“Orang-orang di sana tidak membaca!” cetus petugas tata
usaha di Texas A&M University. Ia membicarakan orang-orang di Qatar. Tentu
saja ia keliru; angka melek huruf di Qatar lebih dari 96 persen, di atas
Australia, namun di bawah Jalur Gaza.
Si petugas tata usaha barangkali belum mengetahui ini. Jadi apa alasan di
balik opininya? Dari mana timbulnya pikiran bahwa “orang-orang di sana tidak
membaca”? Yang sebenarnya dimaksudkan oleh si petugas tata usaha yaitu membaca
bacaan fiksi atau membaca untuk kesenangan. Di sinilah paling sering terdapat
ketidaksesuaian antara apa yang dianggap sebagai melek huruf dan apa yang dibaca.
Menurut si petugas tata usaha, ilmu pengetahuan diperoleh melalui bacaan fiksi
dan dengan pandangan tersebut ia menyimpulkan bahwa penduduk Qatar tidak
membaca.
Menurut pandangan Islam tradional, konsep ilmu pengetahuan secara umum
dilihat dari segi yang suci versus yang profan. Bobot ilmu pengetahuan yang
diperoleh diukur dari kedua nilai ini. Bagi sebagian umat Islam, ilmu
pengetahuan yang suci--Alquran, hadis, dan wejangan agama--memungkinkan manusia
untuk memelihara hubungan dengan Sang Pencipta. Sebaliknya, ilmu pengetahuan
dalam bentuk fiksi, khususnya bacaan spekulatif, seperti fiksi sains, fantasi,
serta komik, menjauhkan manusia dari Sang Pencipta dan mengarahkan untuk
mengejar dunia. Tentu saja, tidak ada dasar agama bagi pemisahan seperti itu, kecuali
jika fiksi dicampuradukkan dengan perbuatan dusta. Fiksi, terutama fiksi sains,
fantasi, dan komik, merupakan cara yang konkret untuk mendorong aktivitas
membaca, menulis, serta berimajinasi yang dapat
memacu kreativitas dan inovasi dalam segala bidang pembelajaran bagi umat
Islam. Melalui fiksi, pembaca dan penulis juga dapat menjembatani dan
memperkuat kedua cabang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagai pendidik yang
meneliti dan mengajar berdasarkan Islam Amerika, saya sering menggunakan apa
yang saya sebut sebagai fiksi Islam dalam kerja pedagogis.