Taifun mulai berembus begitu
kami meninggalkan ibu kota. Semua kereta dan kapal ditunda, terpaksa kami
terhenti di luar jadwal. Saat itu pagi hari ketiga—pagi terakhir dari tiga hari
perjalanan—ketika kami akhirnya melayangkan pandang pada tujuan kami: Pulau
Tetek.
“Ah. Pantas saja dinamakan
begitu.” Fotograferku Hatayama menunjuk ke seberang laut. Pulau itu memiliki
satu gunung bundar di tengah-tengahnya. Tepatnya, gunung itulah
pulaunya.
Kami menyeberang dengan
perahu nelayan, terhuyung-huyung ke segala arah menuruti gerakan ombak.
“Adakah legenda tentang pulau
itu?” tanyaku kepada si nelayan yang sedang mendayung.
“Apa jadinya kalau ada,” jawabnya diiringi raut masam. “Lihat saja bentuknya. Pastilah ada satu-dua cerita. Sama saja seperti pulau lainnya. Tapi itu rahasia kami. Kalau sampai legenda kami tersebar, turis bakal berdatangan. Tempat ini akan rusak.”