Aku sedang berada di Panama, mempraktikkan keterampilan bertukangku yang
hampir tidak ada. Aku telah menyetujui
untuk merenovasi dinding, serambi, dan lantai sebuah pondok kecil yang
digerogoti rayap, terbuat dari tripleks rapuh serta papan lapuk. Sudah begitu,
aku membersihkan dan mendekorasi ulang ruangan yang telah mereka sediakan untuk
diinapi. Jaring laba-laba keluar. Masuklah dapur sementara. Selesai!
Selagi bekerja sendirian, entah bagaimana aku mulai
memikirkan coretan puisi-puisiku beberapa tahun lalu. Sejak saat itu,
puisi-puisi itu cuma menadah bintik-bintik debu virtual di laci daringku.
Kukenang rumah singgah The Shell di London tempat aku mendapatkan perkenalan
yang menghantam akan bentuk seni kata lisan yang memikat. Puisi panggung begitu
sarat energi, menitikkan hasrat beserta dedikasi yang tak putus.
Aku pun mengecek di YouTube tentang puisi panggung Finlandia.
Pertunjukan-pertunjukan yang ada bertahun-tahun cahaya jauhnya dari yang telah
kualami. Kebanyakan membaca dari papan petunjuk, tampil dengan suara monoton
yang membosankan. Sisi terangnya adalah sudah ada kancah untuk puisi panggung
di Finlandia, benar-benar lonjakan. Aku tidak perlu lagi memperkenalkan sesuatu
yang sama sekali baru di sana. Lantas kulihat puisiku sendiri. Entah apakah
puisi-puisi ini lebih baik daripada yang baru saja kusaksikan. Aku ragu. Apakah
puisi-puisi ini layak dipentaskan? Adakah yang akan memerhatikannya?
Gagasan membacakan puisi di depan audiens itu sendiri
membangunkan kupu-kupu dalam perutku. Aku belum pernah melakukan ini
sebelumnya. Apakah puisi-puisiku cukup baik? Apakah aku tahu cara
membawakannya? Aku bukan penyair sungguhan, ya ampun! Kritikus dalam diriku
memekik.
Tapi sudah kepalang basah. Aku tahu aku bisa menghadirkan energi
segar ke kancah puisi panggung di tanah airku, kalau aku berada di sana. Aku
kumpulkan keberanianku dan membuat keputusan: aku akan menjadi penyair
panggung!
Aku pun mulai berlatih mendeklamasikan puisi-puisiku, di zona
bebas jaring laba-labaku yang nyaman. Aku menggagapkan sajak-sajakku yang
menyiksa kepada dinding kosong dan berharap tidak ada orang di luar yang
mendengarku. Aku agak malu, tapi bersemangat.
Segera aku belajar adalah satu hal untuk membacakan puisi
yang sudah ada dan satu hal yang sama sekali berbeda menuliskannya untuk
panggung. Aku pun berlatih, berlatih, dan berlatih. Saat akhirnya aku mencapai
Helsinki, aku menghadiri malam Open Mic. Kuremas mikrofon. Kakiku gemetar. Aku
berusaha agar tidak pingsan di panggung. Tapi aku berhasil! Penampilan
pertamaku tidak berjalan sempurna. Meski begitu, audiens bersorak dan aku
mendapatkan umpan balik yang membesarkan hati. Aku berada di jalur yang benar.
Aku pun terus berlatih dan meletihkan teman-temanku dengan tesku yang
berulang-ulang di ruang tamu mereka.
Aku mendaftar kejuaraan puisi panggung Finlandia. Dalam
kompetisi yang riang ini, tempatnya di bar dan juri-jurinya dipilih dari
audiens. Babak kualifikasi diadakan di seluruh penjuru negeri dan hanya
pemenang yang masuk ke final. Satu-satunya aturan hanyalah puisinya mesti karya
sendiri dan tidak lebih dari tiga menit. Gampang. Aku bisa melakukannya.
Pada kualifikasi pertama, aku tidak masuk ke babak kedua. Ada
seorang kontestan bernama Jere yang punya kemampuan menakjubkan dalam bermain
kata serta mimik wajah. Ia menjadi favoritku. “Penampilan yang fantastis!
Mudah-mudahan kamu menang,” aku berbisik di telinganya. Sayang ia hanya
mendapat juara kedua.
Aku mencoba lagi di kota lain dan berakhir di posisi ketiga.
Aku masih tidak menyerah tapi mencoba sekali lagi. Selain itu ada Jere, yang
lebih baik lagi daripada sebelumnya. Yang mengejutkan, aku menang! Aku berhasil
ke final. Tidak bisa dipercaya. Tebak siapa yang kedua? Jere. Ia tidak berhenti
tapi ambil bagian dalam tujuh kualifikasi sebelum berhasil sampai ke final.
Itulah komitmen yang ingin kulihat dalam kancah ini.
Bayang-bayang kesuksesanku menyampaikan bahwa aku berhasil
menciptakan sesuatu yang unik, pendekatan yang sedikit lebih internasional
serta energik yang menarik bagi audiens jenis tertentu. Masih pada jalur yang
benar. Berhasil sampai ke final melampaui ekspektasiku yang berhati-hati. Namun
aku berharap menjadi lebih baik lagi dalam hobi baru yang menggairahkan ini.
Maka aku pun lanjut berlatih, banyak. Aku menulis puisi baru pada malam hari,
dan berlatih pada siang hari, selama sebulan penuh.
Akhirnya tibalah hari pertandingan terakhir. Aku sudah
mengenal beberapa finalis yang lain. Malah teman-teman yang baru ini rupanya
benar-benar ramah. Aku masih berharap Jere akan menang. Benar: aku ke sini
untuk berpartisipasi, bukan menang. Aku telah belajar betapa asyiknya seni
lisan—terapeutik juga! Tidak ada tekanan. Aku tahu aku tidak dapat lebih siap
daripada sekarang. Sekarang tinggal terserah kepada para juri apakah mereka
mengapresiasi pendekatanku atau tidak.
Kali ini juri-jurinya sudah pada lumayan tua. Aku
bertanya-tanya apakah sebaiknya aku meloncati puisi-puisi bahasa Inggrisku sama
sekali. Jangan-jangan mereka tidak mengerti bahasanya. Tidak, bagaimanapun juga
aku memutuskan untuk tetap pada rencana dan memulai dengan “Grim Reaper”—suatu
ceracau kecil sedap tentang menghadapi kematian dalam bahasa Inggris. Aku
meraungkan bait-bait patah-hatiku kepada segelintir audiens. Orang-orang
memandangku dengan mata terbelalak.
Lantas, sepasang juri di baris depan mulai gelisah. “Apa yang
dia katakan?” salah seorang dari mereka bertanya dalam bahasa Finlandia. Yang
lainnya mengangkat bahu. Bagus. Mereka tidak mengerti sepatah kata pun yang
kuucapkan, atau sebenarnya kuteriakkan. Aku lanjut dengan meningkatkan
kegusaran dan menaikkan taruhan. Silabel terakhir putus pada 2:59. Waktu yang
pas. Energi yang besar. Aku meletakkan mikrofon lalu turun dari panggung.
Orang-orang bertepuk tangan tapi bagaimanapun juga tampaknya mereka
terintimidasi oleh pengalaman barusan.
Seorang rekan penyair menyelamatiku dan menunjukkan bahwa
lenganku berdarah. Ia bertanya apakah itu sengaja untuk aksi panggung. Bukan.
Ini tidak disengaja. Rupanya, karena gugup, ada bekas luka yang tergores
sehingga mulai berdarah tanpa kusadari. Yah, tentu saja ini mendukung tema
puisiku. Pantas saja audiens pada terkejut.
Aku telah berusaha sebaik-baiknya tapi tidak berhasil masuk
ke babak kedua. Aku hanya kurang 0,1 poin dari mereka yang lajut. Tapi kalah
tidaklah mengecewakanku. Sekarang aku dapat berkonsentrasi pada menyemangati
yang lain, terutama penyair favoritku. Pertarungannya ketat, tapi pada akhirnya
Jere menaklukkan kejuaraan itu! Ia luar biasa energik dan layak mendapatkan
kejayaannya setelah segala yang telah dia lalui hingga sampai ke final. Hari
yang hebat!
Misi tuntas. Kancah puisi panggung Finlandia menjadi semakin
menarik. Ini cenderung pada kolaborasi daripada kompetisi. Kami membuat satu
sama lain lebih baik.
Tips untuk bersantai, mengembangkan diri, dan bekerja:
Kerja Bagus: Waktu Bebas untukmu
Buruh Cinta: Bersukarela Kerja tanpa Dibayar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar