Sewaktu SMA, aku bergabung dengan klub sastra.
Meski begitu, bukannya aku suka novel atau semacamnya.
Malah, sewaktu pameran perekrutan anggota baru, ada kakak kelas super manis
yang mengajakku. “Hei kamu, ikut klub sastra, ya.”
Tanpa pikir-pikir, aku mengangguk. Apa lagi yang bisa
kuperbuat. Biarpun anggota klub sastra itu culun, dan meskipun lebih tua
setahun dari padaku, gadis itu secantik tokoh idola.
Tidak mengherankan, setelah bergabung dengan klub itu
dengan alasan yang bodoh, akhirnya tiap rapat aku malah main soliter. Ketika
sedang waktu senggang, aku main kartu di sekretariat yang ramai dengan kakak
kelas itu. Apa-apaan kami ini? Padahal kami bisa berfokus pada hal-hal lainnya
yang lebih penting.
Yah, itu sudah tidak
penting lagi. Masa lalu ya sudah lalu.
Bagaimanapun juga, kejadiannya waktu itu
sepulang sekolah saat hari ekstrakurikuler. Aku dan si kakak kelas sedang
berjalan di koridor lantai satu yang menghadap ke halaman tengah. Tahu-tahu, ia
menunjuk ke salah satu sudut halaman. “Di sana!”
“Eh, itu perundungan, kan?”
Beberapa siswa mengelilingi seorang anak
laki-laki yang mengenakan seragam SMP. Mereka menonjok perut anak itu.
Tersungging senyum lemah di wajah anak yang sedang
dirundung. Mereka yang merundung juga tersenyum lebar. Pemandangan ini sudah
lazim terjadi.
“Aduh parah.” Si gadis yang cantik itu memecah keheningan.
Sebagai orang yang sangat berempati, raut wajahnya seolah-olah ia sungguh
merasa kasihan kepada anak itu—yang seketika itu juga, melintaskan sebuah ide
hebat dalam kepalaku: aku bisa menunjukkan pada dia betapa kerennya aku.
“Perlukah aku menolong dia?”
“Kamu mau melakukannya?”
Aku mengangguk. Dalam bayanganku para
bajingan SMP itu sama sekali bukan soal. Tentu, pada akhirnya itu salah
perhitungan yang fatal.
Keadaannya baik-baik saja saat aku
menyerukan slogan, “Merundung itu enggak keren!” lalu menyerbu ke kericuhan
itu. Tidak hanya aku kena hajar, gerombolan perundung itu juga kabur. Si gadis
melihatku dengan jijik, sementara si korban terus dirundung sepanjang tahun,
sebab tindakanku sama sekali tidak berbuah.
Meski begitu, Yamazaki, si anak laki-laki yang dirundung
itu, tampaknya menghormati aku—walaupun entah kesan keliru apa yang ia peroleh
dari padaku. Ia bahkan bergabung dengan klub sastra begitu ia naik tingkat ke
SMA.
Pada waktu itu, aku sudah murid kelas
tiga. Karena si kakak kelas sudah lulus, aku sudah tidak berhasrat melakukan
apa-apa. Karena itu, aku mengatur supaya ia jadi ketua klub sehingga aku bisa
berfokus pada ujan masuk kampus. Setelahnya, begitulah, aku pun lulus.
Selain mengobrol dengan dia dua atau tiga kali saat
upacara kelulusan, aku sama sekali tidak tahu kabar Yamazaki sejak
itu—setidaknya, sampai saat ini.
***
Di tengah-tengah apartemen satu kamar enam tataminya sendiri, Yamazaki
membesar-besarkan semangatnya. Ia sama sekali belum berubah sejak terakhir kali
aku melihat dia. Ia masih ramping, dengan rambut seterang rambut orang Rusia. Awalnya,
ia terlihat agak lebih maskulin, yang ternyata tidak seperti itu. Agaknya ia
pemuda lemah, dengan potensi juang yang kecil.
“Kamu? Ini benar kamu?”
Biarpun matanya bengkak dan merah karena
habis menangis, sekarang ia tersenyum lebar. Lagu anime telah berhenti
berputar.
Terpaku di pintu, aku bertanya ragu,
“Kenapa kamu di sini?”
“Kalau kamu kenapa, Satou?”
“Aku ….” Aku hendak memberi tahu dia
bahwa kebetulan saja aku pindah ke gedung ini karena dekat dengan kampusku,
namun tanpa disadari, aku gamang. Aku tidak mau Yamazaki mengetahui status
asliku: hikikomori putus kuliah pengangguran.
Tanpa menyadari kepayahanku, dengan
bersukarela Yamazaki menjelaskan keadaannya. “Musim panas ini, aku masuk ke
sekolah teknik. Sewaktu aku mencari apartemen murah yang dekat dengan kampus,
kebetulan aku suka yang ini.”
Sepertinya ini sungguh kebetulan.
“Eh, masuklah. Tetapi ruanganku kotor.”
Kebetulan yang sulit dipercaya ini masih
membingungkanku, namun dengan hangat Yamazaki mendesakku masuk. Dengan patuh,
aku mencopot sepatu dan melangkah masuk ke kamar.
Tentu saja, tata ruangannya tidak
berbeda dengan kamarku. Tetapi … apa ini? Aku mematung
di tempat.
Ada nuansa aneh di kamar Yamazaki, hawa samar luar biasa yang belum pernah kualami sebelumnya. Ruangan itu memuat poster-poster
ganjil yang melekat sembarangan pada dinding, dua komputer besar menjulang,
segunung manga yang hampir mencapai langit-langit, serta aneka macam perabot
dan dekorasi lainnya. Semua berpadu membentuk suasana ganjil yang mengusik.
“Silakan duduk.” Suara Yazamaki
menyadarkanku.
Mengikuti arahannya, terhuyung-huyung
aku memberanikan diri lebih jauh ke ruangannya.
Mendadak, ada yang pecah di bawah kakiku
dengan suara retakan keras. Aku melompat gugup.
“Oh, itu cuma wadah CD,” kata Yamazaki.
“Enggak apa-apa kok.”
Manga, novel, video rekaman, DVD, botol
plastik, kotak tisu kosong, dan sampah lainnya mengalasi seluruh ruangan.
“Kamarku agak kotor.”
Itu mengecilkan. Belum pernah aku
melihat kamar sejorok ini.
“Tetapi, aku sangat senang. Aku tidak
pernah mengira aku tinggal di sampingmu, Satou.” Sembari duduk di tepi kasur,
Yazamaki berbicara dengan tatapan menerawang, tanpa mengindahkan bahwa aku
menginjak barang berbeda pada setiap langkahku.
Akhirnya, aku mencapai meja komputer dan
duduk di kursi putar. Aku sudah tidak begitu mabuk. Aku sudah tidak mabuk sama
sekali.
Tanpa tahu harus berkata apa, aku
menatap monitor tujuh belas inci miliknya. Monitor itu menayangkan gambar latar
anime yang tidak kukenal.
“Aneh ya kita belum pernah bertemu di
sini, padahal sudah setengah bulan aku pindah kemari.”
Aku tidak begitu mengacuhkan dia
sementara mencermati patung kecil yang dipajang di atas monitor. Modelnya
seorang anak SD perempuan memanggul tas sekolah merah.
Sementara itu, Yazamaki terus berdengung.
“Pastilah ini yang dimaksud dengan ketidakpedulian warga
kota terhadap tetangganya.”
Satu poster yang ditempelkan pada
dindingnya menampakkan gadis telanjang yang sepertinya tidak lebih tua daripada
usia SD yang, sudah bisa diterka, digambar dengan gaya anime. Aku kembali
menatap meja komputernya.
“Ada apa? Satou, kamu diam saja. Oh,
sepertinya musikku terlalu keras, ya? Lain kali aku akan berhati-hati.”
Di atas meja, terdapat tumpukan kotak persegi yang
tampaknya semacam permainan komputer. Kotak-kotak itu diberi banyak label
menakutkan—macam “penyiksaan”, “basah”, “kekerasan”, “kotor”, “dasi”,
“akademi”, “kurungan”, “perkosaan”, “biadab”, “cinta murni”, “pelatihan”,
“petualangan”—yang tidak lazim bagi banyak orang. Tentu saja, di atas tumpukan
itu, ada gambar telanjang murid SD.
Tempelannya memberitahukan, “Bukan untuk 18 tahun ke bawah.”
Kembali, terburu-buru aku berpaling,
kali ini ke arah gunung manga di samping dinding.
Yamazaki melanjutkan monolognya. “Aku
sangat senang, Satou. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu denganmu lagi,
dan aku sungguh menghormatimu. Tahukah kamu? Kamu tahu, kan?”
Aku mengambil salah satu manga dan
melihat-lihat isinya. Seperti sebelumnya, aku menemukan sewujud telanjang
seorang gadis, yang bukan apa-apa melainkan berusia SD, berikut tanda kuning
“Komik Dewasa”.
“Kamu tahu kampusku? Pasti kamu pernah melihatnya di iklan TV ….”
Aku mengembalikan buku itu ke
tumpukannya. Seraya menyeka keringat dari keningku, aku bertanya, “Kampus apa?”
Atas pertanyaanku itu, Yamazaki
membusungkan dada dan mulai menjawab. Tanpa bermaksud apa-apa, aku memutar mata
ke atas.
***
Saat itu sudah bertahun-tahun lalu. Kami tengah bermimpi.
Ini akibat kehidupan suram di gedung sekolah yang kotor, gadis-gadis muda
cantik, serta pemuda-pemuda yang tertawa kendati muram. Aku, dan setiap orang
lainnya, tengah bermimpi. Pada masa yang seperti mimpi itu, kami semua memimpikan
masa depan yang hebat.
Saat itu masa ketika kami selalu berada di sekretariat
klub usai sekolah, menghabiskan waktu yang lambat itu dengan para kakak kelas.
Dengan gugup kami mengisap rokok di balik pondok rakitan tua nan kumuh yang
kelihatannya seolah-olah gempa bisa meratakannya dalam sekejap. Kami tidak
punya pekerjaan paruh waktu,
kami tidak aktif di klub, nilai-nilai kami jelek, dan kami sama sekali tidak
punya motivasi. Meskipun aku siswa SMA yang tidak punya arah tujuan, aku selalu
tersenyum.
Suatu hari, ada yang terjadi: Di sekretariat klub kami,
tempat rongsokan dan rupa-rupa sampah mengalasi lantai, aku dan si kakak kelas
cantik memencil. “Satou, kamu mau melakukan apa nanti di masa depan?” tanyanya.
“Pertama-tama, aku mau kuliah ….
Entahlah aku mau melakukan apa, tetapi aku mesti bisa menemukan yang kusuka
mumpung aku masih di sini.”
“Hm ….”
Ia menerawang. Sekonyong-konyong, ia
bergumam, “Ingat niatmu baru-baru ini untuk menolong anak yang dirundung itu?
Itu perbuatan bodoh, tetapi kamu terlihat keren. Kamu akan baik-baik saja,
Satou. Kamu pasti akan baik-baik saja.”
Aku merasa malu.
Waktu berlalu. Ia lulus. Nantinya, di
sekretariat klub itu juga, aku dan Yamazaki duduk. Aku memelototi buku
matematika. Yamazaki berkata, “Satou, kamu akan lulus tahun ini.”
“Benar, jadi mulai sekarang kamu ketua
klubnya. Bekerja keraslah.”
“Pasti akan sepi. Semua orang tambah
tua.”
“Jangan bilang begitu selagi masih muda.
Mau rokok?” Setelah mengeluarkan rokok dari saku, aku menawarkannya kepada
Yamazaki, yang mengambilnya.
Dengan berhati-hati, ia menyalakan rokok tersebut. Ia
melancarkan serangan batuk tiba-tiba yang hebat sekali. Dengan mata berair, ia
berkata, “Kuharap lancar-lancar saja.”
“Apanya yang lancar-lancar saja?”
“Semuanya. Aku berharap bisa terus hidup
sehari-hari dengan bahagia seperti ini. Kamu juga harus bekerja keras, Satou,
dan begitu juga aku. Aku akan lulus dengan bersemangat,
dan segalanya akan baik-baik saja, entah bagaimana.”
Yamazaki diliputi harap-harap cemas. Di sekretariat klub yang kumuh itu,
disarati cahaya mentari terbenam, kami tertawa seolah-olah tengah bermimpi.
Kemudian, aku kuliah—tetapi aku keluar.
Ngeri akan hidupku yang tanpa masa depan, takut akibat kecemasanku yang tolol,
tidak mampu memandang ke depan dan tanpa
tujuan, aku terus tanpa henti menjalani kehidupan bodohku yang konyol. Aku
terkepung dari segala arah oleh kekhawatiran tak kasatmata.
Maka, aku menutup diri dan tidur. Aku
tidur sampai tidur melelahkanku. Musim semi berlalu, musim panas berakhir,
musim gugur tiba, dan musim dingin datang. Setelah itu, musim berganti menjadi
musim semi lagi yang sepoi-sepoi.
Perkembangan majuku ke masa depan telah
berhenti, dan aku sudah berada di ujung tanduk. Angin sepoi-sepoi malam nan
sejuk terasa enak, dan aku terus tidur.
Kemudian, pada suatu hari, kami bertemu
lagi. Aku dan Yamazaki bertemu lagi. Ia dulu lemah, anak yang tertindas, namun
Yamazaki masihlah orang yang cukup baik. Selama waktu itu, rupanya kami
menghirup udara kota yang sama.
Walaupun kami sama-sama tidak dapat
melihat yang konkret pada masa depan kami, kami tetap memandang ke depan.
Bahkan sekarang pun, aku dapat
mengingatnya dengan jelas—kami berada di sekretariat klub yang sangat
kurindukan, matahari terbenam bersinar menembus jendela-jendela kecil
senyampang percakapan lugu kami. “Apa yang akan terjadi pada kita?”
“Apa pun yang terjadi, terjadilah.”
“Sepertinya begitu.”
Usai sekolah yang menyenangkan,
menenangkan.
***
Kami pernah muda dan bodoh. Kami tak berharga, tanpa daya,
dan bahkan tak bisa membayangkan diri kami sendiri empat tahun ke depan.
Setelah bertemu Yamazaki lagi untuk
pertama kali dalam beberapa tahun ini, aku bertanya, “Sekolahmu di mana?”
Dengan bangga Yamazaki membusungkan dadanya karena pertanyaanku itu dan menjawab,
“Institut Animasi Yoyogi.”[1]
Hidup begitu aneh ….
“Apa kegiatanmu sekarang?” ia menanyaiku.
“Aku putus kuliah.”
Yamazaki berpaling, dan melintaslah keheningan yang rikuh.
Akhirnya, dengan suara diceria-ceriakan, aku berkata, “Omong-omong,
kenapa tadi kamu menangis?”
“Belakangan ini aku enggak masuk kuliah. Aku enggak bisa
bergaul dengan anak-anak lain. Aku enggak punya teman, dan aku baru saja mulai
hidup sendirian. Ketika putus asa, aku memutar CD-ku sekencang-kencangnya ….”
“Jadi belakangan ini sepanjang waktu kamu mengurung diri saja
di sini?”
“Be—benar.”
Aku gegas berdiri. “Tunggu sebentar,” sahutku, kemudian aku kembali
ke kamarku sendiri.
Aku kembali ke kamar Yamazaki, sembari membawa beberapa
kaleng bir dengan kedua tangan. “Ayo minum!”
“Apa?”
“Enggak apa-apa.
Kita minum saja.” Aku menyerahkan sekaleng bir kepada Yamazaki. “Keadaan
baik-baik saja. Hari ketika kita bisa lepas dari menjadi hikikomori pasti akan
terjalin.”
Sejujurnya, aku
tengah mengakui perasaanku sendiri dengan ripuh. “Tidak apa-apa, Yamazaki. Aku
profesional soal menjadi hikikomori. Selama aku bersama kamu, keadaanmu tidak
akan memburuk!”
Dengan itu, kami
minum. Kami kembali menyalakan lagu-lagu anime dan cukup mabuk hingga kesadaran
menguap. Pesta kami berlanjut hingga larut malam. Begitu CD anime itu berakhir,
kami mulai menyanyikan lagu sendiri. Karena kami sama-sama luar biasa mabuk,
mungkin kami hanya bermimpi lagu-lagu yang kami nyanyikan itu indah.
Bahkan sekalipun
itu cuma mimpi, tidak apa-apalah. Aku bernyanyi dengan semangat.
Lagu Hikikomori
Musik dan Lirik oleh Satou Tatsuhiro
Kamar satu orang,
enam tatami,
dingin membeku—Oh,
apartemen ini:
Biarpun kuingin
pergi, pelarianku jauh masih.
Berbaringku di ranjang, biarpun kuterjaga, dan tidurku enam
belas jam sehari.
Dekat bayangan kotatsu, kecoak bersembunyi.
Saat makan, kumakan sehari sekali.
Kumakin kurus tiap hari.
Kadang, kujalan ke toko serba ada,
Tapi kutakut dipandang orang.
Keringat dingin memancar,
Hingga kusadar sulitnya keluar dari kamar.
NHK, yang seperti
fantasi—
Hampa mencari dan tak menemui.
Hari ini, mentari terbenam, lemah langkahku
‘Tuk berbaring di lembap kasurku.
Berat dan letih kepalaku—
Oh, tak bisa kuterus, tak bisa kuterus!
***
Karena menggunakan
komik porno sebagai bantal sementara tidur di lantai, aku bangun dengan pusing
berat. Yamazaki terlelap dengan merebahkan kepalanya di meja.
Perlahan aku
menggoyang pundaknya. “Enggak ke kampus?”
“Hari ini aku
libur.”
Setelah
mengatakannya, Yamazaki kembali memejamkan mata.
Begitu kembali ke
kamarku sendiri, aku menggeletak di kasur. Aku menelan sebutir aspirin lalu
kembali tidur.
[1] Kampus teknik penuh
muslihat untuk orang yang ingin bekerja di industri anime/manga/gim. Hampir semua orang bisa masuk ke kampus ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar