Meninjau Ulang Kehidupan Tanpa Uang
Seperti
yang sudah dikatakan, saya memerlukan satu tahun, dari gagasan ke tindakan,
sebelum terjun ke dalam kehidupan tanpa uang. Demikian juga, saya menghabiskan
satu tahun berusaha mencari tahu caranya untuk kembali berada “di tengah-tengah
kelaziman”. Saya merasakan perlunya untuk maju, tanpa melepas poin-poin
pembelajaran dari jalan. Saya tidak hendak mengorbankan kilas kebebasan yang
telah saya dapatkan. Saya ingin tetap kaya, sekalipun dengan kembali melibatkan
uang.
Untunglah manusia itu makhluk yang mudah beradaptasi. Saya mengirimkan sejumlah lamaran kerja, tanpa berpura-pura menjadi sesuatu selain diri saya sendiri. Saya dapat merasa yakin bahwa jika ada orang yang berkenan menggaji mantan gelandangan tanpa uang, kemungkinan itulah tempat yang tepat bagi saya. Setelah lima rentet wawancara, saya pun terpilih untuk menjadi CEO sebuah startup. Adaptasi berlanjut, kali ini dengan gigi besar.
Di jalan saya telah belajar caranya berurusan dengan segala
macam orang, untuk hidup dalam ketidakpastian, untuk terus-menerus
menyelesaikan persoalan, dan untuk memahami diri saya sebagai bagian dari
spesies yang sama sebagaimana setiap orang lainnya. Biasanya saya mampu
berpegang pada kearifan ini. Tidak ada topeng, tidak ada peran. Tomi sebagai CEO persis sama dengan Tomi
sebagai Teman, Tomi sebagai Kawan Serumah, Tomi sebagai Putra, Tomi sebagai Saudara, dan peran lainnya yang dapat dibayangkan. Hanya saya,
Tomi. Saya masihlah diri saya.
Sikap
saya terhadap uang kini dapat digambarkan sebagai acuh tak acuh. Ketika saya
mendadak mendapat pekerjaan, saya tidak tahu gajinya mesti diapakan. Saya masih
menjalani hidup yang sangat sederhana. Saya tidak belanja. Saya tidak memiliki
lebih daripada apa yang dapat saya masukkan ke ransel. Saya bahkan tidak
memiliki ranjang. Saya tidur di kasur ala kadarnya di lantai, di kamar mungil
di flat komunitas. Saya mendermakan uang kepada mereka yang membutuhkannya.
Saya berinvestasi untuk para wirausahawan Afrika melalui pinjaman mikro peer-to-peer.[1]
Saya menraktir teman-teman saya makanan dan minuman. Dengan senang hati saya
melunasi pinjaman studi saya. Akhirnya, seorang teman baik menghentikan saya: “Dude,
uangnya tidak perlu dihabiskan semuanya sekarang. Kapan-kapan mungkin ada
gunanya.”
Bekerja lembur dari kantor rumah, sebagai satu-satunya
karyawan di sebuah perusahaan baru, kebiasaan lama memulung makanan di tempat
sampah dan menebeng kendaraan pun memudar. Tidak ada waktu untuk kegiatan
ekstra. Lebih gampang makan di restoran, sekalipun sekarang artinya membayar
mahal demi kemewahan ini. Saya tergelincir kembali ke balapan tikus, tetapi
saya merasa tidak seperti tikus-tikus lainnya. Saya masih berpaham bahwa uang
itu tidak nyata. Seperti kata orang, uang tidak tumbuh di pohon. Uang secara
ajaib diciptakan supaya mengada oleh bank komersial, sebagai utang[2].
Dan jika sesuatu tidaklah nyata, Anda tidak perlu merasa stres soal memilikinya
atau tidak, betul?
Saya tahu tidak ada yang namanya sukses ataupun gagal. Yang
ada hanyalah momen-momen ketika Anda mencapai tujuan tertentu dan kemudian ada
kesempatan-kesempatan untuk belajar. Walau demikian, saya merasa tidak enak
ketika tidak mampu memenuhi ekspektasi orang lain atas kapasitas saya untuk
menghasilkan sesuatu dari nol dalam delapan bulan saja, dan untuk menjadikan
sesuatu itu usaha yang menguntungkan. Di mata mereka, saya gagal.
Dalam masa tiga bulan pengunduran diri, saya sama sekali
sendirian dan tersesat. Saya menggertakkan gigi dan berusaha memunculkan ide
mengenai apa yang akan dilakukan selanjutnya. Saya perlu menginsafi bahwa saya
tengah mengambil langkah logis berikutnya. Setelah sekitar dua bulan, saya
akhirnya mengingat poin-poin pembelajaran dari jalan. Tersesat itu tidak
apa-apa. Saya tidak harus memegang kendali. Tibalah Desember, apakah yang akan
saya lakukan? Biarkan semesta yang mengurusnya.
Bersantai
untuk “sekadar
mengada” dan, sekali lagi, melepas alamat tetap membuat saya sangat berenergi, bergairah dan siap untuk apa
pun yang mungkin mengadang saya. Kali ini saya mengetahui yang lebih baik. Saya
tidak mengirimkan lamaran kerja. Saya hanya menyambut kesempatan-kesempatan
yang datang kepada saya secara alamiah, saya menelitinya dengan tenang dan
menimbang di mana saya dapat menghabiskan waktu saya dengan cara yang paling
berarti.
Itulah
bagaimana saya berakhir di residensi seniman di Benin untuk menulis buku ini.
Ini kesempatan yang menggembirakan, tiga bulan jauh dari segala hal lain untuk
fokus pada kerja kreatif. Setelah ini, apa pun boleh terjadi. Apa pun boleh
berubah. Tidak ada yang permanen. Hanya satu hal yang pasti. Hidup adalah
petualangan! Saya mencintainya. Bahkan sekalipun saya kembali untuk bermain
dengan angka-angka satu dan nol imajiner, kali ini saya tidak akan mengindahkan
aturannya secara begitu serius. Saya tidak ada keperluan untuk melawan apa pun
atau siapa saja. Saya memilih untuk fokus bersama-sama menciptakan masa depan
yang lebih baik hari ini, dengan cinta dan gembira alih-alih sembari menggertakkan
gigi dan menghadapi rutinitas yang membosankan.
Sanjungan untuk Para Juru Masak
Pada
2014 saya diminta teman-teman di Into Kustannus, sebuah rumah penerbitan
alternatif di Finlandia untuk menulis buku Miten elää ilman rahaa (Cara
hidup tanpa uang). Saya ragu-ragu. Setelah bertahun-tahun ini berbagi jerih
payah saya secara cuma-cuma, mengapa tahu-tahu saya memilih jalur penerbitan tradisional?
Bagaimana saya menjustifikasi fakta bahwa orang bakal harus membayar buku yang
judulnya seperti itu? Dan royaltinya nanti mesti saya apakan?
Jawaban untuk pertanyaan yang terakhir itu mudah saja. Into
Kustannus berhasil menjual sekitar seribu eksemplar di Finlandia selama tahun
pertama. Bagian saya? Sekitar 2 euro per buku. Hitunglah sendiri. Pastinya,
saya akan memanfaatkan kekayaan ini baik-baik. Ini tetap tidak mendiktekan
keputusan saya tetapi saya akhirnya rela menggunakan uang lagi.
Dua pertanyaan lainnya lebih pelik. Saya setuju bekerja sama
dengan Into Kustannus karena mereka punya maksud yang valid: untuk menjangkau
masyarakat awam di Finlandia, pesan yang sangat marginal seperti ini sebaiknya
dapat diperoleh di toko buku dan perpustakaan. Orang dapat melihat buku ini di
sana secara lebih mudah daripada di suatu situs tak terkenal di pojok tersembunyi web. Sebuah buku tidaklah bernilai
tanpa ada pembacanya.
Saya gembira telah membuat keputusan itu. Seribu orang
kedengarannya tidak banyak tetapi itu jangkauan yang lumayan di negara yang
penduduknya hanya 5,3 juta. Maka, terima kasih Tatu, Jaana, Joni, Milla, Mika,
Sami, dan teman-teman Into lainnya yang mengagumkan sehingga bongkah-bongkah
kearifan ini terhidang bagi bangsa kami yang haus perspektif. Dan terima kasih
karena telah memperkenankan saya untuk membuat sendiri versi bahasa Inggrisnya.
Berkali-kali saya diminta untuk menerjemahkan buku ini ke
dalam bahasa Inggris, tetapi, terus terang saja, saya tidak tahu apakah akan
ada cukup peminatnya—apakah
akan sepadan dengan segala upaya untuk menulis ulang seluruh cerita. Begini,
Bahasa Finlandia dan Bahasa Inggris itu dua bahasa yang sama sekali berbeda.
Bukan sekadar menerjemahkan kata-demi-kata, melainkan juga memerlukan pemikiran
ulang yang serius. Dan kadang saya bisa sangat malas. Selain itu, banyak hal
tertentu mengenai kebudayaan dalam versi bahasa Finlandia yang tidak bakal kena
bagi audiens global.
Maka, saya tidak mau melemparkannya begitu saja sambil berharap akan ada yang menangkapnya. Untuk menjangkau Anda,
pembaca berbahasa Inggris, diperlukan jenis saluran yang baru.
Maka, untuk mengetahui apakah ada permintaan, saya memilih
untuk melakukan prajual buku itu secara daring dengan harganya ditetapkan
secara “Bayar Semaunya”. Pembaca dapat memutuskan berapa banyak yang rela
mereka ulurkan, kalau ada. Kampanye daring kecil kami menghasilkan seribu
pemesanan di muka dari para pembaca seperti Anda. Seribu! Dalam tiga bulan.
Menimbang bahwa buku ini bahkan belum ditulis, permintaannya jelas ada. Saya
pun memutuskan untuk tetap berhubungan dengan para pembaca dan menginformasikan
pembaruan selama proses menulis. Dengan begitu menjamin produk akhir yang lebih
baik.
Orang membantu dengan banyak cara: memperbaiki bahasa,
memberikan wawasan yang berharga, menyediakan masukan, dan menyebarkan berita.
Terima kasih banyak Bart, Bodhi, Carlos, Dario, Gabr Bart, Bodhi, Carlos, Dario, Gabriela, Giulia, Ilana, Jaakko,
Jemi, Jukka, Julia, Kelly, Kim, Korry, Mar, Nicoleta, Pare, Sam, Tal, Valtteri
dan Véronique untuk kontribusi kalian.
Terima kasih juga Albert Casals, Benjamin Lesage, Daniel
Suelo, elf Pavlik, Heidi Tolvanen, Ibby Okinyi, Lea Rezić, Mark Boyle, Matt
Stone, Matti Koistinen, Max Neumegen, Päivi dan Santeri Kannisto, Raphael Fellmer, Simo Annala dan Thomas
Francine atas wawasan kalian yang berharga. Partisipasi kalian menunjukkan
bahwa ini bukan sekadar perjalanan saya melainkan pengalaman bersama.
Terima kasih yang sangat banyak juga kepada Dorit, Jason,
Julien, Kamiel, Randi, Reese, Samantha dan Thomas atas bantuan tak ternilai
kalian dalam penyuntingan. Saya juga ingin memberi salut kepada perancang
grafis berbakat sekalian teman baik saya Ghassan Nassar. Kamu keren!
Adapun mengenai harganya, kebanyakan memilih nol. Saya
menekankan fakta bahwa pemesanan di muka tanpa uang sama bernilainya dengan
berapa pun jumlah lainnya, menunjukkan minat yang berharga dengan sendirinya.
Namun ada beberapa yang memaksa untuk mendukung secara finansial juga. Saya
ingin tahu sebabnya mereka mau membayar sesuatu yang dapat mereka peroleh
secara cuma-cuma. Tanggapannya begitu penuh cinta sampai-sampai saya menangis.
Jelaslah, jenis perilaku baru tengah menggelembung. Berikut ini beberapa
kutipan tanpa nama supaya Anda mengerti maksud saya:
·
“Membayar untuk sesuatu yang gratis itu Like
tingkat lanjut di Facebook. Yaitu untuk sesuatu yang sangat-sangat kita
suka.”
·
“Saya merasa seolah-olah bagian dari diri saya yang
tidak mau berkontribusi terhadap sesuatu yang berharga, yang hanya mengambil
dan tidak memberi, adalah rasa takut. Itulah yang menyembunyikan rasa cinta
dari pandangan. Saya memberi sebab saya melihat kekikiran, keinginan untuk berpegang
pada ‘barang milikku’, adalah gejala dari masyarakat yang sakit.”
·
“Bagi saya, lebih mudah untuk membayar sesuatu yang saya
tahu saya tidak harus membayarnya. Rasanya beda saja.”
·
“Karena kamu akan melakukan ini secara cuma-cuma, saya
tidak takut kamu akan membuang-buang uang yang saya percayakan kepadamu.”
·
“Saya membayar dengan alasan yang sama seperti saya
membeli barang dari toko di ujung jalan dan saya tidak akan memesannya dari
tempat lain yang lebih murah—saya ingin toko itu tetap di situ dan ingin
mendukungnya bagaimanapun juga.”
·
“Memberi uang untuk bukumu rasanya seperti melambai
kepadamu dari jauh dan seandainya ada banyak orang yang melambai dari segala
penjuru dunia, kamu akan merasakan jaringan cinta yang mendukung terlaksananya
perubahan.”
·
“Pembelian itu selalu merupakan semacam kesepakatan di
mana kedua pihak cukup senang dengan persyaratannya. Jika satu pihak memulai
proses ini dengan penawaran tanpa syarat, itu seperti undangan untuk berbuat
sesuatu bersama-sama, seperti menarik dari ujung yang sama pada sebuah tali
alih-alih dari ujung satunya. Tidak berkontribusi apa-apa dari sisi saya rasanya
salah dan meniadakan daya magisnya.”
Saya
ingin berterima kasih kepada ribuan orang yang telah menghadiahi saya
tumpangan, pakaian, naungan, makanan, minuman, serta berbagai hal baik lainnya
selama bertahun-tahun ini. Dengan perbuatan, Anda membuktikan bahwa manusia
adalah makhluk yang penolong, murah hati, dan berempati.
Keluarga
saya yang agak kacau tetapi selalu penuh kasih yang telah memainkan peranannya
dalam menjadikan diri saya yang sekarang ini. Berkat kalian, saya berani menunjukkan emosi saya, berani
menjadi diri saya, berani hidup. Terima kasih! Selain orang tua dan saudara
kandung, keluarga ini juga terdiri dari banyak teman yang menakjubkan. Kalian
tahu siapa. Tanpa dukungan dan bahu kalian untuk bersandar, saya tidak mungkin
dapat melanjutkan jalur menantang yang saya pilih untuk ambil. Jukka, kamulah epitome persahabatan ini. Terima kasih spesial untuk
Kristina, Ania, Saara, Lisa, Lea dan Rita yang dengan mereka saya berbagi jalan
yang jarang dilalui. Terima kasih atas kesabaran kalian. Kalian membantu saya
menjadi orang yang lebih baik.
Akhirnya, saya ingin Anda bergabung dengan saya untuk sejenak
mengheningkan cipta, untuk menghormati rekan tanpa uang kita yang terkasih
Heidemarie
Schwermer[3]
yang belum lama ini telah sampai di penghujung jalannya dan wafat dalam damai.
Carilah apa yang dicarinya. Mungkin, dengan membalasnya kepada orang lain,
bersama-sama kita dapat menciptakan efek bola salju yang positif.
“Jangan berusaha mengikuti jejak orang bijak; carilah apa yang mereka cari.”
– Matsuo Basho
Tentang Penulis
Tomi Astikainen menghabiskan empat tahun, 2010-2014, tanpa
uang sama sekali. Selama itu, ia berkelana ke 42 negara dengan menebeng sejauh
lebih dari 200.000 kilometer. Ia menulis beberapa buku digital, termasuk The
Sunhitcher—kisah memikat berdasarkan pada satu setengah tahun pertama
perjalanannya.
Buku-buku Tomi sebelumnya gratis daring:
[2] Lihat di antaranya http://positivemoney.org/how-money-works/how-banks-create-money/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar