Aku sedang berada di bandara Helsinki, dengan kulit bagus terbakar matahari,
dan sekali lagi, siap menghadapi musim dingin Finlandia yang kejam. Aku memuji
Chuck Norris dan para manusia setengah dewa lainnya karena suhunya tidak
terlalu jauh di bawah negatif. Menyaksikan lumpur kelabu, tetumbuhan palem
menjadi bukan apa-apa melainkan kenangan silam.
Aku mengenakan sepatu sobek yang kutemukan di
jalan, jin yang dihadiahkan kepadaku, dan di baliknya, bokser lungsuran
keluarga. Di ranselku ada harta karun berharga untuk cuaca seperti ini: topi
wol dari bak sampah serta sarung tangan rajutan pemberian. Nyatanya, semua
pakaian lain yang kumiliki juga pemberian dari orang-orang dengan lemari
gembung yang senang saja melepaskan beberapa kilo.
Sandal, celana pendek, dan beberapa kaus telah
kutinggalkan dalam tumpukan rapi di bulevar yang sering dikunjungi gelandangan
di Kota Panama, yang aku yakin, lebih bermanfaat bagi mereka.
Aku tidak merasa memiliki apa pun. Hanya saat
ini, sementara waktu, aku menggunakan barang-barang ini. Mereka bukan milikku.
Seandainya ada orang membutuhkan barang yang kebetulan kumiliki, dengan senang hati
aku akan memberikannya. Tidak begitu banyak barang yang bisa dibawa dalam
ransel.
Di bandara aku menjumpai seorang teman yang membawakanku berbagai macam
barang: jaket wol hangat—yang nantinya aku berikan lagi pada orang lain—serta
bot musim dingin—yang nantinya kutukar dengan alas kaki yang lebih ringan.
Selama beberapa hari pertama di Finlandia aku
ditawari lima jaket, semuanya bisa dibilang baru. Banyak yang terkejut ketika
aku mesti menolak pemberian mereka. Ketika ransel adalah rumah, kita tidak
ingin menyimpan terlalu banyak.
Pemberian ini mengingatkanku pada kenyataan bahwa sekalipun jika kita
berhenti memproduksi pakaian baru selama satu dekade, kita akan tetap
berkecukupan dengan yang sudah kita miliki. Akan tetapi, dengan begitu kita
harus mengatur distribusi, pemakaian bersama, perbaikan, dan penggunaan
kembali. Intinya, kita akan membutuhkan sistem berbagi di antara sesama yang
cuma-cuma. Apakah yang menghalangi kita dari menggunakan pakaian serta
barang-barang lainnya sebagaimana kita memanfaatkan buku di perpustakaan?[1]
Aku ingat ketika berusia empat tahun aku memulung mainan dan gim dari bak
sampah di halaman belakang toko mesin jahit milik orang tuaku.
Aku ingat semua pakaian yang sama sekali masih
bagus yang kutemui selagi melangkah di jalanan kota seluruh dunia.
Kuingat pula anak-anak kecil di Nikaragua yang
datang menjual pakaian ke pertanian tempat kami menjadi sukarelawan. Mereka
memperoleh pakaian itu sebagai donasi dari lembaga nonprofit yang dijunjung di
masyarakat yang lebih makmur yang, pada gilirannya, menerima busana tersebut
secara cuma-cuma dari orang-orang idealis yang bersedia membantu. Aku penasaran
berapa banyak di antara kawan sukarelawan kami yang membeli kembali kaus bekas
mereka.
Walau demikian sebagian besar kenanganku berupa orang-orang luar biasa itu
yang telah berbagi milik mereka serta memenuhi kebutuhanku berkenaan dengan
barang-barang pokok.
Baiklah Finlandia, ayo sini! Aku sudah siap menghadapi musim dinginmu yang
indah.
Tips untuk memperoleh akses pada barang-barang pokok:
Pernak-pernik
Bagus: Konsumsi
Bersama
Barang-barang
Tahan Lama: Lepaskan Barang Tak Berguna
Harta
Karun Berharga: Hukum Tarikan
[1] http://www.young-germany.de/topic/play/art-fashion/the-kleiderei-hamburgs-lending-library-for-clothes
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar