Saat itu cerah di
Ukraina. Aku dan pacarku hendak mencari tumpangan ke Odessa. Sinar matahari
yang teramat terik serta kepulan debu dari jalan menjadikan pencarian tumpangan
agak menantang. Setelah beberapa saat aku muak menunggu dan menyerah. Baru saja
aku hendak bernaung di bawah pohon, aku memerhatikan ada Land Rover baru
berhenti tepat di depan teman jalanku.
Tidak dapat kupercayai pandanganku. “Masak barang begitu berhenti untuk kami?” pikirku keras. Melihat mobil
seperti itu bak keajaiban di tengah lalu lintas yang sarat oleh Ladas purba
serta kendaraan-kendaraan kalengan lainnya.
Kami masuk dengan waspada, berusaha supaya
tidak mengotori jok belakang yang mengilap. Si sopir kaya berperut buncit
mengenakan kaus putih dan celana pendek. Di sampingnya sang istri supermodel
Rusia. Lelaki itu menyetir gila-gilaan, apalagi di jalur kiri, memberi jalan
hanya untuk truk-truk yang menjelang kami. Ia bahkan menyalip mobil-mobil
polisi, meluncur bak orang gila. Sepertinya ia sudah membayar tilang di muka.
“Apa pekerjaan Anda?” tanyaku, bukan untuk
berbasa-basi melainkan aku sungguh-sungguh tertarik untuk mengetahui sumber
kemakmurannya.
“Kami tidak bekerja. Yang kami lakukan cuma
berbelanja,” sang istri mengikik dan merapikan rambut pirangnya. Aku tercengang
oleh jawaban itu.
Selagi kami mendekat ke Odesa, mereka
menanyakan hotel tujuan kami. Kami memberi tahu mereka kami berkelana tanpa
uang dan kami sudah senang bisa bermalam di pantai. Bagi mereka, ini tidak bisa
diterima. Mereka mendorong kami ikut ke hotel apartemen mereka. Kami menerima
pemberian itu dengan senang hati.
Akan tetapi, ini baru awal dari arus hadiah yang tiada henti.
Begitu kami mencapai apartemen, aku masuk ke
kamar mandi. Ketika aku kembali, pasangan itu telah pergi. Yang ada cuma
pacarku yang termangu-mangu, berdiri kebingungan di ruang tamu, sembari
memegang seberkas uang kertas pecahan besar. Ia menjelaskan bahwa, tepat
sebelum mereka pergi, pria itu menyelipkan uang ke jin pendeknya, seolah-olah
ia penari tiang atau semacam itu. Cukup arogan, kan? Setelah berembuk sejenak,
kami menerimanya sebagai perbedaan budaya.
“Hei,
mereka sama sekali tidak bekerja untuk memperoleh uang itu. Kita pergi yuk dan
langsung menghabiskannya supaya tidak memikirkannya terus,” saranku.
Ia menyetujui dan tersenyum lagi.
Kami makan piza paling mahal di kota itu dan
menenggak dua pint bir yang harganya tidak masuk akal. Sisa uang kami habiskan
untuk bir dan rokok yang kami sumbangkan kepada sekelompok pemusik yang
mengamen di jalan. Uang pun habis. Sambil tertawa-tawa puas kami kembali ke
hotel. Hati senang walaupun tak punya uang.
Pasangan itu tengah duduk, terlihat bosan dan
kecewa. “Kami menunggu kalian. Ayo makan,” perintah mereka dalam bahasa Inggris
yang buruk.
Kami berusaha menolak dan menjelaskan bahwa kami sudah tidak lapar, bahwa
kami telah membeli makanan dengan uang mereka. Mereka tidak mau menerima
jawaban “tidak”. Kami memutuskan bahwa yang sopan mungkin menuruti mereka saja.
Di luar hotel pria itu menyewa mobil Mercedes
antik dengan atap terbuka. Ia menyuruh sopir membawa kami berempat
melihat-lihat pemandangan. Sering sekali kami berhenti untuk berfoto-foto
dengan kamera mereka. Si istri supermodel berpose dengan pacarku dan mengangkat
roknya untuk memperlihatkan kakinya yang jenjang. Si pria tampak kebosanan.
Ia melempar segepok uang pada si sopir lalu
menggiring kami ke kereta kuda yang mentereng. Empat kuda putih menarik kami
melewati jalanan Odessa yang berpenerangan indah menuju restoran. Suasananya
luar biasa romantis namun pria itu tidak kunjung tersenyum.
Tahu-tahu rambut kuda itu membangkitkan
alergiku. Aku mesti berjalan-jalan sejenak mengambil udara serta menyeka mataku
yang basah sebelum bergabung dengan yang lain di restoran.
Pertunjukan berlanjut, dijalankan kembali oleh
si miliuner berperut buncit. Ia memesan anggur mahal, terlihat tidak senang,
menyuruh-nyuruh para pelayan serta menyorongkan uang ke saku mereka. Ia memesan
steik paling mahal yang ada. Ia tidak menyukainya. Ia meminta pelayan
membubuhkan garam dan merica pada steiknya—tidak sembarangan melainkan pada
titik-titik tertentu yang ditunjuknya. Mereka patuh dengan sopan. Meski begitu,
ia masih tidak menikmati makanannya. Steik separuh dimakan serta beberapa botol
anggur yang hampir tidak tersentuh ditinggalkan di meja yang dihiasinya dengan
lembaran uang sebelum kami pergi.
Kami telah terbiasa akan jamuan ramah tamah
serta kesediaan untuk berbagi dari orang-orang, namun kali ini keterlaluan,
melampaui batas.
Dalam perjalanan kembali ke hotel kami berhenti untuk mengambil beberapa
foto lagi. Si istri supermodel kembali memamerkan tubuhnya, semakin berani saja
dari waktu ke waktu.
Di hotel aku masuk ke kamar mandi. Lagi-lagi,
ketika aku kembali, pacarku cuma berdiri dengan tampang bingung. Kali ini ia
memegang kamera mereka. Tanpa sepatah kata. Ia cuma menyorongkan kamera itu
kepadaku lalu kabur ke kamar kami. Kenapa ia begitu terkejut? Baru kemudian aku
menyadarinya.
“Foto! Foto!” si pria menyeru dan berpose di
sofa dengan istrinya. Si istri menggerakkan tubuhnya dengan gemulai dan
melucuti pakaiannya. Aku mengambil gambar, seraya menganggap ini cuma
main-main.
“Foto!” si pria mengulangi sementara istrinya
melanjutkan pertunjukan striptis. Dengan ragu, aku mengambil foto lagi.
Si pria memerintahkan aku untuk terus mengambil
gambar dan dengan segera si istri telanjang bulat. Tiap mengambil foto baru aku
semakin merasa gelisah.
Akhirnya si istri membuka ritsleting pria itu
dan mulai mengisap kemaluannya. “Foto! Foto!” si pria meminta dengan sangat.
Cukup.
Cukup sudah! Aku melempar kamera ke sofa dan
tergesa-gesa menyusul pacarku di ruangan lain. Aku mengunci pintu.
Momen menggilakan. Seperti kelinci ketakutan
kami menatap pintu, tanpa bergerak, seraya berharap dan berdoa mereka tidak
akan mengajukan gagasan muluk-muluk lagi kepada kami.
Untunglah, mereka membatalkan rencana mereka akan entah kegiatan bersama
apa lagi yang telah mereka pikirkan. Pagi-pagi kami pergi terburu-buru,
diiringi hening dan malu. Akhirnya aku paham maksud segala pemberian itu.
Mereka mengira dapat membeli kami, untuk memuaskan entah fantasi macam apa.
Tidak mau. Kami bukan barang dagangan.
Selama
bertahun-tahun saya menjadi kenal beberapa individu yang terlalu kaya.
Orang-orang seperti ini biasa kebosanan. Entah di mana dan berapa banyak yang
mereka habiskan, tampaknya uang tidak lagi memberi mereka kebahagiaan. Di sisi
lain, mereka takut kehilangan yang mereka miliki. Mereka melindungi harta
mereka secara fanatik.
Orang-orang paling ramah, murah hati, dan menyenangkan berada
di negara-negara yang kita labeli miskin. Orang-orang di sana terbiasa
mengandalkan satu sama lain, mencari perlindungan dari lingkungan
masyarakatnya. Meski begitu, seiring dengan menyebarnya nilai-nilai barat ke
seluruh dunia, kelompok-kelompok masyarakat tradisional ini pun mengubah cara
hidup mereka. Tidak selalu ke arah yang lebih baik.
Generasi
orang tua saya, Baby Boomers, biasa
menimbun barang kalau-kalau suatu saat butuh. Dengan mempertimbangkan bahwa
sewaktu kecil mereka melarat dan kemudian dicuci otaknya oleh media massa agar
menjadi pekerja dan konsumen yang patuh, bisa dimaklumi bahwa mereka mencari
perlindungan dari harta mereka.
Semakin banyak ruang dibutuhkan untuk menyimpan tumpukan
barang yang ditimbun. Lebih jauh ini meningkatkan biaya tetap untuk merawat
yang dimiliki. Dengan kata lain, mereka terus-terusan harus bekerja untuk
menghasilkan lebih banyak uang. Uang ini kemudian dapat digunakan untuk
menjaga, memperbarui, serta membuang gunung-gunungan barang. Dan, ups,
tikus-tikus yang berlarian tak kenal ampun menjadikan balapan ini semakin laju.
Untuk mengatasi laju balapan yang semakin cepat ini lahirlah
yang disebut Slow Movement[1].
Gerakan ini, secara perlahan, menjadi semakin populer. Akan tetapi, masyarakat sekitar
menggembar-gemborkan pesan yang berbeda: Ini dunia kanibal tempat yang cepat
dan kuatlah yang mencapai puncak. Jangan cemas! Kenyataannya tidak seperti itu.
Anda baru bisa menghargai keindahan dan kebahagiaan hidup yang lebih lambat dan
sederhana jika Anda mencobanya.
Idealnya, orang dapat memutuskan sendiri tindakannya, waktu
pelaksanaannya, serta besar upaya yang dibutuhkan. Paling tidak saya membutuhkan
relaksasi dan waktu untuk tidak berbuat apa-apa untuk memastikan bahwa ketika
inspirasi menerjang saya siap untuk bekerja kreatif gila-gilaan.
Kedengarannya tidak begitu mustahil, kan? Berikut ini
beberapa pertanyaan untuk direnungkan. Pilihlah beberapa yang paling sesuai
dengan situasi hidup Anda:
- Apakah Anda ingin sewaktu-waktu bisa bersantai?
- Bisakah Anda membayangkan menukar mobil Anda dengan sepeda atau transportasi umum?
- Apakah pindah ke apartemen yang lebih kecil sesuai bagi Anda?
- Bisakah Anda merelakan sebagian barang Anda? Mendaur ulangnya? Memberikannya?
- Maukah Anda menghentikan kebiasaan yang tidak perlu?
- Seberapa mungkin Anda belajar menikmati hal-hal sederhana dalam kehidupan?
- Bisakah Anda mengurangi waktu kerja Anda?
- Bisakah Anda berganti pekerjaan atau menjadi wirausahawan?
- Mungkin satu tahun sebagai nomad digital?[2]
- Apakah Anda butuh perhatian lebih pada kesejahteraan dan pengembangan diri Anda?
- Bagaimana dengan waktu untuk membina hubungan? Alam? Hobi? Tidak melakukan apa-apa?
- Adakah seniman dalam diri Anda? Bagaimana cara menyempatkan diri untuk menciptakan hal baru?
- Apa yang akan Anda lakukan sekarang seandainya Anda tidak punya komitmen lain?
Apa pun norma sosial yang berlaku, ataupun yang diharapkan
orang dari Anda, kenyataannya Anda bisa melakukan apa pun yang Anda hendaki,
sebanyak yang Anda inginkan, dan sepelan yang Anda maui.
Dalam kasus saya pribadi, saya
menyederhanakan hidup saya selama bertahun-tahun sebelum terjun ke kehidupan
tanpa uang. Saya merelakan mobil saya. Saya pindah berkali-kali dan secara
sadar selalu mengurangi barang milik saya. Saya mulai melihat ke dalam diri,
untuk menemukan hal-hal yang sungguh berarti bagi saya. Penyederhanaan ini
memudahkan untuk mengambil keputusan yang bagi kebanyakan orang terdengar cukup
radikal. Yang saya miliki tinggal sekotak peralatan makan, 300 keping CD, dan
dua karung pakaian. Merelakan hal-hal tersebut tidak lagi terasa begitu sulit.
Ambillah langkah-langkah kecil. Rencanakan kemenangan-kemenangan sederhana.
Sukses!
[1] https://www.slowmovement.com/
[2] https://en.wikipedia.org/wiki/Digital_nomad
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar