Secara
umum, narkoba dapat digolongkan ke dalam salah satu dari tiga kategori besar:
penyemangat, penenang, dan psikedelik. Penyemangat adalah narkoba yang dapat
membuatmu energik. Kokain dan stimulan merupakan narkoba penyemangat yang
terkenal. Penenang merupakan narkoba seperti heroin, yang bikin lembam. Aku
tidak pernah mencobanya, sehingga tidak ada pengalaman langsung, tapi kelihatannya
sih mengonsumsi obat-obatan tersebut rasanya sangat enak. Sedangkan psikedelik
merupakan halusinogen. LSD dan jamur ajaib mewakili kategori tersebut.
Seringnya sih, aku lebih suka
halusinogen legal. Efek sampingnya sedikit—tidak seperti obat-obatan
penyemangat dan penenang—dan lebih daripada itu, obat-obatan tersebut mudah
diperoleh karena legal.
Pada hari setelah jalan-jalan
bersama Misaki, aku mengonsumsi obat-obatan lagi. Aku memutuskan untuk
mengambil pendekatan yang agak agresif.
Pertama-tama, untuk pendahuluannya adalah tiga puluh miligram
AMT. AMT merupakan antidepresan yang telah diteliti oleh para ilmuwan Rusia.
Setelah mereka menemukan bahwa dosis besar dapat mengakibatkan efek
halusinogen, obat tersebut dilarang untuk penggunaan medis. Meski begitu, pada
dasarnya itu hanyalah antidepresan. Setelah mengonsumsinya, selama dua jam
pertama, akan ada serangan mual yang parah. Tapi, begitu berakhir, rasanya
sepenuhnya menyenangkan. Obat tersebut juga paling baik untuk melawan
halusinasi buruk.
Selanjutnya, aku mendidihkan biji tumbuhan harmal lalu
meminum lapisan kuning pada cairan itu yang mengambang di permukaan. Harmal,
tumbuhan yang kukira merupakan famili rujak polo, berasal dari Tibet dan
mengandung komponen psikedelik tipe Indole, harmin dan harmala. Memakainya itu
sendiri tidaklah menghasilkan efek tertentu. Tapi, bila dikombinasikan dengan
halusinogen seperti jamur ajaib atau DMT, efeknya menguat lusinan kali lipat.
Itulah yang dinamakan dengan metode Ayahuasca. Karena harmal
merupakan penghambat MAO, penggunaannya dapat mengancam nyawa apabila dikonsumsi
bersama keju atau produk-produk susu-susuan lainnya. Tapi, asalkan jenis
makanan tersebut dihindari, semestinya sih tidak akan menimbulkan masalah.
Nah, kesempatanku yang sebenarnya
telah tiba. Kesadaranku telah meredup, dan sudut-sudut penglihatanku pun
berguncang liar—tapi di sinilah, lawatanku yang sebenarnya akan dimulai. Aku
akan terus dan terus melaju!
Setelah menggilas lima gram jamur ajaib kering dengan cobek
dan muntu, aku menggelontor serbuk itu dengan seteguk air jeruk. Sudah begitu,
aku memberanikan diri dengan memasukkan sepuluh miligram kristal 5-MeO-DMT. DMT
merupakan obat yang hanya mengandung komponen efektif dari tumbuhan-tumbuhan
halusinogenik seperti chacropanga, yang digunakan penduduk asli Amazon
dalam upacara-upacara Ayahuasca. Meskipun legal, obat ini katanya merupakan
satu di antara yang terkuat yang dapat ditemukan. Berdasarkan sebuah teori,
efek-efek halusinogeniknya seratus kali lebih kuat daripada LSD. Benar-benar
psikedelik pamungkas.
Dalam sedetik saja, aku telah
lumpuh! Obat-obatan itu telah bekerja!
The Satou Special—metode pamungkasku yang hebat, ditemukan melalui penelitian
dan uji coba—telah komplet.
Dengan memadukan secara efektif
empat tipe obat menjadi satu koktail, aku dijanjikan perlawatan pamungkas, yang
obat ilegal sekalipun tak akan dapat menjangkaunya. Dengan tolakan keras,
seolah-olah mengendarai pesawat roket, aku terlontar jauh-jauh ke luar angkasa.
Waktu terhenti sepenuhnya. Angkasa mulai melengkung seluruhnya. Ragaku
menghilang.
“Gawat ini, Satou. Aku menemukan hal yang dahsyat! Aku
mendapatkan sebuah epifani!” Yamazaki mengumumkan.”Ini parah, parah banget.”
Aku berusaha mengatakan sesuatu,
tapi mulutku tak mau bergerak.
Yamazaki menjadi rusuh. “Kamu
dengar? Dengar baik-baik: Ini benar-benar parah!”
Karena tidak bisa berbuat apa-apa
lagi, aku mendengarkan baik-baik.
Seraya mengangkat tubuh
setegak-tegakknya serta memasang seringai terlebar yang dapat dibayangkan,
Yamazaki berkata, “Aku dapat membuktikan secara logis bahwa aku adalah
satu-satunya Tuhan yang menciptakan alam semesta!”
Matilah aku.
Kemudian aku hidup lagi.
“Lihatlah, aku aku membersihkan
kamarmu ini sekarang, dengan menggunakan kekuatan superku.” Yamazaki
mengarahkan jarinya kepada sampah yang berserakan di lantai dan berseru,
“Bergeraklah!”
Tentu saja, sampah itu tidak bergeser barang setitik pun.
“Hei! Aku perintahkan kamu! Kenapa
kamu menentangku?” Yamazaki murka.
Selagi
mengamati situasi ini, aku merasakan ada yang terbit di dalam diriku. Suatu
sensasi aneh menggelegak dari lubuk-lubuk terdalam tubuhku. Seraya bersedekap,
aku memikirkan perasaan ini secara saksama. Akhirnya, setelah yang terasa
seperti selama-lamanya, aku menyadari apa gerangan itu. Aku tahu, ini adalah ….
Rasa mual! Aku diserang mual parah.
Aku berusaha lari ke kamar mandi, tapi jalan ke sana demikian menantang. Kedua
kakiku tak dapat bergerak maju. Lorong serasa merentang jadi terowongan sepanjang
setengah kilometer. Kamar mandi begitu jauhnya. Bisakah aku mencapainya?
Dapatkah aku sampai ke kamar mandi sebelum memuncratkan muntah ke mana-mana?
Aku akan
baik-baik saja. Tenanglah.
Yamazaki baru saja mengatakannya.
Ia mengatakan, “Akulah Tuhan.”
Tapi aku tahu. Aku tahu bahwa
kata-katanya itu sama sekali salah. Bagaimana aku mengetahuinya? Sebab Aku
lah Tuhan! Aku baru saja memastikan kebenaran itu sebentar lalu, menggunakan
proses pemikiran logis yang menyeluruh.
Aku
pasti akan sampai pada waktunya. Akulah Tuhan. Aku akan sampai ke kamar mandi pada waktunya.
Aku berhasil.
Sembari membungkukkan diri di depan toilet, muntahlah aku.
Sesudahnya, aku merasa jauh lebih baik. Lantas, aku menjadi energik. Aku merasa
sangat nikmat. Meloncat-loncat pelan aku kembali ke kamar, lantas kutemukan
Yamazaki tengah berjongkok. Ia masih menyeringai.
“Ini buruk. Anak-anak SD itu buruk.”
Sambil bergumam pelan, ia terlihat seperti tengah memikirkan suatu perbuatan
kriminal.
Karena suatu sebab, keadaannya itu
memicu suatu perasaan déjà vu yang teramat kuat. Yang semacam ini sudah pernah terjadi,
bukan …? Selagi aku memikirkannya, sekonyong-konyong sepuluh perasaan déjà vu yang keras secara berturut-turut menyerangku. Segala yang
kulihat sudah pernah terjadi.
Kuputuskan untuk mengajak Yamazaki
membicarakan tentang sensasi ini. Sejenak kemudian, aku menjadi tak yakin atas
yang sebenarnya tengah berlangsung. “Eh, apa kita sudah pernah membicarakan
soal ini?”
“Bicara apa kamu, Satou? Aku enggak tahu apa—“
“Tunggu sebentar. Biar kupikir dulu baik-baik.”
Sembari menelungkup di lantai, aku
berpikir sekeras mungkin. Selagi begitu, aku bisa ingat …. Aku adalah prajurit
dari suatu peradaban kuno beberapa ribu tahun yang lalu, yang telah
bertransmigrasi melintasi ruang dan waktu hingga datang ke dunia ini. Tentu
saja, kuputuskan untuk menyimpan penyingkapan ini dari Yamazaki. Lagi pula, ini
merupakan rahasia yang teramat penting.
Sebentar kemudian, Yamazaki memecah
pikiranku. “Bernapaslah. Kamu sekarat tuh.”
Aku pun mengambil napas. Tersadarlah aku. Sungguh aku
berterima kasih kepada Yamazaki, merenungkan betapa dunia ini bersalutkan
cinta. Aku menundukkan kepalaku dan mengatakan, “terima kasih, terima kasih.”
Akan tetapi, seakan-akan hendak
mengimbangi kembali hidupnya aku, Yamazaki tahu-tahu bertingkah seolah-olah
mengalami nyeri fisik yang hebat. Seraya mencengkeram lehernya, ia
berguling-guling di lantai, menggeliat-geliat kesakitan. Saat kutanya,
“Kenapa?” ia hanya mengeluarkan jeritan bengis serta, tanpa berkata apa-apa,
terus saja berkejang-kejang.
Akhirnya, ia menjumput sebuah buku
tulis serta pena bolpoin untuk mengomunikasikan persoalannya kepadaku. Dengan
kedua tangan yang gemetar, ia menuliskan sesuatu dalam buku tulis itu.
Perlu waktu untuk mengartikan
huruf-hurufnya secara saksama: “Aku lupa caranya menggunakan suaraku.”
Yamazaki mencengkam lehernya,
terlihat sengsara. Aku menggebuki punggung dia sekeras-kerasnya.
“Aduh!” ucapnya, lantas
mengacungkan jempolnya untukku. Senyum lebarnya kembali.
Aku putuskan sudah waktunya kami
keluar rumah. Saat itu sudah tengah malam, sehingga aku tidak khawatir kami
bakal terlihat oleh polisi atau tetangga.
Kami menuju ke arah taman perumahan.
Yamazaki berjalan seperti robot. Mungkin ia memang robot. Pada akhirnya,
mungkinkah aku punya pemikiran yang seperti itu sekaligus menjadi manusia?
Pikiran ini sedikit ganjil.
Seketika
itu, aku coba membanting-bantingkan kepalaku pada lampu jalan di taman. Parah:
tidak terasa sakit. Kepalaku sama sekali tidak terasa nyeri. Aku memang robot ….
Hingga, aku mendapatkan suatu kebenaran baru.
Biarpun begitu, taman malam-malam
begini tampak cantik. Walaupun sumber cahayanya cuma lampu jalan, taman
bersinar dan berkilauan bak foto yang diambil dengan menggunakan teknik long
exposure. Taman ini begitu semarak. Segalanya berdenyut-denyut oleh
kehidupan: derit lembut bangku tua, napas teratur pepohonan besar yang berbaris
di jalan, liukan dinamis ranting-ranting dan daun-daun. Semua ini, setiap hal
yang tersisa ini, begitu hidup.
Selagi aku terpaku oleh keadaan
itu, Yamazaki berkata, “Ada musik.”
Aku mendengarnya juga. Dari suatu tempat di taman ini,
dimainkan musik yang tak terperikan indahnya.
Kami mencari sumber musik
itu—dengan menyibak jalan menembus rerumputan, melongokkan kepala ke bawah
bangku, menyisiri taman beberapa lama—ketika, akhirnya, kami menemukan sebuah
alat pelantang suara. Alat tersebut terbenam di balik akar-akar pohon terbesar
dekat jalan.
Akan tetapi, ini aneh. Kami tidak
benar-benar memahami cara kerjanya alat tersebut. Aku dan Yamazaki pun
memikirkannya bersama-sama. Kami menyimpulkan bahwa alat ini merupakan sebuah
“lubang putih”, yang mengeluarkan benda-benda alih-alih mengisapnya masuk.
Kami berjalan memasuki lubang putih
itu dan menongol dekat sebuah danau yang indah. Lambat-lambat Yamazaki melepas
pakaiannya lalu terjun dengan kepala terlebih dahulu ke dalam danau itu. Tetapi
…. “Argh! Ini tuh kotak pasir!”
Tampaknya danau itu, kenyataannya,
sekadar kotak pasir. Tapi penampakannya benar-benar menyerupai danau bagiku.
Aku putuskan tak bisa memercayai perkataan Yamazaki itu.
Bagaimanapun juga, rasanya
seolah-olah waktu tengah mempermainkan kami. Awalnya, kami kembali ke masa
lalu, dan sekarang kami menuju ke masa depan. Aku memenungkannya. Kalau begitu
kapankah “sekarang” itu?
“Hei, Yamazaki. Sekarang hari apa sih?”
Tak ada jawaban. Sepertinya ia
sudah balik ke rumah.
Karena menjadi sedih, aku pun
memanjat masuk ke dalam semak-semak, memilih tempat kami meletuskan bom pada
malam Minggu.
Di dalam semak-semak itu ada aku
dan Yamazaki—dari tiga hari lalu!
“Baiklah, bomnya akan meledak tiga
menit lagi. Mundurlah jauh-jauh.”
Aku, aku, dan Yamazaki pun mundur.
“Aku ingin menjadi seorang yang revolusioner, tapi mimpi itu
enggak terwujud. Aku ingin jadi prajurit, tapi mimpi itu enggak terwujud.
Ayahku sekarat, sehingga mau enggak mau aku harus pulang kampung. Entah salah
siapakah itu. Sepertinya ada penjahat di luar sana entah di mana. Aku ingin
meledakkan dia, seperti di film-film Hollywood, dengan bom ini. Tahu kan ….”
Karena aku
hanya bisa melihat punggung kami, aku tidak bisa mengecek ekspresi Yamazaki
saat mengatakan itu. Tapi aku sudah tahu.
“Hah? Sudah tiga menit, tapi kok
belum meledak juga.” Yamazaki melangkah ke arah bom itu. Seketika itu, aku
mendengar dentuman keras, dan tumbanglah Yamazaki.
Aku tahu. Aku tahu dia menangis.
“Ini enggak ada kekuatannya sama sekali. Bom yang sudah kubuat dengan susah
payah ini dayanya cuma setara beberapa petasan. Payah nih. Aku mau pulang
kampung saja. Sampai jumpa.”
Maka, pulanglah ia ke kampung halaman.
Saat aku kembali ke apartemenku,
hanya boneka anime seukuran manusia peninggalan Yamazaki yang menantiku. Ia
bertanya, “Kamu enggak kesepian?”
“Enggak, aku enggak kesepian ….”
Pada
hari yang cerah lagi hangat itu, aku pergi jalan-jalan bareng Misaki. Acara itu
terkembang sama sehatnya dengan kencan anak-anak SMP di pedesaan.
Kami naik kereta ke kota. Orangnya ramai sekali, sehingga
kami hampir-hampir terpisah. Kami sama-sama tidak punya telepon seluler. Maka,
kalau kami sampai terpisah, berakhirlah segalanya. Di kota besar begini, kami
tidak akan bisa saling bertemu lagi. Kami harus berhati-hati.
Walau bagaimana, Misaki mengeluyur seenaknya saja. Aku
sendiri seringnya cuma terseret-seret. “Mau ke mana nih?” tanyaku.
“Ke suatu tempat.”
“Makan siang bagaimana?”
“Lo, kita baru saja makan, kan?”
“Bagaimana kalau bioskop?”
“Oke.”
Kami pun menonton bioskop. Film aksi Hollywood yang menakjubkan.
Ada orang yang terhantam jauh oleh bom, dan ia mengayun-ayunkan kedua lengannya
berputar-putar sementara melayang tinggi-tinggi ke langit. Kemudian, dia mati.
Betapa inginnya aku seperti dia.
“Filmnya menarik banget, ya. Menurutmu aku mending beli pamflet
informasinya[1], enggak, ya?”
Tapi, Misaki terhantam oleh label harganya yang seribu yen,
sehingga tidak jadi membelinya. “Kenapa sih mahal banget?!”
“Biasanya harganya segitu, kan?”
“Hm, masak sih?” Sepertinya dia tidak tahu.
Begitu keluar dari ruang teater bioskop, sekali lagi kami
tidak tahu mau apa.
“Mau ke mana nih?”
“Suatu tempat.”
“Makan siang bagaimana?”
“Kita sudah makan, kan?”
Terus saja kami berkeliaran. Tidak ada tempat yang dituju,
dan aku pun tidak tahu mau apa. Misaki merasakan hal yang sama, dan kami
sama-sama gelisah jadinya.
Akhirnya, kami sampai di taman kota yang keterlaluan
besarnya. Tentu saja, di sana ada banyak orang—dan tepat di tengah-tengahnya
ada air mancur besar. Merpati-merpati berkibaran di sekitar kami.
Terduduk di bangku, aku pun
linglung. Kami bercakap-cakap ramah hingga mentari terbenam. Akhirnya, kami
kehabisan topik pembicaraan. Ketika yang tersisa hanyalah keheningan kami yang
menggelisahkan, Misaki mengeluarkan buku catatan rahasia miliknya dari tas.
“Mari melangkah menuju impian kita!”
Aku menjawab, “Itu sudah enggak
penting lagi. Yang begituan enggak bakal mengubah apa-apa.”
“Jangan negatif begitu ah.”
“Bahkan
meskipun aku berusaha meyakini kebohongan-kebohongan itu, pada akhirnya, tidak
akan ada yang bisa aku lakukan.”
“Sebenarnya, aku jadi merasa agak normal.”
“Mananya?”
“Menurutmu aku enggak terlihat normal?” tanya dia.
“Kamu tuh aneh,” ungkapku. “Dari dulu kamu itu aneh. Sejak
pertama kali aku bertemu kamu, aku berpikir kamu itu rada-rada.”
“Masak ….”
Kami sama-sama terdiam.
Di depan kami, seekor merpati terkedek-kedek. Misaki coba
menangkapnya. Tentu saja, merpati itu lari. Misaki mencoba lagi berkali-kali.
Setelah semua percobaannya itu gagal, ia menatap saja air mancur di depan kami.
Kemudian, ia berkata, “Satou, omong-omong soal kita berdua,
dan siapa di antara kita yang lebih enggak berharga, pasti kamu kan yang lebih
enggak berharga daripada aku?”
Aku menyetujui dia sepenuhnya.
“Nah, itulah makanya. Itulah makanya kamu terpilih untuk
proyekku, Satou.”
Sepertinya, pada akhirnya Misaki memutuskan hendak
membicarakan inti persoalan. Tetapi, pada sekarang ini, tidak akan ada bedanya,
karena tidak ada yang akan berubah. Setidaknya, begitulah keyakinanku.
Misaki menyunggingkan senyum palsu sehingga siapa pun akan
melihatnya gugup. Senyum goyah dibuat-buat yang hanya menyentuh bibir,
mengangkatnya ke atas secara tidak wajar.
Ia memulai. “Anggapan awalnya adalah tidak mungkin ada
seorang pun yang bakal menyukai orang seperti aku.”
“Kamu benar-benar berpikir seperti itu?”
“Sudah seperti itu sejak aku lahir. Sampai-sampai ibu dan
ayahku membenciku, apalagi orang lain.”
Aku tidak menyahut.
“Paman dan bibiku mengambilku, tapi aku hanya menimbulkan
masalah bagi mereka juga. Hubungan keduanya jadi memburuk, dan mereka bilang
akan segera bercerai. Semua ini salahku, dan aku sungguh menyesalinya.”
“Kamu terlalu banyak berpikir.”
“Enggak kok,” ujarnya. “Mungkin aku
memang terlahir untuk jadi orang enggak berguna, dan orang normal enggak ada
yang mau berurusan sama aku. Pada akhirnya, semua orang mulai membenciku, dan,
gara-gara aku, semua orang jadi merasa buruk. Aku punya bukti nyata yang
membenarkan kata-kataku ini.”
Misaki menggulung lengan bajunya.
Ia menjulurkan kedua lengannya sehingga terlihat olehku. Ada banyak luka
memedihkan bekas sundutan merusak kulitnya yang putih.
“Ini perbuatan ayah tiriku. Aku
bahkan enggak ingat wajahnya. Ia selalu mabuk. Sewaktu mabuk, suasana hatinya
bakal membaik—tapi meskipun suasana hatinya lagi bagus, dia selalu marah
padaku, menyundutku dengan rokok.” Ia mengatakan semuanya dengan senyum lebar yang
tegar.
“Aku bahkan takut sekolah dan
enggak bisa pergi. Tentu saja, aku takut …. Enggak mungkin aku bisa cocok sama
orang lain. Aku takut sekali. Karena kalau mereka normal, mereka pasti bakal
mulai membenci orang seperti aku.”
“Bagaimana dengan orang-orang di gerejamu?”
“Mereka orang baik. Semua orang di
sana cukup normal, dan mereka pekerja keras. Jadi, tentu saja, mereka enggak
mau berurusan dengan aku.”
Aku diam saja.
“Akhirnya, aku bisa menemukan orang yang lebih enggak
berharga daripada aku: orang yang sungguh-sungguh enggak berarti. Orang yang sama sekali enggak ada nilainya—jenis yang sulit
ditemukan begitu saja. Orang yang enggak bisa menatap lawan bicaranya, yang
bukan main takutnya sama orang lain. Orang yang hidup di antara sampah
masyarakat, orang yang aku sekalipun bisa merendahkan dia.”
“Siapakah itu?”
“Satou.” Ucapannya persis seperti yang kuperkirakan.
Kemudian, Misaki mengeluarkan secarik kertas dari tas lalu
menyerahkannya kepadaku. Kertas itu berisi kontrak kedua.
Aku merasa tak yakin mesti berbuat apa. Matahari
hampir-hampir di bawah horizon, dan jumlah orang yang berjalan-jalan di taman
telah menyusut drastis.
Misaki memberiku spidol serta bantalan tinta merah terang[2],
sembari mengatakan, “Cap jempol juga enggak apa-apa.
“Lagian, orang seperti kamu, Satou, mungkin saja menyukai
aku, ya kan?” tanya dia. “Maksudku, kamu kan enggak lebih berharga daripada
aku. Karena aku sudah menjalankan rencana ini dalam waktu lama, semestinya
sekarang ini kamu sudah menjadi tawananku, ya kan? Tolong, baik-baiklah sama
aku, dan aku bakal baik-baik sama kamu juga.”
“Enggak. Ini enggak bakal berhasil.”
“Kenapa?”
“Enggak ada gunanya. Enggak ada yang bakal berubah.
Kesepakatan ini cuma bikin segalanya terasa lebih menyakitkan. Di samping itu,
ini terlalu hampa.” Aku bangkit dan mengembalikan spidol serta tintanya.
Aku mencoba antusias. “Kamu akan baik-baik saja, Misaki! Kamu
cuma lagi enggak percaya diri saja. Pijat-pijatlah pakai handuk kering, dan
latihlah pikiran serta badanmu! Kalau kamu melakukannya, pikiran-pikiran tolol
itu bakal menghilang. Cewek manis seperti kamu pasti bisa memiliki kehidupan
yang hebat! Jangan menunduk begitu! Mendongaklah, dan kamu akan baik-baik
saja!”
Lantas, aku kabur.
Isi kontrak itu dengan sendirinya telah terpatri di benakku.
Kontrak Mengenai Saling Dukung
di antara Orang-orang Kesepian dan Tidak Berharga
Menetapkan Satou
Tatsuhiro sebagai pihak A dan Misaki Nakahara sebagai pihak B, kedua pihak
menyetujui sebagai berikut:
A tidak akan mulai membenci B.
Malah, A akan mulai menyukai B.
A tidak akan pernah berubah pikiran.
A tidak akan pernah berubah perasaan.
Ketika salah satu pihak kesepian, pihak yang lain akan selalu
ada di sisinya.
Karena B selalu kesepian, pada dasarnya A yang akan selalu
ada di sisi B.
Kalau kita melakukan ini, kurasa hidup kita kemungkinan akan
beranjak ke arah yang baik.
Kurasa masa yang menyedihkan akan berlalu.
Kalau kamu memutus kontrak ini, penaltinya sepuluh juta yen.
“Hei!
Kamu enggak kesepian?” seru Misaki.
Aku menoleh dan menjawab dengan suara keras, “Enggak, aku
enggak kesepian.”
“Aku kesepian!"
“Aku enggak.”
“Bohong.”
“Aku enggak bohong,” kataku. “Aku
hikikomori paling kuat sedunia, jadi aku bisa terus hidup sendiri. Rasa sakit
tidak berarti apa-apa bagiku. Misaki, kamu juga semestinya jangan bersandar
pada orang lain. Pada akhirnya, setiap orang akan sendirian. Bersendiri itu
yang terbaik. Maksudnya, benar kan, ya enggak? Pada akhirnya, kamu pasti akan
sendirian. Karena itu, bersendiri itu wajar saja. Kalau kamu menerimanya,
enggak bakal terjadi yang buruk. Itu sebabnya aku mengurung diri di apartemen
satu kamar enam tatamiku.”
“Kamu enggak kesepian?”
“Aku enggak kesepian?”
“Kamu enggak kesepian?”
“Aku enggak kesepian.”
“Bohong.” Ada yang berucap dengan suara
pelan teredam.
Aku menoleh ke belakang.
Aku mendapati diriku berdiri di
tengah-tengah apartemen satu kamar enam tatamiku. Di pojok, aku duduk seraya
mendekapkan kedua belah kakiku ke dada, lebur dalam kegelapan pekat.
Saat itu malam, dan aku tidak bisa
melihat, mendengar, atau melakukan apa-apa. Walaupun pada waktu itu musim
panas, apartemen satu kamar enam tatami ini, yang tanpa perabot atau sesuatu yang
lainnya, terasa dingin. Dingin yang teramat sangat dan suram mengisi ruang yang
terpencil ini. Kupegang kepalaku dan menggigil.
Kataku, “Aku kesepian.”
“Aku enggak kesepian.”
“Bohong.”
“Aku enggak bohong.”
“Aku sangat kesepian.”
“Aku kesepian!”
Aku yang merinding, berguncang gemetar, giginya
bergemeletukkan. Aku yang berdiri di tengah-tengah ruangan mengamatinya.
Sepertinya aku akan gila. Tapi aku tidak gila.
Hanya dua hal yang kupahami: aku sendirian, dan aku luar
biasa kesepian. Aku tidak ingin berada dalam keadaan ini. Aku tidak ingin
kesepian.
“Lagian,” teriakku, “itulah makanya!”
Aku terus menjerit, “Kesepian itu wajar! Tentu saja, aku
benci kesepian! Itu makanya aku menutup diriku dari dunia, makanya aku mengunci
diri. Telah lama aku memikirkannya, inilah solusi yang terbaik. Kamu mengerti,
kan? Hei! Kamu mengerti aku, kan?”
Tidak ada sahutan.
“Tidakkah kamu mengerti? Dengar
baik-baik, ya, yang kukatakan ini. Kalau kamu dengar baik-baik, kamu akan tahu.
Kamu bisa memahaminya dengan mudah. Singkatnya … singkatnya, aku menutup diriku
karena aku kesepian. Karena aku enggak mau menghadapi lebih banyak kesepian,
aku menutup diriku. Hei, kamu mengerti? Itu jawabannya!”
Tidak ada balasan.
“Aku ini lebih rakus dari siapa
pun. Aku enggak mau kebahagiaan yang tanggung. Aku enggak butuh kehangatan yang
setengah-setengah. Aku ingin kebahagiaan yang berlangsung selamanya. Tapi, itu
enggak mungkin! Aku enggak tahu sebabnya, tapi di dunia ini, pasti akan ada
yang campur tangan. Apa-apa yang berarti akan segera berakhir. Aku sudah hidup
selama dua puluh dua tahun, dan setidaknya aku sudah tahu begini banyak. Apa
pun itu, pasti akan berakhir. Itu makanya, sejak awal, lebih baik tidak
membutuhkan apa-apa.”
Itu
benar! Kamu juga harus mempelajari kenyataan ini, Misaki. Kalau kamu tahu ini,
kamu enggak bakal memunculkan rencana-rencana konyol. Kamu akan berhenti mencari
orang-orang seperti aku untuk meminta bantuan.
Dia luar biasa tololnya. Dia bergayut pada keputusasaan yang
demikian hebatnya. Aku ngeri akan kesepian yang menyebabkan dia mencari bantuan
dari seonggok manusia sampah seperti aku. Aku mengutuk kemalangan yang telah
menimpa dia. Aku mengutuk kenyataan tak masuk akal bahwa anak tidak dapat
memilih orang tuanya. Aku menginginkan gadis ceria seperti dia untuk menjalani kehidupan
yang tangguh dan sehat.
Tolong,
lakukanlah yang terbaik, di mana pun itu. Aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa
sendirian. Lebih baik bagiku untuk bersendiri. Aku akan hidup sendiri dan mati
pun sendiri.
Walau begitu, aku punya harapan. Aku punya harapan ….
Lihatlah, di sebelah sana—yang
bersinar, pudar dan lembut.
Itu kampung halamanku, yang menerbitkan
air mata nostalgia penuh suka duka. Daratan musim gugur yang berlanjut
selamanya. Kenangan-kenangan dari lama silam. Tatapan sekilas-sekilas yang
abadi dari gadis-gadis kecil yang mengikik. Ketenteraman si kucing hitam, yang
tertabrak oleh mobil. Tidak ada lagi yang menyakitkan atau sulit di mana pun.
Aku baik-baik saja sekarang.
“Benar. Kamu baik-baik saja sekarang,” kata gadis kecil itu.
Si boneka anime seukuran manusia,
yang ditinggalkan Yamazaki sebagai hadiah, memandang padaku. Dia bidadari. Dia
mulai bergerak, dan dia menuntunku maju.
Kami berkelana ke planet antah berantah. Planetnya indah:
langit biru dengan awan putih, angin sejuk berembus menyeberangi padang musim
semi yang terentang hingga jauh. Kami berdiri di tengah-tengah padang, kemudian
gadis itu memetik setangkai bunga putih suci dan mengangkatnya di depanku.
Dengan jemarinya yang ramping, ia memegang sehelai kelopak
dan mencabutnya. “Hidup.”
Kemudian, ia mencabut kelopak lainnya. “Mati.”
Ia melakukan ramalan bunga.
“Hidup …. Mati …. Hidup …. Mati …. Hidup …. Mati …. Hidup ….
Mati.”
Kelopak terakhir berkibar ke tanah.
Gadis itu tersenyum lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar