6
Tentang Lahirnya Kumiko Okada dan Noboru Wataya
*
Sebagai anak tunggal, aku sulit
membayangkan perasaan kakak-beradik yang sudah dewasa dan mandiri saat mereka
bertemu. Kalau Kumiko, kapan pun ada pembicaraan tentang Noboru Wataya,
tampangnya jadi aneh, seakan tahu-tahu mulutnya merasakan sesuatu yang ganjil,
tapi aku tidak tahu persisnya arti
tampangnya itu. Aku sendiri tidak ada sedikit pun perasaan positif pada
abangnya. Kumiko tahu dan menurutnya itu wajar saja. Dia sendiri sama sekali
tidak suka pada orang itu. Sulit membayangkan keduanya pernah mengobrol
seandainya tidak ada hubungan darah di antara mereka. Tapi kenyataannya, mereka
memang kakak-beradik, sehingga
rasanya agak semakin rumit. Setelah aku bertengkar dengan ayahnya dan
memutuskan hubungan dengan keluarganya, Kumiko hampir-hampir tidak pernah lagi
berjumpa Noboru Wataya. Pertengkaran dengan ayahnya memang sengit. Seumur-umur
aku jarang bertengkar—aku bukan orang yang seperti itu—tapi sekalinya itu
terjadi, aku maju habis-habisan. Maka perpecahanku dengan ayahnya pun berakhir.
Kemudian, setelah aku menyingkirkan apa pun yang perlu disingkirkan dari
dadaku, kemarahan itu pun anehnya menghilang. Yang kurasakan hanya kelegaan.
Aku tidak harus bertemu dengan ayahnya lagi. Rasanya seakan beban berat yang
kupanggul selama ini telah diangkat dari bahuku. Tidak ada amarah ataupun benci
yang tersisa. Aku bahkan merasakan sedikit simpati atas kesukaran hidup yang
dialami ayahnya, betapapun tolol dan menjijikkannya wujud kehidupan itu di
mataku. Kukatakan pada Kumiko aku tidak akan pernah menemui orang tuanya lagi,
tapi dia bebas mengujungi mereka tanpa diriku kapan pun dia ingin. Kumiko tidak
berusaha menemui mereka. “Tidak apa-apa,” katanya. “Lagi pula aku tidak
sebegitu inginnya bertemu mereka.”
Pada waktu itu Noboru Wataya tinggal
bersama orang tuanya. Namun saat pertengkaran antara aku dan ayahnya terjadi,
ia pergi begitu saja tanpa bilang siapa-siapa. Aku tidak heran sih. Aku tidak
ada kepentingan dengan dirinya. Ia sebisa mungkin menghindari hubungan pribadi
denganku kecuali benar-benar diperlukan. Maka, saat aku berhenti menjumpai
orang tua Kumiko, aku juga tidak ada alasan untuk bertemu Noboru Wataya. Kumiko
sendiri tidak merasa ada kepentingan menemui abangnya. Abangnya sibuk, dia
sibuk, dan sejak dulu mereka memang tidak dekat.
Meski begitu, sesekali Kumiko menelepon
abangnya di kampus tempat lelaki itu bekerja, dan sesekali Noboru Wataya
menelepon si adik di kantor perusahaannya (tapi tidak pernah ke rumah kami).
Kumiko biasanya menceritakan ini padaku tanpa merinci isi percakapan mereka. Aku
tidak pernah menanyakannya, dan dia pun tidak bersukarela menceritakannya
kecuali memang perlu.
Aku tidak ingin tahu pembicaraan Kumiko
dengan Noboru Wataya. Bukan berarti aku marah karena mereka mengobrol. Aku cuma
tidak mengerti. Apa sih yang mungkin dibicarakan oleh dua manusia yang sangat
berlainan ini? Mungkinkah itu terjadi karena ada suatu saringan khusus di
antara orang-orang yang memiliki hubungan darah?
*
Meski bersaudara, usia Kumiko dan Noboru
Wataya berselisih sembilan tahun. Sebab lain di balik kurangnya kedekatan di
antara keduanya yaitu Kumiko pernah tinggal bersama keluarga ayahnya selama
beberapa tahun.
Bukan cuma Kumiko dan Noboru anak di
rumah keluarga Wataya. Di antara keduanya pernah ada seorang saudara perempuan
yang usianya lima tahun lebih tua daripada Kumiko. Akan tetapi, pada usia tiga
tahun, Kumiko dibawa dari Tokyo ke pedalaman Niigata untuk dibesarkan neneknya
sementara waktu. Nantinya orang tua Kumiko bilang bahwa itu dilakukan sebab dia
anak yang sakit-sakitan. Mereka pikir udara pedesaan yang bersih akan baik
untuknya. Tapi Kumiko tidak pernah sungguh-sungguh memercayai itu. Seingatnya, dia
bukanlah anak yang bertubuh lemah. Dia tidak pernah mengidap penyakit berat,
dan tidak seorang pun di rumah Niigata yang betul-betul memerhatikan
kesehatannya. “Aku yakin itu cuma alasan yang dibuat-buat,” Kumiko pernah
mengatakan itu padaku.
Keraguannya itu diperkuat oleh perkataan
yang dia dengar dari seorang kerabat. Rupanya, ibu dan nenek Kumiko telah lama
bermusuhan, dan keputusan untuk membawa Kumiko ke Niigata merupakan semacam
genjatan senjata yang mereka sepakati. Dengan memberikan Kumiko untuk sementara
waktu, orang tua Kumiko memadamkan amarah sang nenek, dan dengan mengambil
seorang cucu, sang nenek memperoleh penegasan yang nyata atas ikatan antara
dirinya dan putranya (ayah Kumiko). Dengan kata lain, Kumiko telah dijadikan
semacam sandera.
“Selain itu,” kata Kumiko padaku,
“mereka kan sudah punya dua anak. Hilangnya anak ketiga tidak berarti apa-apa
bagi mereka. Bukan berarti mereka memang berencana untuk membuangku. Kurasa
mereka pikir anak kecil tidak akan keberatan diusir dari rumah. Mungkin mereka
tidak begitu memikirkan itu. Itulah cara penyelesaian yang paling gampang. Kamu
percaya tidak? Entah kenapa, kok mereka sama sekali tidak terpikir akibatnya
itu bagi seorang anak kecil.”
Nenek di Niigata mengasuhnya dari usia
tiga sampai enam tahun. Hidupnya di pedesaan tidaklah menyedihkan ataupun
sulit. Neneknya sangat sayang padanya, dan Kumiko lebih senang lagi bermain
dengan sepupu-sepupunya, yang secara usia lebih dekat dengan dirinya ketimbang
kakak-kakaknya sendiri. Ketika akan memasuki sekolah dasar, dia akhirnya dibawa
kembali ke Tokyo. Orang tuanya mulai khawatir memperlama perpisahan dengan
putri mereka, sehingga mereka bersikeras membawanya kembali sebelum terlambat.
Akan tetapi, sedikit banyak itu memang sudah terlambat. Berminggu-minggu
setelah keputusan untuk membawa Kumiko kembali, sang nenek menjadi semakin
gelisah. Ia tidak mau makan dan sulit tidur. Sebentar ia memeluk dan mendekap erat
Kumiko kecil, kemudian ia memukul lengannya keras-keras dengan penggaris sampai
berbilur. Sebentar ia bilang ia tidak ingin Kumiko pergi dan lebih baik ia mati
daripada kehilangan cucunya itu, kemudian ia menyuruhnya pergi dan tidak ingin
bertemu dengannya lagi. Ia mengatai ibu Kumiko dalam bahasa yang
sekotor-kotornya. Ia bahkan mencoba menikam pergelangan tangannya dengan
gunting. Kumiko tidak mampu memahami yang sedang terjadi di sekitarnya.
Situasinya terlalu sulit untuk dia pahami.
Maka dia pun menutup dirinya dari dunia
luar. Dia tutup matanya. Dia tutup telinganya. Dia matikan memorinya. Dia
hentikan segala bentuk pikiran dan harapan. Berbulan-bulan kemudian yang ada
hanya kekosongan. Dia tidak ingat apa pun yang terjadi pada masa itu. Selepas
dari situ, dia mendapati dirinya berada di rumah yang baru. Itulah rumah tempat
semestinya dia berada sejak semula. Tempat kedua orang tuanya, kedua kakaknya. Tapi
itu bukan rumahnya. Itu sekadar lingkungan yang baru.
Dalam lingkungan yang baru itu, Kumiko
menjadi anak yang rumit dan pendiam. Dia tidak bisa memercayai siapa pun. Dia
tidak bisa sepenuhnya mengandalkan siapa pun. Bahkan ketika dipeluk orang
tuanya, dia tidak pernah merasa betul-betul nyaman. Dia tidak akrab dengan
aroma mereka. Dia jadi gelisah, bahkan terkadang membencinya. Di keluarga itu,
hanya kepada kakak perempuannya dia mulai membuka diri, itu pun dengan bersusah
payah. Orang tuanya sudah putus asa mendekatinya. Abangnya hampir tidak sadar
akan keberadaannya. Namun kakak perempuannya itu paham akan kebingungan dan
kesepian yang Kumiko rasakan di balik suasana hatinya yang sulit dikendalikan.
Ia menemani Kumiko melalui semua itu, tidur bersamanya, mengobrol dengannya,
membaca untuknya, berjalan bersamanya ke sekolah, membantunya mengerjakan PR.
Jika Kumiko meringkuk saja di pojok kamarnya sambil menangis berjam-jam, kakak
perempuannya itu akan menemaninya dan merangkulnya. Segalanya ia lakukan
semampunya demi mengambil hati Kumiko. Keadaannya mungkin akan jauh berbeda
seandainya kakak perempuannya itu tidak meninggal akibat keracunan makanan pada
tahun setelah Kumiko kembali dari Niigata.
“Kalau saja kakakku itu masih hidup,
keadaan di rumah mungkin akan lebih baik,” ucap Kumiko. “Dia masih kecil, kelas
enam SD, tapi dialah jantung di rumah itu. Mungkin kalau dia tidak meninggal,
kami semua akan hidup lebih wajar daripada sekarang. Setidaknya aku tidak akan sebegitu putus asa. Kamu
mengerti kan maksudku? Setelah dia meninggal, aku merasa sangat bersalah.
Kenapa bukan aku yang berada di posisi kakakku? Aku tidak berguna bagi siapa
pun. Aku tidak bisa menyenangkan hati siapa pun. Kenapa bukan aku saja yang
mati? Orang tuaku dan abangku tahu persis perasaanku, tapi mereka diam saja dan
bukannya menghiburku. Sama sekali tidak. Mereka membicarakan kakak perempuanku
yang sudah mati itu kapan pun sempat. Betapa cantiknya dia. Betapa pintarnya.
Betapa semua orang menyukainya. Betapa perhatiannya dia. Betapa pandainya dia
bermain piano. Lalu mereka memaksaku
ikut les piano! Setelah dia pergi, harus ada orang yang memainkan piano besar itu. Padahal aku sama sekali tidak
berminat memainkannya. Aku tahu aku tidak akan pernah bisa bermain sebagus dia,
dan tidak perlu ada cara lainnya untuk menunjukkan betapa rendahnya aku sebagai
manusia dibandingkan dengan dirinya. Aku tidak bisa menggantikan posisi siapa
pun, apalagi dia, dan aku tidak mau mencobanya. Tapi mereka tidak mau
mendengarkanku. Mereka tidak mau
mendengar. Jadi sampai hari ini aku benci melihat piano. Aku benci melihat
siapa pun memainkan itu.”
Saat Kumiko menceritakan ini padaku, aku
merasa dia sangat marah pada keluarganya. Karena perbuatan mereka padanya dulu.
Karena mereka mengabaikannya. Saat itu kami belum menikah. Kamu baru saling
mengenal sekitar dua bulan lebih sedikit. Saat itu Minggu pagi yang tenang, dan
kami sedang di ranjang. Dia bicara panjang lebar tentang masa kecilnya, seakan
sedang menguraikan benang kusut, sambil berhenti sebentar untuk mengingat-ingat
setiap kejadian seraya mengutarakannya. Saat itu pertama kalinya dia
mengungkapkan begitu banyak tentang dirinya padaku. Aku hampir tidak tahu apa
pun tentang keluarganya atau masa kecilnya hingga pagi itu. Yang kutahu dia itu
pendiam, suka menggambar, memiliki rambut panjang yang indah, serta dua tahi
lalat di bilah kanan pundaknya, dan tidur denganku merupakan pengalaman
seksualnya yang pertama.
Dia menangis sedikit saat bercerita. Aku
bisa mengerti sebabnya dia perlu menangis. Aku merangkulnya dan membelai
rambutnya. “Kalau saja dia masih hidup, aku yakin kamu akan mencintainya,” ucap
Kumiko. “Semua orang mencintainya. Cinta pada pandangan pertama.”
“Mungkin saja begitu,” kataku. “Tapi
kebetulan kamulah yang kucintai. Itu sederhana sekali, mengerti kan. Cuma di
antara aku dan kamu. Kakak perempuanmu itu tidak ada hubungannya dengan ini.”
Sesaat Kumiko berbaring saja sembari
termenung. Pada Minggu pagi pukul setengah delapan, segalanya terdengar sayup
dan bergaung. Kudengarkan burung-burung merpati mondar-mandir di atap
apartemenku, di kejauhan ada orang sedang memanggil seekor anjing. Lama Kumiko
menatap setitik noda pada langit-langit.
“Katakan,” akhirnya dia berucap, “apa
kamu suka kucing?”
“Suka sekali,” jawabku. “Selalu ada satu
sewaktu aku masih kecil. Aku terus-terusan bermain dengannya, bahkan tidur pun
bersama-sama.”
“Kamu beruntung. Aku ingin sekali punya
kucing. Tapi mereka tidak membolehkan aku. Ibuku benci kucing. Seumur-umur
belum pernah aku berhasil memperoleh sesuatu yang benar-benar kuinginkan. Belum
pernah. Kamu percaya tidak? Kamu pasti tidak mengerti rasanya hidup seperti
itu. Saat kamu terbiasa dengan hidup tanpa pernah mendapatkan apa pun yang kamu
inginkan, kamu jadi tidak tahu lagi apa yang kamu inginkan.”
Kugenggam tangannya. “Mungkin itulah
yang kamu rasakan sampai sekarang. Tapi kamu kan bukan anak kecil lagi. Kamu
punya hak untuk memilih sendiri jalan hidupmu. Kamu bisa mengawalinya lagi.
Kalau kamu ingin kucing, kamu tinggal memutuskan jalan hidup yang memungkinkan
kamu untuk memiliki kucing. Sederhana saja. Itu hakmu … ya, kan?”
Matanya terus terpaku padaku. “Mmm,”
ucapnya. “Betul sih.”
Beberapa bulan kemudian, aku dan Kumiko
membicarakan pernikahan.
*
Jika Kumiko melalui masa kanak-kanak
yang kacau dan sulit di rumah itu, masa kecil Noboru Wataya pun anehnya
sedikit-banyak bermasalah. Orang tuanya sangat sayang pada putra mereka
satu-satunya itu, tapi mereka tidak hanya menghujaninya dengan kasih sayang.
Mereka juga menuntut hal tertentu dari dirinya. Si ayah yakin bahwa
satu-satunya cara untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya di lingkungan
masyarakat Jepang yaitu dengan meraih martabat yang setinggi mungkin dan
menjegal siapa pun yang menghalangi jalan menuju puncak. Ia memercayai ini
dengan keyakinan penuh.
Aku mendengar kata-kata tersebut dari
orangnya sendiri, tidak lama setelah aku menikah dengan putrinya. Manusia itu tidak diciptakan sama, ucapnya. Itu cuma
omong-kosong yang kedengarannya saja bagus yang diajarkan di sekolah-sekolah.
Struktur pemerintahan Jepang boleh saja negara demokratis, tapi pada saat
bersamaan masyarakatnya yang hierarkis merupakan pemakan daging yang buas dan
yang lemah diganyang oleh yang kuat. Tidak ada gunanya hidup di negara ini
kecuali kau menjadi bagian dari kaum elite. Kau hanya akan tergilas menjadi
debu di bawah gerinda. Kau harus berjuang demi menaiki setiap jenjang. Ambisi
semacam ini sangat positif. Jika masyarakat tidak memiliki ambisi ini, Jepang
akan binasa. Aku tidak mengutarakan pendapat apa-apa untuk menanggapi pandangan
ayah mertuaku itu. Ia toh tidak menginginkan pendapatku. Ia cuma menyemburkan
kepercayaannya, pendirian yang tidak akan goyah untuk selama-selamanya.
Ibu Kumiko putri seorang pejabat tinggi.
Ia tumbuh di lingkungan terbaik di Tokyo, tidak kekurangan apa-apa, dan tidak
punya pendapat ataupun kepribadian yang menandingi suaminya. Sepengamatanku, ia
tidak punya pendapat terhadap apa pun yang berada di luar jangkauan pandangnya
(dan sebetulnya, ia memang rabun ayam). Ketika ada situasi yang mengharuskannya
untuk mengutarakan pendapat mengenai suatu hal dalam jangkauan yang lebih luas,
ia meminjam kata-kata suaminya. Jika itu sudah dimilikinya, ia tidak akan
menyusahkan siapa pun. Tapi seperti yang sering terjadi pada wanita seperti
dirinya, ia mengidap keangkuhan kronis. Karena tidak meresapi nilai-nilai
menurut pribadinya sendiri, orang-orang seperti itu bisa sampai pada suatu
pendirian hanya dengan mengambil pendapat atau standar milik orang lain. Satu-satunya
prinsip yang mengatur benak mereka hanyalah pertanyaan “Bagaimana
penampilanku?” Maka Nyonya Wataya pun menjadi wanita picik dan plinplan yang
hanya peduli pada posisi suaminya di pemerintahan serta prestasi akademik
putranya. Apa pun yang luput dari jangkauan pandangnya yang sempit tidak
berarti apa-apa bagi dirinya.
Maka kedua orang tua itu pun menjejalkan
pemikiran mereka yang meragukan serta pandangan dunia mereka yang menyesatkan
ke dalam kepala Noboru Wataya muda. Mereka menghasutnya, menyediakan tutor
terbaik yang mampu mereka beli. Saat ia menjadi juara, mereka menghadiahi putra
mereka dengan membelikan apa pun yang diinginkannya. Masa kecilnya dilimpahi
kemewahan materi. Namun saat ia memasuki tahapan hidup yang paling rapuh dan
rentan, ia tidak punya waktu untuk berpacaran maupun berkeliaran dengan
anak-anak lelaki sesamanya. Ia harus mencurahkan semua energinya untuk
mempertahankan posisinya sebagai yang nomor satu. Entah apakah Noboru Wataya
senang hidup seperti itu atau tidak. Kumiko tidak mengetahuinya. Noboru Wataya
bukanlah jenis orang yang suka mengungkapkan perasaannya. Tidak pada adiknya.
Tidak pada orang tuanya. Tidak pada siapa-siapa. Toh ia tidak punya pilihan. Kurasa
memang ada pola pikir tertentu yang begitu sederhana dan timpang hingga
akibatnya mencengangkan. Setidak-tidaknya, Noboru Wataya lulus dari sekolah
lanjutan swasta elite, kuliah di jurusan ekonomi Universitas Tokyo, dan lulus
dengan angka tertinggi dari institusi yang ternama itu.
Ayahnya mengharapkan dirinya bekerja di
pemerintahan atau perusahaan besar setelah lulus dari universitas. Tapi Noboru
Wataya memilih untuk tetap berada di dunia akademis dan menjadi akademisi. Ia bukan
orang yang bodoh. Ia tahu tempat yang paling cocok baginya. Bukan dunia nyata
dengan kerja berkelompok melainkan dunia yang menghendaki penggunaan ilmu
pengetahuan secara disiplin dan sistematis serta menjunjung kecakapan
individual si intelek. Ia melanjutkan kuliah selama dua tahun di Yale lalu
kembali kuliah di Tokyo. Tidak lama setelah itu ia menuruti dorongan orang
tuanya untuk menerima perjodohan, namun pernikahan itu cuma bertahan dua tahun.
Setelah bercerai, ia kembali tinggal di rumah orang tuanya. Pertama kali aku
bertemu dengan dirinya, Noboru Wataya sudah aneh dan betul-betul pribadi yang
tidak menyenangkan.
Sekitar dua tahun setelah aku menikah
dengan Kumiko, Noboru Wataya menerbitkan sebuah buku yang besar dan tebal. Buku
itu merupakan studi atas ilmu-ilmu ekonomi yang sarat dengan istilah teknis,
dan aku tidak paham sedikit pun hal yang berusaha disampaikannya di situ. Tidak
ada satu pun halaman yang bisa kucerna. Aku sudah berusaha, tapi tidak
maju-maju sebab aku merasa tulisannya itu memang tidak dapat dibaca. Aku bahkan
tidak mengerti apakah ini karena isinya yang sangat sulit atau penulisannya itu
sendiri yang jelek. Padahal menurut orang-orang di bidangnya itu buku yang
hebat. Seorang peresensi menganggap bahwa buku itu merupakan “ilmu ekonomi
model termutakhir yang ditulis dalam perspektif termutakhir,” namun dari
resensi itu sendiri cuma itu yang bisa kutangkap. Media massa lantas mulai
mengenalkan dirinya sebagai “pahlawan bagi zaman baru”. Bermunculan buku-buku
yang khusus menafsirkan bukunya. Dua ungkapan yang ia ciptakan, “ekonomi
seksual” dan “ekonomi ekskresi”, menjadi kata kunci tahun itu. Koran dan
majalah mengangkat karangan khusus mengenai dirinya sebagai salah seorang
intelektual zaman baru. Aku tidak yakin siapa pun yang menulis artikel-artikel
itu memahami isi buku Noboru Wataya. Aku ragu sekalipun mereka pernah membuka
bukunya. Tapi itu bukan soal bagi mereka. Noboru Wataya masih muda, lajang, dan
cukup cerdas untuk menulis sebuah buku yang tidak dapat dimengerti oleh siapa
pun.
Ia jadi terkenal. Semua majalah mendatanginya
untuk membuat artikel penting. Ia muncul di televisi untuk mengomentari
persoalan ekonomi dan politik. Segera ia menjadi anggota tetap panel dalam salah
satu acara debat politik. Siapa saja yang mengenal Noboru Wataya (termasuk aku
dan Kumiko) tidak pernah membayangkan ia akan cocok dengan pekerjaan glamor
semacam itu. Semua orang menganggap dirinya sebagai tipe akademisi penggugup
yang tidak tertarik pada apa pun selain bidang yang menjadi spesialisasinya.
Padahal begitu ia mencicipi dunia media massa, orang hampir-hampir dapat melihat
ia menjilati sumpitnya. Ia piawai. Ia
tidak menghiraukan kamera terarah padanya. Ia bahkan terlihat lebih santai di
depan kamera ketimbang di dunia nyata. Kami takjub menyaksikan perubahannya
yang mendadak itu. Noboru Wataya yang kami lihat di televisi mengenakan setelan
mahal dengan dasi yang amat serasi, serta kacamata dengan bingkai dari cangkang
kura-kura yang sangat bagus. Rambutnya ditata dalam gaya terkini. Jelas-jelas
ia ditangani oleh tenaga profesional. Belum pernah aku melihat ia memancarkan
kemewahan seperti itu. Sekalipun ada jaringan yang mengurusnya, dengan begitu
mudahnya ia mengenakan gaya tersebut, seakan memang seperti itulah
penampilannya sejak dulu. Siapa orang ini? Aku bertanya-tanya saat pertama kali
melihat dirinya. Ke mana Noboru Wataya yang asli?
Di depan kamera, ia menjalankan peran
sebagai Lelaki Irit Kata. Saat pendapatnya diminta, ia akan menyatakan itu
dengan simpel, jelas, dan tepat. Ketika debat memanas dan yang lain semuanya
berseru, ia tetap tenang. Saat ada yang menantangnya, ia akan menahan diri,
membiarkan lawannya selesai bicara, lantas melumpuhkan argumen orang itu dengan
ucapan singkat. Ia telah menguasai seni melepaskan serangan mematikan dengan
dengkur dan senyuman. Ia tampak jauh lebih cerdas dan menyakinkan di layar
televisi ketimbang Noboru Wataya yang sebenarnya. Entahlah caranya
menyempurnakan diri. Ia jelas-jelas tidak tampan. Tapi ia jangkung, ramping,
dan memiliki aura terpelajar. Noboru Wataya telah menemukan tempatnya yang
semestinya dalam medium televisi. Media massa menyambutnya dengan tangan
terbuka, dan ia sama-sama antusias menerimanya.
Sementara itu, aku tidak tahan melihat dirinya,
baik di media cetak maupun di televisi. Ia jelas orang yang cakap dan berbakat.
Aku sangat mengakui itu. Ia tahu caranya menjatuhkan lawan dengan cepat dan
efektif menggunakan kata-kata yang seirit mungkin. Nalurinya seperti hewan
dalam merasakan arah angin. Tapi jika orang memerhatikan dengan saksama ucapan
ataupun tulisannya, kata-katanya itu tidaklah konsisten. Kata-katanya tidak
menampilkan pandangan dunia yang berdasarkan pendirian mendalam. Dunia miliknya
adalah suatu jagat yang ia bangun dengan mnggabungkan beberapa sistem pemikiran
satu dimensi. Ia dapat menyusun kembali penggabungan itu seketika sebagaimana
diperlukan hingga menjadi kombinasi dan permutasi yang cerdik bahkan artistik.
Tapi bagiku itu tidak lebih dari sekadar permainan. Kalaupun ada konsistensi
dalam pandangannya, itu ketidakkonsistenan yang konsisten, dan kalaupun ia
punya pandangan dunia, itu pandangan yang menyatakan bahwa ia tidak punya
pandangan dunia. Tapi kekurangan-kekurangannya inilah yang justru merupakan
modal intelektualnya. Konsistensi dan pandangan dunia yang mantap itu
berlebihan dalam peperangan sengit intelektual yang membara pada segmen-segmen
media massa dengan waktu terbatas. Ia sangat beruntung terbebas dari hal-hal
semacam itu.
Ia tidak membela kepentingan apa pun,
sehingga ia dapat mengerahkan seluruh perhatiannya hanya pada pertempuran. Yang
diperlukannya cuma menyerang dan menjatuhkan musuhnya. Noboru Wataya itu
bunglon intelektual yang mengubah warna kulitnya menurut lawannya, mengemukakan
logikanya seefektif mungkin tanpa aba-aba, dan mengerahkan segenap retorikanya
sekehendak hati. Entahlah caranya memperoleh teknik-teknik tersebut, tapi yang
jelas ia pandai memikat perasaan pemirsa secara langsung. Ia tahu caranya
menggunakan semacam logika yang menyentuh kebanyakan orang. Sekalipun bukan
berarti itu harus logis. Yang penting kelihatannya saja begitu, asalkan dapat
membangkitkan animo massa.
Keahliannya yang lain adalah menggunakan
istilah teknis. Tentu saja tidak ada yang tahu maksudnya, tapi ia mampu
menampilkannya sedemikian sehinga orang mengira itu salahnya sendiri jika tidak
mengerti. Ia selalu mengutip statistika. Itu terpahat di otaknya, dan
mengandung daya persuasif yang dahsyat. Tapi jika setelah itu kita
memikirkannya sejenak, kita sadar bahwa tak ada yang mempertanyakan sumbernya
ataupun keabsahannya.
Taktiknya yang cerdik ini membuatku
marah. Tapi aku tidak pernah bisa menjelaskan kepada siapa pun apa tepatnya
yang membuatku kesal begitu. Aku tidak pernah bisa membangun alasan untuk
menyanggahnya. Rasanya seperti bergelut dengan hantu. Tinjuku cuma
berdesing menembus udara. Tidak ada
sasaran hantam yang kokoh. Aku takjub menyaksikan para intelektual yang mumpuni
sekalipun menanggapi dirinya. Anehnya itu membuatku jengkel.
Maka Noboru Wataya pun menjadi salah
satu sosok paling cendekia saat itu. Tampaknya tidak ada lagi yang memedulikan
soal konsistensi. Yang mereka tunggu-tunggu di televisi cuma pertarungan antar
gladiator intelektual. Semakin merah darah yang tertumpah, semakin baik. Bukan
soal jika seseorang mengatakan suatu hal pada hari Senin lalu mengucapkan yang
sebaliknya pada hari Kamis.
*
Aku pertama kali bertemu Noboru Wataya
saat aku dan Kumiko memutuskan untuk menikah. Aku ingin bicara padanya sebelum
aku bertemu ayahnya. Kukira, sebagai lelaki yang usianya hampir sebaya
denganku, ia bisa dibujuk untuk memuluskan jalanku pada ayahnya.
“Menurutku sebaiknya kamu tidak
mengharapkan bantuannya,” kata Kumiko padaku, tampak tidak nyaman. “Aku tidak
bisa menjelaskan itu persisnya, hanya dia bukan tipe orang yang seperti itu.”
“Yah, cepat atau lambat aku kan bakal
berjumpa dengannya,” ujarku.
“Sepertinya begitu.”
“Coba saja dulu,” kataku. “Siapa tahu
saja.”
“Sepertinya begitu,” ujar Kumiko.
“Mungkin saja.”
Di telepon, Noboru Wataya terdengar
kurang bersemangat akan kemungkinan bertemu denganku. Kalau aku memaksa,
ucapnya, ia akan meluangkan waktu setengah jam. Kami memutuskan untuk bertemu
di sebuah kedai kopi di dekat Stasiun Ochanomizu. Pada waktu itu ia cuma
seorang dosen, jauh sebelum ia menulis buku dan berubah penampilan. Kantong
blazernya menyembul karena terlalu sering dimasuki kepalan tangan. Rambutnya
paling tidak sudah dua minggu tidak dipangkas. Kaos polonya yang berwarna
kuning kecokelatan tidak serasi dengan jas wolnya yang berwarna biru dan
kelabu. Tatapannya khas asisten profesor muda yang menganggap uang itu suatu
benda asing. Matanya menyorotkan kantuk ala orang yang baru saja keluar dari
perpustakaan setelah seharian melakukan riset di antara rak-rak buku. Tapi jika
dilihat lebih dekat, tampak adanya tatapan dingin yang tajam menusuk.
Setelah memperkenalkan diri, kukatakan
bahwa aku berencana untuk menikahi Kumiko dalam waktu dekat. Aku mencoba
menerangkan itu dengan sejujur-jujurnya. Aku sedang bekerja di sebuah biro
hukum, kataku, tapi aku tahu itu bukan pekerjaan yang pas untukku. Aku masih
mencari jati diri. Bagi orang seperti diriku, memberanikan diri untuk menikah
barangkali suatu tindakan nekat, tapi aku mencintai adiknya, kataku, dan aku
yakin aku bisa membahagiakan dirinya. Kami berdua dapat saling menyokong dan
menghibur.
Ucapanku tampaknya tidak sampai pada
Noboru Wataya. Ia duduk sambil melipat lengan dan diam mendengarkan. Setelah
aku selesai bicara pun, ia tetap bergeming. Kelihatannya ia sedang memikirkan
hal lain.
Sejak awal aku sudah merasa canggung
dengan kehadirannya dan menyangka ini memang karena situasinya. Siapa pun akan
merasa canggung memberi tahu orang yang sama sekali asing, “Aku mau menikah
dengan adikmu.” Tapi sementara aku duduk di hadapannya, suatu perasaan tidak enak
mulai menjalar di dalam diriku. Rasanya seperti segala macam kotoran asing
berbau busuk menumpuk di ulu hatiku. Bukan berarti ada suatu hal pada ucapan
atau perbuatannya yang membuatku jengkel. Wajahnya itu lo. Wajah Noboru Wataya
itu sendiri. Menurut intuisiku, wajahnya itu seluruhnya diliputi oleh suatu
lapisan. Sesuatu yang keliru. Itu bukan wajahnya yang sebenarnya. Aku tidak
bisa mengenyahkan perasaan itu.
Aku ingin lekas minggat dari situ.
Sebenarnya aku sudah berpikir-pikir untuk bangkit dan pergi, tapi aku mesti
menyelesaikan ini dulu. Aku pun tinggal, sambil menyesap kopi yang
hangat-hangat kuku dan menanti ia mengatakan sesuatu.
Saat ia bicara, ia seakan sengaja
merendahkan volume suaranya untuk menghemat energi. “Sejujurnya,” ucapnya, “aku
tidak paham ataupun peduli pada perkataanmu tadi. Yang kupedulikan itu hal yang
sama sekali berbeda, hal yang kuduga tidak kamu pahami ataupun pedulikan.
Kesimpulanku yang sesingkat-singkatnya, kalau kamu ingin menikah dengan Kumiko
dan dia ingin menikah denganmu, aku tidak punya hak ataupun alasan untuk
memihakmu. Karena itu, aku tidak akan memihakmu. Aku bahkan tidak akan
memikirkannya. Meski begitu, jangan berharap apa-apa lagi dari diriku. Yang
lebih penting lagi, jangan berharap aku mau buang-buang waktu lagi untuk urusan
ini.”
Ia menatap jam tangannya dan bangkit.
Pernyataannya ringkas dan jelas. Tidak kurang dan tidak lebih. Aku mengerti
sekali maksud perkataannya maupun pikirannya terhadap diriku.
Maka hari itu kami pun berpisah.
Setelah aku dan Kumiko menikah, ada
beberapa momen ketika aku dan Noboru Wataya, selaku saudara ipar, perlu saling
bicara—atau terlibat dalam percakapan serius. Seperti yang sudah ia siratkan,
kami tidak punya kesamaan, dan betapapun banyaknya kemungkinan kami berbicara
di sekitar satu sama lain, itu tidak pernah bisa berkembang menjadi apa pun
yang dapat disebut sebagai suatu percakapan. Seakan-akan kami sedang berbicara
pada satu sama lain dalam bahasa yang berbeda. Sekiranya Dalai Lama tengah
berada di ambang maut dan musisi jaz Eric Dolphy mencoba menjelaskan kepadanya
pentingnya memilih oli mesin menurut perubahan suara pada klarinet bas, dialog
mereka barangkali sedikit lebih berarti dan efektif ketimbang percakapanku
dengan Noboru Wataya.
Aku jarang mengalami tekanan emosi yang
berkepanjangan dalam berhubungan dengan orang lain. Seseorang bisa saja
membuatku marah atau jengkel, tapi tidak lama-lama. Aku bisa membedakan antara
diriku dan diri orang lain sebagai makhluk dari dua dunia yang berlainan. Itu
semacam bakat (bukannya aku sombong, itu bukan hal yang mudah, maka kalau kita
bisa seperti itu, itu merupakan semacam bakat—kemampuan istimewa). Saat ada
orang yang mengusikku, hal pertama yang kuperbuat yaitu mengalihkan sasaran
perasaan tidak enakku itu pada ranah lain, yang tidak ada hubungannya dengan
diriku. Lalu kukatakan pada diriku: Baiklah, perasaanku sedang buruk, tapi aku
sudah memindahkan sumber perasaan burukku itu ke tempat lain, yang jauh dari
sini, dan di situ aku bisa memikirkan serta menguraikan itu saat perasaanku
sudah membaik. Dengan kata lain, kubekukan dulu emosiku. Nantinya, setelah
kucairkan itu untuk kurenungkan kembali, adakalanya emosiku memang masih
tertekan, tapi itu jarang. Seiring dengan berjalannya waktu, racun itu biasanya
akan keluar dan tidak lagi berbahaya. Aku akan melupakannya, cepat atau lambat.
Selama hidupku hingga sejauh ini, aku
mampu menjaga duniaku relatif stabil dengan menghindari persoalan-persoalan
remeh melalui cara pengelolaan emosi sebagaimana tadi. Kesuksesanku selama ini
dalam mempertahankan cara yang efektif itu merupakan kebanggaan tersendiri
bagiku.
Meski begitu, saat berhubungan dengan
Noboru Wataya, cara itu tidak berhasil. Aku tidak mampu menyingkirkan Noboru
Wataya ke ranah lain yang tidak ada sangkut-pautnya denganku. Kenyataan itu
saja sudah membuatku jengkel. Ayah Kumiko memang orang yang arogan dan tidak
menyenangkan, tapi pada akhirnya ia sekadar pribadi berjiwa kerdil yang
menggantungkan hidupnya pada sekumpulan keyakinan picik yang usang. Aku bisa melupakan
orang yang seperti itu. Tapi tidak dengan Noboru Wataya. Ia tahu orang semacam
apa dirinya. Ia juga tahu betul apa yang menjentikku. Kalau ia mau, ia bisa
saja menghancurkanku sampai habis. Ia tidak berbuat itu hanya karena ia tidak
menaruh peduli padaku. Aku tidak sepadan dengan waktu dan energi yang dihabiskan
untuk membuatku hancur. Itulah yang kutangkap dari dirinya. Ia itu manusia
keji, seorang egois berjiwa kopong. Tapi toh ia individu yang jauh lebih cakap
daripadaku.
Setelah pertemuan pertama kami, ada rasa
busuk di mulutku yang tidak hilang-hilang. Rasanya seakan ada orang yang telah
mencekokiku dengan segumpal kutu busuk. Meludahkannya pun percuma. Mulutku
masih merasakannya. Berhari-hari cuma Noboru Wataya yang ada dalam pikiranku.
Aku mencoba pergi ke bioskop dan konser. Aku bahkan pergi ke pertandingan
bisbol dengan orang-orang kantor. Aku minum-minum, dan membaca buku yang sejak
dulu ingin kubaca apabila sempat. Tapi Noboru Wataya tetap ada, dengan lengan
terlipat, menatapku lewat matanya yang sangat keji, mengancam akan mengisapku
bagai rawa tak berdasar. Aku jadi gelisah dan permukaan yang kupijak serasa
goyah.
Kali berikutnya aku bertemu Kumiko, ia
menanyakan kesanku terhadap abangnya. Aku tidak bisa mengatakan yang
sejujurnya. Aku ingin menanyakan kedok yang dikenakan abangnya dan tentang
“sesuatu” yang keliru di balik itu. Aku ingin menceritakan segala yang
kupikirkan mengenai abangnya. Tapi aku diam saja. Aku merasa persoalan ini
tidak akan pernah bisa kusampaikan padanya. Kalau aku tidak bisa mengungkapkan
itu dengan jelas, sebaiknya tidak usah kuungkapkan saja sekalian—tidak
sekarang.
“Dia … lain daripada yang lain,
pastinya,” ucapku. Aku ingin menambahkan, tapi aku tidak tahu mesti berkata
apa. Dia juga tidak mendesakku untuk meneruskannya. Ia cuma mengangguk tanpa
suara.
Semenjak itu, perasaanku pada Noboru
Wataya tidak pernah berubah. Ia terus saja membuatku gelisah. Seperti terkena
demam ringan yang tidak sembuh-sembuh. Di rumahku tidak pernah ada televisi,
tapi secara kebetulan yang janggal, kapan pun aku menatap benda itu di mana
pun, ia ada di situ, sedang menyatakan sesuatu. Ketika aku membuka-buka majalah
di ruang tunggu dokter, pasti ada gambar Noboru Wataya beserta artikel yang
ditulisnya. Rasanya seakan Noboru Wataya sedang menungguku di segala penjuru
dunia sohor.
Oke, kuakui sajalah. Aku benci orang
itu.
Penggalan dari novel The Wind-Up Bird Chronicle karya Haruki Murakami (1994), edisi bahasa Inggris oleh Jay Rubin (1997)
8 komentar:
Lanjutin lagi dong kak terjamahin The Wind Up Bird Chronicle nya. Hehehe.. :D
Terima kasih, ya, Alan Wafer, mudah-mudahan ... :)
Weehh, udah dibuka lagi deng kolom komennya ^^, jujur, Mbak, terjemahan Wind-Up Bird ini saya baca berulang-ulang, seru saja, meski blum ada lanjutannya.
Saya suka cara penulis menggambarkan perasaan lewat analogi-analoginya yang benar-benar luas, imajinatif, dan kreatif. Seperti sedang menonton film, saya tinggal membayangkan "A", lalu penulisnyalah yang melanjutkan "Bra-Kadabra"-nya dengan narasinya yang mumpuni. Benar-benar salut sama Om Haruki. Salut juga sama penerjemahnya yang membaca ini, saya kebantu. Nggak ada kalimat atau paragraf yang ngeganjal pembacaan, Mbak. ^^
Terima kasih, Naen :-*
mau lanjutannya kak. makasih
Salam kenal, Zian Armie Wahyufi. Terima kasih ya sudah meninggalkan jejak di sini. Mudah-mudahan ke depan ada kesempatan untuk meneruskan terjemahan novel ini ^^;
Saya baca terjemahan KPG, tpi jauh lebih bagus terjemahan ini.
Terima kasih ^^ Insya Allah saya akan terus belajar untuk memperbaiki terjemahan saya.
Posting Komentar