Selamat Datang

Blog ini dibuat untuk menjadi tempat berbagi proses belajar saya dalam penulisan karya kreatif sekalian pemahaman bahasa asing, yaitu dengan menerjemahkan. Hasil terjemahan dalam blog ini semata untuk kepentingan belajar dan tidak dikomersialkan. Terima kasih sudah berkunjung.

Pengarang/Penerjemah

Agus Kurniawan (1) Aimee Bender (2) Alan Gratz (1) Alberto Manguel (1) Alejandro Zambra (1) Alex Patterson (1) Alexa Firat (1) Alexandre Najjar (1) Alice Guthrie (1) Alice Walker (1) Aliza Shevrin (1) Ambika Rao (1) Ambrose Bierce (1) Amelia Gray (1) Amy Hempel (1) Anders Widmark (2) Andrea G. Labinger (1) Andrew Driver (6) Ann Beattie (1) Anna Sophie Gross (1) Anne McLean (1) Aoi Matsushima (1) Bel Kaufman (1) Brandon Geist (5) Catherine Rose Torres (1) César Aira (1) Charlotte-Arrisoa Rafenomanjato (1) Chiba Mikio (1) Chimamanda Ngozi Adichie (1) Chris Andrews (1) Christopher Moseley (1) Clark M. Zlotchew (6) Cynthia Ozick (1) David Herbert Lawrence (2) David Karashima (1) Dayeuh (2) Donald A. Yates (1) Dorothy Parker (1) Dorthe Nors (1) Ed Park (1) Elizabeth Harris (1) Estelle Gilson (1) Fernando Sorrentino (15) FiFadila (1) Fiona Barton (1) Francis Marion Crawford (2) Fumiko Enchi (1) Gabriel Gárcia Márquez (1) Giulio Mozzi (1) Grace Paley (1) Gregory Conti (1) Gregory Rabassa (1) Guillermo Fadanelli (1) Guillermo Martínez (1) Hari Kumar Nair (1) Haruki Murakami (24) Hector Hugh Munro (Saki) (2) Helena Maria Viramontes (1) Herbert Ernest Bates (1) Hitomi Yoshio (1) Ian MacDonald (1) Iris Maria Mielonen (1) Isaac Bashevis Singer (1) Italo Calvino (1) Jack Kerouac (2) Jacob dan Wilhelm Grimm (1) James Patterson (1) James Thurber (5) Jay Rubin (13) Jean Rhys (1) John Cheever (1) John Clare (1) John Updike (1) Jonas Karlsson (1) Jonathan Safran Foer (1) Jonathan Wright (1) Jorge Luis Borges (1) Juan José Millás (1) Julia Sherwood (1) K. S. Sivakumaran (1) Kalaivaathy Kaleel (1) Karunia Sylviany Sambas (1) Kate Chopin (1) Katherine Mansfield (1) Keiichiro Hirano (5) Kevin Canty (1) Khaled Hosseini (1) Khan Mohammad Sind (1) Kurahashi Yumiko (1) László Krasznahorkai (1) Laura Wyrick (27) Laurie Thompson (1) Laurie Wilson (1) Lawrence Venuti (1) Liliana Heker (1) Lindsey Akashi (27) Liza Dalby (1) Lorrie Moore (5) Louise George Kittaka (1) Lynne E. Riggs (1) Mahmud Marhun (1) Malika Moustadraf (1) Marek Vadas (1) Marina Harss (1) Mark Boyle (25) Mark Twain (2) Marshall Karp (1) Martin Aitken (1) Massimo Bontempelli (1) Megan McDowell (1) Megumi Fujino (1) Mehis Heinsaar (1) Michael Emmerich (1) Michele Aynesworth (3) Mieko Kawakami (1) Mihkel Mutt (1) Mildred Hernández (1) Mitsuyo Kakuta (1) Morgan Giles (1) Na’am al-Baz (1) Naoko Awa (1) Naomi Lindstrom (1) Norman Thomas di Giovanni (1) Novianita (1) O. Henry (1) Ottilie Mulzet (1) Pamela Taylor (1) Paul Murray (54) Paul O'Neill (1) Pere Calders (1) Peter Matthiessen (1) Peter Sherwood (1) Philip Gabriel (11) Polly Barton (1) Ralph McCarthy (1) Ramona Ausubel (1) Ray Bradbury (3) Raymond Carver (2) Raymond Chandler (2) Rhett A. Butler (1) Robert Coover (3) Rokelle Lerner (271) Ruqayyah Kareem (1) Ryu Murakami (1) Ryuichiro Utsumi (1) S. Yumiko Hulvey (1) Sam Malissa (1) Saud Alsanousi (1) Sebastiano Vassalli (1) Selina Hossain (1) Sergey Terentyevich Semyonov (1) Shabnam Nadiya (1) Sherwood Anderson (1) Shirin Nezammafi (1) Shun Medoruma (1) Sophie Lewis (1) Stephen Chbosky (10) Stephen Leacock (1) Susan Wilson (1) Tatsuhiko Takimoto (27) Thomas C. Meehan (2) Tobias Hecht (1) Tobias Wolff (1) Tomi Astikainen (40) Toni Morisson (1) Toshiya Kamei (2) Ursula K. Le Guin (1) Vina Maria Agustina (2) Virginia Woolf (1) W. H. Hudson (1) Wajahat Ali (1) Widya Suwarna (1) William Saroyan (1) William Somerset Maugham (1) Yasutaka Tsutsui (6) Yu Miri (1)

Bongkar Arsip

The Moneyless Manifesto: Masyarakat sejati memerlukan kesalingbergantungan (Mark Boyle, 2012)

Belum lama ini saya menjaga anak teman saya. Teman saya sibuk sementara saya lowong, sehingga saya senang-senang saja mengasuh si kecil Eli...

20200426

Penggalan: Salam (Shirin Nezammafi, 2018)

Ketika seorang pengacara dan interpreternya mengunjungi seorang perempuan Hazara di penjara Jepang, mereka mendapati ada beberapa pertanyaan yang tidak dapat—atau tidak hendak—dijawab oleh perempuan itu.

Tuan Tanaka mengisi dua salinan formulir permohonan kunjungan lalu menyerahkannya kepada pria di sisi seberang jendela resepsionis yang kecil. Beberapa menit kemudian, sebuah pintu besi yang berat terbuka di hadapan kami, dan muncullah seorang polisi berbadan kekar lagi jangkung. Tubuhnya hampir terlalu tegap untuk ukuran orang Jepang. Otot bertonjol-tonjol dari seragamnya.

“Silakan lewat sini,” ucapnya. Ia menunjukkan kami jalan ke pintu, baru dirinya masuk dan mengunci pintu di belakang kami. Kami mendapati koridor panjang yang sempit. Pintu-pintu besi berbaris di kedua sisi, dan sesekali ada jendela kecil, sehingga keadaannya sangat gelap. Meskipun hari masih pagi, sedikit cahaya matahari yag menjangkau ke sini. Namun beberapa lampu kecil menyediakan cukup cahaya untuk melihat jalan di depan. Koridor itu mestilah cukup menyeramkan bila malam, seperti yang ada di film horor.

Polisi berbadan besar itu memandu kami ke salah satu ruangan di luar koridor. Ruangan itu diisi banyak loker. Kami disuruh meninggalkan barang-barang kami di sini. Tasku digeledah secara menyeluruh di pemeriksaan keamanan sebelum kami memasuki bangunan itu. Kami telah meninggalkan ponsel dan kunci kami di bawah tangga, sehingga aku mengira kami telah siap untuk memasuki ruang interviu tanpa pemeriksaan lanjutan lainnya …. Tuan Tanaka bergumam kesal. Tidak nyaman baginya sebab ada terlalu banyak berkas yang mesti dibawanya tanpa boleh menggunakan tas. Sembari memberengut, ia mengosongkan tasnya. Seandainya aku tahu dari awal tasku akan digeledah, aku tidak akan membawa wadah kosmetik merah muda yang gemerlapan atau stoking nilon cadangan itu. Yang lebih parah, tasku penuh tisu bekas sebab aku sedang pilek …. Aku kebanjiran rasa malu saat si penjaga melihatnya.

Aku mengeluarkan barang-barangku yang penting—kamus dan tempat pensil—lalu keluar dari ruangan itu. Tuan Tanaka berdebat sebentar dengan si polisi mengenai apakah ia dapat membawa tasnya, namun pada akhirnya ia mengeluarkan tempat pensil beserta beberapa berkas yang amat tebal kemudian menaruh tasnya di loker. Polisi berbadan besar memandu kami lebih jauh menyusuri koridor hingga polisi kedua muncul. Ia menyambut Tuan Tanaka, membuka kunci pintu di depan kami, kemudian berdiri menyisi supaya kami dapat masuk. Aku mengikuti Tuan Tanaka memasuki ruangan itu, dan si polisi jangkung menyusul, menutup pintu, lalu berdiri dalam sikap jaga.

Ruangan itu bisa dibilang kecil dan warnanya sama kelabu dengan seluruh gedung itu. Panel kaca membelah ruangan itu menjadi dua, sehingga seluruh ruangan terlihat jauh lebih kecil. Ada tiga kursi di depan panel kaca itu, dan Tuan Tanaka memilih kursi paling ujung. Aku duduk di ujung lainnya, sehingga ada satu kursi di antara kami. Sebentar kemudian, di seberang panel, pintu membuka dan seorang polisi memasuki ruangan. Ia membungkuk sedikit kepada kami dari balik kaca itu, lantas berbalik dan menyilakan seseorang untuk masuk. Di belakangnya, seorang gadis ramping dengan tinggi sedang memasuki ruangan. Matanya menunduk. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna-warni berpotongan tradisional beserta kerudung panjang cokelat kekuningan dengan motif yang berkelip-kelip tertambat di seputar rambutnya. Ia mengingatkanku pada nomad di pedesaan, semacam orang yang hanya bisa dilihat di film-film. Si polisi menunjuk sebuah kursi di seberang panel itu, lalu kembali ke tempatnya di sisi pintu. Gadis itu masih menunduk, alih-alih menatap kami, lalu duduk saja, sembari memangku kedua tangannya, tanpa mengucap sepatah kata. Matanya tidak sekali pun berkontak pada kami sementara kami memandangi dia dengan sungguh-sungguh.

Tuan Tanaka berdeham lalu memulai sesi.

“Salam!” ia menyambut gadis itu dengan bahasa Dari untuk bersikap ramah. Aku melirik map transparan besar di dekat kakinya, lalu memerhatikan ada selebaran tipis penuh warna untuk anak-anak di dalamnya, yang memuat daftar “salam dari seluruh dunia.”

Gadis itu tetap menatap ke bawah, tanpa bereaksi ataupun mengangkat matanya.

Tuan Tanaka menatap padaku. Ia mengisyaratkan: tolong terjemahkan.

“Saya Tanaka,” ucapnya, agak gugup. “Anda mungkin telah diberi tahu bahwa, sejak hari ini, saya akan menjadi pembela Anda. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, jadi marilah kita bekerja sama.” Kata-kata sambutannya Jepang sekali, dan setelah mengutarakan yang hendak disampaikannya itu, ia tampak lega. Ia mengubah posisi duduk lalu menoleh kepadaku. Namun begitu aku mulai menerjemahkan perkataannya, tiba-tiba ia berdiri sembari mengatakan, “Oh, maaf!” seolah-olah kepada dirinya sendiri. Ia menarik kartu nama dari saku sebelah dalam jasnya kemudian menyelipkan benda itu melalui lubang kecil pada kaca. Gadis itu tidak kuasa menyembunyikan keterkejutannya akan tindakan Tuan Tanaka yang tiba-tiba, dan sejenak memandang kami.

Walaupun hanya sekejap, namun aku terpikat oleh parasnya. Matanya mendung dan tanpa jiwa, seakan-akan cahayanya telah padam. Matanya sama sekali tidak tampak seperti mata makhluk yang hidup—tetapi seakan-akan terbuat dari plastik. Tidak ada pergerakan ataupun ekspresi. Aku tidak bisa menahan rasa penasaran apakah ia dapat melihat dengan mata yang senyap itu.

“Tolong.”

Suara Tuan Tanaka menyadarkanku. Sembari diawasi olehnya, aku mulai menerjemahkan perkataannya lambat-lambat, sehingga gadis itu tidak akan kesulitan memahami aksenku.

Gadis itu sama sekali tidak bereaksi. Tadinya aku mengira ia akan senang mendengar bahasa Dari lagi setelah sekian lama. Namun ia tampak tidak mengenali bahasa itu. Tuan Tanaka memandangku ragu, lalu melanjutkan.

“Agar dapat bekerja sama, Anda harus menjawab semua pertanyaan saya. Saya perlu menanyai Anda berbagai hal, yang boleh jadi agak sulit bagi Anda, tetapi ini demi kepentingan Anda sendiri, sehingga mohon berusahalah untuk menjawab.”

Gadis itu masih tidak menanggapi. Tuan Tanaka melirikku. Aku memprotes dengan suara pelan, “Saya menerjemahkan persis seperti yang Bapak sampaikan kok!”

Gadis itu menggenggam ujung kerudung panjang cokelat kekuningannya dan mulai memuntirnya dengan jari-jari tangan yang lain. Tangannya cokelat, keriput, dan kasar. Kulit jemarinya pecah-pecah. Kotoran yang menumpuk menghitamkan kukunya yang pendek. Tangannya menunjukkan orang yang tidak kenal krim pelembap.

Gadis itu tampaknya tidak mendengarkan baik Tuan Tanaka maupun aku. Kartu nama Tuan Tanaka menggeletak terabaikan. Tuan Tanaka mengeluarkan setumpuk dokumen dari map plastik beningnya lalu menatap daftar pertanyaannya.

“Siapa nama Anda?”

Aku menerjemahkan pertanyaan Tuan Tanaka pada gadis itu. Setelah hening sesaat, gadis itu menjawab, “Leyla.” Suaranya redup, sulit ditangkap, dan anehnya garau. Gadis itu mestilah tidak menyadari betapa seksi dan menarik suaranya itu bagi mahasiswa laki-laki. Segera setelah mendengar jawaban gadis itu, Tuan Tanaka menegakkan badan. Ia menatap gadis itu dengan senang, kemudian kembali kepada daftar pertanyaannya. Dengan suara yang segar seakan-akan baterainya telah diisi ulang, ia beralih kepada pertanyaan berikutnya.

“Apa nama keluarga Anda?”

“Gholam ‘Ali.”

“Kapan Anda lahir?”

“Saat musim panas.”

“Maksud saya tanggal atau tahun ….” Tuan Tanaka menatapku. Ungkapan sederhana “tanggal lahir” sama sekali lenyap dari benakku. Cepat-cepat aku mengambil kamus bahasa Dari yang kubawa tadi dari tasku lantas mencari kata-kata yang kuperlukan. Begitu aku menemukan ungkapannya dalam bahasa Dari, aku mengulang pertanyaan itu. Aku menutup kamusku lalu mendapati gadis itu menatapku dengan pandangannya yang misterius. Barangkali tingkahku mencari kata-kata di kamus itu terlihat menarik. Ketika kami bertatapan, aku merasa merinding.

“Saya tidak tahu. Yang dibilang ibu saya cuma saya lahir saat musim panas.”

Mata Leyla jatuh lagi. Aku memandangi wajahnya lebih saksama, kulitnya yang cokelat, struktur tulangnya yang indah. Kerutan di seputar mata dan mulutnya semakin jelas ketika ia bicara. Ia terlihat seperti remaja, namun kulitnya tampak tiga puluh tahun lebih tua. Ia masih muda, tetapi kulitnya lebih buruk daripada kulit wanita paruh baya pekerja kasar, kering sama sekali.

Tuan Tanaka terlihat bingung. “Anda tahu berapa usia Anda?”

Gadis itu mengangkat alis. “Mungkin tujuh belas atau delapan belas!”

“Yang mana?”

Tuan Tanaka mulai terdengar frustrasi akan prospek tugasnya membela orang yang bahkan tidak tahu usianya sendiri.

“Saya tidak tahu. Kakak saya bilang saya tujuh belas tahun, tetapi ibu saya selalu bilang usia saya lebih tua setahun.”

Dengan gelisah, Tuan Tanaka memandang polisi di depan pintu, seakan-akan meminta bantuan. Polisi itu berkata, apa adanya, “Banyak orang tidak tahu usianya. Mereka tidak punya kartu identitas atau paspor.”

“Kalau begitu saya mesti bagaimana?”

Tuan Tanaka menopang kepalanya dengan sebelah tangan, agak memiringkan tubuh. Dengan tangan yang lain ia mengambil handuk tangan kecil dari saku celana panjangnya lalu menyeka keringat dari dahinya.

“Tidak perlu terlalu akurat. Orang lain juga begitu,” kata polisi itu, yang jelas-jelas terbiasa dengan persoalan semacam ini.

“Baiklah, kalau begitu tujuh belas, ya. Atau lebih baik menuruti ibunya saja dan ambil delapan belas?”

Tuan Tanaka mencatat sesuatu pada selembar kertas di depannya.

“Di mana Anda lahir?”

“Mazari Sharif,” jawab gadis itu dengan suara rendah yang nyaris tidak terdengar.

“Mazari …. Mestilah Anda telah mengalami masa yang sulit.”

Tuan Tanaka membaca dokumennya.

“Anda orang Hazara, ya?”

Gadis itu berjeda sejenak kemudian mengangguk pelan, tanpa mengucap sepatah kata.

“Baiklah …” Tuan Tanaka bergumam sendiri.

“Di mana orang tua Anda sekarang?”

Gadis itu menyahut, seraya menunduk, “Ibu saya sudah mati.”

“Oh, maaf. Sayang sekali.”

Sembari mencatat, Tuan Tanaka tidak lupa menambahkan ucapan simpati. Kemudian ia bergumam, yang tidak perlu kuterjemahkan.

“Bagaimana dengan ayah Anda?”

Ketika aku menerjemahkan pertanyaan ini, Leyla serta-merta mengangkat pandangannya. Ia menatapku dengan matanya yang hampa, namun mengandung teka-teki. Baru kali itu kulihat mata dengan warna sedemikian, yang bukan cokelat ataupun kelabu. Mungkin matanya itu bisa dibilang berwarna cokelat kekuningan, memantulkan kerudung di seputar rambutnya.

Radar Tuan Tanaka menangkap kegelisahan gadis itu, maka ia cepat-cepat menambahkan, “Seperti yang telah Anda maklumi, kita adalah teman. Kami di sini untuk membantu Anda, maka jangan khawatir untuk menceritakan segalanya kepada saya.”

Sembari menerjemahkan, aku menyadari bahwa aku telah menjadi bagian dari lingkaran “pertemanan” yang merupakan orang asing bagi satu sama lain ini. Siapakah teman gadis muda yang tidak kenal krim pelembap ini? Seorang mahasiswi pemalas serta seorang pengacara bertubuh gempal!

“Ayah saya di Pakistan.”

Gadis itu berhenti memuntir kain cokelat kekuningan dengan jemarinya. Masih dengan diiringi kehampaan, kekelaman, dan kesunyian, matanya menerawang.

“Melakukan apa?”

“Saya tidak tahu.”

“Apa pekerjaan ayah Anda?”

Leyla menunduk. Beberapa menit lewat tanpa sepatah kata. Jelas ia tidak bermaksud menjawab pertanyaan apa pun mengenai ayahnya. Tuan Tanaka mendesah dalam-dalam.

“Saya tidak bisa berbuat apa-apa sampai Anda menceritakan yang Anda ketahui.”

Gadis itu tidak bereaksi. Ia betul-betul bertekad untuk tidak membeberkan keterangan apa pun tentang ayahnya.

“Anda punya kakak atau adik?”

Sudah menyerah akan ayah gadis itu, Tuan Tanaka mengubah haluan.

“Saya punya dua kakak laki-laki.”

“Di mana mereka saat ini?”

“Yang satu sudah mati. Yang lain bersama ayah saya.”

“Oh, maaf. Bisakah Anda menceritakan tentang kematian kakak Anda?”

“Ketika perang. Pecahan granat mengenai kepalanya. Saya tidak tahu mayatnya.”

Selagi menerjemahkan fakta mentah yang diungkapkan gadis itu dengan nada apa adanya, aku merasakan keringat dingin mengaliri punggungku.

“Apa yang dikerjakan kakak Anda bersama ayah Anda?”

“Ia membantu ayah saya.”

“Bisakah Anda memberi tahu apa yang dilakukannya?”

Sekali lagi, beberapa menit lewat tanpa sepatah kata dari Leyla.

Tuan Tanaka melihat jam tangannya.

“Waktunya sudah hampir habis.”

Aku ikut melihat jam tangannya. Sudah lewat jauh! Tanpa sadar, kami telah berada di ruangan ini selama dua jam. Wawancara ini lain dari yang kami harapkan. Tuan Tanaka telah memperingatiku bahwa wawancara pertama selalu melelahkan—tujuannya bukan untuk mendapatkan banyak keterangan, melainkan untuk membangun kepercayaan.

Banyak orang tidak suka diinterogasi pengacara. Mereka dibombardir oleh orang yang tidak dikenal betul dengan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban akurat serta ingatan jernih. Pengacara mengarungi kedalaman privasi tanpa melepas sepatu sampai memperoleh keterangan yang dapat naik banding di pengadilan. Dilihat dari mana pun juga, pertanyaan akan mencapai titik di mana kata “privasi” tidak ada artinya lagi. Klien menjawab berbagai pertanyaan sebab ada pengacara yang hendak membela mereka, namun mereka tidak pernah membuka hati. Tuan Tanaka mesti mempertimbangkan baik-baik segala yang diperbuatnya dan memahami bahwa ia mesti maju pelan-pelan supaya klien tidak bungkam. Sembari melipat kedua lengannya, dan menggeleng-gelengkan kepalanya, ia memberitahuku:

“Sekarang ini kita ada pada zaman IT, dan sebagian pengacara baru begitu sembrono dengan mengetikkan keterangan pribadi ke komputer di depan klien. Mereka tidak menyadari betapa dingin dan masa bodohnya sikap mereka itu. Kebijakan saya, setidaknya, tidak pernah memasukkan keterangan ke PC di depan klien. Mungkin nantinya saya membuang waktu dengan memindahkan keterangan dari notes ke PC, tetapi artinya saya bisa menghabiskan waktu yang berharga dengan klien dengan mengobrol selayaknya teman. Itu sangat penting untuk membina hubungan. Membuat kontak mata dengan klien selagi berbicara merupakan hal yang paling penting. Kalau kita melakukan itu, kita akan bisa memahami perubahan wajah dan reaksi kecil satu sama lain, dan akhirnya kita bisa membicarakan tentang apa saja.”

Cukup mengejutkan mengingat penampilannya, Tuan Tanaka bergairah membicarakan caranya bekerja dengan klien. Tetapi akankah itu berhasil dengan gadis di seberang panel kaca ini, dengan mata menunduk, serta kerudung terlilit di jemarinya?

“Terima kasih banyak telah mau berbicara dengan saya hari ini. Saya berencana untuk datang lagi Selasa depan.”

Selagi berbicara pada Leyla, Tuan Tanaka menatap polisi yang berdiri di belakang gadis itu seakan-akan menegaskan bahwa ini sudah cukup.

“Baiklah, tulis saja nama Anda beserta slot waktunya pada penjaga di luar,” kata polisi.

“Terima kasih.” Tuan Tanaka berdiri seraya mengangguk.

Polisi itu memanggil Leyla dan membukakan pintu di belakangnya. Gadis itu berdiri tanpa berkata kemudian menghilang lewat pintu, tanpa menoleh kepada kami.

Polisi di belakang kami membukakan kunci pintu untuk kami, dan segera kami kembali ke ruangan loker tempat kami berada sebelumnya. Ponsel dan kunci kami ada di meja. Kami mengumpulkan barang bawaan kami dan keluar. Tuan Tanaka menawariku tumpangan ke stasiun. Kami meninggalkan gedung itu bersama-sama lalu memasuki mobilnya. Sebelum meninggalkan tempat ini, kami melewati pemeriksaan terakhir di gerbang. Kaca di sisi jendela penumpang depan memantulkan huruf-huruf besar bersinar yang terbaca “Badan Perbatasan” pada dinding di belakang kami.

Tuan Tanaka menurunkan aku, tetapi aku tidak langsung menuju kereta. Aku tidak ada rencana pada sisa hari itu. Bukan berarti aku bisa berbuat semauku, tetapi aku tidak hendak kembali ke kampus. Aku hanya perlu menghirup udara segar di luar pusat Badan Perbatasan. Saat itu hampir waktu makan siang, maka mal besar di dalam stasiun disesaki oleh para pekerja kantor yang sedang mencari tempat makan, para ibu rumah tangga yang berbelanja bahan makanan di supermarket, para mahasiswa yang baru keluar dari kelas pagi, serta para pekerja serabutan yang yang sedang menganggur.

Pusat Badan Perbatasan yang gelap lagi menyeramkan berjarak hanya beberapa mil sama sekali terasa asing di sini. Stasiun yang sibuk terang benderang dan lapang, dengan taman kecil bahkan area bermain, serta dikelilingi iklan-iklan bimbingan belajar dan kampus bahasa Inggris—begitu banyaknya sekolah dengan aneka ragamnya sehingga sulit dipercaya ada yang tidak dapat membaca bahkan menulis dalam bahasanya sendiri tidak jauh dari sini. Ada banyak papan tanda untuk izakaya[1], bar karaoke, dan pusat permainan—tidak satu pun yang pernah didengar oleh Leyla. Ia bahkan tidak pernah menggunakan krim pelembap.

Aku memasuki kedai kopi kecil, memesan kopi, lalu duduk di jendela. Aroma biji kopi yang dibakar menggoda penciumanku. Kopinya masih terlalu panas untuk diminum, dan selagi menunggunya hangat, aku melihat-lihat kafe. Sementara duduk dengan nyaman, dalam lingkungan yang santai ini, aku kembali pada kenyataan. Inilah tempat aku hidup, di negara yang kaya ini. Aku mengangkat cangkir kopi dan mendekatkannya ke wajahku. Aromanya harum.

[1] Tempat minum-minum yang juga menyediakan nyamikan.

Terjemahan bahasa Inggris oleh Aoi Matsushima dalam Words Without Borders edisi Desember 2018.

Shirin Nezammafi adalah penulis Iran yang menulis dalam bahasa Jepang walaupun penutur asli bahasa Persia. Lahir di Teheran, Iran, pada 1979, ia pindah ke Jepang pada usia dewasa muda. Novel debutnya Salam memenangkan penghargaan Ryukagusei-Bungakusho pada 2006. Nezammafi merupakan penulis non-Jepang kedua (serta yang pertama dari negara yang bahasanya tidak menggunakan aksara China) yang memenangkan Penghargaan Bungakukai Shinjinsho, yang diperolehnya pada 2009 untuk novel keduanya White Paper. Ia masuk ke daftar pilihan akhir untuk Penghargaan Akutagawa yang bergengsi pada 2009 dan 2010.

Aoi Matsushima adalah penerjemah ke bahasa Jepang dan bahasa Inggris yang tinggal di London. Aoi lahir, bersekolah, dan bekerja di Tokyo sampai 1997, ketika ia pindah ke Inggris. Ia merupakan pemenang kedua Kompetisi Penerjemahan Internasional Proyek Penerbitan Sastra Jepang pertama pada 2012. Ia mengajar penerjemahan di berbagai universitas, dan saat ini merupakan dosen tamu MA penerjemahan audiovisual di Leeds University serta Roehampton University. Ia memiliki gelar MA untuk Penerjemahan Kreatif dari Bath Spa University College, Inggris, serta pernah memenangkan penghargaan Asham dan Decibel Penguin. Ia memiliki gelar BA untuk Bahasa Inggris dari Sophia University, Tokyo.

Tidak ada komentar: