Sekarang tengah
malam. Aku duduk di tanah, di suatu jalan besar di Yunani, di bawah jembatan.
Sakuku kosong melompong. Tidak ada dompet, tidak ada kunci, tidak ada ponsel.
Aku menyanyikan keras-keras lagu klasik dari Red Hot Chili Peppers, “Sometimes I feel like I don’t have a partner ….” Kucela diri ini. “Fiuh, klise banget sih! Gelandangan di bawah
jembatan.”
Tidak ada mobil yang melintasi jalan. Napasku beruap dalam keremangan
cahaya lampu jalan. Aku telah berjalan berjam-jam tanpa henti, dan belum makan
apa-apa selain sepotong roti kering. Tampaknya malam ini akan di luar lagi,
sendirian.
Tiba-tiba, aku melihat ada yang berkilauan di horizon. Lampu sorot mobil!
Sebuah mobil melewatiku, melambatkan kecepatan, dan berhenti di area
peristirahatan terdekat. Aku menyambar
bawaanku lalu berjalan mendekat sambil memendam harapan tinggi. Mobil itu penuh
penumpang namun aku sudah bisa membayangkan diriku menjejal di antara mereka di
jok belakang, dengan memeluk ransel merah kecilku, aman dari bekunya musim
dingin. Aku maju dengan langkah tergesa-gesa, namun berhati-hati. Aku tidak mau
menakuti mereka.
Aku menghampiri mobil itu dan mengintip ke dalam. Orang-orangnya pada
terlihat takut dan curiga, terusik oleh penebeng yang menyeramkan ini. “Hai!
Saya Tomi dari Finlandia. Bolehkah saya ikut sampai pom bensin terdekat?” tanyaku.
“Tidak,” jawab si pengemudi. Ia menurunkan jendela lalu melaju menembus
malam. Hah. Lunglai aku kembali ke bawah jembatan. “Masak sih tidak ada seorang pun di luar sini yang bisa membantu. Masak
aku sendirian terus.” Aku mengepompong diriku dalam kantor tidur—yang
dibuat untuk cuaca yang jauh lebih hangat. Aku menggosokkan kedua tanganku yang
dingin ke paha. “I don’t ever wanna feel
like I did that day. Take me to the place I love. Take me all the way.”[1]
Tetes-tetes air mata menuruni kedua belah pipiku. Hidup semacam ini tidak layak
bagi siapa pun.
Paginya aku lanjut mencari tebengan. Dua hari lagi. Dua ribu kilometer.
Tujuan: Utara. Label harga: Nol.
Sambutan hangat menanti di Berlin: penginapan gratis, makanan hasil
memulung, serta teman yang sangat menginspirasi—bukan hanya untukku melainkan
juga sekitar tiga ratus pelancong yang sepanjang tahun dapat menikmati Nomad Base yang ikut kurintis.
Kawan-kawan nomad yang datang ke Berlin tidak harus tidur sendirian di bawah
jembatan.
Selama empat tahun, 2010-2014, saya
sengaja menolak menggunakan uang. Saya tidak punya rekening bank, ataupun kartu
kredit. Saya tidak menerima uang, sekalipun ditawari. Saya tidak minta bayaran
atas pekerjaan yang saya lakukan. Selama waktu itu saya berkelana ke 42 negara
dan mengamati kehidupan orang biasa, kebiasaan serta perilaku mereka—termasuk
diri saya. Asal tahu saja, saya sebetulnya punya paspor Finlandia yang cukup
dapat melancarkan berbagai hal, dan saya bahkan menerima paspor baru sebagai hadiah.
Jadi saya tidak sepenuhnya berada di luar sistem uang. Tetapi saya
memilih untuk menjadi bagian dari masyarakat dengan satu prinsip luar biasa:
saya tidak menggunakan uang untuk berinteraksi dengan orang lain.
Walaupun
kehidupan tanpa uang terjangkau oleh siapa pun, sedikit saja orang yang mau
sampai ekstrem begitu. Apakah itu berfaedah? Memangnya apa tujuannya? Anda
sendri yang memutuskan. Buku ini menawarkan alternatif bagi orang-orang dalam
situasi kehidupan yang berlain-lainan. Saya menawarkan berbagai tip mengenai
cara untuk mendapatkan pengalaman lebih dari yang sedikit serta cara untuk
menyesuaikan ulang hubungan Anda dengan uang yang mahakuasa lagi ada di
mana-mana.
Tidak perlu menelan semuanya
sekaligus. Kunyahlah. “Sup Air Mata Pembuka” ini mengantar Anda pada menu
perangsang yang eksotis. Di akhir Anda akan disajikan “Limau Pahit Penutup”
sebagai kesimpulan. Di antara kedua bab itu Anda dapat menikmati katering tip
dalam berbagai rasa yang diatur menjadi tiga level: ringan (satu jempol),
medium (dua jempol), dan keras (tiga jempol), menurut tantangannya. Pilihlah
yang Anda suka.
Pertama-tama
saya menyoroti cara mendapatkan makanan, air, sanitasi, pakaian, dan
barang-barang lainnya secara gratis. Lalu kita mengarah pada pelancongan tanpa
uang. Selanjutnya kita menelaah keamanan, kesejahteraan, dan perhubungan
manusia tanpa uang. Ini membawa kita pada kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan
pada aktualisasi-diri, kesenangan, kreativitas, dan partisipasi.
Meskipun
saya kurang menekankan pada membantu sesama dan lebih berfokus pada menjelaskan cara
untuk memenuhi kebutuhan mempertahankan hidup sendiri, saya berharap buku ini tidak
memberi Anda kesan bahwa pelancong tanpa uang tidak lebih daripada sekadar gelandangan
atau penumpang gelap. Saya berusaha untuk tidak melelahkan Anda dengan membela
prinsip-prinsip gila saya atau mengkritik sistem yang bobrok.
Tujuan
saya yaitu memberikan Anda kesempatan untuk mempertimbangkan pilihan hidup Anda
dan terinspirasi untuk memilih jalan Anda sendiri. Di samping pengalaman saya
sendiri, buku ini mencakup banyak cerita dari orang-orang yang sudah saya kenal
bertahun-tahun. Pada dasarnya ini bukan buku perjalanan, dan cerita-cerita yang
menjadi gambaran tidak disajikan secara berurutan menurut waktu terjadinya.
Cerita-cerita ini hanyalah kilas dari situasi yang ada di jalan.
Bon appetit!
Saya berharap Anda menikmati yang ada di menu.
Saya berharap Anda menikmati yang ada di menu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar