Saat itu bulan Maret. Tahun pertamanya di SMA
hampir berakhir. Tadinya Shuya mengira dia tidak akan sanggup menahan
perjalanan panjang pulang pergi ke SMA Rikkyo dari rumahnya di Meguro. Dua jam
setiap hari terbuang di kereta untuk bolak-balik ke Saitama! Tapi banyak
pekerja kantoran dan lain-lain yang melakukannya, ibunya mengingatkan dia. Begitu
pula dengan teman-temannya. Satu jam masing-masing untuk pergi dan pulang tidak
sepantasnya dikeluhkan. Bahkan sekalipun dia mesti berganti kereta sampai empat
kali.
“Coba
baca buku,” kata mereka. “Kamu kan suka baca—manfaatlah kesempatan itu.”
Shuya memang suka baca. Dan ternyata dia suka menulis juga. Kegiatan favoritnya sepulang sekolah adalah Klub Sastra. Anggotanya menghabiskan sebulan untuk mengarang haiku, sebulan untuk cerpen, dua bulan skrip, dan satu semester untuk menulis novel. Untuk novel rasanya berat. Tapi sampai waktu itu semuanya berjalan menyenangkan.
Sayang
sekali Rikkyo pindah ke pinggir kota pada 1960. Sebelumnya, sekolah itu
berlokasi di Ikebukuro—Shuya bisa sampai ke sana dalam waktu singkat. Rikkyo
adalah salah satu SMA Barat pertama di Jepang. Awalnya sekolah itu dibangun di
Tsukiji, dekat pasar induk ikan, namun bangunannya hancur oleh Gempa Bumi Besar
pada 1923, yang merusakkan sebagian besar Tokyo. Tiap kali dipindahlokasikan,
sekolah itu bertambah luas.
Libur
musim semi menjelang. Kemudian pada bulan April akan ada banyak siswa baru
pecicilan yang memulai tahun ajaran. Shuya sangat ingin menjadi salah satu
siswa yang berpengalaman. Sekarang ia sudah terbiasa dengan rutinitas
perjalanan ulang-aliknya. Di kereta jalur Yamanote biasanya tidak ada tempat
duduk yang tersisa, namun perjalanannya cepat. Shuya biasanya mendapat bangku
di perjalanan berikutnya. Dengan begitu ia bisa menempatkan diri dan selama 13
menit berikutnya membaca novel mini di telepon selulernya. Shuya memiliki
ponsel Docomo biru pirus dengan tali gantungan tikus hitam plastik. Ia mendapat
ponsel itu di SMA—tikusnya merupakan hadiah dari kakaknya, karena Shuya lahir
pada tahun Tikus.
Hari
ini Jumat, agak dingin, namun cerah. Besok kemungkinan sama saja. Shuya agak
menggigil di peron. Berandai-andai dia membawa jaket hari ini, berharap besok
dia ingat. Tapi begitu berdesakkan dalam kerumunan berdiri kereta putar, ia
lupa sudah kedinginan. Ah, Minggu ia bisa di rumah saja dan ibunya pun akan
membiarkan dia tidur sampai pukul sebelas. Tapi, sekarang, turun di Ebisu,
dapat tempat duduk di kereta menuju Ikebukuro. Shuya mengeluarkan telepon
seluler lalu membukanya. Baca apa, ya? Kebanyakan novelet ponsel itu kisah
percintaaan yang tolol. Shuya suka cerita-cerita hantu serta fiksi ilmiah. Yang
begitu agak lebih sulit ditemukan. Tapi ia menemukan satu yang kelihatannya
menarik:
Mestika Pantat
Jauh di pegunungan sungai-sungainya sehijau batu
giok. Bening pula. Orang bilang, ikan gurami yang berenang di sini sama sekali
tidak berasa lumpur. Pada awal Juni, kunang-kunang merelap di sepanjang
bantaran membentuk kabut yang berkelap-kelip. Sekarang ini sudah tidak banyak
tempat ada aliran begini jernih dan kunang-kunangnya pun saat menetas menjadi
bintang yang berpendaran. Mereka tidak sulit ditangkap. Kita bisa menjebaknya
menggunakan mahkota bunga lonceng dan membuat lentera mungil. Anak-anak gadis
yang senang melakukannya.
Aku
tahu dulu ada makhluk lain yang juga tinggal di sungai-sungai ini. Aku pernah
melihatnya sekali. Seekor kapa. Sehijau sungai, dengan kulit berbonjol-bonjol
seperti mentimun dan rambutnya awut-awutan serupa rumput sungai. Kurus kering,
badannya setinggi anak manusia umur tiga tahun, kapa itu sedang berjongkok di
pinggir sungai, membilas sesuatu seraya berkomat-kamit. Saking sibuk dengan
pekerjaannya, kapa itu tidak memerhatikanku yang memandangnya dari seberang
sungai. Matahari bersinar terputus-putus menembus potongan-potongan kabut yang
naik dari perairan. Sinarnya mengilaukan apa pun itu yang sedang dibasuh si
kapa secara berhati-hati.
Benda
apakah yang sedemikian berharga? Aku penasaran. Aku berpura-pura
menggeliat-geliutkan jemariku di air, seakan-akan mau menakut-nakuti cebong dan
sama sekali tidak memedulikan apa pun di seberang bantaran. Bisakah si kapa
mengetahui bahwa aku melihat dia? Aku harap tidak. Baru kemarin, sepupu
temanku, yang sedang berkunjung dari kota dan tidak mengakrabi arus serta
bebatuan sungai, terbentur kepalanya pada batu besar lantas tenggelam. Baru
kemudian dia ditemukan di hilir pada hari itu juga. Aku mendongak lagi. Si kapa
sudah pergi.
Kapa
tidak memiliki jiwa, namun mendambakan memilikinya. Yang itulah sebabnya dia
selalu mencari orang yang lengah sehingga bisa diseretnya ke dasar sungai.
Begitu orang itu berhenti memberontak dan menggelepar, akhirnya lemas, si kapa
mengulurkan tangannya yang hijau ceking itu ke dalam anus orang itu untuk
mengeluarkan mestika pantat. Orang boleh saja mengira bahwa jiwanya berada di
hati atau mungkin kepala, tapi kenyataannya ada di usus. Kapa mengetahuinya.
Inilah mestika pantat nan berharga, dan selagi kita hidup, di sinilah terdapat
jiwa.
Aku
tidak ayal lagi bahwa pada hari itu aku berjumpa kapa yang sedang mencuci
mestika pantat yang baru dicabut. Kuharap dia puas. Kuharap dia bisa menjaganya
sehingga tidak merasa perlu mengambil lagi. Tapi boleh jadi, seperti manusia,
kapa tidak puas dengan satu saja kalau ada kesempatan yang lain. Entah apa yang
memuaskan kapa. Mungkin mereka hanya menyukai rasanya …. Meski begitu, aku
tidak pernah berenang di sungai sehijau giok yang bening itu. Aku juga tidak
memakan ikan gurami gemuk ataupun, sungguhan, menikmati kelip redup
kunang-kunang lagi.
Shuya
menutup ponselnya. Ia belum pernah melihat kunang-kunang di Tokyo. Selalu ada
banyak orang yang naik di stasiun Shibuya. Mereka berhimpitan seperti sarden
kalengan. Muncul pengumuman seperti biasanya.
“Mohon
aktifkan mode hening pada ponsel Anda.”
Kenapa
juga sih mereka harus repot-repot bilang, batin Shuya. Gerbong itu sepenuhnya
sunyi. Tidak seorang pun bicara kepada yang lain, apalagi pada ponsel. Begitu
banyak orang dalam ruangan yang sempit lagi kecil begini. Meski begitu, hampir
semua orang sedang membaca. Shuya pun menggulir lebih banyak cerita. Lalu dia
menemukan:
Lubang
Tornado yang mengerikan itu memudar di kejauhan,
meninggalkan desa itu menjadi rawa-rawa rusak yang terdiri dari sawah-sawah
hancur, pohon-pohon tercabik, serta rumah-rumah roboh. Pakaian, mobil, buku,
botol, kursi, sepatu, dan lukisan terperam dalam reruntuhan remuk. Segala yang
tersisa telah menjadi sampah. Sementara orang pada bertetesan balik ke yang
dulunya rumah mereka, walikota mengimbau semua orang agar menguatkan diri bahwa
setidaknya mereka masih hidup.
“Besok
kita akan mulai bersih-bersih ….”
Maka
demikianlah yang terjadi. Selama berminggu-minggu sesudahnya, orang-orang
memilah sisa-sisa desa mereka. Jalan-jalan dibersihkan, batas-batas properti
dipulihkan. Suatu hari ada yang memerhatikan munculnya lubang yang sebelumnya
tidak ada di situ. Setidaknya, tidak seorang pun ingat ada yang seperti itu di
tempat tersebut. Mereka memutuskan untuk mendorong sampah yang telah diratakan
dari reruntuhan bangunan ke dalam lubang itu. Lenyaplah sampah itu ke bawah.
Sesudahnya, pembersihan berlangsung jauh lebih cepat. Segalanya yang dibuang ke
dalam lubang itu menghilang begitu saja.
Suatu
hari, muncul suara melayang-layang di langit. Asalnya entah dari arah mana
persisnya, hanya saja dari suatu tempat di atas sana.
“Hei!
Lagi apa kalian di bawah sana?”
Kerikil
bergemerutukan ke tanah. Yang mendengar hanya seorang pekerja bangunan yang
pada saat itu baru saja melepas helmnya untuk menyeka keringat dari dahi. Ia
mengedarkan pandang mencari suara siapa itu. Para rekannya tengah sibuk
menjalankan buldoser. Ia pun mengangkat bahu dan lanjut menyekop.
“Ikebukuro
…. Ikebukuro …. Perhatikan bawaan Anda ….”
Shuya
menutup teleponnya dan berjuang mencapai pintu dalam gelombang kerumunan. Ia
harus naik kereta ke Saitama dari sini. Ia pun berlari kencang supaya tidak
ketinggalan. Dari ini, ia akan melawan keramaian, sebab kebanyakan orang datang
memasuki Tokyo dari pinggir kota. Ia tidak pernah kesulitan mendapat
tempat duduk. Setelah menempatkan diri, ia membuka lagi ponselnya.
Setelah
beberapa lama, desa-desa tetangga yang juga mengalami kerusakan akibat tornado
mendengar tentang lubang yang sepertinya tidak berdasar itu, dan menanyakan
apakah mereka dapat membuang sampah mereka ke situ juga. Orang-orang desa itu
pun melihat peluang, dan mulai menarik bayaran untuk jasa pemanfaatan lubang
itu. Segera saja, kantor rekonstruksi setempat mendengar kabar ini dan mereka
pun mengontrak agar dapat membung semua sampah dari proyek-proyek pemugaran ke
dalam lubang itu. Pastinya pemerintah pusat tergerak untuk mencari tahu, dan
tidak lama kemudian semua politikus membuangi dokumen yang sebaiknya tidak
diketahui surat kabar ke dalam lubang itu. Lenyaplah semuanya itu ke bawah
tanpa jejak. Pabrik kimia tertimpa kecelakaan yang menghasilkan timbunan sampah
terkontaminasi. Kenapa tidak memasukkannya ke lubang itu saja? Tapi, tidak
semua orang menganggapnya sebagai gagasan bagus.
Suatu hari seorang remaja lelaki dari desa itu sedang
berjalan-jalan dekat lubang itu. Ia mengambil segenggam batu dan berlagak
hendak melontarkannya ke dalam situ.
“Sebaiknya
jangan,” temannya memperingatkan.
“Kenapa
tidak?” Ia melontarkan bebatuan itu keras-keras ke dalam lubang.
“Hei!
Lagi apa kalian di bawah sana?” teriaknya sembari melakukan itu.
Selesai sampai situ.
Apa-apaan
ini …? Shuya mengejapkan sebelah mata. Ia sampai lupa awal cerita, sehingga ia
menggulir balik ke atas halaman. Oh. Begitu, ya. Ha ha. Lumayan juga.
Siapa
yang menulis ini, ya? Namanya baru dengar. Shuya cukup yakin bagaimanapun juga
itu nama palsu. Ia membayangkan salah seorang gadis di kelasnya yang dongkol
saat mengetahui cerita percintaan kesukaannya ditulis seorang pria paruh baya.
Dalam cerita itu, si narator bersuara selayaknya seorang remaja perempuan,
sehingga gadis itu mengidentifikasikan diri sepenuhnya.
“Iyuh—menjijikkan!”
seru dia.
“Kenapa?”
tanya Shuya.
“Soalnya
… lagian, ini cerita bohongan.”
Shuya
memikirkannya. Bagaimanapun juga, bisa dibilang semua fiksi itu kebohongan. Apa
masalahnya kalau ada pria paruh baya yang menulis selayaknya seorang gadis
remaja? Mereka memperdebatkan persoalan ini di Klub Sastra. Apakah penting
mengetahui tentang si pengarang untuk dapat menghargai karyanya? Atau, begitu
suatu cerita dituliskan, apakah cerita tersebut melayang bebas dari
pengarangnya? Menurut pendapat Shuya, pria tua yang bisa menulis seperti
seorang gadis itu justru patut dikagumi. Itu yang namanya kreatif! Malah, lebih
kreatif daripada gadis yang menulis seperti gadis—yang, sering kali, cukup
membosankan.
Kereta
itu hampir mencapai pemberhentian Shuya selanjutnya, Asagiridai. Tujuh menit
lagi berjalan ke sisi utara stasiun untuk mengejar sambungan berikutnya. Masih
ada waktu untuk satu cerita lagi. Ia sudah menemukan cerita lain yang mau
dibacanya.
Perjalanan Baru ke Angkasa
Pada tahun 1960-an, tampaknya tidak masuk akal
mengandaikan bahwa dalam lima puluh tahun lagi, kita dapat berbulan madu ke
bulan jika kita menghendakinya. Pastinya, kita memperkirakan bahwa pada 2010
manusia setidaknya akan sudah dapat melanjutkan ke Mars, atau bisa saja lebih
jauh.
Tapi ternyata, manusia lah yang menjadi masalah. Kerapuhan
tubuh dan pikiran manusia takluk pada radiasi ganas di luar kepompong atmosfer
kita … kita lah mata rantai yang lemah. Maka sebuah tim ahli genetika bekerja
sama dengan NASA untuk mengembangkan manusia dengan karakteristik yang diambil
dari hewan—perilaku yang dapat memberikan manusia kegunaan di angkasa.
Saya
seorang reporter ilmiah. Saya menulis ini dalam perjalanan mengunjungi lab
rahasia untuk melaporkan kemajuan mereka. Saya diantar ke kantor Dr. Koda,
pemimpin lab. Ia membawa saya dalam tur untuk melihat yang telah dikerjakan tim
itu. Serum genetik telah diciptakan. Serum itu dapat dimasukkan dalam dosis
yang bervariasi, tergantung pada berapa lama efek yang diinginkan agar
bertahan. Di ruangan pertama yang kami masuki, sekelompok pemuda sedang
membungkukkan badan di lantai. Mereka melompat begitu pintu membuka—tapi tidak
sebagaimana lazimnya. Tungkai kaki mereka yang sangat kuat itu mengangkat
mereka sampai hampir mencapai langit-langit.
“Gen
kodok,” kata doktor. “Dengan gen itu mereka mudah menjangkau bagian mana saja
yang perlu diperbaiki di dalam kendaraan angkasa.”
Di
pojok ruangan lain, seorang pria besar berdiri tenang. Entah apa yang sudah
diberikan padanya.
“Kekuatan
sapi jantan,” saya diberi tahu. “Berguna untuk membangun koloni setelah misi
mendarat.”
Di
ruangan yang lainnya lagi, seorang wanita meringkuk tidur di sofa. Matanya
hampir tidak terbuka saat kami masuk.
“Kungkang,”
kata doktor. “Untuk sebagian besar waktu perjalanan, para penjelajah mesti dapat
memperlambat metabolisme mereka dengan banyak tidur. Selain itu,” ia
menambahkan, “kungkang tidak akan merasa bosan ….”
Satu
demi satu saya diperlihatkan berbagai subjek yang telah diberikan esens genetik
dari hewan yang berlainan. Saya terkesan dan menanyai Dr. Koda apakah ada
kegagalan.
“Kami
telah mencoba ikan,” jawab doktor. “karena akan berguna apabila manusia dapat
bernapas dalam air. Tapi yang terjadi para subjek justru menumbuhkan sisik ….”
Dengan
rajin saya mencatat segalanya.
“Mungkinkah,”
tanya saya, “saya mengamati transformasi yang sedang terjadi? Tidak perlu yang
rumit … cukup contoh yang sederhana saja.”
“Baiklah,
mari kita lihat …. Saya punya sebotol kecil esens monyet. Ini yang pertama-tama
kami kembangkan, karena yang paling dekat dengan genom manusia.”
“Hebat!”
kata saya, sementara doktor itu meraih tabung kecil yang ada di rak. “Berapa
lama efeknya bertahan?”
“Oh,
sekitar sepuluh menit,” jawabnya, sembari membuka tabung itu kemudian meneguk
isinya.
Segera
saja esens monyet itu menampakkan diri. Doktor itu melompat ke mejanya dan
meregangkan mukanya menjadi seringaian yang lentur. Pertunjukan ini begitu lucu
sehingga saya tertawa. Dan tawa saya mendorong jiwa monyetnya untuk terus
mempertontonkan tampang konyol. Saya tertawa begitu keras sampai menjatuhkan
pena. Terengah-engah, saya pun mencari keran air. Karena tertawa terus saya
jadi haus. Doktor-monyet itu segera saja memerhatikan yang saya inginkan lantas
melonjak-lonjak ke luar ruangan. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa
satu mug gelas yang tinggi berisi cairan kuning berbusa.
“Terima
kasih!” Mengira cairan itu bir, saya pun meneguk banyak-banyak ….
Shuya
tidak dapat menahan dengus tawa. Jebakan monyet … ia sama sekali tidak
memperkirakannya dari sebuah cerita fiksi sains dengan awalan yang melangit. Ia
masih tersenyum saat menonaktifkan mode senyap di ponselnya sembari turun dari
kereta. Lalu ia menelepon Ryu temannya agar bertemu di gerbang sekolah.
Klub
Sastra bertemu pada pukul 2.30 sore ini untuk sesi terakhir pada tahun ajaran
itu. Shuya hendak mengusulkan supaya mereka semua mencoba menulis novelet
ponsel selama liburan musim semi, kemudian mengunggahnya atas nama klub itu
pada awal semester berikutnya. Ia menyampaikan gagasan itu kepada Ryu.
“Jadi
kita semua anonim, ya? Penulisnya tidak disebutkan?”
“Iya.”
“Kamu
mau menulis apa?”
“Belum
tahu,” kata Shuya. “Aku baru dapat ide ini saja.”
Ryu
ragu-ragu. “Hidupku terlalu membosankan. Aku tidak tahu mau menulis apa.”
“Pakai
imajinasimu. Kamu kan tidak mesti menulis tentang kehidupanmu sendiri.”
=
Sekolah usai dan semua orang yang ikut klub menuju
ke tempat pertemuan masing-masing. Orang pada membeli jus dan camilan untuk
merayakan. Ketika Shuya berdiri hendak menyatakan usulannya untuk libur musim
semi, ruangan itu tahu-tahu mulai bergoyang. Gelas-gelas terlempar ke lantai
meskipun orang pada berpegangan ke pinggir meja. Lampu berkelap-kelip dan buku
berjatuhan dari rak.
“Gempa!”
murid-murid menjerit.
“Ke
bawah meja!” ada yang berteriak.
Mereka
telah sering melakukan latihan ini. Serta-merta, para murid menjauh dari
jendela dan merunduk ke bawah meja. Tiap sekitar lima menit, getaran
mengakibatkan bangunan bergemuruh. Ada beberapa murid yang mengeluarkan ponsel
untuk menelepon rumah, tapi sambungannya tidak jalan.
Setelah
goyangannya reda, beberapa orang berjalan ke stasiun kereta di Niiza, namun
tidak ada kereta yang beroperasi. Mereka kembali ke sekolah. Kebanyakan murid,
terutama yang komuter, memutuskan untuk menginap di sekolah. Kepala sekolah
berkeliling membawa pelantang suara, mengingatkan para murid agar tidak
berpencar dari teman-teman sekelasnya dan tidak kembali ke dalam bangunan.
Makanan akan dibagikan, begitu pula dengan selimut dari persediaan darurat
sekolah. Gempanya berpusat di sebelah utara, dari Tohoku, dan juga ada tsunami
besar …. Baru itu saja yang diketahui Shuya sekarang.
Udara
menjadi dingin. Shuya lagi-lagi berandai dia membawa jaket. Ia duduk beradu
punggung dengan Ryu, yang mengisap ingus pelan-pelan.
Shuya
mengeluarkan buku catatan dari ranselnya. Guru IPA pernah membahas tentang
gempa bumi dan ikan lele minggu lalu. Guru tersebut menceritakan mitos tentang
ikan lele—dulu orang percaya bahwa ada ikan lele raksasa tinggal di bawah
tanah, dan saat ikan itu menggeliat, akibatnya bumi berguncang. Baru-baru ini,
ilmuwan mengamati bahwa ikan lele sensitif khususnya terhadap perubahan medan
listrik di atmosfer. Dan seiring dengan ini, kenyataannya tepat sebelum gempa
bumi terjadi, ikan lele menjadi gelisah.
Ini
sepertinya bibit yang bagus untuk cerita fiksi sains, pikir Shuya. Tapi kenapa
harus ikan lele? Ada monster yang hidup di bawah tanah, tertidur tenang sampai
ada suatu hal yang membangkitkan dia ….
Seketika
itu gempa susulan meriak di halaman sekolah. Ryu mulai merengek, sehingga Shuya
menonjok bahunya pelan.
“Ingat
cerita tentang ikan lele itu?” tanyanya. “Di bawah tanah?”
Ryu
mengangguk.
“Nah,
mungkin saja itu sama sekali bukan ikan lele. Mungkin itu dinosaurus, atau …
tahu kan, yang kayak Gozila atau apalah ….”
Ryu
berhenti menyedot ingus.
“Dan
mungkin ada sebongkah batu istimewa yang harus diperbaiki posisinya supaya
monster itu diam lagi ….”
Ryu
memerhatikan. Shuya melihat batu itu dengan mata batinnya. Warnanya abu-abu
gelap dan permukaannya halus, persis seperti batu biasa. “Orang harus punya
kemampuan tinggi supaya bisa merasakan kekuatannya,” katanya pada Ryu.
“Kemampuan
macam apa?” Ryu penasaran.
“Kemampuan
mengamati,” tegas Shuya. “Melihat hal-hal yang tidak diperhatikan oleh orang
biasa.”
Ia
menetapkan bahwa batu itu sebagian besar terpendam dalam bumi, sehingga yang
kelihatannya seperti batu biasa yang diam di tanah ternyata serupa puncak
gunung es dari sebongkah batu yang sangat besar. Seketika, ide tersebut
mengilhamkan puntiran untuk mengakhiri cerita.
Shuya
yang telah terinspirasi itu pun membuka buku catatannya lantas mulai menulis
dengan garangnya.[]
Liza Dalby seorang antropolog budaya dan penulis yang kariernya berfokus pada Jepang
dalam karya nonfiksi (Geisha, Kimono), fiksi (The Tale of Murasaki, Hidden
Buddhas), serta memoar (East Wind Melts the Ice). www.lizadalby.com
Cerpen ini diterjemahkan dari "Shuya's Commute" dalam Tomo: Friendship Through Fiction—An Anthology of Japan Teen Stories, disunting dan diberi kata pengantar oleh Holly Thompson, diterbitkan oleh Stone Bridge Press, California, edisi pertama, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar