Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (273) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Waktu bukanlah uang (Mark Boyle, 2012)

Manusia … mengorbankan kesehatannya demi uang. Kemudian ia mengorbankan uang demi memulihkan kesehatannya. Kemudian ia gelisah akan masa de...

20190913

The Moneyless Manifesto: Ekonomi kasih (Mark Boyle, 2012)

Bahkan setelah sekian lama, matahari tidak pernah berkata pada Bumi, “Kau berutang padaku.” Lihatlah yang terjadi dengan kasih serupa itu. Kasihnya menyinari Segenap Langit.
– Hafiz

Saya kadang menyebutnya ekonomi alam, karena ini merupakan dasar dari petak besar tempat Alam selebihnya bekerja. Ini merupakan pendapat yang hangat diperdebatkan, karena banyak yang berargumen bahwa Alam berdasarkan pertukaran. Toh, lebah madu mengumpulkan nektar sambil menyebarkan serbuk sari di sekitar bunga—itu pertukaran, bukan? Dan di dalam tanah di bawah kaki Anda, dalam satu inci terdapat lebih banyak bentuk kehidupan daripada manusia di seluruh planet, tarian rumit tanpa henti yang berlangsung antara tanaman dan mikrob, masing-masing memberi makan satu sama lain, memelihara satu sama lain dan saling menyokong, menjamin bahwa keduanya selalu memperoleh yang mereka butuhkan. Sekali lagi, di permukaan, ini memang terlihat seperti semacam pertukaran.
Namun perkenankanlah saya mengajukan pendapat. Cara serupa itu dalam memandang alir kehidupan dan transformasi materi tidak lebih daripada proyeksi pemaknaan diri umat manusia yang picik atas Gaia selebihnya.[1] Karena kita memperdaya diri dengan berpikir bahwa kita tidak lebih daripada ego yang terbungkus-oleh-kulit, di mana “aku” dan “kau” ditegaskan dengan jelas, maka kita menganggap bahwa kehidupan selebihnya memiliki persepsi serupa terhadap realitas. Sebentar saja, bayangkan tidak ada “aku” dan “kau”, dan bahwa batasan yang kita kenali sebagai kulit untuk mendefinisikan Aku dan Yang Lain sejak awal kanak-kanak tidak kalah sewenang-wewenang daripada batasan antarnegera yang dikenal sebagai Perancis dan Jerman. Bagaimana bayangan tersebut mengubah cara Anda memersepsikan dunia, dan berinteraksi dengan segala yang menyusunnya?
Kenyataan bahwa kita memersepsikan realitas, dengan peran kita di tengah-tengahnya, dalam sikap tertentu bukanlah dasar untuk mengasumsikan bahwa kehidupan selebihnya memiliki persepsi yang sama. Karena jika Anda memandang seluruh kehidupan sebagai satu kesatuan dan mempertimbangkan bahwa, secara fisik (bukan spiritual), Anda merupakan kumpulan elemen (seperti karbon, nitrogen, dan oksigen) yang tergabung dari, berinteraksi dengan, dan berakhir kembali ke Bumi beserta biosfer selebihnya, maka bagaimana bisa Anda meminta bayaran pada bagian lain kesatuan tersebut atas suatu barang atau jasa yang Anda tawarkan? Seperti yang pernah disampaikan oleh Daniel Suelo, itu mirip dengan jari Anda meminta bayaran pada kepala Anda karena menggarukinya, seolah-olah seluruh kesejahteraan si jari tidak berdasar pada kesehatan dan kebahagiaan si kepala.
Charles Eisenstein mencatat bagaimana “bakteri pengikat nitrogen tidak secara langsung diuntungkan dari melakukan hal tersebut [yaitu mengikat nitrogen], kecuali bahwa nitrogen yang mereka berikan pada tanah menumbuhkan tanaman yang menumbuhkan akar yang menumbuhkan fungi, yang akhirnya menyediakan nutrisi bagi bakteri. Spesies pionir membuka jalan bagi spesies kunci, yang menyediakan ceruk-ceruk mikro bagi spesies lain, yang menjadi makanan bagi spesies lainnya lagi dalam jejaring pemberian yang, pada akhirnya, beredar kembali menguntungkan spesies pionir.” [2] Semuanya sekadar melakukan tugas mereka, dalam alir kehidupan organik, tanpa rasa berutang ataupun mengutangi yang, pada akhirnya, termanifestasi secara fisik dalam bentuk uang. Daur demikian dapat pula terjadi pada kita, dalam bentuk ekonomi kasih.
Memang siapa pun yang ingin serta dalam ekonomi kasih tidak mesti meyakini bahwa kita sepenuhnya saling bergantung, dan merupakan bagian dari organisme tunggal sebagaimana bakteri usus merupakan bagian dari Anda. Ada banyak alasan bagus untuk mendukung ekonomi tersebut sekalipun dari sudut pandang egosentris dan antroposentris. Menurut definisi saya, ekonomi kasih sekadar masyarakat yang mana di dalamnya orang saling berbagi keterampilan, waktu, pengetahuan, informasi, atau materi tanpa penggantian apa pun yang sifatnya formal, eksplisit, atau presisi. Menurut sejarah ada beraneka macam bentuk masyarakat yang berdasarkan ekonomi kasih. Namun terdapat beberapa ketetapan. Tidak ada uang yang berpindah tangan, tidak ada barter (terlepas dari yang dicamkankan para ekonom salah-informasi pada Anda), dan tidak ada kredit ataupun catatan utang yang terperinci dalam buku kecil, siap dikontankan bak selembar dua puluh paun. Dalam bentuk ekonomi kasih yang saya anjurkan, memberi dan menerima dilakukan sebagian besar atas dasar tanpa syarat, sama sekali berbalikan dengan yang secara ironis dinamakan ekonomi “pasar bebas”, yang telah berhasil mengubah setiap aspek dari planet kecil dan indah milik kita ini, yang karunianya dahulu sungguh-sungguh bebas kita semua nikmati, menjadi seperangkat taksiran finansial yang pada hakikatnya tidak berarti.
Apa yang dikasihkan nantinya dapat berbalas (dan menurut kebanyakan sejarah ekonomi berdasarkan kasih, hampir selalu demikian), dan balasan tersebut dapat mengeratkan masyarakat. Kuncinya adalah balasan tersebut bukanlah syarat bagi pemberian semula, tidak segera diberikan, dan bentuknya tidak pernah tetap. Kalau tidak demikian, seperti yang telah kita pahami tadi, Anda berkesan mengatakan “berakhir sudah hubunganku denganmu kini.” Kasih menciptakan ikatan, dan ikatan inilah yang menciptakan masyarakat sejati, alih-alih masyarakat superfisial yang berusaha kita ciptakan kembali dewasa ini sebagai reaksi putus asa atas nyatanya ketiadaan rasa kemasyarakatan yang autentik.
Idealnya, dalam ekonomi kasih tidak ada pula “kredit” emosional ataupun psikologis, walaupun mengingat kondisi lanskap mental kita dewasa ini, terus terang ini sangatlah mustahil, paling tidak pada awalnya. Apakah menganugerahi peningkatan reputasi—misalnya saja posisi seks tertentu sebagai ganti memijat pasangan Anda, atau seperti Whuffies dalam novel fiksi sains karangan Cory Doctorow[3]—pada pemberi yang tampak altruistis dapat dipersepsikan sebagai alat pembayaran sering kali menjadi pokok perdebatan dalam antropologi. Dapat dikatakan bahwa perdebatan seperti itu hanya semakin mengungkapkan cara pandang akan keterpisahan, penggantian, dan sinisme yang mendominasi kebudayaan manusia dewasa ini, berikut proyeksi mereka terhadap masyarakat lainnya terdahulu, yang—sudahi sajalah pemikiran itu!—boleh jadi sekadar menikmati pemeliharaan satu sama lain lewat pemberian tanpa pamrih. Yang lain akan berpendapat bahwa kenikmatan yang dirasakan partisipan dalam ekonomi serupa itu melalui pemberian merupakan “balasan” yang mereka peroleh, namun sekali lagi, boleh jadi ini lebih mengungkapkan keadaan kebudayaan kita sendiri daripada kebudayaan mereka. Lagi pula, apa salahnya sih merasa senang karena membantu sesama? Apalagi sistem ini memberi banyak manfaat sosial sehingga mereka yang paling bermurah hatilah yang mewarisi status sosial tertinggi—sementara sekarang ini kita menyediakan penghormatan serupa itu bagi mereka yang mengambil, menimbun, dan merusak paling banyak, kenyataan yang hanya melanggengkan kebudayaan tersebut dan mendorong yang lain berbuat serupa.
Einsenstein, dalam karya orisinalnya The Ascent of Humanity, mencurahkan banyak keterangan cerdas mengenai persoalan ini. Tulisannya menyatakan bahwa tindakan yang tampaknya altruistis dalam masyarakat ekonomi kasih terdahulu boleh jadi sebenarnya merupakan tindakan egois, namun perbedaan pokoknya ialah mereka yang melakukan tindakan ini memaknai diri secara jauh lebih holistis, dan tidak begitu egosentris maupun antroposentris. Singkatnya, mereka memandang diri mereka sebagai bagian dari organisme tunggal yang sekarang ini kita sebut Gaia, dan bahwa semesta tersebut merupakan diri mereka. Oleh karena itu tindakan egois merupakan tindakan altruistis, karena diri dalam cara pandang ini merupakan semesta dan segala sesuatu serta setiap orang yang menyusunnya. “Menjaga diri Anda,” dalam pengertian diri yang lebih luas, berarti Anda berbuat yang sebaik-baiknya bagi semesta alih-alih ego terbungkus-oleh-kulit yang ilusif sebagaimana Anda mendefinisikan diri Anda saat ini.
Teori, dan dalam banyak contoh praktiknya, di balik ekonomi kasih ialah ketika setiap orang mengupayakan semangat yang mendasari itu, segala yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masih terus diadakan dan alhasil masyarakat justru punya akses lebih besar pada semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalani hidup sehat dan memuaskan yang juga sehat bagi semesta yang menyokongnya. Ini sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa, menurut sejarah maupun keadaan sekarang ini, dalam ekonomi kasih keinginan orang akan berbagai hal menjadi berkurang dan taraf teknologinya pun tidak begitu kompleks. Selain itu, pandangan dunia mereka pun sering kali didasari pikiran akan adanya kelimpahan yang dimiliki bersama, alih-alih mentalitas kekurangan yang merupakan pokok dari ekonomi moneter.
Memang sampai saat ini ekonomi moneter telah menjadi bentuk ekonomi terbaik karena menciptakan produk-produk kompleks yang menghendaki adanya divisi tenaga kerja, ekonomi skala besar-besaran, dan material dari seluruh dunia. Satu-satunya alasan sehingga ekonomi moneter tampak lebih baik adalah karena itu meyakinkan kita bahwa kita betul-betul membutuhkan segala hal yang dihasilkannya sedari mula. Kita toh tidak pernah merasa kehilangan manfaat gawai modern sebelum mengenal produk tersebut. Sekarang pun saya tidak merasa kehilangan telepon seluler saya yang dulu, namun sudah tentu saya tidak merasa kehilangan itu sebelum produk tersebut ditemukan. Saya senang-senang saja tidak bisa dikontak sepanjang waktu siang ataupun malam. Apakah hidup kita lebih baik dengan memiliki telepon seluler? Pastinya banyak yang mengiyakan, kalau tidak mereka tidak akan membeli produk tersebut, namun mengingat taksiran objektif mengenai segala permasalahan ekologi dan sosial yang tersangkut dalam produksi, distribusi, maupun penggunaannya, menurut orang yang utuh memahami hakikat kemanunggalan seluruh kehidupan berikut dampak produk ini pada segala sesuatu di sepanjang rantai pasokannya, saya kira jawabannya adalah kumandang tidak. Masalahnya, dewasa ini konsumen tidak memiliki hubungan dengan proses manufakturing sehingga sedikit saja yang mengetahui betapa merusak dan mengekspoitasinya barang-barang konsumsi ini. Sebagaimana kita pahami di bab satu, yang menjadi pusat dari penciptaan dan pemeliharaan ketiadaan hubungan ini adalah uang.
Sepintas, ekonomi kasih boleh jadi tampaknya merupakan model ekonomi yang sangat idealis dan tidak realistis bagi sebagian kita yang tinggal di Barat. Gagasan yang bagus, namun tidak akan berhasil di dunia nyata. Kebanyakan dari kita akan mengaitkannya dengan gaya hidup ala Indian Pribumi Amerika, suku terasing di hutan hujan Peru yang terpencil, atau masyarakat pribumi berikut kebudayaan kuno lainnya di seluruh dunia. Memang—ekonomi serupa itulah yang jauh lebih lazim sebelum revolusi pertanian dan industri.
Sedikit dari kita yang percaya bahwa masih ada masyarakat di dunia yang menghidupi semangat ekonomi kasih, walaupun tidak sepenuhnya. Ambillah contohnya—Anuta, salah satu pulau di Kepulauan Solomon. Sementara ekonomi pasar perlahan-lahan mendesak peradaban di Kepulauan Pasifik, ekonomi kasih yang disebut aropa masih ada di sana yang bagi pikiran Barat akan terasa seperti khayalan. Orang-orang dari kepulauan ini yang telah beremigrasi ke luar negeri masih menjalankan ekonomi kasih hingga taraf tertentu yang kita juga dapat mempergunakannya. Demikian pula penduduk Tokelau masih menjalankan praktik yang disebut inati. Masih banyak lagi masyarakat lain yang menolak beralih dari “ekonomi kemanusiaan”[4] ke ekonomi pasar, yang berlawanan dengan pendapat umum, merupakan fenomena baru bagi sebagian besar dunia. Komunitas anarkis lintas bola dunia, terlepas dari reputasi mereka sebagai preman garang yang ingkar hukum (reputasi yang diciptakan sebagian besar oleh media dan kepentingan orang-orang yang menguasainya), sampai hari ini banyak yang berlandaskan prinsip ekonomi kasih, walaupun praktiknya semakin sulit akibat menyusupnya ekonomi moneter ke dalam segala aspek kehidupan kita, yang artinya semakin berkurangnya lahan dan ruang bebas yang memungkinkan komunitas-komunitas itu untuk menjalankan ekonomi tersebut.
Lebih sedikit lagi di antara kita yang menjumpai praktik ekonomi kasih dalam kehidupan kita sendiri sehari-hari, yang dapat dimaklumi, mengingat keberhasilan model yang sekarang ini dalam mengubah setiap aspek kehidupan harian kita menjadi komoditas atau servis untuk dijual. Kita membayar orang untuk mengasuh anak kita atau orang tua kita yang sepuh, untuk memasak bagi kita, untuk memproduksi makanan kita, untuk menampung kita saat kita harus meninggalkan rumah. Kita bahkan membayar orang supaya datang dan membersihkan rumah kita, yang untuk tinggal di dalamnya kita membayar pada induk semang atau bank. Walaupun berangsur-angsur terkikis dengan gencar, ekonomi kasih masih terpancang dalam beberapa aspek kehidupan kita. Saat kita memasak makan malam bagi pasangan kita, atau menolong teman mengerjakan tugas, atau mengurus orang tua kita yang sepuh tiga hari seminggu, kita menghidupkan kepingan-kepingan ekonomi kasih yang sampai kini belum sepenuhnya dijadikan servis untuk dikonsumsi menurut model ekonomi yang umum. Maka ternyata kita yang tinggal di dunia Barat masih mampu memandang kehidupan dengan cara serupa orang-orang Anuta, dan hanya kisahan kebudayaan kitalah yang membatasi potensi kita untuk melakukannya.
Yang diminta para penganjur ekonomi kasih ialah mengapa tidak membentangkan semangat yang kita berikan pada keluarga dan teman dekat kita pada masyarakat yang lebih luas? Jika rasanya tidak pantas meminta bayaran pada ibu atau teman Anda atas makan malam yang Anda sediakan, maka mengapa secara sosial wajar-wajar saja meminta bayaran pada orang lain di daerah Anda untuk itu, mengingat kelak bisa saja orang asing yang Anda mintai bayaran menjadi salah seorang sahabat Anda? Saya bahkan berpendapat bahwa jauh lebih besar kemungkinannya orang asing tersebut menjadi teman Anda jika Anda berbuat sesuatu untuk dia dalam semangat kasih, ketimbang saling bertukar. Malah, saya akan menganjurkan lebih jauh lagi dan mengatakan bahwa begitu Anda mulai menghidupi lagi semangat kasih, perlahan Anda akan mulai menyadari batasan antara aku dan yang lain tidaklah sesolid yang biasa Anda pikir, dan bahwa Anda tidak akan lagi sekadar memandang orang asing ini sebagai teman baru. Anda akan melihat dia sebagai bagian dari Anda. Setidaknya, demikianlah pengalaman saya.
Sementara para ekonom kasih bertanya mengapa tidak?, bisa dimaklumi Anda mungkin bertanya mengapa repot-repot? Tanggapan saya: sekiranya Anda dapat memahami indahnya semangat melakukan berbagai hal secara cuma-cuma bagi orang-orang terdekat Anda (ataupun dinginnya meminta bayaran pada mereka), kalau bukan untuk menyatakan rasa kasih dan syukur Anda pada mereka, maka betapakah jauh lebih menginspirasinya perbuatan itu bagi orang-orang yang bahkan belum Anda kenal?

EKONOMI KASIH BERAKSI

Dengan dasar filosofis ekonomi kasih kami menyelenggarakan festival sehari cuma-cuma, yang dinamakan Festival Freeconomy, untuk merayakan tahun pertama saya hidup tanpa uang sama sekali pada November 2009. Acara itu harus dilaksanakan tanpa ada satu sen pun yang berpindah tangan. Begitu gagasan baru ini bergulir, semua orang ingin terlibat. Betapa menggembirakan menonton banyak orang, dengan berbagai latar belakang mulai dari akuntansi sampai anarki, mengerahkan upaya sangat besar untuk bersama-sama menciptakan sesuatu yang, sepintas lalu, sedikit atau tidak menguntungkan secara pribadi.
Setelah mengirim satu surel pada grup Freeconomy[5] lokal saya di Bristol tepat tiga minggu sebelum acara yang diajukan pada Hari Tanpa Belanja 2009, enam puluh sukarelawan membalas saya, menyatakan keinginannya untuk terlibat. Bersama-sama kami menyelenggarakan acara sehari yang menyambut ribuan orang datang, makan dan minum secara cuma-cuma (berikut bir gratis yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan liar oleh pembuat bir Andy Hamilton beserta anak buahnya para pembuat bir ceria), menghadiri bioskop gratis kami, mengunjungi rangkaian acara bincang-bincang seharian dari suara-suara yang menginspirasi, menikmati tiga kelompok hidangan yang semuanya dibuat dari pangan liar atau sisa, mengambil (dan memberi) apa pun yang mereka inginkan dari Tokogratis kami, dan mengunjungi program ekstensif lokakarya gratis, termasuk area reparasi yang mengajari orang cara memperbaiki barang sebelum kerusakannya semakin parah. Ada juga pijat gratis dan terapi holistis lain jika acaranya terlalu memusingkan.
Menyaksikan berlangsungnya ekonomi kasih dengan sedemikian ramai merupakan pengalaman mengharukan. Saya selalu meminta para sukarelawan agar beristirahat sejenak, namun banyak yang akhirnya bekerja dua belas hingga empat belas jam tanpa henti, seraya memberi tahu saya bahwa mereka terlalu senang untuk berhenti. Tuan rumah menyediakan tempatnya secara cuma-cuma, berbagai kelompok masyarakat memberi kami peralatan makan, perabot masak, bangku, dan meja yang cukup untuk menyuguhi ribuan orang, kelompok lainnya meminjamkan sistem tata suara dan pembuat smoothie bertenaga sepeda, para pembuat bir membuatkan bir dan menunjukkan caranya pada orang-orang, para pengumpul pangan liar pergi ke hutan dan menunjukkan cara mencarinya, begitu pula para pemulung dan juru masak. Tidak saja semua itu dilakukan secara cuma-cuma, dan dalam keadaan tertentu tanpa nama (yang menyingkirkan argumen tingginya reputasi sebagai alat pembayaran), acara ini menjadi pengalaman mendidik yang luar biasa bagi setiap orang, yang artinya tanpa diniatkan maupun disadari, setiap orang memperoleh kembali sesuatu.
Dapatkah Anda membayangkan pencuci piring profesional di suatu restoran komersial yang menolak untuk beristirahat sejenak? Dalam ekonomi moneter, di mana kita merasa terpaksa untuk melakukan berbagai hal demi uang, bayangan tersebut tidaklah masuk akal. Namun begitu Anda menyingkirkan omong kosong tersebut, hal yang paling Anda inginkan dalam hidup ialah perasaan memiliki tujuan dan arti, sesuatu yang indah untuk diyakini dan dikasihi. Kita ingin bangun pagi dengan semangat melakukan pekerjaan kita, alih-alih terpaksa berbuat sesuatu yang kita benci sekadar untuk bertahan hidup dalam sistem yang menurut kebanyakan orang tidak lagi bermaslahat bagi dirinya, ataupun kehidupan selebihnya. Saya sama sekali tidak hendak menyatakan bahwa festival besar sehari yang diadakan semata-mata berdasarkan ekonomi kasih dengan sendirinya merupakan bukti bahwa seluruh masyarakat dapat berbuat demikian dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya festival tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada cara alternatif dalam melakukan berbagai hal, begitu pula cara hidup yang lebih membahagiakan.
Festival-festival seperti Burning Man[6] juga diselenggarakan menurut filosofi serupa hingga taraf besar-besaran dan skala yang jauh lebih mengesankan daripada yang kami adakan di Bristol. Mengapa tidak mengabari grup Freeconomy lokal Anda dan mengadakan festival serupa bagi masyarakat Anda sendiri?
Banyak bentuk ekonomi kasih yang sudah ada jauh sebelum ekonomi moneter, dan saya berharap bentuk ekonomi tersebut tidak akan pernah amblas sama sekali ke dalam dunia di mana setiap inci planet kita diberi harga dan di mana setiap tindakan mensyarakatkan penggantian. Alangkah ngerinya pemikiran itu. Mimpi saya mudah-mudahan kelak kita melangkahi cara pikir yang sudah mapan dan ketinggalan zaman itu, bahwa kita kekurangan sumber daya, memerlukan tukar-menukar, dan tidak aman, lantas mulai hidup kembali dengan cara yang menceriakan, yang membangkitkan semangat kita alih-alih memadamkannya, yang menimbulkan ketentaraman yang tidak akan pernah diberikan ekonomi moneter.




[1] Lovelock, James (2006). The Revenge of Gaia. Penguin. Teori Gaia, istilah yang diciptakan James Lovelock dan dinamai menurut dewi Bumi yang mula-mula dari mitologi Yunani kuno, mengemukakan bahwa semua organism dan lingkungan anorganiknya di Bumi bersatu membentuk suatu sistem pengaturan diri, dan melingkupi “bagian yang bernyawa maupun tidak”.
[2] Eisenstein, Charles (2011). Sacred Economics: Money, Gift and Society in the Age of Transition. Evolver Editions. p. 16.
[3] Doctorow, Cory (2010). Down and Out in the Magic Kingdom. Harper Voyager. Dalam buku ini, Whuffie merupakan alat pembayaran berdasarkan reputasi dalam ekonomi pascakelangkaan di mana segala sesuatunya digratiskan.
[4] Graeber, David (2011). Debt: The First 5.000 Years. Melville House Publishing. p. 130.
[5] Keterangan lebih lanjut mengenai Freeconomy, kunjungi www.justfortheloveofit.org
[6] Festival tahunan yang diselenggarakan sejak 1986 di Amerika Serikat. Keterangan lebih lanjut mengenai acara ini, kunjungi www.burningman.org. (penerj.)



Tidak ada komentar: