Bahkan setelah sekian lama, matahari tidak pernah berkata pada Bumi, “Kau
berutang padaku.” Lihatlah yang terjadi dengan kasih serupa itu. Kasihnya
menyinari Segenap Langit.
– Hafiz
Saya kadang menyebutnya ekonomi alam, karena ini merupakan dasar dari
petak besar tempat Alam selebihnya bekerja. Ini merupakan pendapat yang hangat
diperdebatkan, karena banyak yang berargumen bahwa Alam berdasarkan pertukaran.
Toh, lebah madu mengumpulkan nektar sambil menyebarkan serbuk sari di sekitar
bunga—itu pertukaran, bukan? Dan di dalam tanah di bawah kaki Anda, dalam satu
inci terdapat lebih banyak bentuk kehidupan daripada manusia di seluruh planet,
tarian rumit tanpa henti yang berlangsung antara tanaman dan mikrob,
masing-masing memberi makan satu sama lain, memelihara satu sama lain dan
saling menyokong, menjamin bahwa keduanya selalu memperoleh yang mereka
butuhkan. Sekali lagi, di permukaan, ini memang terlihat seperti semacam
pertukaran.
Namun perkenankanlah saya mengajukan pendapat. Cara serupa
itu dalam memandang alir kehidupan dan transformasi materi tidak lebih daripada
proyeksi pemaknaan diri umat manusia yang picik atas Gaia selebihnya.[1] Karena kita
memperdaya diri dengan berpikir bahwa kita tidak lebih daripada ego yang
terbungkus-oleh-kulit, di mana “aku” dan “kau” ditegaskan dengan jelas, maka
kita menganggap bahwa kehidupan selebihnya memiliki persepsi serupa terhadap
realitas. Sebentar saja, bayangkan tidak ada “aku” dan “kau”, dan bahwa batasan
yang kita kenali sebagai kulit untuk mendefinisikan Aku dan Yang Lain sejak
awal kanak-kanak tidak kalah sewenang-wewenang daripada batasan antarnegera
yang dikenal sebagai Perancis dan Jerman. Bagaimana bayangan tersebut mengubah
cara Anda memersepsikan dunia, dan berinteraksi dengan segala yang menyusunnya?
Kenyataan bahwa kita memersepsikan realitas, dengan peran
kita di tengah-tengahnya, dalam sikap tertentu bukanlah dasar untuk
mengasumsikan bahwa kehidupan selebihnya memiliki persepsi yang sama. Karena
jika Anda memandang seluruh kehidupan sebagai satu kesatuan dan
mempertimbangkan bahwa, secara fisik (bukan spiritual), Anda merupakan kumpulan
elemen (seperti karbon, nitrogen, dan oksigen) yang tergabung dari,
berinteraksi dengan, dan berakhir kembali ke Bumi beserta biosfer selebihnya,
maka bagaimana bisa Anda meminta bayaran pada bagian lain kesatuan tersebut
atas suatu barang atau jasa yang Anda tawarkan? Seperti yang pernah disampaikan
oleh Daniel Suelo, itu mirip dengan jari Anda meminta bayaran pada kepala Anda
karena menggarukinya, seolah-olah seluruh kesejahteraan si jari tidak berdasar
pada kesehatan dan kebahagiaan si kepala.
Charles Eisenstein mencatat bagaimana “bakteri pengikat
nitrogen tidak secara langsung diuntungkan dari melakukan hal tersebut [yaitu
mengikat nitrogen], kecuali bahwa nitrogen yang mereka berikan pada tanah
menumbuhkan tanaman yang menumbuhkan akar yang menumbuhkan fungi, yang akhirnya
menyediakan nutrisi bagi bakteri. Spesies pionir membuka jalan bagi spesies
kunci, yang menyediakan ceruk-ceruk mikro bagi spesies lain, yang menjadi
makanan bagi spesies lainnya lagi dalam jejaring pemberian yang, pada akhirnya,
beredar kembali menguntungkan spesies pionir.” [2] Semuanya
sekadar melakukan tugas mereka, dalam alir kehidupan organik, tanpa rasa
berutang ataupun mengutangi yang, pada akhirnya, termanifestasi secara fisik
dalam bentuk uang. Daur demikian dapat pula terjadi pada kita, dalam bentuk
ekonomi kasih.
Memang siapa pun yang ingin serta dalam ekonomi kasih tidak
mesti meyakini bahwa kita sepenuhnya saling bergantung, dan merupakan bagian
dari organisme tunggal sebagaimana bakteri usus merupakan bagian dari Anda. Ada
banyak alasan bagus untuk mendukung ekonomi tersebut sekalipun dari sudut
pandang egosentris dan antroposentris. Menurut definisi saya, ekonomi kasih
sekadar masyarakat yang mana di dalamnya orang saling berbagi keterampilan,
waktu, pengetahuan, informasi, atau materi tanpa penggantian apa pun yang
sifatnya formal, eksplisit, atau presisi. Menurut sejarah ada beraneka macam
bentuk masyarakat yang berdasarkan ekonomi kasih. Namun terdapat beberapa
ketetapan. Tidak ada uang yang berpindah tangan, tidak ada barter (terlepas
dari yang dicamkankan para ekonom salah-informasi pada Anda), dan tidak ada
kredit ataupun catatan utang yang terperinci dalam buku kecil, siap dikontankan
bak selembar dua puluh paun. Dalam bentuk ekonomi kasih yang saya anjurkan,
memberi dan menerima dilakukan sebagian besar atas dasar tanpa syarat, sama
sekali berbalikan dengan yang secara ironis dinamakan ekonomi “pasar bebas”,
yang telah berhasil mengubah setiap aspek dari planet kecil dan indah milik
kita ini, yang karunianya dahulu sungguh-sungguh bebas kita semua nikmati,
menjadi seperangkat taksiran finansial yang pada hakikatnya tidak berarti.
Apa yang dikasihkan nantinya dapat berbalas (dan menurut
kebanyakan sejarah ekonomi berdasarkan kasih, hampir selalu demikian), dan
balasan tersebut dapat mengeratkan masyarakat. Kuncinya adalah balasan tersebut
bukanlah syarat bagi pemberian semula, tidak segera diberikan, dan bentuknya
tidak pernah tetap. Kalau tidak demikian, seperti yang telah kita pahami tadi,
Anda berkesan mengatakan “berakhir sudah hubunganku denganmu kini.” Kasih
menciptakan ikatan, dan ikatan inilah yang menciptakan masyarakat sejati,
alih-alih masyarakat superfisial yang berusaha kita ciptakan kembali dewasa ini
sebagai reaksi putus asa atas nyatanya ketiadaan rasa kemasyarakatan yang
autentik.
Idealnya, dalam ekonomi kasih tidak ada pula “kredit” emosional
ataupun psikologis, walaupun mengingat kondisi lanskap mental kita dewasa ini,
terus terang ini sangatlah mustahil, paling tidak pada awalnya. Apakah
menganugerahi peningkatan reputasi—misalnya saja posisi seks tertentu sebagai
ganti memijat pasangan Anda, atau seperti Whuffies dalam novel fiksi sains
karangan Cory Doctorow[3]—pada
pemberi yang tampak altruistis dapat dipersepsikan sebagai alat pembayaran
sering kali menjadi pokok perdebatan dalam antropologi. Dapat dikatakan bahwa
perdebatan seperti itu hanya semakin mengungkapkan cara pandang akan
keterpisahan, penggantian, dan sinisme yang mendominasi kebudayaan manusia
dewasa ini, berikut proyeksi mereka terhadap masyarakat lainnya terdahulu,
yang—sudahi sajalah pemikiran itu!—boleh jadi sekadar menikmati pemeliharaan
satu sama lain lewat pemberian tanpa pamrih. Yang lain akan berpendapat bahwa
kenikmatan yang dirasakan partisipan dalam ekonomi serupa itu melalui pemberian
merupakan “balasan” yang mereka peroleh, namun sekali lagi, boleh jadi ini lebih
mengungkapkan keadaan kebudayaan kita sendiri daripada kebudayaan mereka. Lagi
pula, apa salahnya sih merasa senang karena membantu sesama? Apalagi sistem ini
memberi banyak manfaat sosial sehingga mereka yang paling bermurah hatilah yang
mewarisi status sosial tertinggi—sementara sekarang ini kita menyediakan
penghormatan serupa itu bagi mereka yang mengambil, menimbun, dan merusak
paling banyak, kenyataan yang hanya melanggengkan kebudayaan tersebut dan
mendorong yang lain berbuat serupa.
Einsenstein, dalam karya orisinalnya The Ascent of Humanity, mencurahkan banyak keterangan cerdas
mengenai persoalan ini. Tulisannya menyatakan bahwa tindakan yang tampaknya
altruistis dalam masyarakat ekonomi kasih terdahulu boleh jadi sebenarnya
merupakan tindakan egois, namun perbedaan pokoknya ialah mereka yang melakukan
tindakan ini memaknai diri secara jauh lebih holistis, dan tidak begitu
egosentris maupun antroposentris. Singkatnya, mereka memandang diri mereka
sebagai bagian dari organisme tunggal yang sekarang ini kita sebut Gaia, dan bahwa semesta tersebut
merupakan diri mereka. Oleh karena itu tindakan egois merupakan tindakan
altruistis, karena diri dalam cara pandang ini merupakan semesta dan segala
sesuatu serta setiap orang yang menyusunnya. “Menjaga diri Anda,” dalam
pengertian diri yang lebih luas, berarti Anda berbuat yang sebaik-baiknya bagi
semesta alih-alih ego terbungkus-oleh-kulit yang ilusif sebagaimana Anda
mendefinisikan diri Anda saat ini.
Teori, dan dalam banyak contoh praktiknya, di balik ekonomi
kasih ialah ketika setiap orang mengupayakan semangat yang mendasari itu,
segala yang perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat masih terus
diadakan dan alhasil masyarakat justru punya akses lebih besar pada semua
sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalani hidup sehat dan memuaskan yang juga
sehat bagi semesta yang menyokongnya. Ini sebagian disebabkan oleh kenyataan
bahwa, menurut sejarah maupun keadaan sekarang ini, dalam ekonomi kasih keinginan
orang akan berbagai hal menjadi berkurang dan taraf teknologinya pun tidak
begitu kompleks. Selain itu, pandangan dunia mereka pun sering kali didasari
pikiran akan adanya kelimpahan yang dimiliki bersama, alih-alih mentalitas
kekurangan yang merupakan pokok dari ekonomi moneter.
Memang sampai saat ini ekonomi moneter telah menjadi bentuk
ekonomi terbaik karena menciptakan produk-produk kompleks yang menghendaki
adanya divisi tenaga kerja, ekonomi skala besar-besaran, dan material dari
seluruh dunia. Satu-satunya alasan sehingga ekonomi moneter tampak lebih baik
adalah karena itu meyakinkan kita bahwa kita betul-betul membutuhkan segala hal
yang dihasilkannya sedari mula. Kita toh tidak pernah merasa kehilangan manfaat
gawai modern sebelum mengenal produk tersebut. Sekarang pun saya tidak merasa
kehilangan telepon seluler saya yang dulu, namun sudah tentu saya tidak merasa
kehilangan itu sebelum produk tersebut ditemukan. Saya senang-senang saja tidak
bisa dikontak sepanjang waktu siang ataupun malam. Apakah hidup kita lebih baik
dengan memiliki telepon seluler? Pastinya banyak yang mengiyakan, kalau tidak
mereka tidak akan membeli produk tersebut, namun mengingat taksiran objektif
mengenai segala permasalahan ekologi dan sosial yang tersangkut dalam produksi,
distribusi, maupun penggunaannya, menurut orang yang utuh memahami hakikat
kemanunggalan seluruh kehidupan berikut dampak produk ini pada segala sesuatu
di sepanjang rantai pasokannya, saya kira jawabannya adalah kumandang tidak.
Masalahnya, dewasa ini konsumen tidak memiliki hubungan dengan proses
manufakturing sehingga sedikit saja yang mengetahui betapa merusak dan
mengekspoitasinya barang-barang konsumsi ini. Sebagaimana kita pahami di bab
satu, yang menjadi pusat dari penciptaan dan pemeliharaan ketiadaan hubungan
ini adalah uang.
Sepintas, ekonomi kasih boleh jadi tampaknya merupakan model
ekonomi yang sangat idealis dan tidak realistis bagi sebagian kita yang tinggal
di Barat. Gagasan yang bagus, namun tidak akan berhasil di dunia nyata. Kebanyakan dari kita akan mengaitkannya dengan gaya
hidup ala Indian Pribumi Amerika, suku terasing di hutan hujan Peru yang
terpencil, atau masyarakat pribumi berikut kebudayaan kuno lainnya di seluruh
dunia. Memang—ekonomi serupa itulah yang jauh lebih lazim sebelum revolusi
pertanian dan industri.
Sedikit dari kita yang percaya bahwa masih ada masyarakat di
dunia yang menghidupi semangat ekonomi kasih, walaupun tidak sepenuhnya.
Ambillah contohnya—Anuta, salah satu pulau di Kepulauan Solomon. Sementara
ekonomi pasar perlahan-lahan mendesak peradaban di Kepulauan Pasifik, ekonomi
kasih yang disebut aropa masih ada di sana yang bagi pikiran Barat akan terasa
seperti khayalan. Orang-orang dari kepulauan ini yang telah beremigrasi ke luar
negeri masih menjalankan ekonomi kasih hingga taraf tertentu yang kita juga
dapat mempergunakannya. Demikian pula penduduk Tokelau masih menjalankan
praktik yang disebut inati. Masih banyak lagi masyarakat lain yang menolak
beralih dari “ekonomi kemanusiaan”[4] ke ekonomi
pasar, yang berlawanan dengan pendapat umum, merupakan fenomena baru bagi
sebagian besar dunia. Komunitas anarkis lintas bola dunia, terlepas dari
reputasi mereka sebagai preman garang yang ingkar hukum (reputasi yang
diciptakan sebagian besar oleh media dan kepentingan orang-orang yang
menguasainya), sampai hari ini banyak yang berlandaskan prinsip ekonomi kasih,
walaupun praktiknya semakin sulit akibat menyusupnya ekonomi moneter ke dalam
segala aspek kehidupan kita, yang artinya semakin berkurangnya lahan dan ruang
bebas yang memungkinkan komunitas-komunitas itu untuk menjalankan ekonomi
tersebut.
Lebih sedikit lagi di antara kita yang menjumpai praktik
ekonomi kasih dalam kehidupan kita sendiri sehari-hari, yang dapat dimaklumi,
mengingat keberhasilan model yang sekarang ini dalam mengubah setiap aspek
kehidupan harian kita menjadi komoditas atau servis untuk dijual. Kita membayar
orang untuk mengasuh anak kita atau orang tua kita yang sepuh, untuk memasak
bagi kita, untuk memproduksi makanan kita, untuk menampung kita saat kita harus
meninggalkan rumah. Kita bahkan membayar orang supaya datang dan membersihkan
rumah kita, yang untuk tinggal di dalamnya kita membayar pada induk semang atau
bank. Walaupun berangsur-angsur terkikis dengan gencar, ekonomi kasih masih
terpancang dalam beberapa aspek kehidupan kita. Saat kita memasak makan malam
bagi pasangan kita, atau menolong teman mengerjakan tugas, atau mengurus orang
tua kita yang sepuh tiga hari seminggu, kita menghidupkan kepingan-kepingan
ekonomi kasih yang sampai kini belum sepenuhnya dijadikan servis untuk
dikonsumsi menurut model ekonomi yang umum. Maka ternyata kita yang tinggal di
dunia Barat masih mampu memandang kehidupan dengan cara serupa orang-orang
Anuta, dan hanya kisahan kebudayaan kitalah yang membatasi potensi kita untuk
melakukannya.
Yang diminta para penganjur ekonomi kasih ialah mengapa tidak
membentangkan semangat yang kita berikan pada keluarga dan teman dekat kita
pada masyarakat yang lebih luas? Jika rasanya tidak pantas meminta bayaran pada
ibu atau teman Anda atas makan malam yang Anda sediakan, maka mengapa secara
sosial wajar-wajar saja meminta bayaran pada orang lain di daerah Anda untuk
itu, mengingat kelak bisa saja orang asing yang Anda mintai bayaran menjadi
salah seorang sahabat Anda? Saya bahkan berpendapat bahwa jauh lebih besar
kemungkinannya orang asing tersebut menjadi teman Anda jika Anda berbuat
sesuatu untuk dia dalam semangat kasih, ketimbang saling bertukar. Malah, saya
akan menganjurkan lebih jauh lagi dan mengatakan bahwa begitu Anda mulai
menghidupi lagi semangat kasih, perlahan Anda akan mulai menyadari batasan
antara aku dan yang lain tidaklah sesolid yang biasa Anda pikir, dan bahwa Anda
tidak akan lagi sekadar memandang orang asing ini sebagai teman baru. Anda akan
melihat dia sebagai bagian dari Anda. Setidaknya, demikianlah pengalaman saya.
Sementara para ekonom kasih bertanya mengapa tidak?, bisa
dimaklumi Anda mungkin bertanya mengapa repot-repot? Tanggapan saya: sekiranya
Anda dapat memahami indahnya semangat melakukan berbagai hal secara cuma-cuma
bagi orang-orang terdekat Anda (ataupun dinginnya meminta bayaran pada mereka),
kalau bukan untuk menyatakan rasa kasih dan syukur Anda pada mereka, maka
betapakah jauh lebih menginspirasinya perbuatan itu bagi orang-orang yang
bahkan belum Anda kenal?
EKONOMI KASIH BERAKSI
Dengan dasar filosofis ekonomi kasih kami menyelenggarakan festival sehari
cuma-cuma, yang dinamakan Festival Freeconomy, untuk merayakan tahun pertama
saya hidup tanpa uang sama sekali pada November 2009. Acara itu harus
dilaksanakan tanpa ada satu sen pun yang berpindah tangan. Begitu gagasan baru
ini bergulir, semua orang ingin terlibat. Betapa menggembirakan menonton banyak
orang, dengan berbagai latar belakang mulai dari akuntansi sampai anarki,
mengerahkan upaya sangat besar untuk bersama-sama menciptakan sesuatu yang,
sepintas lalu, sedikit atau tidak menguntungkan secara pribadi.
Setelah mengirim satu surel pada grup Freeconomy[5] lokal saya
di Bristol tepat tiga minggu sebelum acara yang diajukan pada Hari Tanpa
Belanja 2009, enam puluh sukarelawan membalas saya, menyatakan keinginannya
untuk terlibat. Bersama-sama kami menyelenggarakan acara sehari yang menyambut
ribuan orang datang, makan dan minum secara cuma-cuma (berikut bir gratis yang
dibuat dengan menggunakan bahan-bahan liar oleh pembuat bir Andy Hamilton
beserta anak buahnya para pembuat bir ceria), menghadiri bioskop gratis kami,
mengunjungi rangkaian acara bincang-bincang seharian dari suara-suara yang
menginspirasi, menikmati tiga kelompok hidangan yang semuanya dibuat dari
pangan liar atau sisa, mengambil (dan memberi) apa pun yang mereka inginkan
dari Tokogratis kami, dan mengunjungi program ekstensif lokakarya gratis,
termasuk area reparasi yang mengajari orang cara memperbaiki barang sebelum
kerusakannya semakin parah. Ada juga pijat gratis dan terapi holistis lain jika
acaranya terlalu memusingkan.
Menyaksikan berlangsungnya ekonomi kasih dengan sedemikian
ramai merupakan pengalaman mengharukan. Saya selalu meminta para sukarelawan
agar beristirahat sejenak, namun banyak yang akhirnya bekerja dua belas hingga
empat belas jam tanpa henti, seraya memberi tahu saya bahwa mereka terlalu
senang untuk berhenti. Tuan rumah menyediakan tempatnya secara cuma-cuma,
berbagai kelompok masyarakat memberi kami peralatan makan, perabot masak,
bangku, dan meja yang cukup untuk menyuguhi ribuan orang, kelompok lainnya
meminjamkan sistem tata suara dan pembuat smoothie
bertenaga sepeda, para pembuat bir membuatkan bir dan menunjukkan caranya pada
orang-orang, para pengumpul pangan liar pergi ke hutan dan menunjukkan cara
mencarinya, begitu pula para pemulung dan juru masak. Tidak saja semua itu
dilakukan secara cuma-cuma, dan dalam keadaan tertentu tanpa nama (yang
menyingkirkan argumen tingginya reputasi sebagai alat pembayaran), acara ini
menjadi pengalaman mendidik yang luar biasa bagi setiap orang, yang artinya
tanpa diniatkan maupun disadari, setiap orang memperoleh kembali sesuatu.
Dapatkah Anda membayangkan pencuci piring profesional di
suatu restoran komersial yang menolak untuk beristirahat sejenak? Dalam ekonomi
moneter, di mana kita merasa terpaksa untuk melakukan berbagai hal demi uang,
bayangan tersebut tidaklah masuk akal. Namun begitu Anda menyingkirkan omong
kosong tersebut, hal yang paling Anda inginkan dalam hidup ialah perasaan
memiliki tujuan dan arti, sesuatu yang indah untuk diyakini dan dikasihi. Kita
ingin bangun pagi dengan semangat melakukan pekerjaan kita, alih-alih terpaksa
berbuat sesuatu yang kita benci sekadar untuk bertahan hidup dalam sistem yang
menurut kebanyakan orang tidak lagi bermaslahat bagi dirinya, ataupun kehidupan
selebihnya. Saya sama sekali tidak hendak menyatakan bahwa festival besar
sehari yang diadakan semata-mata berdasarkan ekonomi kasih dengan sendirinya
merupakan bukti bahwa seluruh masyarakat dapat berbuat demikian dalam kehidupan
sehari-hari. Sedikitnya festival tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada cara
alternatif dalam melakukan berbagai hal, begitu pula cara hidup yang lebih
membahagiakan.
Festival-festival seperti Burning Man[6] juga
diselenggarakan menurut filosofi serupa hingga taraf besar-besaran dan skala
yang jauh lebih mengesankan daripada yang kami adakan di Bristol. Mengapa tidak
mengabari grup Freeconomy lokal Anda dan mengadakan festival serupa bagi
masyarakat Anda sendiri?
Banyak bentuk ekonomi kasih yang sudah ada jauh sebelum
ekonomi moneter, dan saya berharap bentuk ekonomi tersebut tidak akan pernah
amblas sama sekali ke dalam dunia di mana setiap inci planet kita diberi harga
dan di mana setiap tindakan mensyarakatkan penggantian. Alangkah ngerinya
pemikiran itu. Mimpi saya mudah-mudahan kelak kita melangkahi cara pikir yang
sudah mapan dan ketinggalan zaman itu, bahwa kita kekurangan sumber daya,
memerlukan tukar-menukar, dan tidak aman, lantas mulai hidup kembali dengan
cara yang menceriakan, yang membangkitkan semangat kita alih-alih
memadamkannya, yang menimbulkan ketentaraman yang tidak akan pernah diberikan
ekonomi moneter.
[1] Lovelock, James (2006). The
Revenge of Gaia. Penguin. Teori Gaia, istilah yang diciptakan James
Lovelock dan dinamai menurut dewi Bumi yang mula-mula dari mitologi Yunani
kuno, mengemukakan bahwa semua organism dan lingkungan anorganiknya di Bumi bersatu
membentuk suatu sistem pengaturan diri, dan melingkupi “bagian yang bernyawa
maupun tidak”.
[2] Eisenstein, Charles (2011). Sacred Economics: Money, Gift and Society in the Age of Transition.
Evolver Editions. p. 16.
[3] Doctorow, Cory (2010). Down
and Out in the Magic Kingdom. Harper Voyager. Dalam buku ini, Whuffie
merupakan alat pembayaran berdasarkan reputasi dalam ekonomi pascakelangkaan di
mana segala sesuatunya digratiskan.
[4] Graeber, David (2011). Debt:
The First 5.000 Years. Melville House Publishing. p. 130.
[5] Keterangan lebih lanjut mengenai Freeconomy, kunjungi
www.justfortheloveofit.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar