal yang benar,
serta mencari orang-orang yang dapat membantu dia baik untuk mengelola tempat
itu maupun mengarahkan pada sukarelawan. Untuk mengimbangi pengetahuan, ada
lebih daripada cukup kerja fisik yang harus dilakukan. Aku menyukai semuanya.
Apa pun yang kami lakukan, kami melakukannya dengan berhasrat. Kami
hampir-hampir tidak menyadari bahwa kami bekerja 10-16 jam sehari, tanpa
dibayar.
Tentu saja segalanya tidak berjalan seperti di film-film
Hollywood: adakalanya kami juga bertengkar. Setelah berbulan-bulan kerja keras,
aku lagi-lagi mengacaukan hubungan dan meninggalkan tempat itu, sendirian.
Namun The Monkey Farm akhirnya memiliki arah, sebuah masa
depan. Para sukarelawan baru mengambil alih yang sudah kami mulai. Seperti yang
sudah dikatakan, mereka bahkan lebih pintar dan terampil daripada kami. Aku
tidak lagi diperlukan di sana.
Kita
punya kebutuhan alami untuk bergerak, untuk melakukan suatu hal yang merupakan
kontribusi kepada masyarakat atau setidaknya menolong seseorang. Baiklah, bisa diperdebatkan
bahwa banyak orang sekarang ini berkontribusi hanya untuk kelangsungan hidup
mereka sendiri. Tapi ada waktunya ketika setiap orang paling tidak
mempertimbangkan peluang: Barangkali aku mesti menjadikan diriku lebih berguna.
Lagi pula, bergotong royong menambah nilai dalam kehidupan seseorang serta
memfasilitasi interaksi sosial.
Dunia menjadi semakin
terhubung setiap hari. Generasi baru cenderung berpikir beda. Kita melangkah
tertatih-tatih ke arah kesadaran global. Dalam pandangan dunia yang baru timbul
ini, kemampuan untuk berkolaborasi menjadi tak ternilai. Namun di masyarakat
barat, di mana kebanyakan pekerjaan entahkah diautomasi atau dialihdayakan (outsourcing)
ke Cina, tidak ada cukup pekerjaan bergaji bagi semua orang. Mereka yang cukup
beruntung untuk memilki pekerjaan menggunakan sepertiga dari kehidupan mereka
di antara orang-orang yang tidak mereka pilih untuk bekerja sama pada awalnya.
Tempat-tempat
bekerja sekarang ini diatur oleh aturan-aturan tak tertulis yang
tumpang-tindih. Di satu sisi, kita diharapkan untuk bergerak ke arah yang sama.
Di sisi lain, rasa takut akan kehilangan pekerjaan memenuhi kepentingan pribadi
kita dan menggiring kepada berbagai efek samping yang tidak menguntungkan:
menjilat, tiadanya transparansi, kurangnya kolaborasi, bahkan gangguan dan
pelecehan. Para pemuda yang potensial menjadi tertekan dan kelebihan pekerjaan.
Yang sudah berpengalaman boleh jadi merasa tersisihkan.
Banyak
orang menganggap pekerjaan sebagai identitas mereka, sampai-sampai membatasi
pilihannya dan mengendalikan perilakunya. Akan tetapi, kita bukanlah petugas
polisi, tukang pipa, ataupun psikolog. Kita adalah orang-orang dengan identitas
yang beragam. Hanya sebagian kecil dari identitas ini yang didefinisikan
sebagai apa yang kebetulan kita lakukan untuk mencari nafkah pada suatu waktu
tertentu.
“Kalau
begitu, kamu petani dong,” salah seorang pengunjung The Monkey Farm
menyimpulkan saat dia pertama kali melihatku. Aku belum pernah mendengar itu
sebelumnya. Aku? Seorang petani. Bukan ah! Aku menolak untuk menyebut diriku
sebagai sekadar penulis, penebeng, pemulung, penyair, koki, aktivis, desainer,
pelatih, fasilitator, ahli strategi, penerawang, manajer restoran luar angkasa,
ataupun gelar lainnya. Aku adalah semuanya itu dan lebih daripada itu.
Riwayat
kerjaku diseraki segala macam profesi: pekerja pabrik pengemasan, pembantu
inventaris, reporter radio, pramuniaga toko buku, pegawai toko penyewaan video,
pekerja kantoran di perusahaan lanskap, kepala editor, desainer grafis,
pemimpin tim, konsultan, pelatih, entrepreneur sosial, pejabat eksekutif
tertinggi …. Aku bukan hanya ini saja! Aku manusia.
Identitas-menurut-satu-profesi
berawal dari masa kanak-kanak. Saat orang dewasa menanyakan, “Mau jadi apa
kalau sudah besar?” menyiratkan bahwa si anak mesti mengambil satu profesi saja
dan berpegang padanya. Karier? Iyuh. Kata yang menjiikkan. Jawabanku untuk
pertanyaan tersebut adalah “Aku ingin menjadi orang yang multiguna.” Entah dari
mana saya mendapatkan jawaban itu, tapi, itulah persisnya saya sekarang ini:
seorang generalis.
Dalam masyarakat yang telah begitu menekankan pada
spesialisasi, sejak Adam Smith memperkenalkan konsep divisi tenaga kerja,
boleh jadi tidak ada begitu banyak permintaan atas laki-laki dan perempuan yang
multiguna. Kegunaan apa yang mungkin dimiliki orang dengan
pengetahuan sangat sedikit tentang berbagai hal yang tampaknya tidak
berhubungan? Serius deh, siapa yang peduli jika saya sama-sama penasaran baik
terhadap kutu busuk maupun penjelajahan angkasa kalau saya bukan ahli dalam
tiap-tiap hal itu?
Kenyataannya: saya tidak begitu peduli apakah orang hendak
membayar kontribusi saya, asalkan saya bisa berfokus pada beragam gagasan,
pekerjaan, proyek, dan inisiatif yang menginspirasi dan mengimbangi satu sama
lain. Menyekop kotoran itu asyik asal dilakukan dengan alasan
yang baik, serta sejalan dengan pekerjaan-pekerjaan cerdas dan lebih rumit yang
juga saya senang lakukan. Di samping itu, kutu busuk dapat bertahan hidup di
angkasa! Kurang keren apa coba?
Maaf
agak menyimpang. Maksudnya adalah: barangkali berbahaya bila membatasi rentang
kemungkinan masa depan yang begitu luas pada usia dini. Orang tua dapat
mengajukan pertanyaan yang lebih baik, “Kamu tidak mau jadi apa kalau
sudah besar?” Ini akan mengarahkan anak-anak untuk mempertimbangkan nilai-nilai
mereka alih-alih mengikatkan pemikiran mereka pada jalur karier tertentu.
Anda
ingin menjadi apa saja sewaktu kecil? Apakah sekarang ini Anda menghabiskan
waktu Anda untuk melakukan sedikitnya sebagian dari hal-hal itu? Apakah
pekerjaan Anda memiliki arti? Kalau tidak, untunglah ada berbagai opsi. Mereka
yang menghargai inovasi, otonomi, kemahiran, serta makna ketimbang gaji yang
besar, mungkin hendak bergabung dengan tim kecil di perusahaan rintisan (start-up).
Ada yang menjadi pekerja lepas, ilmuwan, seniman, inventor, atau entrepreneur.
Bahkan Anda bisa saja memutuskan untuk melakukan banyak hal yang berlainan; ada
yang demi gaji, lainnya sukarela.
Temanku
orang Finlandia, Mikael, merupakan penggemar pemrograman yang seringnya tinggal
di Lithuania. Dengan begitu ia memotong-motong biaya tetapnya menjadi
pecahan-pecahan kecil belaka dari yang biasanya di Finlandia. Mikael tahu ia
pandai melakukannya. Ia tahu nilai dari kontribusinya. Karena itu, harga dari
jasanya menyesuaikan. Beberapa pekerjaan berupah dalam setahun membantu
membiayai kehidupannya yang seminomaden. Selebihnya ia berkelana dan bekerja di
mana saja dia mau untuk proyek-proyek sukarela—seperti Hitchwiki, Nomadwiki[2],
Trashwiki, dan Trustroots—yang bagi dia lebih bermakna daripada pekerjaan
berupah.
Mikael
juga hidup dengan ideologi “Balas kepada Orang lain”. Ia suka menebeng dan
tidak membayar. Alih-alih, ia memberikan tumpangan pada orang lain di flatnya
secara cuma-cuma. Harapannya, orang itu kelak akan menolong orang lainnya lagi.
Mikael tampak sangat puas dengan gaya hidupnya. Walaupun ia tidak sepenuhnya
hengkang dari masyarakat uang, bisa diperdebatkan bahwa ia hidup dengan
prinsip-prinsip ekonomi kasih.
Maukah
Anda menyedekahkan kontribusi Anda kepada dunia? Mungkinkah kerja sukarela
membantu Anda menuju interaksi yang lebih tulus dengan orang lain? Tahukah Anda
caranya menciptakan situasi menang-menang: sebagian untuk Anda, sebagian untuk
sesama, dan sebagian lagi untuk masyarakat?
Menjadi sukarelawan tidaklah
rumit. Ditambah lagi, tidak harus ada konflik antara kepentingan-diri dan
keuntungan orang lain, selama alasan-alasan egois bukanlah satu-satunya motif
tersembunyi untuk membantu orang lain. Kerja sukarela sungguh menambah nilai
bagi kehidupan orang-orang, termasuk kehidupan Anda sendiri. Tinggal cobalah
untuk tidak serta-merta mengharapkan timbal balik dalam setiap situasi.
Alih-alih balaslah kepada orang lain. Bantulah sebab bantuan Anda memang
diperlukan.
Akan
tetapi, camkanlah, bahwa kita telah diajarkan untuk mandiri serta bertahan
hidup sendiri. Bagi kebanyakan dari kita, tidaklah mudah meminta bantuan, atau
bahkan menerima bantuan ketika ada yang menawarkan. Tapi jika Anda sungguh
berharap dapat menjadi sukarelawan, ambillah inisiatif. Ada berbagai peluang di
luar sana:
- Apakah Anda memiliki kerabat yang sudah sepuh atau tetangga sibuk yang mungkin mempergunakan bantuan dalam kehidupan sehari-hari?
- Bisakah salah satu hobi atau minat Anda menambahkan nilai kepada orang lain dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai kerja sukarela?
- Adakah badan nonprofit di sekitar yang mungkin memanfaatkan bantuan sukarela dengan lansia, pemuda, imigran, penyandang disabilitas, orang tua tunggal, atau kelompok lainnya yang sekadar kehadiran seorang sukarelawan saja dapat menjadi tak ternilai?
- Apa topik sosial dan lingkungan hidup yang membuat Anda bersemangat? Adakah pergerakan di mana Anda dapat berguna serta memajukan gagasan dan perbuatan yang sangat Anda suka?
- Anda lancar berbicara dan menulis dalam bahasa apa saja? Apakah Anda punya kemampuan desain grafis atau teknologi informasi? Komunitas daring manakah yang dapat memanfaatkannya?Adakah acara dalam waktu dekat yang dapat Anda bantu urus?
Aku bagian dari
kelompok kecil penebeng yang menyelenggarakan The Hitchgathering 2011 di
Bulgaria. Tentu saja anggarannya nol. Kami menghabiskan tiga hari di Vilna,
berkeliling ke usaha-usaha setempat dan mengumpulkan donasi dalam bentuk
barang: kertas toilet, pisau, cangkir, tatakan masak, piring, dan benda berguna
lainnya.
Kemudian kami menebeng ke Kara Dere, pantai indah yang belum
terjamah di dekat Laut Hitam, dan memasang kemah. Segelintir penebeng lainnya
telah datang terlebih dahulu dari segala penjuru dunia. Kami sepakat untuk
membuat area bersama berbentuk tapal kuda tempat segalanya dibagi dengan
tenda-tenda pribadi mengelilinginya sebagai batas pinggir.
Pada malam pertama, mendadak hujan turun merusak segalanya
yang telah kami siapkan. Sedikit demi sedikit, ada lebih banyak penebeng yang
tiba dan mereka membantu memasang kembali kemah ala kadarnya. Matahari
menyalami sekitar 150 orang yang siap untuk menghabiskan kurang lebih seminggu
bersama-sama di pantai itu. Sedikit demi sedikit, kemah itu mulai berbentuk.
Bahkan lumba-lumba pun mampir untuk menyambut kami.
Pada awalnya, orang-orang berlarian di sekitar pantai,
melumuri satu sama lain dengan lempung alami, berenang di air hangat, dan
menikmati lokasi yang sempurna itu, seolah-olah mereka kembali menjadi
anak-anak. Malah, salah seorang partisipan masih anak-anak, baru berusia lima
tahun. Yang paling tua telah melewati setengah abad. Kami berasal dari latar
belakang yang amat beragam, namun disatukan oleh jiwa menebeng yang sama. Pada
waktu malam, kami duduk memutari api unggun, menyanyi dan memainkan beraneka
instrumen. Minuman menyerupai-anggur yang super murah—yang warga setempat
enggan mencicipinya—dibagi dan dinikmati oleh siapa saja.
Pada hari kedua, orang-orang telah puas bermalas-malasan
saja. Mereka pun mulai membuat aktivitas untuk satu sama lainnya. Topik-topik
pelatihan bervariasi, mulai dari yoga tertawa, juggling, koreografi
tari, hingga latihan bela-diri Krav Maga. Kami mengadakan perpustakaan manusia
sehingga mengenal satu sama lain lebih mendalam. Orang-orang bertanggung jawab
memperbaiki kemah, menggali dan menghiasi lubang kotoran, mengumpulkan kayu
bakar, mencari makanan dan memasak bersama. Alih-alih cuma berjemur di bawah
matahari, orang-orang ini lebih suka bergerak dan membantu menyelenggarakan
acara penuh kenangan ini.
Setelah satu minggu hidup di pantai, aku pergi dengan berurai
air mata. Tempat ini luar biasa. Orang-orang ini adalah keluarga. Sekali lagi
mempertunjukkan tentang apa yang mungkin dilakukan dengan semangat sukarelawan.
Anda
tidak memerlukan keterampilan istimewa apa pun untuk menjadi sukarelawan yang
berguna. Sikap senang membantu serta kemampuan untuk berinisiatif sudah cukup.
Mulailah dengan menginvestasikan waktu 2-4 jam per minggu. Kalau bentuk kerja
sukarela yang telah Anda pilih terasa cocok, seiring dengan waktu ambillah
lebih banyak tanggung jawab. Kalau tidak, cobalah yang lainnya.
Kadang-kadang
orang menantang gaya hidup tanpa uang saya, dengan menyindir bahwa sangat
mungkin saya tidak berbuat apa-apa selain mengisap uang milik orang lain yang diperoleh
dengan susah payah: “Menurutmu bagaimana jadinya kalau semua orang berkelakuan
seperti kamu?”
Mau
tidak mau saya menjawab dengan serentetan pertanyaan: “Memangnya bagaimana
kelakuan saya? Memang apa yang sebenarnya saya lakukan ini? Saya berfokus
melakukan hal-hal yang pandai saya lakukan, hal-hal yang saya cintai, hal-hal
yang entah bagaimana berkontribusi terhadap kesejahteraan orang lain. Menurutmu
sendiri bagaimana dunia ini kalau setiap orang berkelakuan seperti ini?
Bagaimana kalau setiap orang berkesempatan untuk hidup seperti ini, tanpa harus
berfokus semata untuk bertahan hidup? Akan jadi dunia macam apakah itu?”
Ini
membungkam kritik yang tak perlu. Pertanyaan-pertanyaan ini membuat orang
berpikir: Tunggu, memangnya apa yang saya lakukan untuk membantu orang lain?
Apakah saya berfokus pada renjana saya? Apakah saya tahu benar akan
kekuatan-kekuatan yang saya miliki? Bagaimana mungkin saya beralih dari sekadar
mencari uang untuk bertahan hidup sehari-hari kepada sebenar-benarnya
mengembangkan diri saya, orang lain, dan masyarakat pada umumnya?
Kalau Anda merasa bahwa apa yang Anda lakukan, siang malam, sesungguhnya
tidaklah begitu bermanfaat bagi orang lain dan juga tidak menawarkan Anda
kesempatan untuk berkembang, tak usah khawatir. Anda tidak salah. Tidak ada
yang mempersalahkan Anda. Kesadaran ini sudah merupakan langkah pertama pada
jalan menuju hidup yang lebih memuaska. Barangkali langkah berikutnya adalah
untuk mengambil jeda. Bagaimana kalau Anda libur setahun? Bagaimana Anda akan
menggunakan waktu tersebut? Apakah Anda tidak sepenuhnya yakin?
Menjadi sukarelawan di luar negeri merupakan satu kemungkinan
untuk menggunakan waktu Anda secara efektif sementara menjelajahi pekerjaan dan
lingkungan baru yang boleh jadi sangat berbeda dari yang biasanya. Ada
beberapa situs pertukaran pekerja yang dapat Anda gunakan untuk mencari
kesempatan menjadi sukarelawan di luar negeri. Volunteers Base[3]
merupakan alternatif yang tidak memerlukan uang dari situs-situs yang lebih
mapan seperti Ecoteer[4],
Workaway[5],
HelpX[6],
dan WWOOF[7].
Situs-situs ini biasanya meminta sedikit biaya untuk detail kontak mengenai
tempat-tempat untuk bekerja sukarela. Kalau tidak satu pun dari opsi ini sesuai
untuk Anda, cobalah Kindmankind[8]
atau Travel With a Mission[9].
Situs mana pun yang Anda pilih, Anda dapat menggunakannya untuk mencari peluang
di berbagai belahan dunia.
Akan
tetapi, catatlah bahwa sebagai contoh di Amerika Tengah dan Selatan herannya
sulit untuk bekerja secara cuma-cuma. Walau kedengarannya aneh, ada banyak
tempat yang mengharapkan Anda membayar untuk menjadi sukarelawan. Di beberapa
tempat, seperti Inatitah, ini cukup beralasan dan transparan. Tapi beberapa
tempat sepenuhnya bergantung pada pendanaan dari para sukarelawan kaya raya
yang datang ke sana sekadar untuk menambah satu baris dalam CV mereka.
Untungnya ada juga
tempat-tempat yang menghargai kontribusi sukarela. Sebagai ganti atas jerih
payah Anda, mereka memberikan makanan dan penginapan secara cuma-cuma.
Tampaknya di Eropa dan Australia ada kebun anggur dan pertanian yang bahkan
memberi Anda upah mingguan yang lebih dari mencakup biaya tinggal Anda. Maka,
telitilah ketika Anda mencari peluang yang terbaik. Kalau kedengarannya terlalu
bagus, boleh jadi memang demikian adanya.
Pada
akhirnya, kalau Anda masih muda—di bawah 30 tahun—Anda bisa memeriksa apabila
cinta dalam hidupku, AIESEC, menyediakan sesuatu bagi Anda.
Pengalaman-pengalaman menantang yang disediakan AIESEC disesuaikan agar dapat
menghadapi sebagian dari persoalan-persoalan paling mendesak yang ada di dunia.
Tapi yang terpenting, pengalaman AIESEC memungkinkan Anda untuk menjadi warga
dunia yang lebih mawas-diri dan berorientasi-solusi yang sanggup memberdayakan
orang lain untuk bertindak. Tidak selalu mudah, tapi bisa jadi sangat berharga.
Semakin banyak Anda memberi, semakin banyak yang Anda peroleh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar