Aku gelagapan saat bangun dari koma,
seperti komuter yang terjaga dalam perjalanan pulang naik kereta. Di sampingku
Bel sedang menekuri buku. Aku berdeham sopan.
“Charles!” Ia meletakkan
bukunya sambil menjerit. “Oh ya ampun!” Ia melonjak dan mencondongkan badan
padaku, seraya mengamati mataku. “Kamu mengenaliku? Ada berapa jari yang
kuangkat? Bisakah kamu mengerti yang kukatakan? Mengediplah kalau kamu mengerti.”
“Tentu saja aku mengerti,”
sahutku. “Berhentilah menjerit-jerit. Aku baik-baik saja kok.”
Sikapnya terasa berlebihan,
sementara setiap detiknya satu per satu anggota tubuhku terasa bangkit dan
merengek kesakitan. Sepelan mungkin aku menoleh dan memandang sekelilingku.
Kami berada di ruangan sempit dengan dinding berwarna hijau kapri serta gorden
jelek bercorak papan permainan dam menutupi jendela. Berbagai peralatan disusun
di sekelilingku, memetakan keadaanku lewat layar serta cakra angka yang sulit
dimengerti. Infus di lenganku menyalurkan tetesan dari botol di samping tempat
tidur. Tepat di seberangku ada poster bergambar kilauan sinar matahari menembus
pepohonan dengan tulisan di bawahnya Hari
ini awal sisa hidup Anda. Entah mengapa aku jadi merinding.