Ekonomi dunia dibangun menurut prinsip bahwa satu tempat dapat
dieksploitasi, bahkan dihancurkan, demi tempat lainnya.
– Wendell Berry
Ekonomi 100% lokal merupakan model di mana seluruh kebutuhan kita
dicukupkan dengan menggunakan material setempat, yang dihasilkan dalam
jangkauan berjalan kaki dari tempat tinggal kita (atau dengan kuda atau pedati,
misalnya saja, jika pedati tersebut dibuat dengan menggunakan material
setempat). Ini termasuk segala hal mulai dari sol sepatu sampai alat pemotong
yang mungkin kita gunakan untuk membuat busur penggerek penyala api.
Pendukung hidup tanpa uang paling berapi-api sekalipun, yang
menghendaki ekonomi berbasiskan sumber daya, menganggap pandangan ini berada di
ujung terujung spektrum hidup tanpa uang. Padahal, demikianlah cara hidup
manusia selama sebagian besar sejarah kita, dan nyatanya ada masyarakat yang
masih hidup dengan cara begini. Kehati-hatian ini bisa dimaklumi—sekarang ini,
benar-benar secara harfiah, kita berada ribuan mil jauhnya dari taraf
lokalisasi ini. Hidup dengan cara demikian secara serempak mensyaratkan
perombakan besar-besaran yang menyeluruhi masyarakat berikut sistem pemilikan
tanah. Sebagian orang akan mengatakan perombakan keduanya memerlukan revolusi,
atau keruntuhan hampir seluruh model ekonomi yang sekarang ini kita ikuti (yang
mana, mengingat ketergantungannya akan pertumbuhan tidak terbatas pada planet
yang terbatas, sangatlah mungkin). Jika pun ada kemauan publik dan politik,
perombakan sosial demikian tetap saja merupakan pekerjaan berat bagi populasi
sebesar Kerajaan Britania, walau bukannya tidak mungkin. Tanpa kemauan publik
dan politik, Alam berikut kerusakan sistem yang inherenlah yang akan berkomplot
menciptakan keadaan baru sehingga model lokalisasi dapat berkembang baik. Mana
pun jalan yang terbuka, secara pribadi cara hidupnyalah yang saya tuju. Pada
bab ini nantinya saya akan mulai mengurai sebabnya ekonomi nonmoneter berbasis
globalisasi itu mustahil.
Model lokalisasi yang menyeluruh tampak ekstrem semata-mata
karena kita membandingkannya sehubungan dengan ekonomi berbasis globalisasi
ekstrem yang kita alami kini, dan karena kita melihatnya lewat kacamata
masyarakat yang secara emosi dan fisik mencandu pada aneka gawai dan peralatan
yang sama sekali tidak dapat dilokalisasi.
Lewat kacamata masyarakat yang berhubungan secara akrab
dengan sesamanya berikut tanah mereka, seperti suku Awá di Amazon Brasil,
ekstrem ialah bagaimana dewasa ini kita mengindustrialisasi kehidupan
bangsa-bangsa. Ekstrem ialah pandangan dunia yang menganggap kemegahan hidup di
Bumi sebagai daftar unsur-unsur sumber daya yang dengan pertambangan,
penebangan habis, serta penangkapan besar-besaran dengan pukat harimau dapat
diubah secara efisien menjadi uang kontan. Ekstrem ialah tidak mengenal
tetangga kita, jangankan meminta bantuan mereka tanpa banyak sungkan. Eksrem
ialah banyaknya warga masyarakat yang memiliki kamar kosong di rumah sementara
orang lain tidur di jalan. Ekstrem ialah menghabiskan hidup kita dengan
menjalani pekerjaan yang dibenci, hanya supaya kita bisa mengembalikan uang
pada bank yang sedari mula diciptakannya dari ketiadaan. Ekstrem ialah menerima
apa yang diberikan pada kita secara cuma-cuma lantas meminta bayaran pada
bagian lain Alam untuk itu, hanya berbagi berkah jika ada balasannya. Ekstrem
ialah berjalan menuju ngarai terjal diiringi kepuasan diam-diam karena selalu
mendaur ulang kemasan bekas. Ekstrem ialah membiarkan saja semua itu terbentang
di hadapan kita, seakan-akan bagaimanapun juga kita tidak cukup berdaya untuk
menghentikannya.
Para penulis seperti Michael Shuman[1] dan Peter
North[2] cenderung
pada definisi lokal yang tidak begitu “lokal”. North menyatakan bahwa
“lokalisasi berarti memproduksi sebanyak mungkin di lokasi yang sedekat mungkin
… jika Anda tidak dapat memproduksi barang secara lokal, produksilah sedekat
mungkin dengan tempat barang itu akan digunakan.” Walaupun saya menyambut
seruan itu dan ingin mendorong masyarakat agar melokalisasi sebanyak mungkin
(pada bab selanjutnya saya akan membahas berbagai tingkatan lokalisasi berikut
peniadaan uang, dan inilah salah satu opsinya), saya merasa perspektif demikian
terlalu longgar serta terluang bagi proses globalisasi yang sama persis dengan
yang telah kita alami kini. Barangkali Cina pun sama lokalnya selama saya bisa
memiliki sepasang sepatu kampas (mengingat produksi sepatu tersebut memerlukan
material dari setiap benua di dunia). Apa itu masih bisa disebut lokalisasi?
Jika tidak, di manakah batasannya? Produk manakah yang kita teruskan
produksinya lewat pabrik dan mana yang kita hentikan? Dalam ekonomi berbahan
bakar fosil, di mana segala batasan alam yang terdahulu telah dibakar secara
efektif menjadi gas-gas rumah kaca, siapa yang memutuskan apa yang “tepat”?
Pasarkah? Negarakah? Ataukah kita yang memutuskan untuk memulihkan lagi
kemampuan mengambil keputusan sendiri, dengan sadar menetapkan pilihan mengenai
dalam radius berapa segala kebutuhan kita dapat dipenuhi secara sungguh-sungguh
berkelanjutan, dan dengan sukarela menolak segala sesuatu yang tidak tersedia
dalam cakupan tersebut? Tanpa kesahajaan yang sekehendak hati seperti itu, kita
akan memperoleh apa yang sudah kita miliki, dengan menambahkan sedikit
lokalisasi yang, nyatanya, tidak lebih daripada aksi simbolis.
Karena itulah saya hendak memperhalus kutipan dari North dan
menyatakan bahwa jika Anda tidak dapat
memproduksi barang secara lokal, segeralah berhenti menggunakan barang tersebut
dan mulailah membina ekonomi di mana kebutuhan Anda disederhanakan dan sesuai
dengan material yang tersedia di tempat Anda.
Anjuran relokalisasi menyeluruh boleh jadi tampak merendahkan
maksud baik upaya lokalisasi parsial. Memang lokalisasi itu ada tahapannya, dan
memproduksi barang-barang yang dengan mudah kita produksi secara lokal
(sementara terus menghasilkan produk semacam turbin angin untuk skala nasional,
sebagai bagian dari strategi peralihan) dapat memperbaiki kesehatan kita baik
secara pribadi maupun bersama. Namun anjuran relokasisasi parsial untuk jangka
panjang tidak lebih daripada mendiami alam fantasi yang di dalamnya kebanyakan
manusia telah menempatkan diri secara nyaman, nikmat dalam kebutaan terhadap
dasar-dasar ekonomi serta kebutuhan pokok sistem globalisasi kita akan ekonomi
skala besar-besaran serta divisi tenaga kerja yang sangat terspesialisasi
(berikut segala konsekuensi sosial dan ekologis dari keduanya) yang diperlukan
untuk memproduksi satu laptop saja. Untuk memproduksi satu laptop Anda perlu
menjual jutaan laptop dengan model yang sama hanya untuk menjustifikasikan
investasi dalam penelitian dan pengembangan serta infrastruktur awalnya. Anda
memerlukan infrastruktur global yang sebagaimana kita ketahui telah mencemari
serta merusak sistem ekologis penyokong kehidupan di Bumi. Selain itu, Anda
memerlukan tenaga ahli serta pekerja lin pabrik yang hanya melakukan
pekerjaannya itu saja demi mencari nafkah, yang berisiko membatasi, sebagaimana
yang kita pahami di bab pertama, hubungan mereka dengan Alam, yang akibatnya
memperbesar konsekuensi sosial dan ekologis. Ini memang perkara kompleks—yang
berdampak pada, salah satunya, pemaknaan diri seluruh masyarakat—namun sering
kali diperdebatkan dengan ungkapan-ungkapan yang sesederhana hitung-hitungan
emisi karbon.
Saya menyadari bahwa para penulis seperti Shuman dan North
mestilah sudah menyadari persoalan pelik mengenai jumlah kita yang terlalu
banyak sekalipun untuk mendekati lokalisasi penuh dalam jangka pendek, bahkan
jika kita semua menginginkannya. Namun jika kita tidak melokalisasi secara
penuh, niscaya ada kereta menjelang ke arah kita sementara kita menyusuri rel
bencana ekologis. Kabar baiknya ialah ada kemungkinan bagi Anda sebagai
individu untuk segera mulai mempersiapkan masa depan yang berbeda. Dengan
melakukan itu, Anda menginspirasi orang-orang yang Anda kasihi berikut teman-teman
di lingkaran Anda supaya bersiap-siap juga, sementara faktor-faktor dalam skala
yang lebih besar pada akhirnya mendesak populasi selebihnya. Yang saya
khawatirkan ialah kalau kita tidak memutuskan untuk segera beralih ke gaya
hidup yang sepenuhnya berkelanjutan, barangkali akan terlalu terlambat untuk
berhasil menyesuaikan diri dengan waktu meledaknya gelembung ekonomi khayali.
Mulailah menyesuaikan diri sekarang juga, dan gunakan bagian mana pun dalam
buku ini yang menurut Anda berguna dalam membantu menjalani hidup Anda.
Jika minat utama Anda terhadap kehidupan tanpa uang sebagian
besar berpusat pada persoalan lahir dan ekologis, serta tidak begitu tertarik
pada ekonomi kasih, Anda dapat menambahkan beberapa opsi kejutan pada menunya:
mata uang lokal dan barter.
Mata uang lokal
Ini opsi yang menarik. Saya yakin kebanyakan Anda heran mengapa ada mata
uang lokal dalam buku tentang mengurangi ketergantungan pada uang. Lagi pula,
mata uang lokal jelas-jelas uang dalam bentuk lain. Sementara saya menunjukkan
bahwa ada segala macam konsekuensi tidak diharapkan sekalipun dengan
menggunakan uang lokal, saya menambahkannya di sini sebagai opsi bagi Anda karena
tiga alasan:
i. Selagi beralih dari ekonomi moneter berbasis globalisasi ke ekonomi
kasih berbasis lokalisasi sebagaimana impian terliar saya, mata uang lokal
dapat memberi kegunaan ekologis yang sangat berfaedah jika pemanfaatannya
seiring dengan ekonomi material lokal. (Saat ini banyak material dan hasil bumi
yang diperdagangkan oleh partisipan skema mata uang lokal diimpor hingga taraf
tertentu, karena nyatanya mereka yang memberlakukan skema tersebut juga terus
menggunakan mata uang nasional yang biasa untuk sebagian besar kebutuhan
mereka. Unsur material dalam suatu ekonomi hanya akan dilokalisasi (secara
kasar) pada taraf sebaliknya dengan penggunaan mata uang nasional yang cair.)
ii. Mata uang lokal niscaya membantu membentuk hubungan di antara
masyarakat lokal dalam jangka pendek yang saya yakin pada akhirnya dapat
beralih menjadi hubungan ekonomi kasih dalam jangka menengah.
iii. Saat ini mata uang lokal merupakan opsi yang lebih realistis bagi
banyak orang daripada ekonomi kasih total.
Syukurlah, ada banyak inisiatif mata uang lokal bermunculan
di seluruh Kerajaan Britania dan dunia, banyak di antaranya merupakan bagian
dari gerakan Transition[3]— Totnes,
Stroud, Brixton, Lewes, dan Bristol kini memiliki paun sendiri-sendiri, dan
masih banyak lagi yang lainnya. Skema lain, seperti Timebanks[4] dan Local
Exchange Trading Schemes (LETS)[5] yang akan
saya telusuri di bab lima, telah ada sejak 1980-an, dan menambah opsi yang
tersedia dalam menu bagi mereka yang menghendaki perubahan ekonomi. Buku North,
Local Money, merupakan sumber
keterangan yang bagus mengenai semua ini.
Barter
Ini pokok yang serupa dengan sebelumnya, namun lebih terbuka untuk
diperdebatkan, karena kebanyakan orang menganggap barter bukanlah bentuk uang.
Secara teknis mereka benar, karena barter didefinisikan sebagai “pertukaran
barang atau jasa tanpa serah terima uang.” Kendati memiliki manfaat sosial yang
lebih besar daripada mata uang lokal (meskipun kurang cair), dalam berbagai hal
barter tidak lebih daripada uang dalam bentuk yang janggal, dan berdasar pada
kesadaran akan utang piutang yang tidak ada contohnya di Alam.
Saya menyertakan barter dalam sajian tentang hidup tanpa uang
karena alasan-alasan yang serupa dengan sebabnya saya menyertakan mata uang
lokal, dengan pengertian bahwa ini dapat menjadi pengalaman yang menggiring
pada perubahan, berpotensi menggerakkan masyarakat dari mental bertukar menjadi
mental memberi tanpa syarat seiring dengan berkembangnya hubungan. Sebagai
sarana sosial, barter paling berfaedah ketika dilakukan secara informal dan
tanpa perhitungan yang eksak (uang merupakan bentuk terbaik dari perhitungan
eksak), misalnya saja Anda menawari saya kelimpahan zukini untuk ditukar dengan
seks. Perlu saya tambahkan, sayangnya tidak ada yang pernah menawari saya
demikian.
[1] Shuman, Michael (2000). Going
Local: Creating Self-Reliant Communities in a Global Age. Routledge.
[2] North, Peter (2010). Local
Money. Green Books.
[3] Keterangan lebih lanjut mengenai jaringan Transition,
kunjungi www.transitionnetwork.org
[4] Keterangan lebih lanjut mengenai Timebanks, kunjungi
www.timebanking.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar