Aku sedang berada di Polandia, menangis. Pacarku baru saja memberitahuku
bahwa dia tidak mau melanjutkan hubungan. Tanpa sadar, aku telah menjadi
bajingan perengek. Aku telah memojokkan dia dengan berbagai tuntutanku. Tak ada
pilihan bagi dia selain mencampakkanku. Aku mengemis padanya supaya tetap
bersama aku tapi dia tidak mau menangguhkan keputusannya. Ia mengatakan bahwa
ia terlalu mencintaiku: “Nantinya kamu akan semakin tersakiti dan aku enggak
menginginkannya.”
Dia terlalu mencintaiku sehingga mencampakkanku? Awalnya terdengar tidak
masuk akal. Air mata mengaliri pipiku dan aku merasa sengsara. Sekarang ini
amatlah mudah untuk menumpahkan kesalahan pada pacar Italianya yang baru.
Kami menjalani hubungan terbuka yang secara salah kusebut poliamor. Kami
sama-sama punya partner lain tapi aku selalu menganggap dia sebagai pacarku. Di sinilah letak masalahnya. Dia
bukanlah milikku.
Aku telah bersikap mendua: mengatakan satu hal tapi melakukan yang selainnya.
Aku membela kebebasan dan menentang keposesifan, tapi aku ingin memiliki dia.
Bukankah luar biasa? Lelaki tanpa uang, yang mengkritik kepemilikan, mengira ia
bisa memiliki seseorang, memiliki orang lainnya, lantas menyalahkan segalanya
pada kompetisi.
Nantinya aku menyadari bahwa dengan meninggalkanku, dia memungkinkanku
untuk mulai mengubah cara-caraku, untuk belajar apa sejatinya kebebasan dan
cinta tanpa harus menjadi perengek. Sekarang aku memahami bahwa sesungguhnya
dia memang meninggalkanku karena cinta.
Meski begitu, baru setelah lebih banyak lagi hubungan gagal lainnya aku belajar artinya cinta romantis. Lebih banyak lagi kekecewaan dan
perjuangan tak perlu. Selalu karena alasan yang sama. Pada akhirnya aku memang belajar untuk mencintai dan merasa dicintai, sekalipun tanpa
menjalani hubungan.
Cinta,
seks, dan kasih sayang itu penting bagi kita semua, entahkah kita menggunakan
uang atau tidak. Pastinya, kalau Anda telah memutuskan untuk tidak menggunakan
uang dan berbagi hidup bersama orang yang tidak melalui proses berpikir yang
sama, kemungkinannya mengakibatkan berbagai konflik yang bikin frustrasi. Meski
begitu, saya tidak merasa melewatkan apa pun karena pilihan-pilihan yang saya
buat. Tetap ada makan malam berpenerangan lilin, berbagai hobi yang sama,
kedekatan jarak, saling perhatian, serta percakapan intim—boleh jadi lebih
daripada sebelumnya. Dan, tidak kok, saya juga tidak mesti membayar untuk
mendapatkan seks.
Bila
direnungkan, boleh jadi hidup tanpa uang merupakan cara sempurna untuk terlihat
unik, untuk mendapatkan perhatian. Karena gaya hidup saya yang suka bertualang,
saya agak populer di antara para pemikir bebas berusia dua puluhan tahun, termasuk
dari jenis kelamin yang berbeda.
Pola
tertentu terus terjadi dalam hubungan romantis saya: saya punya kecenderungan
untuk cepat jatuh cinta. Pada awalnya, hanyalah soal menikmati kehadiran satu
sama lain secara bebas, tanpa pembatasan ataupun pengharapan. Tapi, setelah
beberapa lama, entah bagaimana secara tidak sadar saya memanipulasi situasi
supaya saya menjadi pusat perhatian si dia. Kami bepergian bersama dan lalu
saya memaksakan gaya hidup saya pada dia.
Tentu saja
hidup kami bersama di jalan penuh dengan momen-momen bahagia, dan dia pun
bersyukur atas segala pengalaman hebat yang kami miliki bersama. Tapi hidup di
jalan berarti kami bersama-sama 24/7. Saya mendapatkan suatu rasa puas yang
sakit dari berdekatan erat dengan seseorang yang lain. Kami berbagi segalanya,
entahkah dia mau atau tidak. Tidak perlu dikatakan lagi, dengan segera ini
menjadi kebalikan dari kebebasan, malah suatu penjara. Seiring waktu, ia
menjadi semakin frustrasi dengan situasi ini dan merasa perlu untuk lepas. Saya
pun menjadi perengek dan manipulatif. Saya melakukan segalanya supaya dia tidak
meninggalkan saya, bahkan menyalahkan dia atas pertengkaran yang terjadi. Pada
akhirnya dia tidak punya pilihan selain kabur atau menyuruh saya meninggalkan
dia.
Seperti
yang sudah dikatakan, saya mengulangi kesalahan yang sama di setiap hubungan,
dengan sedikitnya lima orang yang berbeda. Kenyataan bahwa mereka semua merasa
tercekik oleh saya hanya dapat berarti satu hal: ini bukan kesalahan mereka.
Sayalah yang sedang mencari cinta tanpa syarat, orang yang akan menerima saya
berikut segala
keanehan saya, tanpa menyadari bahwa sayalah satu-satunya orang yang dapat
mencintai diri saya tanpa syarat. Tahu kan ungkapan klise ini: “Untuk mencintai
orang lain secara tulus, kita mesti mencintai diri sendiri
terlebih dahulu”. Orang-orang seperti saya, yang kekurangan cinta tanpa syarat
pada masa kecilnya, menghabiskan sisa hidup mereka berusaha memperolehnya dari
orang lain, berubah menjadi cecunguk perengek selagi melakukannya.[1]
Kemungkinan
bahkan kita tidak menyadari bahwa kita tidak menerima cinta tanpa syarat ini
sewaktu kita masih kecil. Kemungkinan secara salah kita beranggapan bahwa masa
kecil kita menyenangkan, bahwa orang tua kita mencintai kita secara tulus, tanpa
ada pengikat. Tapi boleh jadi bukan begitu yang sebenarnya. Kenyataannya,
banyak orang tua tidak bisa memberikan cinta tanpa syarat kepada anak-anaknya,
sebab mereka tidak pernah mendapatkannya dari orang tua mereka. Terserah kepada
tiap-tiap dari kita untuk memutus lingkaran setan lintas generasi ini.
Tapi
demikianlah saya dulu, terpenjara oleh perbuatan saya sendiri, mengulangi
kesalahan orang tua saya. Cinta yang saya pelajari dari ayah saya bersifat
manipulatif. Adapun cinta penuh drama yang melimpah dari pihak ibu saya
kenyataannya bukanlah apa-apa melainkan rasa membutuhkan yang berlebihan.
Kombinasi hebat!
Ketika
saya menyadari perilaku sakit yang saya sebut cinta, saya menjadi pasti bahwa
saya ini semacam pengidap narsistik yang satu-satunya penyelamat hanyalah
bertahun-tahun psikoterapi intensif. Saya siap melakukannya. Saya ingin
berubah. Tapi, bagaimanapun juga, saya tidak mengikuti terapi. Saya tidak
memerlukannya. Untungnya, saya tak sengaja menemukan buku tentang “Jebakan
hidup” (Lifetraps) yang ditulis oleh
Kimmo Takanen[2],
seorang terapis-skema. Ia
menjelaskan:
“Jebakan hidup
merupakan pola hidup negatif yang dimulai saat kita anak-anak atau remaja. Pola
ini berulang dengan sendirinya sepanjang kehidupan kita dan sulit diubah.
Ketika jebakan hidup aktif pada waktu ini, kita menyetel perasaan-perasaan yang
dialami pada waktu kecil dan menjalaninya secara tidak sadar menurut gaya
koping yang dipelajari sewaktu kecil. Emosi kita bukanlah masalah yang
sebenarnya, melainkan caranya ‘mengurung kita’ dalam perilaku membahayakan. Jebakan hidup membuat kita menghindar atau
lari, menyerah atau menyerang dalam situasi-situasi hidup kita. Cara-cara ini
membahayakan pada masa dewasa dan menghambat kita.”
Buku ini
memahamkan saya bahwa masalah saya sama sekali tidak unik, bahwa orang lain
juga mengalaminya, dan bagaimanapun juga saya tidaklah gila. Tidak apa-apa
memiliki emosi yang tak wajar. Berkat tes Lifetrap,
saya dapat menamai perilaku berulang saya, memahami dari mana asalnya, serta
mengenali pemicu tindakan tidak sadar yang tidak diinginkan ini.
Akhirnya
saya dapat melihat hubungan-hubungan saya pada masa lalu dengan cahaya baru.
Tentunya, masalah saya tidak berhubungan dengan menggunakan atau tidak
menggunakan uang. Meski begitu, masa yang intens inilah yang memungkinkan saya
melakukan kesalahan-kesalahan yang diperlukan itu. Untungnya, saya cukup dewasa
untuk belajar dari kegagalan-kegagalan ini. Pelajaran ini berlangsung melewati
tahapan-tahapan perenungan diri yang sungguh-sungguh, baik selama perjalanan
maupun sesudahnya.
Saya tidak
bangga atas kesalahan dan kekacauan diri saya pada masa lalu. Lebih mudah bila
tidak berbagi fakta-fakta memalukan ini kepada Anda. Tapi saya mengharapkan
bahwa temuan dan tips ini membantu Anda dalam perjalanan hidup Anda sendiri, ke
mana pun ia membawa Anda.
Sekarang,
selamanya saya bersyukur atas orang-orang yang telah berbagi perjalanan bersama
saya. Saya berterima kasih kepada teman-teman yang telah mengarahkan saya
kepada buku-buku yang tepat. Dan, yang terpenting, saya gembira memiliki nyali
untuk melihat ke dalam. Saya tahu saya telah terhubung dengan setiap orang
lainnya di planet ini. Saya tidak perlu lagi mencari cinta tanpa syarat.
Akhirnya saya mencintai diri saya sendiri tanpa syarat. Akhirnya, rasa
membutuhkan itu pergi. Saya telah belajar untuk menjadi sendirian tanpa merasa
kesepian. Lebih lanjut lagi, kini saya menyadari bahwa saya bukanlah
satu-satunya orang yang sampai pada kesimpulan ini. Begitu banyak orang lainnya
yang telah mencapai pemahaman serupa. Beginilah pengalaman Daniel Suelo:
“Lucu rasanya betapa
orang-orang mengira tinggal di gua alam liar itu menjadikan seseorang entah
bagaimana lebih terasing daripada tinggal sendirian di rumah papan di pinggiran
kota. Salah satu alasan saya memilih hidup tanpa uang adalah agar lepas dari kesepian
patologis masyarakat konvensional.
“Kesepian mewabah di masyarakat kita. Lihatlah sekitar. Anda bisa saja
dikelilingi oleh ratusan atau ribuan orang setiap hari, sepanjang hari, namun
sama sekali kesepian. Anda bisa saja menikah dan berkeluarga namun merasa
sangat kesepian. Yang menjadi paradoks, banyak orang tidak tahu caranya
menyendiri, yang merupakan sebab mereka kesepian!
“Saya tidak merasa sendirian di alam liar tempat tidak ada distraksi untuk
membuat Anda melupakan kesendirian. Anda mesti menghadapi kesendirian Anda. Dan
saat Anda menghadapi kesendirian, Anda mengatasi kesepian. Mengapa? Sebab Anda mendapatkan pemenuhan diri, Anda menemukan bahwa diri
Anda manusia yang utuh dan lengkap. Ketika Anda dapat merasa terlengkapi oleh
diri Anda sendiri, Anda tidak lagi menjadi perengek, tidak lagi mencandu kepada orang-orang.
Lantas, ketika Anda bertemu orang, Anda bisa mempunyai teman, bukan candu. Ya,
ketika Anda berada di sekitar orang-orang, interaksi Anda dengan yang lainnya
memuaskan, sebab Anda bukanlah perengek. Kebanyakan dari kita tidak suka berada di sekitar orang-orang yang
perengek. Belajar hidup sendiri, tanpa distraksi dari peradaban, merupakan
rahasia untuk mengatasi kesepian, berikut rahasia untuk memiliki hubungan yang
memuaskan dengan orang lain. Tentu saja, tidak sehat sendirian terus di gua,
sama halnya dengan tidak sehat berada bersama orang-orang sepanjang waktu.
Mesti ada keseimbangan.”
[2] Sayangnya belum tersedia
terjemahan bahasa Inggris buku ini. Tapi, sekiranya tertarik, Anda bisa
mengerjakan tesnya dalam bahasa Inggris secara daring di http://lifetraptest.com/.
Teks asli dalam bahasa Inggris dapat diunduh di sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar