“Apa yang
kita ketahui tentang Mbok P?” tanyaku
keesokan sorenya, seraya menurunkan bukuku.
Di seberang
meja, Bel sedang melentikkan bulu mata menggunakan semacam alat dari logam.
“Hmm?” sahutnya.
“Maksudku,
dia sudah bersama kita sejak—berapa, dua tahun? Tiga? Tapi kita enggak benar-benar tahu motivasinya.”
“Jangan
mengocehkan salah satu khayalan paranoidmu,” ujarnya, sambil memasang selembar
bulu mata bagian atas di antara jepitan baja.
“Enggak
kok,” tukasku tak sabar. “Cuma rasanya aneh
saja ada orang yang boleh tinggal di rumah dalam waktu lama dan tetap
menjadi orang yang benar-benar asing, sekalipun dia orang asing yang berharga
dan gajinya besar. Apa kita—sudahkah kita memberinya cukup perhatian? Haruskah
kita, mengerti kan, mengobrol dengannya, dan sebagainya?”