Yang saya coba sampaikan dalam bab ini adalah bahwa kesilapan kita dalam memaknai dirilah yang merupakan akar dari banyaknya krisis pribadi, sosial, dan ekologi yang kita alami kini, dan bahwa uang membantu memelihara dan memperkuat delusi ini.
Demi memiliki harapan dalam menguraikan permasalahan yang kita hadapi secara memadai, kita perlu menghadapi delusi akan keterpisahan yang telah menerobos dan merembesi pemaknaan diri kita secara fundamental. Demi menjaga tanah, masyarakat, dan pada akhirnya, diri egosentris kita dengan lebih baik, kita perlu bersambung kembali dengan pemahaman akan alam semesta yang saling bergantung. Demi melakukan ini kita perlu mempertanyakan dan meragukan kisahan-kisahan yang mendukung delusi kita. Musuh terbesar yang kita hadapi dalam berbuat demikian ialah alat pemisah itu, uang.
Uang merayapi dan menjiwai semua informasi budaya kita: hubungan kita, makanan kita, pendidikan kita, kesehatan kita, permainan kita, media kita. Lewat semua interaksi ini kita dihargai atas kemandirian dan konformitas kita. Kita didorong untuk hanya melihat harga, serta memutuskan hubungan dengan segala makna lain. Pikirkanlah pertempuran yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita—pertempuran antara integritas dan kemudahan, hasrat dan konformitas, rasa iba dan hiburan. Berapa sering uang menjadi faktor penentu dalam pertempuran-pertempuran ini? Ini semata bagian dari perang tanpa henti melawan pengalaman akan kemanunggalan, melawan pengalaman akan sifat liar kita. Kita diajarkan untuk menjinakkan diri supaya menjadi lebih baik dalam melayani institusi-institusi yang kita bangun—institusi-institusi yang sendirinya melayani uang.