Pada Juli 2010, setelah setahun pertimbangan dan penyangkalan, saya
memutuskan untuk mulai hidup tanpa uang. Kok bisa saya mencapai keputusan itu?
Masyarakat
serta latar belakang kewirausahaan telah mengguratkan pentingnya menghasilkan
uang dalam otak saya. Saya bekerja dengan giat untuk memajukan studi maupun
riwayat hidup saya. Saya bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi sebagaimana
setiap orang lainnya, seperti yang diharapkan dari saya.
Setelah
SMA dan Gelar Diploma dalam jurusan bisnis, saya mulai kuliah di Lappeenranta
University of Technology pada 2001. Saya kembali mempelajari Ekonomi dan
Administrasi Bisnis. Jurusan saya Manajemen dan Organisasi. Bidang ini kurang
berfokus pada keuangan dan lebih kepada meningkatkan komunikasi interpersonal.
Tadinya
saya hendak lulus cepat-cepat lalu mendapat pekerjaan dengan gaji bagus. Namun
segalanya berubah kemudian. Saya bergabung dengan AIESEC[1]—organisasi
mahasiswa global yang mengkhususkan pada pengembangan kepemimpinan pemuda.
Melalui berbagai pengalaman lintas budaya yang praktis, AIESEC membantu pemuda berkembang
menjadi pemimpin yang aktif, warga global, serta agen perubahan positif.
Kerja
sukarela memungkinkan saya untuk memperluas horizon. Saya menjadi sadar akan
nilai-nilai saya. Cinta dan persahabatan, kebebasan, pengembangan diri,
perubahan dan keberagaman, serta memberi pengaruh positif kepada masyarakat
menjadi faktor-faktor yang lebih penting bagi saya daripada memiliki uang dan
status.
Saya masih
ingat suatu kegiatan dalam seminar AIESEC yang sepenuhnya mengguncang pandangan
dunia saya. Ini terjadi di gimnasium sebuah SD di Kangasala, Finlandia.
Kami semua berdiri
dalam satu barisan dan bercanda ria. Fasilitator meminta kami membayangkan
skenario menyeramkan yang sama sekali tidak kami kehendaki jadi kenyataan.
Dalam mata batinku, aku melihat dunia pascaapokalips: segala
kehidupan—alam, binatang, dan orang—telah musnah. Tidak ada harapan yang
tersisa.
Aku tidak lagi
mendengar tawa di sekitarku.
Kami diminta melangkah maju jika kami telah siap untuk
meninggalkan hal tertentu demi mencegah terjadinya skenario ini. Fasilitator
memulai dengan mengatakan “kulkas”. Semua orang melangkah maju.
”Kelebihan pakaian.” Satu langkah.
“Ponsel.” Euh, baiklah. Satu
langkah maju.
“Kemampuan membaca.” Ada yang mulai
ragu. Satu langkah.
“Kasur.” Satu langkah. Biarpun merasa
tidak enak.
“Sambungan internet.” Aku mulai
goyah. Satu langkah.
“Rumah. Atap.” Banyak yang bergeming. Aku menggigit bibir. Satu langkah. “Uang di rekening bank.” Kebanyakan tetapi di tempat. Aku melangkah maju. Entah mengapa keputusan ini terasa mudah.
“Kesehatan.” Barangkali akulah paling akhir, yang setelah
menimbang-nimbang, masih melangkah maju.
“Kebebasan.” Aku
tidak maju lagi. Aku bingung. Apa-apaan sih ini?
Mereka memberi tahu kami: “Kalau kalian punya makanan di kulkas, tabungan
di bank, pakaian di lemari, dan tempat tinggal tetap, kalian lebih kaya
daripada mayoritas populasi dunia. Malah ada ratusan juta orang yang tidak bisa membaca. Kalau kalian bangun pagi
ini dalam keadaan sehat, kalian lebih baik daripada satu juta orang yang
nyawanya tidak akan bertahan sampai seminggu kemudian. Ribuan anak mati akibat
berbagai penyakit yang dapat disembuhkan, seperti diare, setiap hari. Kalau
kalian tidak pernah mengalami ngerinya perang, sendirian di penjara, derita
disiksa ataupun sakitnya kelaparan kalian sangat beruntung.”[2]
Aku mengusap mataku yang basah dan bertanya-tanya kenapa tidak pernah
sebelumnya tebersit olehku hal-hal begini. Di sisi lain, aku menyadari bahwa
merupakan kewajibanku sebagai orang barat yang makmur untuk mengambil beberapa
langkah menuju masyarakat yang lebih adil.
Selamanya saya bersyukur atas
AIESEC yang telah menantang pandangan saya akan dunia. Saya menjadi berpikir
ulang mengenai siapa diri saya dan bagaimana saya sebaiknya menghabiskan waktu
hidup saya yang terbatas. Saya bekerja sebagai tim dan belajar untuk memotivasi
para sukarelawan muda mencapai tujuan-tujuan bersama, semuanya tanpa imbalan
finansial.
Saya
merupakan keganjilan di antara para mahasiswa bisnis dan teknologi: seorang hippie humanis yang mempertanyakan
nilai-nilai tradisional dan tidak takut menyuarakan pendapatnya. Perilaku
semacam ini tidak disenangi. Terlepas dari komentar-komentar menghinakan—atau
justru karena itu—saya berbuat sesuai dengan kata hati saya.
Pada 2006,
sebelum kelulusan, pendirian ini membawa saya pada tantangan baru di Sri Lanka,
negara yang dilanda perang, penyakit, dan tsunami. Tahu-tahu saya berada dalam
lingkungan di mana saya bisa kehilangan nyawa kapan saja—karena bom, kecelakaan
lalu lintas, demam berdarah, atau malah lipan kecil beracun. Saya belajar untuk
tidak takut dalam kesia-siaan. Alih-alih, saya berfokus untuk menikmati baik
pekerjaan maupun kebudayaan baru yang merupakan kombinasi yang pas dengan yang
telah saya pelajari.
Walaupun
saya pandai dalam pelatihan kepemimpinan serta konsultasi strategis, saya
memiliki hasrat mendalam untuk berbuat lebih, untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki dunia. Saya telah belajar tentang kewirausahaan sosial lewat
skripsi saya. Semakin banyak yang saya temukan mengenai topik ini, semakin
yakin saya bahwa berbagai persoalan lingkungan dan sosial paling menindas dapat
dikurangi dan dipecahkan melalui kewirausahaan.
Alhasil,
ketika saya kembali ke Finlandia pada 2008, saya merintis usaha advokasi
kewirausahaan sosial. Hampir tidak seorang pun di Finlandia mengenai jalur
usaha baru ini sehingga saya menghabiskan kebanyakan waktu saya untuk
menciptakan pasar yang belum ada. Krisis keuangan global tidak membantu banyak.
Meskipun usaha saya gagal, yang lainnya terus berjalan. Sekarang ini
kewirausahaan sosial tidak saja diterima, namun hampir-hampir sudah biasa di
kalangan generasi wirausahawan yang lebih muda.
Bagaimanapun juga, pencapaian
terbesar saya ada pada tataran pribadi. Saya mencapai pemahaman bahwa
kebanyakan masalah lingkungan dan sosial kita dapat ditelusur balik pada utang
kontemporer serta sistem uang berbasis riba. Ada beberapa alternatif yang
tersedia, namun dalam pemikiran arus utama, tidak ada yang berani mempersoalkan
status quo. Segala strategi untuk
merancang masyarakat tanpa uang dianggap sebagai pemikiran utopis. Akan tetapi,
bagi saya, pertumbuhan konsumsi yang tiada henti serta pemborosan sumber daya
alam yang terbatas terdengar tidak lebih realistis. Pemikiran bahwa bisnis
dapat berlangsung terus selamanya seperti biasa lah yang utopis.
Saya mulai
mengobrolkan dengan teman-teman saya mengenai betapa kekurangan uang yang
terus-menerus memperlambat perkembangan teknologi dan betapa masyarakat yang
sepenuhnya tanpa uang dapat mengarah pada perilaku yang lebih cerdas dan
rasional. Suatu hari teman-teman saya menjadi muak mendengarkan ocehan yang
itu-itu saja dan menantang saya: “Kenapa kamu tidak berbuat sesuatu?”
Timbullah gagasan: Bagaimana
kalau saya mulai hidup tanpa uang? Pikiran yang sangat gila, bukan? Lagi pula,
selama 28 tahun belakangan saya terbiasa berpikir bahwa uang merupakan hal yang
paling penting. Meskipun begitu, kembali kepada kebodohan yang membahagiakan
juga bukan lagi pilihan.
Perlahan namun pasti saya mulai
mengambil langkah-langkah menuju visi yang liar ini. Saya bersukarela menjadi
gelandangan dan mulai memusatkan pada hal-hal yang benar-benar menggairahkan
saya—di antaranya menulis, berjalan-jalan, dan memasak. Setelah setahun
merenung akhirnya saya mengumpulkan keberanian, mengemas ransel, dan pergi ke
pertemuan penebeng di Portugal tanpa uang sepeser pun.
Perjalanan
ini menjadi petualangan empat tahun. Terlepas dari kesialan yang kadang terjadi
serta malam-malam di bawah jembatan, saya telah mencapai salah satu tujuan
saya: saya bebas.
[2]
Untuk statistik terbaru bisa dilihat di: http://www.thelifeyoucansave.org/Learn-More/What-is-Extreme-Poverty
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar