Ketika seorang pengacara dan interpreternya mengunjungi
seorang perempuan Hazara di penjara Jepang, mereka mendapati ada beberapa
pertanyaan yang tidak dapat—atau tidak hendak—dijawab oleh perempuan itu.
Tuan Tanaka mengisi dua salinan formulir permohonan kunjungan lalu menyerahkannya kepada pria di sisi seberang jendela resepsionis yang kecil. Beberapa menit kemudian, sebuah pintu besi yang berat terbuka di hadapan kami, dan muncullah seorang polisi berbadan kekar lagi jangkung. Tubuhnya hampir terlalu tegap untuk ukuran orang Jepang. Otot bertonjol-tonjol dari seragamnya.
“Silakan lewat sini,” ucapnya. Ia menunjukkan kami jalan ke pintu, baru dirinya masuk dan mengunci pintu di belakang kami. Kami mendapati koridor panjang yang sempit. Pintu-pintu besi berbaris di kedua sisi, dan sesekali ada jendela kecil, sehingga keadaannya sangat gelap. Meskipun hari masih pagi, sedikit cahaya matahari yag menjangkau ke sini. Namun beberapa lampu kecil menyediakan cukup cahaya untuk melihat jalan di depan. Koridor itu mestilah cukup menyeramkan bila malam, seperti yang ada di film horor.
Polisi berbadan besar itu memandu kami ke salah satu ruangan di luar koridor. Ruangan itu diisi banyak loker. Kami disuruh meninggalkan barang-barang kami di sini. Tasku digeledah secara menyeluruh di pemeriksaan keamanan sebelum kami memasuki bangunan itu. Kami telah meninggalkan ponsel dan kunci kami di bawah tangga, sehingga aku mengira kami telah siap untuk memasuki ruang interviu tanpa pemeriksaan lanjutan lainnya …. Tuan Tanaka bergumam kesal. Tidak nyaman baginya sebab ada terlalu banyak berkas yang mesti dibawanya tanpa boleh menggunakan tas. Sembari memberengut, ia mengosongkan tasnya. Seandainya aku tahu dari awal tasku akan digeledah, aku tidak akan membawa wadah kosmetik merah muda yang gemerlapan atau stoking nilon cadangan itu. Yang lebih parah, tasku penuh tisu bekas sebab aku sedang pilek …. Aku kebanjiran rasa malu saat si penjaga melihatnya.
Tuan Tanaka mengisi dua salinan formulir permohonan kunjungan lalu menyerahkannya kepada pria di sisi seberang jendela resepsionis yang kecil. Beberapa menit kemudian, sebuah pintu besi yang berat terbuka di hadapan kami, dan muncullah seorang polisi berbadan kekar lagi jangkung. Tubuhnya hampir terlalu tegap untuk ukuran orang Jepang. Otot bertonjol-tonjol dari seragamnya.
“Silakan lewat sini,” ucapnya. Ia menunjukkan kami jalan ke pintu, baru dirinya masuk dan mengunci pintu di belakang kami. Kami mendapati koridor panjang yang sempit. Pintu-pintu besi berbaris di kedua sisi, dan sesekali ada jendela kecil, sehingga keadaannya sangat gelap. Meskipun hari masih pagi, sedikit cahaya matahari yag menjangkau ke sini. Namun beberapa lampu kecil menyediakan cukup cahaya untuk melihat jalan di depan. Koridor itu mestilah cukup menyeramkan bila malam, seperti yang ada di film horor.
Polisi berbadan besar itu memandu kami ke salah satu ruangan di luar koridor. Ruangan itu diisi banyak loker. Kami disuruh meninggalkan barang-barang kami di sini. Tasku digeledah secara menyeluruh di pemeriksaan keamanan sebelum kami memasuki bangunan itu. Kami telah meninggalkan ponsel dan kunci kami di bawah tangga, sehingga aku mengira kami telah siap untuk memasuki ruang interviu tanpa pemeriksaan lanjutan lainnya …. Tuan Tanaka bergumam kesal. Tidak nyaman baginya sebab ada terlalu banyak berkas yang mesti dibawanya tanpa boleh menggunakan tas. Sembari memberengut, ia mengosongkan tasnya. Seandainya aku tahu dari awal tasku akan digeledah, aku tidak akan membawa wadah kosmetik merah muda yang gemerlapan atau stoking nilon cadangan itu. Yang lebih parah, tasku penuh tisu bekas sebab aku sedang pilek …. Aku kebanjiran rasa malu saat si penjaga melihatnya.
Aku mengeluarkan barang-barangku yang penting—kamus dan
tempat pensil—lalu keluar dari ruangan itu. Tuan Tanaka berdebat sebentar
dengan si polisi mengenai apakah ia dapat membawa tasnya, namun pada akhirnya
ia mengeluarkan tempat pensil beserta beberapa berkas yang amat tebal kemudian
menaruh tasnya di loker. Polisi berbadan besar memandu kami lebih jauh
menyusuri koridor hingga polisi kedua muncul. Ia menyambut Tuan Tanaka, membuka
kunci pintu di depan kami, kemudian berdiri menyisi supaya kami dapat masuk.
Aku mengikuti Tuan Tanaka memasuki ruangan itu, dan si polisi jangkung
menyusul, menutup pintu, lalu berdiri dalam sikap jaga.
Ruangan itu bisa dibilang kecil dan warnanya sama kelabu
dengan seluruh gedung itu. Panel kaca membelah ruangan itu menjadi dua,
sehingga seluruh ruangan terlihat jauh lebih kecil. Ada tiga kursi di depan
panel kaca itu, dan Tuan Tanaka memilih kursi paling ujung. Aku duduk di ujung
lainnya, sehingga ada satu kursi di antara kami. Sebentar kemudian, di seberang
panel, pintu membuka dan seorang polisi memasuki ruangan. Ia membungkuk sedikit
kepada kami dari balik kaca itu, lantas berbalik dan menyilakan seseorang untuk
masuk. Di belakangnya, seorang gadis ramping dengan tinggi sedang memasuki
ruangan. Matanya menunduk. Ia mengenakan pakaian longgar berwarna-warni
berpotongan tradisional beserta kerudung panjang cokelat kekuningan dengan
motif yang berkelip-kelip tertambat di seputar rambutnya. Ia mengingatkanku
pada nomad di pedesaan, semacam orang yang hanya bisa dilihat di film-film. Si
polisi menunjuk sebuah kursi di seberang panel itu, lalu kembali ke tempatnya
di sisi pintu. Gadis itu masih menunduk, alih-alih menatap kami, lalu duduk
saja, sembari memangku kedua tangannya, tanpa mengucap sepatah kata. Matanya
tidak sekali pun berkontak pada kami sementara kami memandangi dia dengan
sungguh-sungguh.
Tuan
Tanaka berdeham lalu memulai sesi.
“Salam!” ia menyambut gadis itu dengan bahasa Dari untuk
bersikap ramah. Aku melirik map transparan besar di dekat kakinya, lalu
memerhatikan ada selebaran tipis penuh warna untuk anak-anak di dalamnya, yang
memuat daftar “salam dari seluruh dunia.”
Gadis
itu tetap menatap ke bawah, tanpa bereaksi ataupun mengangkat matanya.
Tuan
Tanaka menatap padaku. Ia mengisyaratkan: tolong terjemahkan.
“Saya Tanaka,” ucapnya, agak gugup. “Anda mungkin telah
diberi tahu bahwa, sejak hari ini, saya akan menjadi pembela Anda. Tidak ada
yang perlu dikhawatirkan, jadi marilah kita bekerja sama.” Kata-kata
sambutannya Jepang sekali, dan setelah mengutarakan yang hendak disampaikannya
itu, ia tampak lega. Ia mengubah posisi duduk lalu menoleh kepadaku. Namun
begitu aku mulai menerjemahkan perkataannya, tiba-tiba ia berdiri sembari
mengatakan, “Oh, maaf!” seolah-olah kepada dirinya sendiri. Ia menarik kartu
nama dari saku sebelah dalam jasnya kemudian menyelipkan benda itu melalui
lubang kecil pada kaca. Gadis itu tidak kuasa menyembunyikan keterkejutannya
akan tindakan Tuan Tanaka yang tiba-tiba, dan sejenak memandang kami.
Walaupun hanya sekejap, namun aku terpikat oleh parasnya.
Matanya mendung dan tanpa jiwa, seakan-akan cahayanya telah padam. Matanya sama
sekali tidak tampak seperti mata makhluk yang hidup—tetapi seakan-akan terbuat
dari plastik. Tidak ada pergerakan ataupun ekspresi. Aku tidak bisa menahan
rasa penasaran apakah ia dapat melihat dengan mata yang senyap itu.
“Tolong.”
Suara Tuan Tanaka menyadarkanku. Sembari diawasi olehnya, aku
mulai menerjemahkan perkataannya lambat-lambat, sehingga gadis itu tidak akan
kesulitan memahami aksenku.
Gadis itu sama sekali tidak bereaksi. Tadinya aku mengira ia
akan senang mendengar bahasa Dari lagi setelah sekian lama. Namun ia tampak
tidak mengenali bahasa itu. Tuan Tanaka memandangku ragu, lalu melanjutkan.
“Agar dapat bekerja sama, Anda harus menjawab semua
pertanyaan saya. Saya perlu menanyai Anda berbagai hal, yang boleh jadi agak
sulit bagi Anda, tetapi ini demi kepentingan Anda sendiri, sehingga mohon
berusahalah untuk menjawab.”
Gadis itu masih tidak menanggapi. Tuan Tanaka melirikku. Aku
memprotes dengan suara pelan, “Saya menerjemahkan persis seperti yang Bapak
sampaikan kok!”
Gadis itu menggenggam ujung kerudung panjang cokelat
kekuningannya dan mulai memuntirnya dengan jari-jari tangan yang lain.
Tangannya cokelat, keriput, dan kasar. Kulit jemarinya pecah-pecah. Kotoran
yang menumpuk menghitamkan kukunya yang pendek. Tangannya menunjukkan orang
yang tidak kenal krim pelembap.
Gadis itu tampaknya tidak mendengarkan baik Tuan Tanaka
maupun aku. Kartu nama Tuan Tanaka menggeletak terabaikan. Tuan Tanaka
mengeluarkan setumpuk dokumen dari map plastik beningnya lalu menatap daftar
pertanyaannya.
“Siapa
nama Anda?”
Aku menerjemahkan pertanyaan Tuan Tanaka pada gadis itu.
Setelah hening sesaat, gadis itu menjawab, “Leyla.” Suaranya redup, sulit
ditangkap, dan anehnya garau. Gadis itu mestilah tidak menyadari betapa seksi
dan menarik suaranya itu bagi mahasiswa laki-laki. Segera setelah mendengar
jawaban gadis itu, Tuan Tanaka menegakkan badan. Ia menatap gadis itu dengan
senang, kemudian kembali kepada daftar pertanyaannya. Dengan suara yang segar
seakan-akan baterainya telah diisi ulang, ia beralih kepada pertanyaan
berikutnya.
“Apa
nama keluarga Anda?”
“Gholam
‘Ali.”
“Kapan
Anda lahir?”
“Saat
musim panas.”
“Maksud saya tanggal atau tahun ….” Tuan Tanaka menatapku.
Ungkapan sederhana “tanggal lahir” sama sekali lenyap dari benakku. Cepat-cepat
aku mengambil kamus bahasa Dari yang kubawa tadi dari tasku lantas mencari
kata-kata yang kuperlukan. Begitu aku menemukan ungkapannya dalam bahasa Dari,
aku mengulang pertanyaan itu. Aku menutup kamusku lalu mendapati gadis itu
menatapku dengan pandangannya yang misterius. Barangkali tingkahku mencari
kata-kata di kamus itu terlihat menarik. Ketika kami bertatapan, aku merasa
merinding.
“Saya
tidak tahu. Yang dibilang ibu saya cuma saya lahir saat musim panas.”
Mata Leyla jatuh lagi. Aku memandangi wajahnya lebih saksama,
kulitnya yang cokelat, struktur tulangnya yang indah. Kerutan di seputar mata
dan mulutnya semakin jelas ketika ia bicara. Ia terlihat seperti remaja, namun
kulitnya tampak tiga puluh tahun lebih tua. Ia masih muda, tetapi kulitnya
lebih buruk daripada kulit wanita paruh baya pekerja kasar, kering sama sekali.
Tuan
Tanaka terlihat bingung. “Anda tahu berapa usia Anda?”
Gadis
itu mengangkat alis. “Mungkin tujuh belas atau delapan belas!”
“Yang
mana?”
Tuan Tanaka mulai terdengar frustrasi akan prospek tugasnya
membela orang yang bahkan tidak tahu usianya sendiri.
“Saya tidak tahu. Kakak saya bilang saya tujuh belas tahun,
tetapi ibu saya selalu bilang usia saya lebih tua setahun.”
Dengan gelisah, Tuan Tanaka memandang polisi di depan pintu,
seakan-akan meminta bantuan. Polisi itu berkata, apa adanya, “Banyak orang
tidak tahu usianya. Mereka tidak punya kartu identitas atau paspor.”
“Kalau
begitu saya mesti bagaimana?”
Tuan Tanaka menopang kepalanya dengan sebelah tangan, agak
memiringkan tubuh. Dengan tangan yang lain ia mengambil handuk tangan kecil
dari saku celana panjangnya lalu menyeka keringat dari dahinya.
“Tidak perlu terlalu akurat. Orang lain juga begitu,” kata
polisi itu, yang jelas-jelas terbiasa dengan persoalan semacam ini.
“Baiklah, kalau begitu tujuh belas, ya. Atau lebih baik menuruti
ibunya saja dan ambil delapan belas?”
Tuan
Tanaka mencatat sesuatu pada selembar kertas di depannya.
“Di
mana Anda lahir?”
“Mazari Sharif,” jawab gadis itu dengan suara rendah yang
nyaris tidak terdengar.
“Mazari …. Mestilah Anda telah mengalami masa yang sulit.”
Tuan Tanaka membaca dokumennya.
“Anda
orang Hazara, ya?”
Gadis itu berjeda sejenak kemudian mengangguk pelan, tanpa
mengucap sepatah kata.
“Baiklah
…” Tuan Tanaka bergumam sendiri.
“Di
mana orang tua Anda sekarang?”
Gadis
itu menyahut, seraya menunduk, “Ibu saya sudah mati.”
“Oh,
maaf. Sayang sekali.”
Sembari mencatat, Tuan Tanaka tidak lupa menambahkan ucapan
simpati. Kemudian ia bergumam, yang tidak perlu kuterjemahkan.
“Bagaimana dengan ayah Anda?”
Ketika aku menerjemahkan pertanyaan ini, Leyla serta-merta
mengangkat pandangannya. Ia menatapku dengan matanya yang hampa, namun
mengandung teka-teki. Baru kali itu kulihat mata dengan warna sedemikian, yang
bukan cokelat ataupun kelabu. Mungkin matanya itu bisa dibilang berwarna
cokelat kekuningan, memantulkan kerudung di seputar rambutnya.
Radar Tuan Tanaka menangkap kegelisahan gadis itu, maka ia
cepat-cepat menambahkan, “Seperti yang telah Anda maklumi, kita adalah teman.
Kami di sini untuk membantu Anda, maka jangan khawatir untuk menceritakan
segalanya kepada saya.”
Sembari menerjemahkan, aku menyadari bahwa aku telah menjadi
bagian dari lingkaran “pertemanan” yang merupakan orang asing bagi satu sama
lain ini. Siapakah teman gadis muda yang tidak kenal krim pelembap ini? Seorang
mahasiswi pemalas serta seorang pengacara bertubuh gempal!
“Ayah saya di Pakistan.”
Gadis itu berhenti memuntir kain cokelat kekuningan dengan
jemarinya. Masih dengan diiringi kehampaan, kekelaman, dan kesunyian, matanya
menerawang.
“Melakukan
apa?”
“Saya
tidak tahu.”
“Apa
pekerjaan ayah Anda?”
Leyla menunduk. Beberapa menit lewat tanpa sepatah kata.
Jelas ia tidak bermaksud menjawab pertanyaan apa pun mengenai ayahnya. Tuan
Tanaka mendesah dalam-dalam.
“Saya
tidak bisa berbuat apa-apa sampai Anda menceritakan yang Anda ketahui.”
Gadis itu tidak bereaksi. Ia betul-betul bertekad untuk tidak
membeberkan keterangan apa pun tentang ayahnya.
“Anda punya kakak atau adik?”
Sudah
menyerah akan ayah gadis itu, Tuan Tanaka mengubah haluan.
“Saya
punya dua kakak laki-laki.”
“Di
mana mereka saat ini?”
“Yang
satu sudah mati. Yang lain bersama ayah saya.”
“Oh, maaf. Bisakah Anda menceritakan tentang kematian kakak
Anda?”
“Ketika perang. Pecahan granat mengenai kepalanya. Saya
tidak tahu mayatnya.”
Selagi menerjemahkan fakta mentah yang diungkapkan gadis itu
dengan nada apa adanya, aku merasakan keringat dingin mengaliri punggungku.
“Apa
yang dikerjakan kakak Anda bersama ayah Anda?”
“Ia
membantu ayah saya.”
“Bisakah
Anda memberi tahu apa yang dilakukannya?”
Sekali
lagi, beberapa menit lewat tanpa sepatah kata dari Leyla.
Tuan
Tanaka melihat jam tangannya.
“Waktunya sudah hampir habis.”
Aku ikut melihat jam tangannya. Sudah lewat jauh! Tanpa
sadar, kami telah berada di ruangan ini selama dua jam. Wawancara ini lain dari
yang kami harapkan. Tuan Tanaka telah memperingatiku bahwa wawancara pertama
selalu melelahkan—tujuannya bukan untuk mendapatkan banyak keterangan,
melainkan untuk membangun kepercayaan.
Banyak orang tidak suka diinterogasi pengacara. Mereka
dibombardir oleh orang yang tidak dikenal betul dengan pertanyaan-pertanyaan
yang membutuhkan jawaban akurat serta ingatan jernih. Pengacara mengarungi
kedalaman privasi tanpa melepas sepatu sampai memperoleh keterangan yang dapat
naik banding di pengadilan. Dilihat dari mana pun juga, pertanyaan akan
mencapai titik di mana kata “privasi” tidak ada artinya lagi. Klien menjawab
berbagai pertanyaan sebab ada pengacara yang hendak membela mereka, namun
mereka tidak pernah membuka hati. Tuan Tanaka mesti mempertimbangkan baik-baik
segala yang diperbuatnya dan memahami bahwa ia mesti maju pelan-pelan supaya
klien tidak bungkam. Sembari melipat kedua lengannya, dan menggeleng-gelengkan
kepalanya, ia memberitahuku:
“Sekarang ini kita ada pada zaman IT, dan sebagian pengacara
baru begitu sembrono dengan mengetikkan keterangan pribadi ke komputer di depan
klien. Mereka tidak menyadari betapa dingin dan masa bodohnya sikap mereka itu.
Kebijakan saya, setidaknya, tidak pernah memasukkan keterangan ke PC di depan
klien. Mungkin nantinya saya membuang waktu dengan memindahkan keterangan dari
notes ke PC, tetapi artinya saya bisa menghabiskan waktu yang berharga dengan
klien dengan mengobrol selayaknya teman. Itu sangat penting untuk membina
hubungan. Membuat kontak mata dengan klien selagi berbicara merupakan hal yang
paling penting. Kalau kita melakukan itu, kita akan bisa memahami perubahan
wajah dan reaksi kecil satu sama lain, dan akhirnya kita bisa membicarakan
tentang apa saja.”
Cukup mengejutkan mengingat penampilannya, Tuan Tanaka
bergairah membicarakan caranya bekerja dengan klien. Tetapi akankah itu
berhasil dengan gadis di seberang panel kaca ini, dengan mata menunduk, serta
kerudung terlilit di jemarinya?
“Terima kasih banyak telah mau berbicara dengan saya hari
ini. Saya berencana untuk datang lagi Selasa depan.”
Selagi berbicara pada Leyla, Tuan Tanaka menatap polisi yang
berdiri di belakang gadis itu seakan-akan menegaskan bahwa ini sudah cukup.
“Baiklah,
tulis saja nama Anda beserta slot waktunya pada penjaga di luar,” kata polisi.
“Terima
kasih.” Tuan Tanaka berdiri seraya mengangguk.
Polisi itu memanggil Leyla dan membukakan pintu di
belakangnya. Gadis itu berdiri tanpa berkata kemudian menghilang lewat pintu,
tanpa menoleh kepada kami.
Polisi di belakang kami membukakan kunci pintu untuk kami, dan
segera kami kembali ke ruangan loker tempat kami berada sebelumnya. Ponsel dan
kunci kami ada di meja. Kami mengumpulkan barang bawaan kami dan keluar. Tuan
Tanaka menawariku tumpangan ke stasiun. Kami meninggalkan gedung itu
bersama-sama lalu memasuki mobilnya. Sebelum meninggalkan tempat ini, kami
melewati pemeriksaan terakhir di gerbang. Kaca di sisi jendela penumpang depan
memantulkan huruf-huruf besar bersinar yang terbaca “Badan Perbatasan” pada
dinding di belakang kami.
Tuan Tanaka menurunkan aku, tetapi aku tidak langsung menuju
kereta. Aku tidak ada rencana pada sisa hari itu. Bukan berarti aku bisa
berbuat semauku, tetapi aku tidak hendak kembali ke kampus. Aku hanya perlu
menghirup udara segar di luar pusat Badan Perbatasan. Saat itu hampir waktu
makan siang, maka mal besar di dalam stasiun disesaki oleh para pekerja kantor
yang sedang mencari tempat makan, para ibu rumah tangga yang berbelanja bahan
makanan di supermarket, para mahasiswa yang baru keluar dari kelas pagi, serta
para pekerja serabutan yang yang sedang menganggur.
Pusat Badan Perbatasan yang gelap lagi menyeramkan berjarak
hanya beberapa mil sama sekali terasa asing di sini. Stasiun yang sibuk terang
benderang dan lapang, dengan taman kecil bahkan area bermain, serta dikelilingi
iklan-iklan bimbingan belajar dan kampus bahasa Inggris—begitu banyaknya sekolah
dengan aneka ragamnya sehingga sulit dipercaya ada yang tidak dapat membaca
bahkan menulis dalam bahasanya sendiri tidak jauh dari sini. Ada banyak papan
tanda untuk izakaya[1],
bar karaoke, dan pusat permainan—tidak satu pun yang pernah didengar oleh
Leyla. Ia bahkan tidak pernah menggunakan krim pelembap.
Aku memasuki kedai kopi kecil, memesan kopi, lalu duduk di
jendela. Aroma biji kopi yang dibakar menggoda penciumanku. Kopinya masih
terlalu panas untuk diminum, dan selagi menunggunya hangat, aku melihat-lihat
kafe. Sementara duduk dengan nyaman, dalam lingkungan yang santai ini, aku
kembali pada kenyataan. Inilah tempat aku hidup, di negara yang kaya ini. Aku
mengangkat cangkir kopi dan mendekatkannya ke wajahku. Aromanya harum.
Terjemahan
bahasa Inggris oleh Aoi Matsushima dalam Words
Without Borders edisi Desember 2018.
Shirin Nezammafi adalah penulis Iran yang menulis dalam bahasa Jepang walaupun penutur asli bahasa Persia. Lahir di Teheran, Iran, pada 1979, ia pindah ke Jepang pada usia dewasa muda. Novel debutnya Salam memenangkan penghargaan Ryukagusei-Bungakusho pada 2006. Nezammafi merupakan penulis non-Jepang kedua (serta yang pertama dari negara yang bahasanya tidak menggunakan aksara China) yang memenangkan Penghargaan Bungakukai Shinjinsho, yang diperolehnya pada 2009 untuk novel keduanya White Paper. Ia masuk ke daftar pilihan akhir untuk Penghargaan Akutagawa yang bergengsi pada 2009 dan 2010.
Shirin Nezammafi adalah penulis Iran yang menulis dalam bahasa Jepang walaupun penutur asli bahasa Persia. Lahir di Teheran, Iran, pada 1979, ia pindah ke Jepang pada usia dewasa muda. Novel debutnya Salam memenangkan penghargaan Ryukagusei-Bungakusho pada 2006. Nezammafi merupakan penulis non-Jepang kedua (serta yang pertama dari negara yang bahasanya tidak menggunakan aksara China) yang memenangkan Penghargaan Bungakukai Shinjinsho, yang diperolehnya pada 2009 untuk novel keduanya White Paper. Ia masuk ke daftar pilihan akhir untuk Penghargaan Akutagawa yang bergengsi pada 2009 dan 2010.
Aoi Matsushima adalah penerjemah ke bahasa Jepang dan bahasa
Inggris yang tinggal di London. Aoi lahir, bersekolah, dan bekerja di Tokyo
sampai 1997, ketika ia pindah ke Inggris. Ia merupakan pemenang kedua Kompetisi
Penerjemahan Internasional Proyek Penerbitan Sastra Jepang pertama pada 2012.
Ia mengajar penerjemahan di berbagai universitas, dan saat ini merupakan dosen
tamu MA penerjemahan audiovisual di Leeds University serta Roehampton
University. Ia memiliki gelar MA untuk Penerjemahan Kreatif dari Bath Spa University
College, Inggris, serta pernah memenangkan penghargaan Asham dan Decibel
Penguin. Ia memiliki gelar BA untuk Bahasa Inggris dari Sophia University,
Tokyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar